Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

7

BAB I PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang Masalah

Perkembangan teknologi komunikasi massa terus dilakukan seiring maraknya industri media massa. Salah satu dampak dari gencarnya perkembangan teknologi komunikasi massa dan ketatnya persaingan industri media massa adalah kecepatan menyampaikan informasi kepada khalayak luas. Masing-masing media massa berlomba menjadi yang tercepat dan terdepan dalam hal menyiarkan hasil liputan. Tentu saja dalam hal kecepatan menyampaikan informasi, media elektronik dan online jelas lebih unggul dibanding media cetak seperti surat kabar dan majalah. Saat masyarakat sudah bisa mendapat informasi dari laporan langsung di televisi atau mengakses berita terbaru di media online, surat kabar dan majalah harus menunggu waktu cetak dan waktu terbit secara berkala. Hal ini mendorong masyarakat lebih mengunggulkan media elektronik dan online ketimbang media cetak. Yang kemudian terjadi adalah masyarakat hanya mendapat informasi selintas dan tidak mendalam. Seperti pada konflik Aceh, pemberitaan di media senantiasa menampilkan kejadian sepotong-sepotong. Aceh sendiri memang sudah bergejolak sejak Hasan Di Tiro mendirikan GAM pada tahun 1974, setelah sebelumnya pemberontakan Darul Islam yang dipimpin Tengku Daud Beureueh usai pada 1962. Pemerintah lalu memberlakukan “Operasi Jaring Merah” atau yang biasa disebut DOM Universitas Sumatera Utara 8 Daerah Operasi Militer sejak 1989 sampai 1998. Forum Peduli HAM Aceh mencatat ada 1.321 kasus orang tewas atau terbunuh, 1.958 kasus orang hilang, 3.430 kasus penyiksaan, 128 kasus pemerkosaan, dan 597 kasus pembakaran selama operasi ini KontraS, 2006: 56. Selama pemberlakuan DOM di Aceh, sumber berita media nasional dan lokal mayoritas berasal dari pihak TNI. Ini terjadi karena pihak GAM tidak terbuka pada media nasional yang dianggap berpihak pada Indonesia dan militer. Informasi ini juga disajikan dalam bentuk straight news atau terkadang indepth news. Semua media baik surat kabar, televisi, hingga online hanya sekadar memberitahu sebuah kejadian tanpa merunut kejadian sebelumnya. Padahal suatu kejadian terjadi akibat ada penyebabnya. Pemberitaan terus-menerus dari sebuah pihak tanpa ada keberimbangan tentu mengkonstruksi pemikiran dan pemahaman masyarakat. Nurudin mengungkapkan media massa hendaknya tak sekadar memberitakan peristiwa semata. Namun juga bisa mengevaluasi dan menganalisis setiap kejadian lewat keahlian wartawan mengintepretasikan pesan dan fakta-fakta dari lapangan. Media massa juga harus mampu memberikan data pendukung yang berguna untuk melakukan interpretatif pesan Nurudin, 2003:93. Media massa kini menghadapi tantangan menyajikan sebuah pemberitaan mendalam dan menyeluruh atas fakta peristiwa yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Praktik jurnalisme di media cetak sebenarnya bisa menjadi lahan yang tepat bagi praktik jurnalisme yang memungkinkan evaluasi, analisis, dan intepretatif atas fakta peristiwa. Di sinilah letak keunggulan media cetak Universitas Sumatera Utara 9 dibanding media elektronik dan online yang cenderung hanya mengejar aktualitas. Sayangnya, media cetak masih menyajikan laporan mendalamnya dengan bentuk indepth news yang kaku. Padahal pemberitaan yang mendalam akan membosankan jika ditulis secara berat. Salah satu bentuk penulisan yang bisa menyajikan berita mendalam secara lebih menarik adalah jurnalisme narasi atau lazim disebut jurnalisme sastrawi. Genre ini sebenarnya sudah dikenalkan di Amerika pada 1960-an oleh wartawan Amerika, Tom Wolfe Harsono, 2008: vii. Hingga kini, gaya penulisan serupa digunakan di sejumlah media Amerika seperti The New Yorker, Atlantic Monthly, dan Harpers. Jurnalisme sastrawi sejatinya adalah sebuah gaya penulisan. Ia membungkus berita berat dan mendalam secara naratif dan panjang, lengkap dengan deskripsi yang mendetail. Meskipun memakai kata ‘sastrawi’ dan ‘narasi’, jurnalisme ini tetap jurnalisme yang menyucikan fakta Harsono, 2008: xii. Banyak yang menyalahartikan jurnalisme sastrawi dalam perkembangannya di Indonesia. Seperti Septiawan Santana Kurnia dalam bukunya Jurnalisme Sastra yang mengatakan bahwa feature bisa dijadikan medium penerapan jurnalisme sastrawi Kurnia, 2002: 201. Padahal feature dan jurnalisme sastrawi adalah dua hal yang berbeda. Kedua hal ini sangat berbeda secara substansi, meskipun feature juga bisa menerapkan beberapa hal yang ada dalam jurnalisme sastrawi, seperti deskripsi atau penyusunan adegan. Feature merupakan jenis berita yang tergolong dalam kategori soft news, sedangkan Universitas Sumatera Utara 10 jurnalisme sastrawi adalah gaya pengemasan untuk berita keras atau hard news dengan gaya sastra atau bernarasi. Ada juga yang berpendapat kalau apa yang disajikan Tempo dalam Catatan Pinggir atau laporan utama sudah merupakan jurnalisme sastrawi. Padahal jelas, Catatan Pinggir yang ditulis Goenawan Mohamad merupakan kolom atau esai yang hanya berupa opini, meskipun didukung dengan literatur yang kuat, bahkan ada sedikit liputan. Sedangkan laporan utamanya, meski menggunakan deskripsi yang membuat tulisan jadi hidup, masih belum memenuhi syarat untuk disebut sebagai jurnalisme sastrawi. Jurnalisme sastrawi memang membutuhkan deskripsi yang kuat. Deskripsi di sini bukan berarti harus mendayu-dayu, tapi deskripsi yang memang mendukung cerita supaya cerita lebih hidup. Tapi bukan cuma deskripsi, jurnalisme sastrawi juga juga memerlukan apa yang sebuah karangan sastra perlukan, seperti penokohan, kronologis, alur yang kuat, konflik dan antiklimaks serta akhir yang memikat. Semuanya harus kuat, bukan hanya di pembuka tulisan seperti yang ditampilkan Tempo. Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft adalah salah satu contoh tulisan yang dikemas dengan gaya penulisan sastrawi. Tulisan ini dimuat pada buku Jurnalisme Sastrawi, Antologi Liputan Mendalam dan Memikat. Buku ini sendiri pertama kali diterbitkan oleh Yayasan Pantau pada tahun 2005 dan cetakan keduanya diterbitkan Kepustakaan Populer Gramedia pada tahun 2008. Tulisan sepanjang hampir 12 ribu kata atau delapan puluh ribu karakter ini menceritakan tentang salah satu kejadian pada konflik Aceh yang menelan banyak korban jiwa. Universitas Sumatera Utara 11 Kejadian ini dikenal dengan sebutan Tragedi Simpang KKA yang merupakan singkatan dari Kertas Kraft Aceh. Data dari NGO’s Coalition for Human Right mencatat ada 46 warga Aceh yang meninggal, 156 terluka parah dan 10 orang menghilang http:ngo-ham.9f.comtragedi_simpang_kka.htm. Pelanggaran Hak Asasi Manusia HAM berat ini terjadi di Simpang Pabrik KKA Krueng Geukueh, Kecamatan Dewantara, Aceh Utara. Kejadian ini dikisahkan ulang secara rinci dan runut, juga memiliki penokohan dan deskripsi yang detail. Tentu saja berita sepanjang ini sangat berbeda dengan berita yang biasa dikonsumsi masyarakat yang hanya menampilkan sebuah kejadian secara sepintas. Tulisan ini termasuk salah satu tulisan terbaik jurnalisme sastrawi yang dihasilkan oleh wartawan Indonesia. Berbeda dengan tulisan lain dari genre ini yang terkadang sedikit membosankan dan bertele-tele, tulisan ini benar-benar kuat dalam alur, konflik cerita, dan mampu membuat pembaca hanyut. Tulisan ini bahkan dibuat menjadi cerita pertama dalam buku Jurnalisme Sastrawi, Antologi Liputan Mendalam dan Memikat. Kuatnya unsur jurnalisme sastrawi yang ada dalam tulisan ini membuat tulisan ini sangat layak untuk diteliti dibanding beberapa tulisan lain yang ada di buku tersebut. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk melihat konstruksi konflik Aceh dalam laporan jurnalisme sastrawi Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft.

I.2 Perumusan Masalah