Perubahan Tata Guna Lahan

kebenaran, yang lahir dari empirisme dan rasionalisme atau realitas Simanuhuruk, 2003.

2.2. Perubahan Tata Guna Lahan

2.2.1. Definisi Tata guna lahan land use merupakan pengaturan pemanfaatan lahanaktifitas pada suatu lingkup wilayah baik tingkat nasional, regional, maupun kawasan untuk kegiatan-kegiatan tertentu. Kegiatan manusia seperti bekerja, berbelanja, belajar, dan berekreasi, semuanya dilakukan pada kapling-kapling tanah yang diwujudkan sebagai kantor, pabrik, gedung sekolah, pasar, pertokoan, perumahan, objek wisata, hotel, dan lain sebagainya. Aktivitas di kapling tanah lahan tersebut dinamakan tata guna lahan Miro dalam Wismadi, dkk, 2008. Pengertian konversi lahan atau perubahan tata guna lahan adalah alih fungsi atau mutasi lahan secara umum menyangkut tranformasi dalam pengalokasian sumber daya lahan dari satu penggunaan ke penggunaan lain Tjahjati dalam Yusran, 2006. Sedangkan gejala perubahan pemanfaatan lahan sendiri menjadi gejala alamiah dalam suatu evolusi kota. Bentuk perubahan ini tidak terjadi di setiap lokasi secara seragam, karena setiap lahan memiliki tingkat kestrategisan dan potensi yang berbeda Legawa dalam Harjanti, 2002. Evolusi kota sendiri terbentuk dari faktor-faktor internal seperti keputusan- keputusan yang diambil oleh berbagai institusi dan individu, penyebab eksternal konteks ekonomi internasional dan perkembangan sosial. Proses-proses dasar dapat berjalan lambat ataupun cepat, dan berlaku dalam lingkup lokal maupun global. Pada level yang berbeda, seperti yang terjadi di beberapa kota besar di Universitas Sumatera Utara Eropa, evolusi tersebut menjadi daya tarik bagi para imigran seperti di Negara negara yang memiliki permasalahan utama ekonomi dan politik dimana sering memunculkan gejala marginalisasi dan segregasi. Kondisi tersebut juga menjadi lahan subur untuk munculnya aktivitas ekonomi, politik dan budaya, sehingga menimbulkan diantaranya perubahan dan konversi industri, penilaian lahan kembali dan pengembangan pusat pelayanan baru. Gejala diatas disebut dengan perubahan kualitatif yang bertolak belakang dengan proses-proses pertumbuhan kuantitatif yang murni Albeverio,dkk, 2007. Struktur dan bentuk kota-kota saat ini adalah hasil dari dinamika berbagai faktor sosial, ekonomi, budaya, dan fisik baik secara umum maupun lokal Lambin dalam Hagoort,dkk , 2004. Oleh karenanya, dalam rangka efisiensi alokasi pemanfaatan lahan diperlukan rencana yang merangkum kebutuhan seluruh sektor kegiatan masyarakat, baik kebutuhan saat ini maupun kegiatan di masa mendatang. Rencana tata ruang merupakan bentuk rencana yang telah mempertimbangkan kepentingan berbagai sektor kegiatan masyarakat dalam mengalokasikan lahanruang beserta sumber daya yang terkandung di dalamnya bersifat komprehensif. Rencana tata ruang sendiri merupakan pedoman pemanfaatan ruanglahan atas pembagian berbagai sektor kegiatan masyarakat tersebut Dardak, 2005. Sedangkan proses penataan ruang merupakan proses yang dilakukan dalam rangka mencapai sebuah kestabilan dalam konteks keruangan. Sehingga setiap aktifitas yang ada di dalamnya merupakan sebuah usaha yang dilakukan dan memiliki titik fokus untuk mencapai sebuah kondisi keruangan dalam konteks problem solving, future oriented dan resource allocation Hardiansah, 2008. Universitas Sumatera Utara Pada akhirnya perubahan tata guna lahan dapat didefinisikan sebagai upaya manusia dalam merencanakan arahan perubahan penggunaan lahan dalam suatu kawasan yang meliputi pembagian wilayah untuk pengkhususan fungsi-fungsi tertentu yang merupakan rangkuman kebutuhan seluruh sektor kegiatan masyarakat kedepan yang ditikberatkan pada pencapaian sebuah kondisi keruangan dalam konteks problem solving, future oriented dan resource allocation. 2.2.2. Model Perubahan Tata Guna Lahan Perubahan pemanfaatan lahan tidak terlepas dari perkembangan suatu daerah menuju ke keadaan yang lebih padat yang sering diidentifikasikan sebagai perubahan menuju ke arah perkotaan urbanised area. Secara umum, kebalikan dari perkotaaan disebut dengan pedesaan rural area. Diakui atau tidak, tidak ada satu daerahpun yang tertutup akan perubahan. Terlebih lagi memasuki era abad ke-21, dimana interaksi dan komunikasi antar komponen-komponen pendukung wilayah satu dengan yang lainnya tidak lagi dibatasi jarak dan waktu. Batas-batas keruangan wilayah memudar seiring inovasi-inovasi teknologi dan sistem regulasi pendukung yang memungkinkan terjadinya percampuran sistem budaya yang tidak pernah terjadi sebelumnya, pemanfaatan berbagai penemuan baru, pemindahan modal, dan pergerakan sumber daya manusia tenaga kerja. Suartika, 2007. Oleh karenanya, di dalam rencana tata ruang kawasan perkotaan perlu diatur alokasi pemanfaatan ruanglahan untuk berbagai penggunaan perumahan, perkantoran, perdagangan, ruang terbuka hijau, industri, sempadan sungai, dsb berdasarkan prinsip-prinsip keadilan, keseimbangan, keserasian, keterbukaan Universitas Sumatera Utara transparansi dan efisiensi, agar tercipta kualitas permukiman yang layak huni livable environment Algamar, 2003. Sedangkan dalam lingkup perkotaan, pengelolaan kawasan dilaksanakan dengan mendayagunakan segenap asset yang ada secara efektif, efisien dan berkelanjutan. Adapun asset yang tercakup dalam pengelolaan kawasan perkotaan adalah keuangan pembiayaan pembangunan, penduduk sumberdaya manusia, sosial termasuk institusi publik, lahan, lingkungan, serta asset fisik seperti bangunan – termasuk rumah, prasarana dan sarana perkotaan. Sedangkan pembedaan pola keruangan ini disebabkan oleh luas daerah kota, unsur topografi, faktor sosial, faktor budaya, faktor politik dan faktor ekonomi yang secara garis besar dibagi atas inti kota core the city dan selaput kota intergruments, dimana pada kedua daerah tersebut masih dapat dijumpai daerah- daerah kosong interstices Bintarto dalam Yusran, 2006. Menurut Bourne dalam Yusran 2006, ada beberapa faktor yang menjadi penyebab terjadinya perubahan penggunaan lahan, yaitu: perluasan batas kota, peremajaan di pusat kota, perluasan jaringan infrastruktur terutama jaringan transportasi serta tumbuh dan hilangnya pemusatan aktifitas tertentu yang secara garis besar berjalan dan berkembang secara dinamis dan natural terhadap alam yang dipengaruhi antara lain: a. Faktor manusia, yang terdiri dari kebutuhan manusia akan tempat tinggal, potensi manusia, finansial, sosial budaya serta teknologi; b. Faktor fisik kota, meliputi pusat kegiatan sebagai pusat-pusat pertumbuhan kota dan jaringan transportasi sebagai aksesibilitas kemudahan pencapaian; c. Faktor bentang alam yang berupa kemiringan lereng dan ketinggian lahan. Universitas Sumatera Utara Adapun dalam mengatur dan mengkontrol terjadinya perubahan tata guna lahan diperlukan suatu perangkat sistem pengelolaan. Keiser, Godschalk dan Chapin dalam Suartika 2007 menawarkan dua model manajemen perubahan tata guna lahan, yaitu: a. Model yang merangkul kepentingan struktur lingkungan kehidupan hidup manusia human ecology dan politikal ekonomi dalam suatu konsep yang menggabungkan proses pengaturan pemanfaatan lahan dengan konsep pembangunan berkelanjutan. b. Model yang merangkul konsep partisipasi dan pemecahan masalah discourse planning model. Model ini tidak hanya mengakui kepentingan-kepentingan kelompok dominan yang telah disebutkan dalam game theory, tetapi juga memberi peluang kepada pihak perencana, tenaga ahli teknis dan kelompok kelompok kepentingan lainnya untuk berpartisipasi. Menurut Gibson dalam Markvart 2009, konsep esensial dari pembangunan berkelanjutan sendiri antara lain: 1. Suatu tantangan untuk berfikir dan berbuat secara konvensional; 2. Melakukan sesuatu untuk kesejahteraan jangka panjang maupun jangka pendek; 3. Menyeluruh, meliputi semua permasalahan inti di dalam hal pengambilan keputusan; 4. Suatu pengenalan tentang hubungan keterkaitan dan saling ketergantungan, terutama antara manusia dan fondasi biofisik untuk kehidupan; 5. Pentingnya melakukan pendekatan-pendekatan terhadap tindakan pencegahan; Universitas Sumatera Utara 6. Suatu pengenalan terhadap batasan yang tidak dapat diganggu gugat serta tidak habisnya peluang didalam menciptakan inovasi kreatifitas; 7. Suatu proses akhir yang selalu terbuka dan bukan merupakan suatu pernyataan; 8. Suatu pemahaman yang baik antara budaya dan pemerintahan seperti yang terjalin dengan ekologi, sosial dan ekonomi; 9. Seluruh ketergantungan yang bersifat universal dan kontekstual. Menurut Camagni dalam Capello dan Nijkamp 2004, teori dan model ekonomi perkotaan secara efisien diatur dalam 5 lima prinsip utama antara lain: a. Prinsip Pengelompokkan: Kepadatan penduduk yang tinggi dan kegiatan yang produksi mempercepat kemunculan seluruh gejala positif dan negatif yang berasal dari kedekatan fisik, ekonomi kelompok, baik dalam bentuk urbanisasi dan lokalisasi ekonomi yang dikenal sebagai elemen genetic dalam keberadaan suatu kota; b. Prinsip Aksesibilitas: Pemahaman interaksi saling menguntungkan antara biaya transportasi dan penggunaan lahan langsung dan lebih banyak kepada aplikasi yang rasional secara cepat di tingkat kota; c. Prinsip Interaksi Spasial: Tingkat kepadatan yang tinggi di permukiman dan kegiatan produksi yang hadir di setiap kota memfasilitasi kebutuhan kontak, dan berakibat terhadap mekanisme interaksi spasial, dengan segala dampak positif dan negatif yang terkait dengan mereka; d. Prinsip Hirarki Perkotaan: Pembagian ruang bagi para pekerja jelas tercermin dalam perbedaan pola sosio-ekonomi antar kota; Universitas Sumatera Utara e. Prinsip Persaingan: Dalam kondisi kota sebagai lokasi utama kegiatan produksi, prinsip persaingan menjadi sangat penting di tingkat perkotaan serta membutuhkan ketentuan spesifik guna mendukung mekanisme efisiensi perkotaan. Sedangkan konsep dari partisipasi sendiri adalah berdasarkan pengalaman dan wawasan yang berkembang harus diakui bahwa masyarakat lokal yang sebelumnya selalu dipandang sebagai subjek, klien atau penerima yang pasif , secara jelas telah banyak berkontribusi pada proses penelitian dan pengembangan. Menurut Chamber, pendekatan partisipatif yang diterapkan saat ini dalam berbagai konteks sosial dan ekologi, telah membentuk dan mempengaruhi program maupun kebijakan nasional, penelitian regional dan internasional serta pembangunan di seluruh dunia Byambaa, 2004. Partisipasi tidak meningkatkan kinerja proyek akan tetapi merupakan komponen utama pemberdayaan masyarakat dan membuat mereka mandiri untuk belajar bertanggung jawab atas kehidupan dan mengambil kendali atas keadaan untuk selanjutnya mengembangkan kapasitas untuk menolong dirinya sendiri dalam suatu proses. Menurut Rolly, partisipasi menciptakan rasa percaya diri yang kuat dan mampu meyakinkan diri mereka untuk dapat berhasil menggunakan sumber daya yang tersedia untuk meningkatkan kualitas hidup mereka Byambaa, 2004. Pendekatan partisipatif merupakan hasil dari ketidakpuasan terhadap pendekatan top-down di dalam proses perencanaan dan manajemen. Ketika masyarakat tidak dilibatkan di dalam proses pengambilan keputusan ataupun Universitas Sumatera Utara pemilihan metode pemecahan masalah sosial budaya yang sesuai dengan kebutuhan mereka maka hasilnya adalah suatu kegagalan proyek Rolly dalam Byambaa, 2004. Menurut Burke dalam Byambaa 2004, proses perencanaan tidak lagi merupakan domain eksklusif para ahli teknis, melainkan perlu dipikirkan siapa saja yang harus terlibat, bagaimana bentuk keterlibatannya, fungsi masyarakat apa sajakah yang harus dilayani dan bagaimana mengadaptasikan metode perencanaan ke proses yang melibatkan berbagai kepentingan dan kelompok lebih luas.

2.3. Persepsi Masyarakat Terhadap Perubahan Tata Guna Lahan