pemilihan metode pemecahan masalah sosial budaya yang sesuai dengan kebutuhan mereka maka hasilnya adalah suatu kegagalan proyek Rolly dalam
Byambaa, 2004. Menurut Burke dalam Byambaa 2004, proses perencanaan tidak lagi
merupakan domain eksklusif para ahli teknis, melainkan perlu dipikirkan siapa saja yang harus terlibat, bagaimana bentuk keterlibatannya, fungsi masyarakat apa
sajakah yang harus dilayani dan bagaimana mengadaptasikan metode perencanaan ke proses yang melibatkan berbagai kepentingan dan kelompok lebih luas.
2.3. Persepsi Masyarakat Terhadap Perubahan Tata Guna Lahan
Menurut Sari 2009, pertumbuhan penduduk yang terus meningkat menjadikan kebutuhan ruang semakin tidak terbatas. Aktifitas masyarakat baik
dari segi ekonomi, sosial, maupun yang lainnya dari waktu ke waktu berdampak pada meningkatnya kebutuhan penggunaan lahan. Fenomena ini berkembang di
wilayah perkotaan dan menjadikan eksplorasi ruang yang kurang terkendali. Meskipun banyak ruang yang sudah diatur dalam berbagai bentuk kebijakan,
namun tidak semua bentuk perkembangan keruangan terwadahi, apalagi dengan keberadaan lahan yang bersifat statis dan harga lahan yang semakin tinggi
memicu persaingan dan konflik dalam memanfaatkan ruang. Salah satu studi kasus terjadinya perubahan tata guna lahan di suatu lokasi
adalah Kawasan Kota Baru Bandar Kemayoran di Jakarta yang merupakan contoh kawasan yang kini telah beralih fungsi menjadi suatu kawasan kota baru. Menurut
Syahroji 2008 , kota Baru Bandar Kemayoran KBBK merupakan kawasan bekas Bandar Udara Kemayoran dengan luas kawasan berdasarkan SK. Mendagri
No. 24HPLDA1982 secara keseluruhan sekitar 454 hektar.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.2. Layout Kawasan Bandar Udara Kemayoran
Sumber : http:www.kaskus.com
Lokasi ini sudah tidak dapat dipertahankan lagi karena alasan keselamatan penerbangan, kebisingan, terbatasnya lahan dan kepentingan pembangunan kota
DP3KK, 2001. Setelah beroperasi selama 45 tahun sejak 8 Juli 1940, karena alasan diatas bandar udara Kemayoran resmi ditutup pada tanggal 5 Juli 1985.
Adapun fungsi Bandar Udara Kemayoran saat ini telah digantikan oleh Bandar Udara Soekarno-Hatta, Tangerang yang berjarak 20 Km dari kawasan
Kemayoran. Proses terbentuknya pola hubungan bandara Kemayoran dengan
masyarakatnya khususnya di wilayah kelurahan Kebon Kosong, Gunung Sahari dan Pademangan Timur dijelaskan oleh Husni, dkk 1997 sebagai berikut;
a. Pada awalnya peningkatan kebutuhan aktifitas komersial, perkantoran
maupun pemukiman elit Eropa di Batavia menjadi penyebab semakin tajamnya segregasi penduduk antara pemukiman elit Eropa, pemukiman
menengah pedagang Cina serta pemukiman tradisional “kampung” pribumi.
Universitas Sumatera Utara
Untuk mendukung pelayanan kebutuhan saat itu dibangunlah suatu sarana transportasi udara berupa bandara yang terbentang panjang dari utara mulai
Kelurahan Pademangan Timur sampai selatan di Kebon Kosong; b.
Pendudukan tanah dimulai pada tahun 1920 dengan kedatangan para petani dari wilayah Jawa Barat untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik di
perkotaan. Sedangkan pola terbentuknya permukiman dimulai dari didirikannya gubuk-gubuk sementara oleh para pendatang tersebut dan
seiring terjadinya peningkatan ekonomi, gubuk-gubuk tersebut berkembang menjadi rumah permanen. Pertumbuhan migrasi semakin pesat ketika
pemimpin RI pada akhir tahun 1940-an. Penempatan lahan bandara sendiri oleh masyarakat karena tidak semua lahan digunakan secara aktif untuk
kepentingan bandara pada saat itu yang pada akhirnya menjadi cikal bakal munculnya pemukiman kumuh di sekitar lokasi bandara. Pada
perkembangannya kelurahan Kebon Kosong menjadi daerah yang terpadat, diikuti dengan Gunung Sahari Selatan dan Pademangan Timur;
c. Dilihat dari tingkat pendidikannya, 26 dari masyarakat belum tamat SD, 72
diantaranya berpendidikan menengah SMPSMA dan hanya 2 saja yang berpendidikan sarjanaakademi;
d. Jenis pekerjaan dari kepala keluarga atau pencari nafkah sangat bervariasi
dan meliputi berbagai jenis pekerjaan seperti buruh bangunan, pasar, pabrik, dan lain-lain, pedagang kaki limawarungtoko, pegawai negeriswasta,
ABRI dan lain-lain. Melihat kondisi diatas terlihat adanya proses pemunculan pemukiman kumuh
di sekitar lokasi bandara Kemayoran dimulai dari penempatan lahan bandara oleh
Universitas Sumatera Utara
masyarakat karena tidak semua lahan digunakan secara aktif untuk kepentingan bandara. Penempatan lahan oleh para pendatang dari Jawa Barat untuk mencari
kondisi ekonomi yang lebih baik mengindikasikan bahwa masyarakat tidak ingin ditinggalkan dalam pertumbuhan aspek sosial dan ekonomi yang mengikutinya.
Kolaborasi antara konsep teknis dengan realita di lapangan tersebut bukan sebuah usaha untuk kompromi, melainkan usaha untuk mendekatkan kesenjangan
antara perilaku masyarakat dan arahan ruang Hardiansah, 2008. Oleh karena
menjadi penting untuk mengetahui tingkat ketergantungan masyarakat terhadap
aktifitas utama yang berlangsung di sekitar lokasi mereka tinggal.
Gejala penempatan lahan yang pada akhirnya menjadi cikal bakal munculnya pemukiman kumuh di sekitar lokasi bandara selanjutnya menimbulkan kepadatan
yang sangat tinggi di beberapa lokasi kelurahan. Fenomena ini menunjukkan bahwa adanya pola penempatan pemukiman marginal khusus dengan solidaritas
yang kuat diantara mereka di dalam suatu komunitas yang baik Silas, 1989. Walaupun hal ini bukan menjadi alasan utama, akan tetapi kondisi tingkat
keamanan dan kenyamanan masyarakat di suatu permukiman tetap perlu menjadi perhatian.
Pengembangan kota Baru Bandar Kemayoran sendiri menurut Syahra, dkk
1997 baru dimulai pada tahun 1990. Melalui revisi perencanaan yang dilakukan pada tahun 1989, kawasan yang awalnya diputuskan oleh pemerintah untuk
dijadikan pusat pertumbuhan sekunder yang menyesuaikan dengan kondisi eksisting lingkungannya berubah konsep menjadi kota baru di dalam kota New
Town in Town dimana aktifitas ekonomi yang muncul diharapkan dapat menunjang kehidupan masyarakatnya.
Universitas Sumatera Utara
Rencana pengembangan fisik kawasannya juga menyesuaikan pemenuhan kebutuhan dan gambaran atas suatu kota bisnis yang modern. Sedangkan untuk
pemanfaatan lebih lanjut tanah Kemayoran, maka pemerintah membentuk Badan Pengelola Komplek Kemayoran BPKK yang bertindak untuk penguasaan dan
pengelolaan Kemayoran. Sedangkan untuk pelaksanaannya sehari-hari dilaksanakan oleh Direksi Pelaksana Pengendalian Pembangunan Komplek
Kemayoran DP3KK. Pembangunan Kota Baru Bandar Kemayoran sendiri menurut DP3KK 2001
merupakan suatu pengembangan kota baru yang dapat mengemban fungsi strategis untuk pusat perdagangan dan jasa serta informasi antar bangsa
Indonesia International Trade Centre yang didasari atas beberapa dasar pemikiran antara lain:
a. Keharusan untuk mengelola asset eks bandara milik Negara secara
professional dan strategis bagi kepentingan nasional; b.
Penekanan pembiayaan pembangunan dengan lebih melibatkan peran swasta seluas-luasnya dibandingkan pemanfaatan APBN maupun APBD;
c. Perlunya upaya pemulihan kondisi ekonomi dengan cara penciptaan fasilitas
untuk mewujudkan pusat perdagangan dan jasa serta informasi guna memperlancar proses perdagangan internasional khususnya ekspor hasil-hasil
industri. Arah pembangunan perkotaan yang berfungsi untuk mengemban fungsi
strategis bagi kepentingan skala nasional bahkan internasional yang mandiri dan tetap ramah lingkungan.
Universitas Sumatera Utara
Salah satu tantangan yang dihadapi menurut Hardiansah 2008, selama ini rencana Tata Ruang belum menjadi dokumen populis yang menginternal di
kalangan masyarakat karena baru sebatas wacana publik dan belum mampu ditransformasikan sebagai sebuah action plan bersama elemen masyarakat untuk
mewujudkan kondisi ruang yang baik. Sedangkan untuk menumbuhkan rasa memiliki untuk kemudian
mempertahankan dan melestarikan suatu objek dalam hal ini rencana tersebut, menurut Budiharjo 2000, masyarakat membutuhkan rasa penguasaan dan
pengawasan a sense of mastery and control terhadap habitat atau lingkungannya. Oleh karenanya perlu diketahui tingkat pemahaman masyarakat
terhadap rencana perubahan tata guna lahan dimaksud. Setelah mengetahui rencana perubahan tata guna lahan tersebut, perlu
diketahui tingkat persetujuan atas detail rencana perubahan yang berdampak terhadap mereka langsung karena menurut Hardiansah 2008, dokumen rencana
yang sangat birokratik masih sering dianggap miring sebagai salah satu proyek semata saja oleh elemen masyarakat.
Selain itu, perwujudan dari rencana tersebut terkadang tidak sesuai dengan implementasinya terutama terjadinya berupa terjadinya penyimpangan
pemanfaatan ruang dari ketentuan dan norma yang seharusnya ditegakkan. Penyebabnya adalah inkonsistensi kebijakan terhadap rencana tata ruang serta
kelemahan dalam pengendalian pembangunan. Menurut Harjanti 2002, akumulasi dari persaingan dalam penggunaan lahan tersebut menyebabkan lahan–
lahan yang semula telah dialokasikan untuk suatu kegiatan tertentu dalam rencana
Universitas Sumatera Utara
kota, pada saat diimplementasikan sering telah digunakan oleh jenis kegiatan lainnya.
Gambar 2.3. Masterplan RTRK Kota Baru Bandar Kemayoran Tahun 2005
Sumber : DP3KK 2001
Universitas Sumatera Utara
Setelah masyarakat memahami dan menyetujui rencana perubahan tata guna lahan wilayah mereka kedepannya maka isu yang selanjutnya dihadapi adalah
keterbukaan dan keikhlasan dalam menempatkan kepentingan sektor dan wilayah dalam kerangka penataan ruang dan kemampuan menahan diri dari keinginan
membela kepentingan masing-masing secara berlebihan dalam mewujudkan penataan ruang yang aman, nyaman, produktif dan berkelanjutan.
Menurut Hardiansah 2008, penataan ruang dan masyarakat sejatinya merupakan bagian tidak terpisahkan dari sebuah proses pembangunan.
Mendikotomikan antara proses penataan ruang dengan proses bermasyarakat jelas bukan sebuah paham yang akhir-akhir ini dianut oleh sebagian besar
pemerintahan. Disamping itu menurut Silas 1989, masyarakat yang telah dikorbankan lahannya demi pembangunan tidak boleh ditinggalkan dalam
pertumbuhan aspek sosial dan ekonomi yang mengikutinya. Oleh karenanya perlu diketahui tingkat kepatuhan masyarakat apabila
bangunan atau lahan mereka harus digusur demi kepentingan umum terkait rencana perubahan tata guna lahan kedepannya.
Perencanaan ruang memberi peluang lebih besar kepada daerah untuk mengekspresikan potensi dan keinginan daerah untuk pemenuhan kebutuhan
masyarakat dan peningkatan kesejahteraan wilayah. Menurut Marlia 2000, semakin besar potensi ekonomi di suatu wilayah, semakin besar pula prospek
perkembangan wilayah bersangkutan. Disamping itu, pengalokasian guna lahan di perkotaan akan mengarah ke
lokasi yang dapat memberikan keuntungan tertinggi sehingga lahan–lahan yang memiliki tingkat kestrategisan dan potensi yang lebih besar akan lebih berpeluang
Universitas Sumatera Utara
mengalami proses perubahan pemanfaatan lahan Goldberg dalam Yunus, 2000. Untuk membuktikan hal tersebut perlu diketahui tingkat keyakinan masyarakat
terhadap terjadinya peningkatan ekonomi wilayah dalam hal ini perkotaan. Begitu juga dengan sebaliknya, setiap perencanaan tata ruang harus bertujuan
mewujudkan penataan ruang yang aman, nyaman, produktif dan berkelanjutan yang pada akhirnya bermuara kepada kesejahteraan masyarakat. Terkait dengan
studi kasus kota baru Bandar Kemayoran, Warsilah dalam Syahra,dkk 1997 mengungkapkan bahwa walaupun pendapatan yang dihasilkan dari munculnya
peluang usaha dan kerja yang baru dirasakan oleh masyarakat lebih meningkat dibandingkan sebelum proyek pengembangan kota dimulai, akan tetapi biaya
penempatan rusun secara bertahun-tahun juga tidak kecil sehingga pendapatan yang meningkat tersebut tidak berarti.
Seharusnya hal ini tidak perlu terjadi apabila proses perencanaan investasi bagi masyarakat dilakukan secara efektif dan efisien melalui pengurangan terjadinya
duplikasi, tumpang tindih, konflik pekerjaan dan ketentuan yang tidak tepat waktu Curtis dalam Mattingly,dkk ,2000. Sehingga perlu diketahui juga tingkat
keyakinan masyarakat terhadap terjadinya peningkatan ekonomi masyarakat terkait adanya rencana perubahan tata guna lahan di suatu kawasan.
Pada kasus Kota Baru Bandar Kemayoran, menurut DP3KK 2007 wilayah ini dikembangkan dengan konsep pembangunan tanpa penggusuran yang
menjamin kehidupan eks penghuni lahan tidak turut tergusur. Tujuannya agar penduduk setempat memperoleh manfaat dan bisa ikut maju seiring
pengembangan wilayahnya. Bentuk penggantian yang dapat diperoleh masyarakat
Universitas Sumatera Utara
berupa uang, relokasi lahan, konsolidasi lahan, maupun ditukar dengan rumah susun dalam program pemukiman kembali.
Adanya perlakuan khusus bagi masyarakat dengan tingkat ekonomi yang rendah ditujukan agar dapat menjadi contoh konsep program pemukiman kembali
di wilayah perkotaan Urban Resettlement Project sejenis di kawasan metropolitan Jakarta lainnya walaupun dalam skala yang berbeda. Hal ini
memang perlu dilakukan untuk menjaga struktur sosial dan kepentingan bertahan hidup masyarakat korban penggusuran khususnya bagi lokasi kawasan
pemukiman beserta masyarakat yang akan mengalami perubahan besar akibat pengembangan kawasan eks bandara Kemayoran menjadi pusat bisnis
internasional seperti di wilayah kelurahan Kebon Kosong, Gunung Sahari Selatan dan Pademangan Timur.
Seharusnya memang dalam lingkup perkotaan, pengelolaan kawasan dilaksanakan dengan mendayagunakan segenap asset yang ada secara efektif,
efisien dan berkelanjutan. Adapun asset yang tercakup dalam pengelolaan kawasan perkotaan adalah keuangan pembiayaan pembangunan, penduduk
sumberdaya manusia, sosial termasuk institusi publik, lahan, lingkungan, serta asset fisik seperti bangunan – termasuk rumah, prasarana dan sarana perkotaan.
Menurut Kebble dan Chapin dalam Mattingly, dkk 2000, dalam kasus kawasan perkotaan, hal yang harus dilakukan dalam perencanaan tata ruang
adalah; 1.
Mengkoordinasikan lokasi secara waktu dan tempat atas seluruh peryediaan dan kebutuhan untuk pelayanan infrastruktur dan fasilitas;
Universitas Sumatera Utara
2. Menetapkan guna lahan yang mampu meningkatkan efisiensi dan efektivitas
pelayanan termasuk transportasi dibandingkan dengan pengembangan lahan sedikit demi sedikit.
Oleh karenanya perlu diketahui tingkat keyakinan tersedianya kebutuhan infrastruktur maupun fasilitas yang penunjang keberlangsungan hidup dan
aktifitas masyarakat kedepannya.
Gambar 2.4. Ilustrasi Rencana Penataan Jl. Benyamin Suaeb
Sumber : DP3KK 2007
Walaupun filosofi pengembangan kawasan kota baru Bandar Kemayoran berupa pembangunan tanpa penggusuran Development Without Displacing dan
juga didukung oleh adanya program pengembangan komunitas Community Development Program kepada masyarakat guna mempersiapkan masyarakat
secara budaya dan mental untuk hidup di pusat kota modern di Kemayoran akan tetapi berdasarkan hasil penelitian Warsilah dalam Syahra,dkk 1997, kondisi
lain yang muncul setelah program tersebut berjalan adalah munculnya daya tarik pendatang dari luar sebagai dampak dari terbukanya lapangan kerja baik di
Jakarta secara umum maupun Kemayoran secara khusus.
Universitas Sumatera Utara
Menurut Marlia 2000, aktifitas ekonomi di suatu wilayah memang cenderung mengundang pemukim yang tentunya membutuhkan ruang. Dampak lebih lanjut
dari kasus kota baru Bandar Kemayoran adalah meningkatnya kebutuhan rusuna. Bahkan unit hunian yang tadinya disiapkan untuk kapasitas 5 orang kini dihuni 8
sampai dengan 10 orang. Hal tersebut tentunya berdampak terhadap melebihinya daya tampung hunian khususnya kelas bawah.
Hal inilah yang mengakibatkan hilangnya identitas sosial yang dibangun masyarakat selama ini. Menurut Warsilah dalam Syahra,dkk 1997, walaupun
pola lama seperti solidaritas masyarakat yang tinggi dan budaya gotong royong tidak ditinggalkan, akan tetapi kondisi keterbatasan ruang dan waktu menjadi
kendala dalam hal kebiasaan saling mengunjungi dan bersosialisasi. Kondisi kesibukan dan sedikitnya waktu yang tersisa akibat beban kerja menjadi faktor
penghambat terlaksananya kebiasaan tersebut. Sebuah proses adaptasi pendatang didefinisikan sebagai respon penyesuaian
oleh setiap individu atau kelompok dengan kondisi yang bervariasi. Adaptasi dapat terlihat dalam berbagai macam bentuk. Menurut Barry dalam Lukasiewicz,
adaptasi ada beragam bentuknya antara lain: a.
Integrasi berupa upaya menunjukkan keikutsertaan memelihara warisan etnik serta berpartisipasi di dalam dan memperluas sosialisasi dengan masyarakat
dari kelompok lain; b.
Asimilasi berupa upaya berinteraksi dengan kelompok lain tanpa harus memelihara warisan etnis mereka.
c. Separasi berupa upaya menghindari kontak dengan kelompok lain walaupun
tetap memegang tradisi etnisnya.
Universitas Sumatera Utara
d. Marjinalisasi yang merupakan kurang tertariknya dalam menjaga hubungan
baik dengan suatu etnis atau kelompok lain. Mengamati fenomena yang muncul maka perlu diketahui respon tingkat
kekhawatiran masyarakat atas hilangnya identitas sosial yang mereka bangun selama ini akibat munculnya para pendatang.
Kondisi sosial terakhir yang muncul adalah masuknya pendatang dari kalangan masyarakat berpenghasilan rendah didalam lingkungan kota baru Bandar
Kemayoran yang direncanakan sebagai pusat bisnis dan perdagangan internasional akan memunculkan degradasi sosial ketika mereka harus menempati
rusun yang keberadaannya sangat kontras dengan berbagai apartemen mewah di sekitar mereka.
Gambar 2.5. Kondisi Pemukiman Rusun yang Kontras Dengan Lingkungan Sekitar
Sumber : DP3KK 2001
Kondisi tersebut ditambah lagi dengan terjadinya pergeseran filosofi “Development Without Displacing” yang pada awalnya menjadi konsep
Universitas Sumatera Utara
pembangunan. Terjadinya pemindahan hak kepemilikan rusun kepada pihak ketiga tanpa sepengetahuan pengelola akibat kondisi keterbatasan ruang dan
model hunian vertikal yang memaksa mereka harus merubah pola gaya hidup sebelumnya yang pada akhirnya menyebabkan terjadinya degradasi kualitas
lingkungan berkehidupan. Menurut Budihardjo dalam Marlia 2000, hal tersebut merupakan indikasi dari
kegagalan di bidang arsitektur dan perencanaan kota, antara lain karena bangunan dan lingkungan binaan lebih dipandang sebagai hal statis dan lebih tragis lagi,
apabila masyarakat penghuninya dipandang dari sudut statistik saja. Lebih jauh ditambahkan oleh Wahyono 2005 bahwa
pendekatan pembangunan partisipatoris berhimpit dengan konsep pembangunan berbasis multikultural.
Berbagai fasilitas publik tidak saja dibangun menurut keragaman warga kota, tetapi bagaimana agar keberagaman itu dapat saling berinteraksi satu sama lain tanpa harus
kehilangan identitasnya masing-masing yang berasal dari latar belakang sub-kultur maupun sub-masyarakat. Pembangunan pemukiman yang eksklusif dengan berbagai
desain arsitektur yang tidak membumi, bukan saja tanpa identitas yang jelas, tetapi juga membuat warganya terasing dan kurang membuka bagi kelancaran interaksi
sosial, karena itu tidak berbasis multikultur.
Mengamati fenomena tersebut, pada akhirnya perlu diketahui tingkat kekhawatiran masyarakat terhadap kemungkinan terjadinya degradasi sosial
diantara mereka kedepannya. Mempelajari studi kasus pola perubahan yang terjadi di kawasan Kota Baru
Bandar Kemayoran diatas dapat disimpulkan bahwa walaupun perencanaan tata guna lahan di kawasan tersebut telah dibekali dengan berbagai pemikiran strategi
maupun program khusus pendukungnya, akan tetapi pada kenyataannya tidak
Universitas Sumatera Utara
berjalan secara maksimal sesuai rencana apabila tidak secara sungguh-sungguh melibatkan peran serta masyarakat dari awal terutama bagi masyarakat yang
terkena dampak langsung dari pengembangan kawasan kedepannya. Oleh karenanya dalam konteks pendekatan persepsi masyarakat, potensi
dampak yang akan muncul harus dilihat secara luas. Artinya dalam melakukan kegiatan tersebut perlu mengacu kepada berbagai variabel yang bersifat kuantitatif
terkait aspek ekonomi dan kependudukan serta aspek sosial perubahan norma dan nilai yang ada di masyarakat, kepercayaan dan persepsi di lingkungan dimana
mereka tinggal. Dengan demikian perbedaan antara proses perubahan sosial dan dampak yang muncul bagi masyarakat harus diidentifikasi di dalam suatu
pengaturan sosial. Slootweg dalam Schirmer,dkk ,2008 Pada akhirnya menurut Schirmer, dkk 2008 untuk mengeksplorasi berbagai
pandangan dari terjadinya perubahan tata guna lahan disarankan untuk mencari variasi yang signifikan pada pola pikir dan pengalaman masyarakat dari
perubahan tata guna lahan ini sendiri, antara lain: 1.
Seluruh dampak yang diamati dan dirasakan dari perubahan tata guna lahan; 2.
Bagaimana seluruh dampak yang diamati dan dirasakan tersebut dirasakan secara berbeda oleh masing-masing penduduk di setiap wilayah;
3. Perbedaan alasan akan memunculkan pandangan kelompok yang berbeda.
2.4. Kaitan Kajian Teori Terhadap Kegiatan Penelitian