Deskriptif Tari Lima Serangkai Pada Masyarakat Karo

(1)

DESKRIPTIF TARI LIMA SERANGKAI

PADA MASYARAKAT KARO

SKRIPSI SARJANA DIKERJAKAN O

L E H

NAMA : SERIDAH RITHA GUSTINA GINTING NIM : 050707017

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS SASTRA

DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI MEDAN


(2)

DESKRIPTIF TARI LIMA SERANGKAI

PADA MASYARAKAT KARO

SKRIPSI SARJANA

DIKERJAKAN O

L E H

NAMA : SERIDAH RITHA GUSTINA GINTING NIM : 050707017

Pembimbing I Pembimbing II

Drs. Kumalo Tarigan, M. A Arifni Netrirosa, SST, M. A NIP. 19581213 1986 01 1 002 NIP. 19650219 1994 03 2 002

Skripsi ini diajukan kepada Panitia Ujian Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara untuk melengkapi salah satu syarat ujian Sarjana Seni dalam bidang Etnomusikologi

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS SASTRA

DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI MEDAN


(3)

PENGESAHAN Diterima oleh:

Panitia Ujian Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara untuk melengkapi salah satu syarat ujian Sarjana Seni dalam bidang Etnomusikologi pada Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara.

Pada tanggal : Hari :

Fakultas Sastra USU Dekan

Dr. Syahron Lubis, M. A NIP. 19511013 1976 03 1 001

Panitia Ujian

No. Nama Tanda Tangan

1. 2. 3. 4. 5.


(4)

DISETUJUI OLEH: FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

Medan, April 2011

DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI Ketua,

Drs. Muhammad Takari, M. Hum, Ph. D NIP. 19651221 199103 1 001


(5)

KATA PENGANTAR

Penulis memanjatkan puji dan syukur kepada Tuhan Yesus Kristus atas segala kasih, berkat, keajaiban dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi dengan judul DESKRIPTIF TARI LIMA SERANGKAI PADA MASYARAKAT KARO. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Seni (SSn) pada Departemen Etnomusikologi Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada kedua orang tua: Riondo Ginting, Amd dan Margaretha Lumbantobing, S. Pd yang merupakan sumber inspirasi dan senantiasa memberi kasih sayang, bimbingan, motivasi, nasihat, bantuan material serta doa yang tidak pernah berhenti kepada penulis.

Penulis selama masa perkuliahan hingga penulisan skripsi ini telah banyak mendapat bimbingan, nasihat, dan dorongan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini:

1. Bapak Dr. Syahron Lubis, M. A, selaku Dekan Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara

2. Bapak Drs. Muhammad Takari, M. Hum, Ph. D dan Ibu Dra. Heristina Dewi, M. Pd, selaku Ketua dan Sekretaris Departemen Etnomusikologi Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara

3. Ibu Dra. Frida Deliana Harahap, M. Si, selaku dosen wali yang telah banyak membantu penulis selama perkuliahan


(6)

4. Bapak Drs. Kumalo Tarigan, M. A dan Ibu Arifni Netrirosa, SST, selaku dosen pembimbing yang telah begitu sabar dalam memberikan bimbingan, arahan, saran, kritik dalam penulisan skripsi ini

5. Kepada dosen-dosen lainnya yang menjadi staf pengajar di Departemen Etnomusikologi yang juga telah membantu penulis dalam menyelesaikan mata kuliah selama masa perkuliahan

6. Bapak Malem Ukur Ginting, Bapak Lukas Tarigan, Abang Herujen Tarigan, bapak dan ibu informan lainnya yang telah bersedia dengan kemurahan hati membantu penulis dalam mengumpulkan data selama melakukan penelitian 7. Adik-adik penulis Irma Renatha Ginting dan Mario Rinaldo Ginting, serta

seseorang yang penulis sayangi Sedra Purba, Amd, yang turut serta memberikan semangat, nasihat, dorongan kepada penulis

8. Teman-teman semasa perkuliahan stambuk 05 dan buat semua orang yang membantu penulis yang tidak dapat disebutkan namanya satu per satu, terima kasih atas semangat, nasihat dan doanya

Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan penulis selanjutnya. Penulis mengucapkan terima kasih dan meminta maaf apabila terdapat kesalahan dalam tulisan yang diluar kesengajaan penulis.

Medan, April 2011 Penulis


(7)

DAFTAR ISI

Kata Pengantar ……….

Daftar Isi ……….

BAB I PENDAHULUAN ………. 1.1 Latar Belakang Masalah ………. 1.2 Pokok Permasalahan ………. 1.3 Tujuan dan Manfaat ………. 1.3.1 Tujuan ………. 1.3.2 Manfaat ………. 1.4 Konsep dan Teori ………. 1.4.1 Konsep ………. 1.4.2 Teori ………. 1.5 Metode Penelitian ………. 1.5.1 Penelitian Lapangan ………. 1.5.2 Studi Kepustakaan ………. 1.5.3 Kerja Laboratorium ……….. BAB II LATAR BELAKANG SOSIAL BUDAYA

2.1 Letak Geografis ……….. 2.2 Asal Usul Masyarakat Karo ……….……….. 2.3 Sistem Kekerabatan ……….………... 2.4 Sistem Agama dan Kepercayaan ……….………... 2.5 Sistem Kesenian ………..…………...


(8)

BAB III DESKRIPSI TARI LIMA SERANGKAI

3.1 Sejarah Tari ……….……… 3.2 Tema Tari ………...……….. 3.3 Struktur Pertunjukan Tari ………..……… 3.4 Struktur Penyajian Tari ………...………

3.4.1 Tempat Penyajian dan Waktu Pementasan ……..………… 3.4.2 Pelaku ………..………. 3.4.3 Tata Rias dan Tata Busana Tari ………...…… 3.4.4 Deskripsi Gerakan Tari ……… 3.5 Alat Musik Pengiring ……… BAB IV MAKNA DAN FUNGSI GERAK TARI LIMA SERANGKAI 4.1 Makna Gerak Tari ………. 4.2 Fungsi Tari ………. BAB V PENUTUP

5.1 Kesimpulan .…...……… 5.1 Saran ………...………..

DAFTAR PUSTAKA ……….

DAFTAR INFORMAN ………..


(9)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Masyarakat Karo adalah salah satu dari beberapa etnis yang terdapat di daerah Propinsi Sumatera Utara. Masyarakat Karo yang tinggal di dataran tinggi Tanah Karo, yang sekarang menjadi wilayah administratif Kabutapen Karo sering disebut sebagai Karo Gugung1.

Koentjaraningrat dalam bukunya Pengantar Ilmu Antropologi (1986), menyebutkan kebudayaan dapat dibagi menjadi tujuh unsur kebudayaan dan salah satu diantaranya adalah yang berhubungan dengan kesenian. Kesenian selalu muncul dalam berbagai upacara tradisional di tengah-tengah masyarakat seperti upacara keagamaan, upacara kematian, upacara perkawinan, dan berbagai macam aktivitas keseharian masyarakat tradisional lainnya. Kesenian sudah menjadi tradisi secara turun temurun mewarisi kekayaan budaya dari para leluhur, yang pada masa lalu merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan pola kehidupan masyarakatnya. Di masyarakat Karo masih banyak hidup kesenian2, dan yang menjadi perhatian penulis dalam penelitian kesenian Karo adalah seni tarinya.

1 Karo Gugung adalah masyarakat karo yang bermukim di dataran tanah tinggi karo. Lihat Pilar

Budaya Karo oleh Sempa Sitepu, dkk (1996;05)

2 Kesenian yang hidup dalam masyarakat Karo sepertiseni sastra, seni musik, seni suara, seni tari, seni lukis, seni pahat, seni drama, seni ukir, seni pakaian (Ose), perhiasan dan kerajinan. Lihat Pilar Budaya Karo oleh Sempa Sitepu, dkk (1996;176-216)


(10)

Menurut buku Pilar Budaya Karo (1996), tari tradisional Karo dilihat dari bentuk dan acara penampilannya dapat dibedakan atas 3 jenis yakni:

1. Tari yang berkaitan dengan adat 2. Tari yang berkaitan dengan religi 3. Tari yang berkaitan dengan hiburan.

Tari Karo terbentuk sejak adanya masyarakat Karo, walaupun tidak diketahui secara tepat kapan adanya masyarakat Karo tersebut. Tari yang diteliti adalah tari Lima Serangkai yang diperkirakan ada sejak tahun 1956 yang merupakan tarian yang bersifat hiburan (wawancara dengan Bpk. M. Ukur Ginting).

Tari Lima Serangkai merupakan tari tradisional, tari tradisional adalah semua tarian yang telah mengalami perjalanan sejarah yang cukup lama, yang selalu bertumpu pada pola-pola tradisi yang telah ada (Soedarsono,1986:93). Tari Lima Serangkai biasanya ditampilkan dalam kegiatan Gendang Guro-guro Aron.

Gendang Guro-guro Aron berasal dari kata Guro-guro dan Aron. Guro-guro

artinya senda gurau atau bermain, sedangkan Aron artinya muda-mudi (usia tidak dibatasi) dalam satu kelompok kerja berbentuk arisan untuk mengerjakan ladang.

Gendang Guro-guro Aron merupakan suatu pertunjukan seni budaya karo yang

dilakukan oleh muda-mudi yang terdapat dalam kelompok kerja yang mengerjakan ladang, dengan menampilkan gendang karo dan perkolong-kolong (penyanyi) diiringi tarian yang dilakukan oleh muda mudi (Skripsi Sarjana Arapenta Barus, Peranan Pemusik Tradisional Pada Masyarakat Karo).


(11)

Pada saat pelaksanaan Gendang Guro-guro Aron, keterlibatan unsur kekerabatan masyarakat Karo yang tergabung pada Rakut Si Telu3 mempunyai peranan yang sangat penting walaupun secara teknis pelaksanaannya dilakukan oleh muda-mudi yang tergabung dalam kelompok aron. Sejak pemerintahan Bupati Karo Matang Sitepu (sekitar tahun 1960-an) tari Lima Serangkai sering difestivalkan, hal yang sama juga terjadi pada masa pemerintahan Bupati Karo Sinar Peranginangin (2000-2005) hampir setiap tahunnya dilakukan festival Tari lima Serangkai oleh instansi-instansi pemerintah, Gereja Batak Karo Protestan (GBKP) atau pun sekolah-sekolah.

Dalam tulisan ini penulis akan menjelaskan tari lima Serangkai dalam konteks pertunjukan festival, karena dimasa sekarang ini lebih sering dilakukan pertunjukan festival dibandingkan dengan penampilan Tari Lima Serangkai dalam Gendang Guro-guro Aron.

Menurut Bpk. M. Ukur Ginting secara koreografi, tari Lima Serangkai merupakan satu tarian yang diiringi lima gendang4 yaitu gendang morah-morah, gendang perakut, gendang patam-patam sereng, gendang sipajok dan gendang

kabangkiung, yang menghasilkan komposisi pola gerak tari dan gerak tersebut

memiliki nilai-nilai estetis dalam penyajiannya. Keindahan dalam suatu tarian tidak terlepas dari unsur pembentuk, maka unsur pembentuk tarian tersebut adalah:

3 Rakut Sitelu pada masyarakat Karo terdiri dari Kalimbub ,Senina dan Anak Beru. Lihat Adat

Karo oleh Darwan Prinst, S.H. (2004;46)

4


(12)

1. Gerak endek (gerak naik turun) 2. Gerak jole (gerak goyang badan)

3. Gerak lampir tan (gerak kelentikan jari)

Dari struktur tari ini ada bagian-bagian gerak yang berkaitan satu dengan yang lainnya dan gerak tersebut dianggap memiliki makna. Bagi masyarakat Karo, gerakan tari (landek) selalu berhubungan dengan perlambangan tertentu. Perlambangan yang dimaksud yaitu menggambarkan makna yang terkandung pada tari Lima Serangkai. Biasanya menceritakan sifat manusia hubungan dengan individu maupun hubungan dengan kehidupan sosialnya. Tari Lima Serangkai ini menceritakan tentang muda mudi yang bertemu dan ertutur (berkenalan) satu dengan yang lainnya, hingga mereka menjalin hubungan dan menuju perkawinan. Walaupun dibeberapa daerah makna tari Lima Serangkai tidak selalu sama, ini dikarenakan perbedaan kebiasaan dan pola pikir masyarakat didaerah tersebut. Pengaruh modernisasi, pendidikan dan lainnya dapat membuat pola pikir masyarakatberubah, sehingga menghasilkan kebiasaan, adat istiadat, tingkah laku, budaya, serta tradisinya sendiri. Seperti yang dikemukakan oleh Koentjaraningrat (1986:160), bahwa masyarakat merupakan kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut sistem adat tertentu yang bersifat kontiniu dan terikat oleh rasa identitas bersama.

Tari Lima Serangkai ditarikan oleh sepasang muda mudi (usia tidak dibatasi), dalam bentuk perkelompok (biasanya 5 pasang muda-mudi). Pertunjukan tari Lima Serangkai menggunakan pakaian adat, beka buluh (laki-laki) dan uis nipes (perempuan). Pakaian adat akan dipakaikan secara


(13)

bersama-sama setelah semua penari sudah berdiri di atas panggung, sambil memasang pakaian tersebut para penari melakukan endek (gerakan naik turun) sesuai iringan musik dalam hitungan tertentu. Bagi penari perempuan uis nipes dilingkarkan dari pundak sebelah kanan menuju bawah lengan sebelah kiri, seperti menggendong anak menggunakan kain panjang. Tetapi dalam hal ini kain yang digunakan adalah kain adat Karo yang disebut uis nipes. Ada 2 buah beka buluh yang digunakan oleh penari laki-laki, yaitu beka buluh yang sudah terpasang di pundak, dan beka buluh yang dipegang didepan dada. Beka buluh yang dipegang didada, pada saat menari akan dilipatkan dikepala membentuk penutup kepala yang disebut bulang-bulang. Pembentukan bulang-bulang itu akan dilakukan bersamaan dengan penari perempuan yang memasangkan uis nipes dipundaknya yang membentuk kain seperti menggendong anak. Bulang-bulang merupakan

beka buluh yang telah berbentuk menyerupai topi untuk penutup kepala.

Banyak tempat di Kabupaten Karo yang tetap menjalankan tradisi karo, salah satunya adalah Kabanjahe. Peneliti memilih Kabanjahe sebagai tempat penelitian tentang kesenian masyarakat karo khususnya seni tari. Lokasi penelitian dipilih dengan perhitungan tempat hidup dan berkembang tari Lima Serangkai. Tari Lima Serangkai hidup di Kabanjahe dan terus berkembang , hal ini dapat dilihat dari beberapa sekolah dan sanggar tari yang tetap mengajarkan tari Lima Serangkai yaitu sanggar Sertali, sanggar Pemkab Karo, dan lain-lain.

Dalam sebuah tarian peranan musik sangat penting, karena bisa dirasakan kehadiran tari tanpa musik terasa hambar dan tidak menarik untuk ditonton. Menurut Soedarsono (1986:109) dikatakan bahwa musik dalam tari bukan hanya


(14)

sekedar iringan, tetapi musik adalah partner tari yang secara langsung dapat mendukung dan memperkuat sajian tari. Begitu juga dalam penyajian tari Lima Serangkai, musik berperan penting sehingga membicarakan hubungan musik dengan tari merupakan hal yang menarik, penggabungan antara tari dan musik merupakan sesuatu hal yang sangat mempengaruhi. Dimana kecepatan gerakan tarian sejalan dengan tempo musik, semakin cepat musik semakin cepat juga para penari menari. Masyarakat Karo memiliki beberapa ensembel musik yaitu ensembel Gendang Telu Sedalanen dan ensembel Gendang Lima Sedalanen.

Menurut Bpk. M. Ukur Ginting untuk penyajian tari Lima Serangkai digunakan ensembel Gendang Lima Sedalanen, yaitu seperangkat alat musik yang terdiri dari gendang singindungi (membranophone konis), gendang singanaki (membranophone konis lebih kecil dari gendang indung), gung (suspended idiophone), penganak (idiophone berpencu lebih kecil dari gung), sarunei (aerophone yang double reed)5. Gendang Lima Sedalanan inilah yang menjadi musik pengiring para penari dalam menyajikan tari Lima Serangkai. Ekstensi musik iringan dalam tari Lima Serangkai merupakan hal yang penting dimana musik menjadi pembentuk suasana dan juga untuk memperjelas tekanan-tekanan gerak. Bunyi sarunei yang berfungsi membawa melodi menjadi tanda dalam pergantian pola gerak tari, dan bunyi gung serta penganak menjadi penentu tempo sebuah repertoar lagu. Semakin dekat jarak antara satu gung dengan pukulan gung berikutnya maka semakin cepat pula tempo lagu itu dimainkan. Semakin cepat tempo dimainkan, maka semakin cepat tempo pergerakan tari tersebut.

5 Pengklasifikasian alat musik menggunakan metode Sachs-Hornbostel, yaitu pengelompokan alat musik berdasarkan sumber getar utamanya.


(15)

Hal-hal di atas menarik perhatian peneliti untuk meneliti dan melihat pertunjukan tari Lima Serangkai pada masyarakat Karo. Dimana semua komponen termasuk tari, musik, perlengkapan serta persiapan yang dilakukan serta hal-hal lain yang mendukung pertunjukan menjadi bahan penelitian yang menarik untuk dibahas. Jadi dalam hal ini penulis akan mengangkat dan mendeskripsikan suatu penampilan tari Lima Serangkai melalui gerakan tari tersebut. Penulis juga tertarik untuk meneliti makna, fungsi tari Lima Serangkai dan peranan musik terhadap tari, dengan latar belakang masalah diatas penulis mengambil judul:

“STUDI DESKRIPTIF TARI LIMA SERANGKAI PADA MASYARAKAT KARO”

1.2 Pokok Permasalahan

Melihat latar belakang yang dipaparkan, maka ada beberapa permasalahan yang menarik untuk dikaji dari topik penelitian ini sehingga penulis membuat pokok permasalahan yaitu:

1. Bagaimana penyajian tari Lima Serangkai pada masyarakat Karo 2. Bagaimana fungsi tari Lima Serangkai pada masyarakat Karo dan

peranan musik terhadap tari tersebut.


(16)

1.3Tujuan dan Manfaat 1.3.1 Tujuan

Setiap kegiatan senantiasa berorientasi pada tujuan. Tanpa ada tujuan yang jelas maka arah kegiatan yang akan dilakukan tidak terarah dan tidak dapat diketahui apa yang hendak dicapai dari kegiatan tersebut. Dalam hal ini sesuai dengan pendapat Muhammad Ali (1987:9) yang mengatakan:

“Kegiatan seseorang dalam merumuskan tujuan penelitian sangat mempengaruhi keberhasilan penelitian yang dilaksanakan, karena penelitian pada dasarnya merupakan titik anjak dari titik tuju yang akan dicapai seseorang dalam kegiatan penelitian yang dilakukan. Itu sebabnya tujuan penelitian harus mempunyai rumusan yang jelas, tegas dan operasional.”

Untuk penulisan ini dirumuskan beberapa hal yang merupakan tujuan, yaitu:

1. Untuk mendeskripsikan tari Lima Serangkai pada masyarakat Karo, baik pola gerak maupun pola lantai tarian tersebut dan mendeskripsikan makna gerak tari Lima Serangkai.

2. Mendeskripsikan keberadaan tari Lima Serangkai pada masyarakat Karo dimasa sekarang ini khususnya muda-mudi.

1.3.2 Manfaat

Manfaat penelitian diharapkan dapat mengisi kebutuhan segala komponen masyarakat baik dari instansi terkait, lembaga-lembaga kesenian maupun praktisi


(17)

kesenian. Setelah melihat dan membaca tujuan diatas maka manfaat yang ingin dicapai dari tulisan ini adalah:

1. Menjadi media informasi dan data tertulis bagi masyarakat umum dan secara khusus bagi masyarakat Karo, mengenai jenis tari tradisi khususnya tari Lima Serangkai pada masyarakat Karo.

2. Sebagai dokumentasi dan bahan literatur dalam disiplin Etnomusikologi berkaitan tentang kesenian Karo terutama dalam seni tari Lima Serangkai pada masyarakat Karo.

3. Pengembangan ilmu pengetahuan di bidang Etnomusikologi yang berusaha untuk mempertahankan nilai-nilai budaya daerah khususnya Karo.

1.4 Konsep dan Teori 1.4.1 Konsep

Konsep merupakan gejala yang paling penting dalam penulisan yang akan digunakan sebagai alat menggambarkan fenomena dengan adanya penjabaran masalah dari kerangka teoritisnya.

Kata studi berasal dari bahasa Inggris yaitu study yang berarti proses belajar atau pembelajaran. Sedangkan deskripsi adalah menceritakan atau menggambarkan apa adanya (Depdikbud 2005:201).

Berbicara tentang tari, tari adalah segala gerak yang berirama atau sebagai segala gerak yang dimaksudkan untuk menyatakan keindahan ataupun kedua-duanya (Tengku Luckman Sinar, 1996:5). Dalam tulisan ini yang penulis maksud


(18)

dengan tari Lima Serangkai adalah tari tradisional Karo yang bersifat hiburan, yang pada masa lampau ditampilkan dalam acara Gendang Guro-guro Aron dan sekarang ini lebih sering difestivalkan. Secara goreografi tari Lima Serangkai merupakan satu tarian yang diiringi lima gendang yaitu gendang morah-morah, gendang perakut, gendang patam-patam sereng, gendang sipajok dan gendang

kabangkiung, yang menghasilkan komposisi pola gerak tari dan gerak tersebut

memiliki nilai-nilai estetis dalam penyajiannya. Tarian ini dilakukan oleh penari yang berpasangan (laki-laki dan perempuan). Tari Lima Serangkai bukan hanya sekedar tarian yang menghibur tetapi juga memiliki makna pada gerak tarinya. Tari tersebut menceritakan tentang muda-mudi yang berkenalan (ertutur), kemudian menjalin hubungan hingga akhirnya menuju perkawinan. Dalam menampilkan tari Lima Serangkai digunakan alat musik tradisional sebagai musik pengiringnya, yang terdiri dari gendang singindungi, gendang singanaki, gung,

penganak, sarunei, yang kesemuanya ini sering disebut Gendang Lima Sedalanen.

Masyarakat Karo terdiri dari 2 bagian besar, yaitu masyarakat Karo Gugung dan masyarakat Karo Jahe. Masyarakat yang penulis maksud dalam tulisan ini adalah masyarakat Karo Gugung. Masyarakat Karo Gugung adalah orang Karo yang mendiami dataran tinggi (pegunungan) tanah Karo (taneh Karo), sedangkan masyarakat Karo Jahe ialah sebagian masyarakat Karo yang tinggal di dataran rendah wilayah Langkat dan Deli Serdang. Hal yang diakui secara umum, baik orang Karo Gugung maupun orang Karo Jahe adalah kenyataan bahwa Karo

Gugung di anggap sebagai pusat kebudayaan Karo6.

6Laporan penelitian Keterikatan “Endek” Terhadap Gong Pada Tari Guro-guro Aron Karo, oleh Drs. Bebas Sembiring, dkk. (1994:1).


(19)

Kelompok masyarakat secara umum memiliki kebiasaan, adat istiadat, tingkah laku, budaya, serta tradisinya sendiri. Seperti yang dikemukakan oleh Koentjaraningrat (1986:160) bahwa masyarakat merupakan kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut sistem adat tertentu yang bersifat kontiniu dan terikat oleh rasa identitas bersama.

Tari Lima Serangkai merupakan komposisi tari pada masyarakat Karo yang dijadikan menjadi satu tarian yang menggambarkan rasa ekspresif dari pada masyarakat Karo untuk mengatakan keindahan.

1.4.2 Teori

Landasan teori yang dimaksud adalah sebagai pedoman berpikir dalam melaksanakan penelitian atau sebagai landasan dalam melaksanakan penelitian yang merumuskan suatu uraian teoritis dari suatu masalah yang akan dipecahkan. Untuk pembahasan tari Lima Serangkai, penulis mempergunakan teori-teori yang relevan serta mendukung tulisan sebagai acuan untuk menjawab permasalahan yang akan dibahas dalam tulisan ini.

Menurut Murgiyanto (1996:156) kata seni pertunjukan secara umum memiliki arti tontonan yang bernilai seni, seperti drama, tari, musik yang disajikan secara khusus di depan penonton. Dalam mendeskripsikan tari Lima Serangkai penulis juga menggunakan teori Milton Siger (MSPI, 1996:164-165)7 yang menjelaskan bahwa pertunjukan selalu memiliki: (1) Waktu pertunjukan yang

7

Skripsi Sarjana Analisis Pertunjukan Tari Piring Pada Upacara Perkawinan Adat Masyarakat Minangkabau Di Kota Medan, oleh Flora Hutagalung (2009:11).


(20)

terbatas, (2) Awal dan akhir, (3) Acara kegiatan yang terorganisir, (4) Sekelompok pemain, (5) Sekelompok penonton, (6) Tempat pertunjukan dan, (7) Kesempatan untuk mempertunjukkannya.

Bentuk adalah wujud dan susunan yang ditampilkan dan pengertian penyajian yang kata dasarnya saji yaitu mempersembahkan, sedangkan penyajian mengandung arti yaitu proses, cara dan perbuatan menyajikan (Kamus Besar Bahasa Indonesia 2005:135,979). Dari pengertian diatas yang dimaksud dengan bentuk penyajian dalam penelitian ini adalah susunan cara menyajikan tari Lima Serangkai pada masyarakat Karo. Bentuk penyajian tersebut dapat mengarah kepada elemen-elemen tari yaitu:

1. Tema 2. Gerak

3. Iringan Musik 4. Tata Rias 5. Tata Busana 6. Tempat (Pentas)

Fungsi adalah kegunaan atau tujuan. Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia (W. J. S. Poerwadarminta 1972:22), fungsi adalah pekerjaan yang dilakukan untuk mencapai tujuan.

Menurut Soedarsono (1972:22), tari dapat berfungsi sebagai:

a. Sarana upacara keagamaan yang masih kuat dengan unsur kepercayaan kuno.


(21)

b. Sarana untuk mengungkapkan perasaan emosional (kegembiraan) dan pergaulan.

c. Sarana pertunjukan untuk memberikan hiburan atau kepuasan batin manusia.

Sejalan dengan pendapat Soedarsono bahwa tari Lima Serangkai termasuk dalam fungsi mengungkapkan kegembiraan, pergaulan, dan hiburan.

Bagi masyarakat Karo gerakan tari (landek) selalu berhubungan dengan perlambangan tertentu, yang menggambarkan sifat manusia hubungan dengan individu maupun hubungan dengan kehidupan sosialnya. Gerak tari juga memiliki unsur-unsur pembentuk yang membuat tari Lima Serangkai menjadi indah dan memiliki nilai-nilai estetis. Unsur pembentuk tari Lima Serangkai adalah:

1. Gerak endek (gerak naik turun) 2. Gerak jole (gerak goyang badan)

3. Gerak lampir tan (gerak kelentikan jari)

Untuk menggambarkan makna yang terkandung pada pertunjukan tari Lima Serangkai, penulis menggunakan pendekatan yang dikatakan Soedarsono (1972:81-98) yang mengatakan bahwa tari adalah seni yang memiliki substansi dasar yaitu gerak yang telah diberi bentuk ekspresif dimana gerakan itu memiliki hal-hal yang indah dan menggetarkan persaan manusia, yang didalamnya mengandung maksud-maksud tertentu dan juga mengandung maksud-maksud simbolis yang sukar untuk dimengerti.

Dalam meneliti gerak tari tersebut terdapat teori Notasi Laban yang membahas secara detail bentuk dan polanya, akan tetapi mengingat penulis tidak


(22)

memfokuskan secara detail pada gerak tari dan penulis tidak bergerak dibidang tari, maka dalam tulisan ini penulis akan menggunakan lambang-lambang umum dan sederhana yang dapat mewakilkan pola gerak tari Lima Serangkai.

Untuk membahas aspek musik, penulis menggunakan teori Bruno Nettl (1964:131) mengatakan bahwa untuk mendapatkan seluruh benda musikal harus dilakukan analisis: perbendaharaan nada, modus, ritem, nada dasar, bentuk, dan tempo.

Sesuai dengan landasan teori yang diuraikan di atas, penelitian dan pengkajian Studi Deskriptif Tari Lima Serangkai Pada Masyarakat Karo merupakan ulasan menyeluruh dari berbagai aspek disiplin ilmu seni. Tari Lima Serangkai memiliki makna sebagai ungkapan tertentu yang mewakili zamannya. Tari Lima Serangkai merupakan suatu pola budaya yang tumbuh dan dapat dikaji dari dua kategori yakni sebagai produk dan proses. Sebagai produk budaya, dapat dikaji dari bentuk penyajian dan nilai estetisnya. Sedangkan sebagai proses budaya yakni, tari Lima Serangkai bisa dipahami bahwa keberadaannya merupakan proses perilaku manusia beserta lingkup budaya yang mengiringinya.

1.5 Metode Penelitian

Dalam melakukan penelitian penulis mengacu pada pendapat Nettl (1964:62) yang mengatakan ada 2 hal yang esensial untuk melakukan aktivitas penelitian dalam disiplin etnomusikologi, yaitu kerja lapangan (field work) dan kerja laboratorium (desk work). Koentjaraningrat (1991:6) menyebutkan bahwa


(23)

metode adalah cara kerja untuk dapat memahami obyek yang menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan.

Penulis menggunakan metode penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif, yaitu sebuah metodologi penelitian yang mencakup pandangan-pandangan falsafi mengenai disiplin inquiry dan mengenai realitas obyek studi dalam ilmu-ilmu sosial dan tingkah laku (Sanapiah, 1990:1)

Untuk mendapat data yang akurat, penulis mengadakan: 1). Penelitian lapangan, dengan cara melihat langsung Festival Tari Lima Serangkai yang dilaksanakan di Open Stage Berastagi, dan Festival tari Lima Serangkai yang dilaksanakan di Hotel Sibayak Berastagi. 2). Studi kepustakaan dan 3). Kerja Laboratorium.

1.5.1 Penelitian Lapangan

Dalam penelitian lapangan, penulis mengadakan observasi dan wawancara, dimana wawancara yang penulis lakukan yaitu wawancara terbuka dan tidak berstruktur (Maleong, 2002:137-139). Dengan demikian penulis dapat mengumpulkan data-data yang dibutuhkan dalam penelitian ini.

Pengamatan penulis lakukan secara langsung, namun segala kekurangan atau hal-hal yang meragukan saat penelitian segera penulis tanyakan terhadap informan.


(24)

Menurut Narbuko dan Achmadi observasi atau pengamatan adalah alat pengumpulan data yang dilakukan dengan cara mengamati dan mencatat secara sistematik.... (2001:70)

Untuk mendapat data-data yang diperlukan penulis melakukan observasi secara langsung. Observasi secara langsung dimaksudkan untuk mencari gambaran yang nyata terhadap keberadaan tari Lima Serangkai di Kecamatan Kabanjahe Kabupaten Tanah Karo, usaha ini dimaksudkan untuk melihat sejauh mana latar belakang dan keberadaan tari Lima Serangkai. Adanya observasi-observasi ini semakin dapat diyakinkan adanya data-data yang diperlukan sebagai bahan yang dapat dikenali adanya indikasi tertentu.

Untuk mendukung hasil penelitian dari observasi yang dilakukan, penulis mengadakan wawancara langsung dengan narasumber. Wawancara yaitu mendapatkan informasi dengan bertanya secara langsung kepada subjek peneliti. Sebagai modal awal penulis berpedoman pada pendapat Koentjaraningrat (1981:136) yang menyatakan:

“Kegiatan wawancara secara umum dapat dibagi 3 kelompok yaitu: persiapan wawancara, tehnik bertanya dan pencatatan data hasil wawancara”.

Koentjaraningrat (1981:139) juga mengemukakan bahwa wawancara itu sendiri terdiri dari beberapa bagian yaitu:

Wawancara terfokus, bebas dan sambil lalu. Dalam wawancara berfokus diskusi berpusat pada pokok permasalahan. Dalam wawancara bebas diskusi


(25)

berlangsung dari satu masalah ke masalah lain tetapi tetap menyangkut pada pokok permasalahan. Wawancara sambil lalu adalah diskusi-diskusi yang dilakukan untuk menambah/melengkapi data yang sudah terkumpul.

Sesuai dengan pendapat dari Koentjaraningrat mengenai kegiatan wawancara maka sebelum wawancara penulis telah mempersiapkan hal-hal yang berhubungan dengan kegiatan wawancara demi kelancarannya seperti alat tulis, daftar pertanyaan dan tape recorder/handycam. Materi pertanyaan yang penulis arahkan adalah yang berkaitan dengan pertunjukan tari Lima Serangkai. Pertanyaan itu penulis kembangkan untuk menjaring data dan keterangan yang lebih banyak sebagaimana kebutuhan penelitian ini. Wawancara menjadi salah satu proses pengumpulan data yang cukup jelas, sebab melalui wawancara dapat ditanyakan secara langsung kondisi yang sebenarnya tentang tari Lima Serangkai.

Penulis juga mengumpulkan data dari beberapa penari, pemusik dan pelatih tari. Sebelum melakukan wawancara, penulis terlebih dahulu menetapkan informan yang dapat memberikan informasi yang mendukung tulisan.

Terdapat dua jenis informan, yaitu informan pangkal dan informan pokok (Koentjaraningrat, 1997:163-164). Sebagai awal penulis melakukan penelitian ini adalah mencari informasi melalui wawancara dengan informan pangkal, yaitu Bapak Kumalo Tarigan selaku dosen Etnomusikologi. Melalui beliau, penulis mendapatkan informan yang dapat dijadikan sebagai informan kunci, yaitu Bapak Malem Ukur Ginting. Penulis juga melakukan wawancara dengan Bapak Seter Ginting (panarune), Bapak Lukas Tarigan seorang guru kesenian di sebuah


(26)

sekolah negeri di Kabanjahe dan merupakan pelatih tari Lima Serangkai. Penulis tidak terfokus pada satu informan saja tetapi juga mencari informan lain yang terlibat dalam pertunjukan tersebut (para penari, pelatih dan pemusik).

Hasil wawancara dengan informan, penulis mengabadikan dalam pita kaset MAXXEL 60 IEC TYPE I yang berdurasi 60 menit dan juga menggunakan tape Recorder Sony TCM-150. Selain itu penulis juga mengabadikan hasil wawancara dalam pita kaset Mini DV MAXXEL dan Mini DV SONY yang berdurasi 60 menit dengan menggunakan Handycam JVC GR-D820E.

1.5.2 Studi Kepustakaan

Sehubungan dengan penelitian yang dilakukan, penulis juga mencari keterangan dan data-data dari berbagai sumber termasuk buku-buku, majalah, koran dan sebagainya. Melalui segala keterbatasan dan kemampuan yang penulis miliki, data-data dan keterangan sengaja penulis cari sebanyak-banyaknya. Hal ini penulis maksudkan untuk menjaring data dan keterangan yang dapat dipakai untuk melengkapi materi penulisan ini.

Mengingat buku-buku dan majalah yang berkenaan dengan tari Lima Serangkai tidak penulis temukan, maka akhirnya proses dan analisis data hanya mengandalkan sumber-sumber yang ada. Studi kepustakaan hanya digunakan untuk mendukung proses dan analisa dari data-data yang telah ada. Diantaranya , yaitu buku Pilar Budaya Karo oleh Sempa Sitepu,dkk yang membahas tentang adat istiadat Karo, skripsi mahasiswa Etnomusikologi seperti Arapenta Barus


(27)

tentang pemusik tradisional Karo, skripsi Flora Hutagalung yang membahas tentang tari Piring masyarakat Minangkabau, Indra Juli H. Hutapea tentang tari Manulangat masyarakat Papak Suak Pegagan, jurnal penelitian, dan lain-lain.

Berkaitan dengan materi penelitian ini penulis lebih mengarah kepada studi kepustakaan mengenai seni pertunjukan dalam seni tari beserta elemen-elemen pokoknya.

1.5.3 Kerja Laboratorium

Semua data yang telah diperoleh dari penelitian lapangan dan studi kepustakaan akan dianalisis untuk selanjutnya diadakan penyeleksian agar selesai dengan pembahasan sehingga menghasilkan suatu tulisan yang baik dalam melakukan penelitian. Ketika penulis terbentur pada masalah kekurang jelasan data-data, maka untuk mengatasi hal tersebut penulis mengulang-ulang hasil rekaman yang telah dilakukan, kemudian dicatat dan diklasifikasikan.

Data-data yang penulis dapatkan kemudian disusun dan diatur kembali untuk mendapatkan hasil yang diperlukan. Pengumpulan data dilakukan secara bertahap dengan melakukan beberapa kali pengamatan dan wawancara. Untuk mentranskrip musik, penulis melakukan perekaman dan kemudian hasil rekaman didengarkan secara berulang-ulang, sehingga menghasilkan data yang akurat. Hasil rekaman diolah kembali dalam program Sibelius, untuk menuliskan bunyi musik kedalam bentuk not balok secara rapi.


(28)

Hasil-hasil dari pengolahan dan analisis tersebut disusun secara sistematis dengan menggunakan metode deskriptif kualitatif, sehingga hasilnya dapat dilihat dalam satu bentuk laporan ilmiah atau skripsi.


(29)

BAB II

LATAR BELAKANG SOSIAL BUDAYA

2.1 Letak Geografis

Masyarakat Karo berada di daratan tinggi Tanah Karo yang sekarang menjadi wilayah administratif Kabupaten Karo. Secara geografis letak Kabupaten Karo berada diantara 2°50’-3°19’ Lintang Utara dan 97°55’-98°38’ Bujur Timur dengan luas 2.127,25 Km². Wilayah Kabupaten Karo berada pada ketinggian 120-1400 M di atas permukaan laut. Kabupaten Karo memiliki batas-batas wilayah sebagai berikut:

•Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Langkat dan Kabupaten Deli Serdang

•Sebelah Selatan dengan Kabupaten Dairi dan Kabupaten Samosir

•Sebelah Timur dengan Kabupaten Deli Serdang dan Kabupaten Simalungun

•Sebelah Barat dengan Propinsi Nangroe Aceh Darussalam

Kabanjahe merupakan salah satu Kecamatan yang ada di Kabupaten Karo. Luas wilayah Kecamatan Kabanjahe adalah 44,65 km2, sebagian besar dari wilayah kecamatan ini digunakan sebagai tempat pemukiman penduduk, lahan pertanian dan perkebunan. Kabanjahe memiliki batas-batas wilayah, yaitu:


(30)

• Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Berastagi

•Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Simpang Empat • Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Munte

• Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Tigapanah

Berdasarkan data statistik yang diperoleh dari BPS Kab. Karo, Kecamatan Kabanjahe memiliki jumlah penduduk sebanyak 56.516 jiwa dengan 20.580 kepala keluarga dan terdiri dari beraneka ragam etnis seperti Karo, Jawa, Minang, Batak Toba dan lainnya. Sebagai pusat pemerintahan kecamatan, kecamatan Kabanjahe memilki 13 desa/ kelurahan yang dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

a) Desa Lau Simomo b) Desa Kandibata c) Desa Kacaribu d) Desa Lau Cimba e) Desa Padang Mas f)Desa Gung Leto g) Desa Gung Negeri h) Desa Samura i)Desa Ketaren

j)Desa Kampung Dalam k) Desa Rumah Kabanjahe l)Desa Kaban


(31)

m) Desa Sumber Mufakat

2.2 Asal Usul Masyarakat Karo

Berbicara mengenai bagaimana dan dari mana sebenarnya asal mula terbentuknya suku Karo, hingga saat ini kelihatannya masih perlu dikaji lebih dalam. Banyak pendapat yang disampaikan oleh para ahli dan tokoh, tetapi masih dalam perkiraan menurut legenda dan silsilah cerita lisan.

Di dalam buku Leluhur, Marga-marga Batak Dalam Sejarah, Silsilah dan

Legenda, Drs. Richard Sinaga menulis bahwa semua etnis Batak berasal dari

keturunan si Raja Batak yang merupakan cikal-bakal suku Batak dan kemudian berkembang menjadi suku Batak dan kemudian berkembang menjadi sub etnis, yaitu: Toba, Karo, Mandailing, Simalungun, Pakpak dan Angkola, bahkan etnis Nias juga disebut-sebut memiliki keterkaitan dengan Batak, sekalipun bahasa suku Nias sangat jauh berbeda dari bahasa etnis batak lainnya.

Menurut silsilahnya, si Raja Batak memiliki tiga orang anak yakni Guru Tateambulan, Raja Isumbaon, dan Toga Laut. Dari Guru Tateambulan kemudian pada generasi IV lahir keturunannya yang merupakan lima induk marga Batak Toba yakni: Lontung, Borbor, Naiambaton, Nairasaon, dan Naisuanon. Sedangkan dari Raja Isumbaon lahir tiga orang keturunannya yakni: Tuan Sorimangaraja, Raja Asi-asi, dan Sangkar Somalindang. Konon dua orang anak laki-laki Raja Isumbaon yaitu Raja Asi-asi dan Sangkar Somalindang pergi merantau ke Dairi dan kemudian ke Tanah Karo. Diperkirakan salah satu dari mereka atau salah satu dari generasi mereka itulah bernama Nini Karo yang


(32)

menjadi leluhur Batak Karo. Tetapi tidak disebutkan dari generasi keberapa Nini Karo lahir.

Sementara itu, Bapak Kol. (Purn) Sempa Sitepu dalam buku Sejarah Pijer

Podi, Adat Nggeluh Suku Karo Indonesia menuliskan secara tegas etnis Karo

bukan berasal dari si Raja Batak. Ia mengemukakan silsilah etnis Karo yang diperoleh dari cerita lisan secara turun temurun dan sampai kepada beliau yang didengar sendiri dari kakeknya yang lahir sekitar tahun 1838. Menurutnya, leluhur etnis Karo berasal dari India Selatan berbatasan dengan Mianmar. Seorang Maha Raja berangkat dengan rombongan yang terdiri dari anak, istri (dayang-dayang), pengawal, prajurit, beserta harta dan hewan peliharaannya. Ia bermaksud mencari tempat baru yang subur dan mendirikan kerajaan baru. Tidak disebutkan kapan peristiwa itu terjadi, namun dikatakan seorang pengawalnya yang sakti bernama si Karo, yang kemudian kawin dengan salah satu putri Maha Raja yang bernama Miansari. Didalam perjalanan mereka diterpa angin ribut dan rombongan ini menjadi terpencar dan akibatnya ada yang terdampar dipulau (Berhala). Dalam peristiwa itulah si Karo dan Miansari berpisah dari rombongan yang terdiri dari tujuh orang. Menggunakan rakit kemudian rombongann sampai disebuah pulau yang diberi nama “Perbulawanen” yang berarti “perjuangan” yang sekarang dikenal sebagai daerah Belawan. Dari sana mereka terus menelusuri sungai Deli dan Babura dan akhirnya sampai disebuah gua Umang di Sembahe. Setelah beberapa waktu mereka tinggal didataran tinggi itu dan merasa cocok akhirnya mereka memutuskan untuk tinggal disana. Dan dari sanalah asal mula perkampungan didataran tinggi Karo.


(33)

Dari perkawinan si Karo (nenek moyang Karo) dengan Miansari lahir tujuh orang anak. Anak sulung hingga anak keenam semuanya perempuan, yaitu:

Corah, Unjuk, Tekang, Girik, Pagit, Jile dan akhirnya lahir anak ketujuh seorang

laki-laki diberi nama Meherga yang berarti berharga atau mehaga (penting) sebagai penerus. Dari sanalah akhirnya lahir Merga bagi orang Karo yang berasal dari ayah (pathrilineal) sedangkan bagi anak perempuan disebut Beru berasal dari kata diberu yang berarti perempuan.

Merga akhirnya kawin dengan anak Tarlon yang bernama Cimata. Tarlon merupakan saudara bungsu dari Miansari (istri Nini Karo). Dari Merga dan Cimata kemudian lahir lima orang anak laki-laki yang namanya merupakan lima induk merga etnis Karo, yaitu:

1. Karo. Diberi nama Karo tujuannya bila nanti kakeknya (Nini Karo) telah tiada Karo sebagai gantinya sebagai ingatan. Sehingga nama leluhurnya tidak hilang.

2. Ginting, anak kedua.

3. Sembiring, diberi nama si mbiring (hitam) karena dia merupakan yang paling hitam diantara saudaranya.

4. Peranginangin, diberi nama peranginangin karena ketika ia lahir angin berhembus dengan kencangnya (angin puting-beliung).


(34)

Bagan Sejarah Merga menurut Kol. Sempa Sitepu

Dikutip dari Buku : Orang Karo diantara Orang Batak , Hal 5 .Marthin L.Peranginangin

Pada perkembangannya, keturunan merga membentuk sub-sub merga yang baru sehingga terdapat banyak merga-merga pada etnis Karo. Sub-sub merga ini berkembang akibat migrasinya para keturunan Nini Karo kedaerah lain, sebab kampung mula-mula semakin lama semakin padat, dan akibat terjadi perkawinan dengan etnis lain dari daerah lain.

Nini Karo + Miansari

Corah Unjuk Tekang Girik Pagit Jile Meherga +

Cimata


(35)

2.3 Sistem Kekerabatan.

Setiap masyarakat memiliki suatu sistem kemasyarakatan yang mana sistem tersebut berfungsi untuk mengatur kehidupan masyarakat tersebut. Tatanan kehidupan bermasyarakat didalam masyarakat Karo yang paling utama adalah suatu sistem yang dikenal dengan Merga Silima. Merga berasal dari kata meherga (mahal), merga ini menunjukkan identitas dan sekaligus penentuan sistem kekerabatan orang Karo. Menurut keputusan Kongres Budaya Karo tahun 1995 di Berastagi, salah satu keputusan yang diambil adalah merga-merga yang terdapat dalam Merga Silima adalah: Ginting, Karo-karo, Tarigan, Sembiring, dan Perangin-angin.

Sementara Sub Merga dipakai dibelakang Merga, sehingga tidak terjadi kerancuan mengenai pemakaian Merga dan Sub Merga tersebut. Berikut akan disajikan Merga dan pembagiannya8:

1. Ginting: Pase, Munthe, Manik, Sinusinga, Seragih, Sini Suka, Babo, Sugihen, Guru Patih, Suka, Beras, Bukit, Garamat, Ajar Tambun, Jadi Bata, Jawak, Tumangger, Capah.

2. Karo-karo: Purba, Ketaren, Sinukaban, Karo-karo Sekali, Sinuraya/ Sinuhaji, Jong/ Kemit, Samura, Bukit, Sinulingga, Kaban, Kacaribu, Surbakti, Sitepu, Barus, Manik.


(36)

8Lihat Lentera Kehidupan Orang Karo Dalam Berbudaya Oleh Sarjani Tarigan (2009;98)

3. Tarigan: Tua, Bondong, Jampang, Gersang, Cingkes, Gana-gana, Peken, Tambak, Purba, Sibero, Silangit, Kerendam, Tegur, Tambun, Sahing.

4. Sembiring: Kembaren, Keloko, Sinulaki, Sinupayung, Brahmana, Guru Kinayan, Colia, Muham, Pandia, Keling, Depari, Bunuaji, Milala, Pelawi, Sinukapor, Tekang.

5. Perangin-angin: Sukatendel, Kuta Buloh, Jombor Beringen, Jenabun, Kacinambun, Peranginangin Bangun, Keliat, Beliter, Mano, Pinem, Sebayang, Laksa, Penggarun, Uwir, Sinurat, Pincawan, Singarimbun, Limbeng, Prasi. Dalam perkembangan lebih lanjut, maka merga itu berperan dalam menentukan hubungan kekerabatan antara masyarakat Karo. Garis keturunan yang berlaku pada masyarakat Karo adalah Patrilineal ( garis keturunan ayah). Oleh karena itu setiap orang Karo, pria maupun wanita mempunyai merga menurut merga ayahnya sedangkan untuk perempuan merga ayah ini disebut beru. Bagi masyarakat Karo, hubungan garis keturunan ini dikenal dengan sebutan tutur.

Tutur adalah penarikan garis keturunan (lineage) baik dari keturunan ayah

(patrilineal) maupun dari garis keturunan ibu (matrilineal) yang memiliki enam lapis, seperti yang terlihat dalam bagan berikut.


(37)

Ket : O = Pria X = Wanita

Bagan Sistem Kekerabatan Pada Masyarakat Karo Dikutip Dari Buku : Adat Karo, Hal 15, Darwan Prinst.

Penjelasan:

1. Merga/ Beru adalah nama keluarga yang diberikan (diwariskan) bagi seseorang dari nama keluarga ayahnya secara turun temurun khususnya anak laki-laki. Sedangkan bagi anak perempuan merga ayahnya tidak diwariskan bagi anaknya kemudian. Merga/ Beru anaknya berasal dari nama keluarga suaminya kelak.

2. Bere-bere adalah nama keluarga yang diwarisi seseorang dari beru ibunya.

X Kampah X Soler

X Binuang X Kempu

AKU

Bere-bere Merga


(38)

3. Binuang adalah nama keluarga yang diwarisi seorang suku Karo dari bere-bere ayahnya. Dengan kata lain binuang merupakan beru dari nenek (orang tua ayah).

4. Kempu (perkempun) adalah nama keluarga yang diwarisi seseorang dari bere-bere ibu. Dengan kata lain kempu (perkempun) berasal dari beru nenek (ibu dari ibu) yang dikenal juga sebagai Puang Kalimbubu dalam peradatan dalam masyarakat Karo.

5. Kampah adalah nama keluarga yang diwarisi seseorang yang berasal dari beru yang dimiliki oleh nenek buyut (nenek dari ayah).

6. Soler adalah nama keluarga yang diwarisi seseorang beru empong (nenek dari ibu).

Dewasa ini dalam pergaulan sehari-hari yang umum dipergunakan biasanya hingga lapis kedua yaitu bere-bere. Sedangkan untuk lapisan tiga hingga enam biasa diperlukan dalam suatu upacara adat seperti perkawinan, masuk rumah baru, atau pada peristiwa kematian dan acara adat lainnya.

Setelah sistem kekerabatan dapat ditentukan dengan seorang Karo lainnya melalui ertutur ini, maka jalinan hubungan kekerabatan itu dapat dikelompokkan menjadi tiga ikatan yang dikenal dengan istilah Rakut Si Telu (ikatan yang tiga).

Kalimbubu Senina


(39)

Rakut si telu pada masyarakat Karo terdiri dari:

a. Kalimbubu adalah kelompok pemberi dara bagi keluarga (merga) tertentu b. Senina adalah orang yang bersaudara atau orang-orang yang satu kata

dalam permusyawaratan adat.

c. Anak beru berarti anak perempuan dan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Karo dikenal sebagai kelompok yang mengambil istri dari keluarga (merga) tertentu.

Kemudian orang Karo juga mengenal istilah Tutur Si Waluh yang sebenarnya kurang tepat artinya. Tutur itu ada 23, sedangkan yang disebut waluh (delapan) adalah sangkep nggeluh. Jadi sebenarnya sangkep nggeluh si waluh (delapan kelengkapan hidup), yang merupakan pengembangan fungsi dari rakut si telu.

Sangkep nggeluh si waluh itu antara lain adalah: pertama, pengembangan

dari tegun kalimbubu adalah (1) puang kalimbubu, dan (2) kalimbubu. Kedua, pengembangan dari tegun senina adalah (1) senina, (2) sembuyak, (3) senina sepemeren, dan (4) senina siparibanen. Ketiga, pengembangan dari tegun anak beru adalah (1) anak beru dan (2) anak beru menteri. Kesemuanya ini yang disebut sebagai sangkep nggeluh si waluh dalam masyarakat Karo.

2.4 Sistem Agama Dan Kepercayaan.

Masyarakat di kecamatan Kabanjahe pada umumnya telah memeluk beberapa agama yang diakui di Indonesia, yaitu: Islam, Khatolik, Kristen Protestan dan Budha. Penduduk di kecamatan Kabanjahe mayoritas memeluk


(40)

agama Kristen Protestan dan selebihnya adalah agama lain. Ada beberapa tempat pelaksanaan ibadah di kecamatan Kabanjahe yaitu Gereja/ Capel, Mesjid, dan Vihara. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel dibawah ini.

Tabel.5. Komposisi Penduduk Menurut Agama.

No

Agama dan Kepercayaan

Jumlah

1. Islam 11.480 jiwa

2. Katholik 9.576 jiwa

3. Kristen Protestan 32.693 jiwa

4. Budha 771 jiwa

5. Lainnya 31 jiwa

Sumber: Kantor Camat Kabanjahe Tahun 2010

Tabel.6. Komposisi Jumlah Tempat Ibadah

No

Nama Tempat Ibadah

Jumlah

1. Mesjid 22 unit

2. Gereja 55 unit

3. Vihara 1 unit


(41)

2.5. Sistem Kesenian.

Menurut Koentjaraningrat (1982:395-397), kesenian merupakan ekspresi manusia terhadap keindahan, dalam kebudayaan suku-suku bangsa yang pada mulanya bersifat deskripsif. Masyarakat Karo memiliki berbagai macam bentuk kesenian yaitu seni sastra, seni musik, seni tari, seni suara dan seni rupa (pakaian, perhiasan dan kerajinan).

Seni suara merupakan suatu bentuk karya seni yang dapat dinikmati manusia melalui pendengaran, seperti seni vokal, seni instrumental, dan seni sastra. Seni vokal yang berkembang pada masyarakat Karo, yaitu berupa rengget (nyanyian), ngandung, sedangkan seni suara melalui instrument ada gong,

penganak, keteng-keteng, sarunei, gendang singanaki, gendang singindungi,surdam, dan lain-lain. Seni sastra, masyarakat Karo sering

menyebutnya Cakap Lumat yang terdiri dari pepatah, perumpamaan, pantun dan gurindam.. seni sastra jenis yang lain adalah anding-andingen (sindiran),

bintang-bintang (mirip pantun), bilang-bilang (cetusan rasa sedih) cerita berupa mithos,

epos, legenda dan cerita rakyat.

Seni rupa adalah suatu bentuk kesenian yang dapat dinikmati melalui penglihatan (mata). Pada masyarakat Karo kesenian ini dapat dilihat dari ukiran-ukiran. Ukiran Karo biasanya dibuat dan ditempatkan oleh para ahlinya pada:

a. Berbagai bangunan tradisional Karo seperti: rumah adat, geriten,

jambur dan gereta guro-guro aron.

b. Benda-benda pakai seperti: gantang beru-beru, cimba lau, abal-abal,


(42)

c. Berbagai pakaian adat Karo seperti: uis kapal, uis nipes dan baju. d. Berbagai benda perhiasan seperti: gelang, cincin, kalung, pisau dan

ikat pinggang.

Seni tari dan gerak merupakan gabungan antara seni rupa dan seni suara yang dapat dinikmati oleh manusia melalui mata maupun telinga. Seni tari yang berkembang di masyarakat Karo dilihat dari bentuk dan acara penampilannya dapat dibedakan atas 3 jenis yaitu:

a. Tari yang berkaitan dengan adat seperti pada pesta perkawinan, acara kematian, acara memasuki rumah baru. Tari adat biasanya dilakukan bersama kelompok merga atau kelompok Sangkep Nggeluh, dimana tujuan tari ini adalah sebagai suatu adat dengan penuh penghormatan. b. Tari yang berkaitan dengan religi seperti tari Mulih-mulih, tari

Tungkat, tari Erpangir Ku Lau, tari Baka, tari Begu Deleng, tari Muncang dan lain-lain.

c. Tari yang berkaitan dengan hiburan dapat digolongkan sebagai tarian umum. Tari yang bersifat hiburan dibawakan oleh sepasang atau lebih muda mudi, biasa juga dilakukan secara kelompok (aron). Contohnya tari Gundala-gundala, tari Ndikkar (Mayan), tari Lima Serangkai, tari Piso Surit, tari Terang Bulan, tari Roti Manis dan tari Nuan Page.


(43)

BAB III

DESKRIPSI TARI LIMA SERANGKAI

3.1 Sejarah Tari

Tari Lima Serangkai diperkirakan tercipta sekitar tahun 1960, menurut Sempa Sitepu,dkk dalam bukunya Pilar Budaya Karo (1996:200). Menurut narasumber Bpk. Malem Ukur Ginting dalam wawancara manyatakan bahwa tari Lima Serangkai sudah ada sejak masyarakat suku Karo mengetahui tari kira-kira tahun 1956. Jadi dapat disimpulkan bahwa tari Lima Serangkai muncul sekitar tahun 1956-1960.

Tari Lima Serangkai merupakan salah satu tari yang berfungsi sebagai hiburan, seperti yang telah dikemukakan oleh salah satu pakar tari yaitu Soedarsono yang menyatakan bahwa fungsi tari terbagi atas tiga yaitu: tari sebagai upacara, tari sebagai pertunjukan, dan tari sebagai hiburan (Soedarsono, 1972:22). Ada beberapa tari taradisi yang berfungsi sebagai hiburan selain tari Lima Seranngkai dari etnis Karo, seperti: tari Piso Surit, tari Terang Bulan, tari Ndikkar, tari Gundala-gundala, tari Roti Manis, dan lain-lain (Sempa Sitepu,dkk, 1996:200).

3.2 Tema Tari

Tema dalam tarian Lima Serangkai adalah unsur yang ada. Maksud unsur yang ada adalah merupakan kejadian atau pengalaman hidup yang sangat sederhana misalnya cerita rakyat, kepahlawanan, legenda, binatang dan lain-lain.


(44)

Namun demikian tema dalam tari Lima Serangkai merupakan sesuatu yang lazim, karena tujuan dari tari adalah komunikasi antara karya seni dengan masyarakat yang menikmatinya. Tari Lima Serangkai ini bertemakan pergaulan, pergaulan yang dimaksud adalah muda mudi Karo. Yakni pertemuan ramah tamah sepasang insan manusia yang berkenalan secara adat Karo (ertutur), kemudian secara tutur muda mudi ini dapat berteman dekat (berpacaran) dan akhirnya mereka menjalin hubungan kasih hingga sampai kejenjang pernikahan.

3.3 Struktur Pertunjukan Tari

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1989:246), pengertian struktur mempunyai arti pola hubungan komponen atau bagian satu organisasi. Struktur merupakan suatu sistem formal hubungan kerja yang membagi dan mengkoordinasikan tugas orang dan kelompok orang agar tujuan tercapai. Sedangkan menurut Surayin (2001:574), dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia menyatakan bahwa struktur adalah cara sesuatu disusun atau dibangun yang sesuai dengan pola tertentu. Dari pengertian diatas maka yang dimaksudkan dengan struktur dalam penelitian ini adalah susunan atau unsur-unsur dalam tari Lima Serangkai pada masyarakat Karo.

Untuk melakukan pertunjukan tari Lima Serangkai yang dipersiapkan adalah 10 orang penari, yang terdiri dari 5 orang laki-laki dan 5 orang perempuan. Tari Lima Serangkai ditarikan oleh muda-mudi yang usia tidak dibatasi tetapi belum menikah. Biasanya penari dalam satu kelompok merupakan siswa-siswi yang tergabung dalam satu sanggar tari. Tidak ada syarat khusus untuk menjadi


(45)

penari Lima Serangkai, siapa saja bisa asalkan ada kemauan untuk belajar dan berusaha. Sebelum melakukan pertunjukan, para penari telah berlatih untuk melakukan keseragaman gerak tari.

Selain melakukan latihan tari, para penari juga harus mempersiapkan kostum tari. Kostum tari yang biasa digunakan para penari adalah kebaya, sarung, uis nipes dan tudung (beka buluh yang telah dibentuk menjadi penutup kepala) untuk penari perempuan. Baju kemeja,celana panjang, sarung, beka buluh 2 buah (1 diletakkan dipundak dan 1 dipegang ditangan).

Pertunjukan tari Lima Serangkai sering ditampilkan dalam Gendang Guro-guro Aron dan acara Kerja Tahun. Gendang Guro-Guro-guro Aron dan acara Kerja Tahun biasanya dilakukan di sebuah balai terbuka (Jambur), dimana semua masyarakat kampung menonton penampilan tari. Dimasa sekarang ini tari Lima Serangkai juga sudah diperlombakan. Dibeberapa tempat di Tanah Karo sering dilakukan festival-festival tari Lima Serangkai. Festival tersebut diselenggarakan oleh instansi-instansi pemerintah ataupun swasta, sekolah-sekolah, maupun gereja.

3.4 Struktur Penyajian Tari

3.4.1 Tempat Penyajian Dan Waktu Pementasan

Untuk melakukan suatu kegiatan yang mengumpulkan banyak orang masyarakat Karo biasanya berkumpul di balai terbuka yang disebut Los/Jambur. Tari Lima Serangkai yang ditampilkan pada kegiatan Kerja Tahun (merdang


(46)

Serangkai biasanya ditarikan diawal acara kegiatan, sebagai pembuka yang bersifat hiburan. Pelaksanaan Kerja Tahun (merdang merdem) dan Gendang

Guro-guro Aron setiap tempat tidak selalu sama, hal ini disesuaikan dengan hasil

kesepakatan masyarakat setempat.

Tari Lima Serangkai yang dibahas dalam tulisan ini adalah tari Lima Serangkai yang difestivalkan. Pelaksanan festival bisa dilakukan diluar ruangan (Outdoor) dan didalam ruangan (indoor). Hasil penelitian dari beberapa tempat, festival yang dilaksanakan pada tanggal 27 Januari 2009 bertempat di Open Stage, Berastagi merupakan pertunjukan outdoor dan pada tanggal 3 November 2010 di Hotel Sibayak, Berastagi merupakan pertunjukan indoor.

3.4.2 Pelaku

Dalam tari Lima Serangkai yang menjadi pelaku adalah penari. Penari merupakan bagian penting dalam pertunjukan tari Lima Serangkai karena penarilah yang mempertunjukkan tarian Lima Serangkai tersebut dan ia akan menjadi pusat perhatian dari penonton.

Penari Lima Serangkai adalah muda mudi (umur tidak dibatasi), yang berpasangan. Biasanya jumlah penari 10 orang, dengan 5 orang laki-laki dan 5 orang perempuan. Dalam penentuan penari tidak ada cara khusus yang dilakukan, siapa saja bisa menjadi penari Lima Serangkai asalkan ada kesanggupan pemain untuk dapat menari dan waktu yang dimiliki para penari.

Para penari berlatih untuk mempelajari gerakan di sanggar-sanggar dimana mereka bergabung seperti sanggar PEMKAB Karo melakukan latihan di Pendopo


(47)

Kantor Bupati Kabanjahe. Pelatih tari biasanya adalah orang-orang pemilik sanggar yang berpengalaman dalam tari Lima Serangkai, maksudnya pernah belajar tari Lima Serangkai, atau orang-orang yang bergerak dibidang seni tari (contoh guru tari, tokoh adat). Dalam masing-masing sanggar tari memiliki penari dan pelatih tari, yang berprofesi tidak hanya sebagai penari dan pelatih tari melainkan memiliki pekerjaan yang lain.

Pada saat pertunjukan, penari akan saling berinteraksi dengan sesama penari diatas panggung dalam melakukan gerakan.

3.4.3 Tata Rias Dan Tata Busana Tari

Tata rias dan busana tari Lima Serangkai tidaklah terlalu istimewa, maksudnya tata rias dan tata busana masih menyerupai kebanyakan tari-tari tradisional Karo lainnya. Penggunaan tata rias dan busana disesuaikan dengan kondisi sehari-hari masyarakat setempat.

Meskipun tari ini selalu dipersembahkan dihadapan banyak orang, namun tata riasnya hanya menggunakan rias cantik. Maksud dari rias cantik adalah tata rias yang digunakan tidak menggambarkan karakter atau tokoh tertentu. Busana tari Lima Serangkai yang digunakan dapat mendukung konsep dan tema tari.

Adapun kostum yang digunakan dalam pertunjukan tari Lima Serangkai yaitu:

1. Penari perempuan

a. Kebaya, baju yang selalu dipakai oleh masyarakat Karo di setiap kegiatan adat dan pada saat menari.


(48)

b. Sarung, merupakan pakaian yang biasa digunakan oleh masyarakat Karo dalam kegiatan sehari-hari ataupun pada kegiatan-kegiatan adat.

c. Tudung adalah beka buluh yang dibentuk menjadi penutup kepala penari perempuan.

d. Uis nipes adalah kain adat berwarna merah yang merupakan ciri khas masyarakat Karo.

Tudung Kebaya

Uis Nipes Sarung

2. Penari laki-laki

a. Baju kemeja, merupakan pakaian yang biasa digunakan oleh pria Karo dalam kegiatan adat dan acara-acara resmi lainnya.

b. Celana panjang, pakaian pria yang digunakan saat kegiatan adat dan acara resmi.


(49)

c. Sarung, merupakan pakaian yang digunakan masyarakat Karo dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam kegiatan-kegiatan adat.

d. Beka buluh, ada 2 beka buluh yang digunakan oleh penari laki-laki. Beka buluh yang diletakkan dipundak dan beka buluh yang dipegang ditangan. Beka buluh yang dipegang ditangan nantinya akan digunakan pada saat menari, dibentuk untuk penutup kepala yang disebut bulang-bulang.

Beka buluh Baju Kemeja

Celana Panjang Sarung

3.4.4 Deskripsi Gerakan Tari

Penulis akan mendeskripsikan gerak tari Lima Serangkai, dimulai dari awal tari yaitu gerak pendahulu, kemudian dilanjutkan dengan gerak


(50)

Elemen pembentuk gerak tari Karo yakni gerak endek (turun-naik), gerak jole (goyang badan) dan lampir tan (lentik jari). Dalam tari Lima Serangkai yang menjadi gerak inti adalah ketiga elemen tersebut.

Tabel Gerak

Nama Gendang

Gambar Gerak Keterangan

1. Pendahulu

Gambar 1a

Tarian dimulai dengan gerak pendahulu yaitu gerak awal masuk menuju tengah panggung, sambil memegang uis nipes (perempuan) dan beka buluh (laki-laki) didepan dada. Pada bagian ini musik pengiring tetap berjalan tetapi perhitungan pada gerakan belum ada.

Gambar 1b

Kemudian penari menghadap kepenonton dan memberi hormat. Saat hormat posisi badan condong kedepan, kepala tunduk dan pandangan kebawah.

Gambar 2

Setelah memberi hormat, posisi badan kembali tegak. Kemudian kedua penari saling berhadapan, dan kain adat masih diposisi di depan dada.


(51)

2. Morah-morah

Gambar 3a

Gambar 3b

Kedua kaki endek, penari menghadap diagonal kanan depan kemudian jongkok. Disaat bersamaan tangan bergerak melipat kain adat. Penari perempuan melipat uis

nipes dipundak kiri melewati bagian

bawah tangan kanan seperti membentuk kain untuk menggendong anak, dan penari laki-laki melipat beka buluh dikepala membentuk bulang-bulang (topi). Selama proses pemasangan kain adat posisi kaki penari bergantian menghadap diagonal kanan, kemudian berdiri berhadapan, menghadap diagonal kiri, berdiri berhadapan dan seterusnya hingga pemasangan kain adat selesai.

Gambar 4a

Setelah posisi kain adat terpasang dengan benar, dilanjutkan dengan gerak tangan penari perempuan disamping badan (tangan kanan) dan tangan kiri dipinggang, penari laki-laki kedua tangannya di depan dada dengan jari telunjuk dan ibu jari bersentuhan (ragam a). Disaat bersamaan kedua kaki penari endek kemudian


(52)

Gambar 4b

Gambar 4c

jongkok hadap diagonal kanan, kemudian berdiri berhadapan.

Kedua kaki endek kemudian hadap diagonal kiri dan jongkok, dengan posisi tangan penari perempuan sama dengan sebelumnya tetapi posisi tangan kanan sedikit lebih tinggi. Penari laki-laki posisi tangan kiri di atas bahu dan tangan kanan dilebarkan sejajar pinggang (ragam b). Kemudian dilanjutkan lagi hadap diagonal kanan dan jongkok, posisi tangan penari perempuan hampir sama tetapi posisi tangan kanan berlahan-lahan naik, urutan gerak di samping bawah pinggang, di samping sejajar pinggang, disamping sejajar dada, di samping sejajar kepala,

pucuk (ibu jari dan jari telunjuk bersentuhan dengan posisi di depan kening), dan sejajar di atas bahu, urutan ini dilakukan hingga akhir menggunakan tangan kanan kemudian diganti dengan tangan kiri. Posisi tangan penari laki-laki secara bergantian melakukan ragam a dan


(53)

ragam b. Pergantian gerak tangan penari terjadi saat pertukaran posisi kaki yang dimulai dari hadap diagonal kanan kemudian jongkok lalu berdiri, dilanjutkan hadap diagonal kiri kemudian jongkok lalu berdiri dan seterusnya hingga posisi tangan kiri penari perempuan berada sejajar di atas bahu. Proses gerak ini, yang dimulai dari pemasangan kain disebut

morah-morah.

3. Perakut

G ambar 5a

Gambar 5b

Kemudian dilanjutkan dengan gerak kaki

endek kemudian kaki kanan melangkah

kesamping kanan disusul kaki kiri, dengan posisi tangan berada di atas bahu.

Pergelangan tangan diputar, kembali kaki

endek dan kaki kanan melangkah kedepan

disusul kaki kiri dengan posisi tangan kanan diatas bahu dan tangan kiri dipinggang sehingga posisi penari samping-sampingan. Kembali kedua tangan di atas bahu dan pergelangan tangan diputar, sambil posisi kaki endek


(54)

Gambar 5c

Gambar 5d

dan kaki kanan mundur disusul kaki kiri.

Kedua tangan di atas bahu dan kaki endek kemudian melangkah kesamping kiri. Pergelangan tangan diputar sampai posisi tangan kiri di atas bahu dan tangan kanan dipinggang. Satu langkah maju kedepan, sehingga kedua penari berada dalam posisi samping-sampingan. Tangan di atas bahu dan pergelangan tangan diputar, sambil kaki endek kemudian melangkah mundur. Masih sama posisi tangan diatas bahu, kemudian kaki penari endek dan melangkah kesamping kanan. Mengulangi gerak seperti sebelumnya.

4. Patam-patam Sering

Gambar 6a

Tangan penari bertemu ditengah dengan ujung jari kedua penari hampir bersentuhan. Kedua penari melangkah keliling membentuk lingkaran 270 derajat dengan posisi tangan didepan badan lurus kebawah, kepala tegak dan pandangan kebawah.


(55)

Gambar 6b

Saat posisi penari berhadap-hadapan,

endek ditempat dan pergelangan tangan

penari diputar dari bawah sampai di atas bahu. Posisi tangan seperti semula dan kembali ketempat semula dengan alur yang sama.

Gambar 7a

Gambar 7b

Gambar 7c

Posisi tangan kiri diatas bahu dan tangan kanan disamping badan, kaki endek sambil putar kiri ditempat.

Saat kembali keposisi semula tangan naik sejajar dada sambil posisi kaki endek maju selangkah kedepan.

Kemudian pergelangan tangan diputar dan posisi tangan diatas bahu, dengan posisi kaki endek kembali tempat semula (mundur selangkah kebelakang).

NB: Pola gerak ini diulangi kembali, namun gerak alur yang berlawanan dengan pola gerak sebelumnya.


(56)

Gambar 8

Setelah itu penari laki-laki dan perempuan

endek ditempat, dengan posisi tangan

penari laki-laki keduanya diatas bahu. Penari perempuan melipat uis nipes membentuk kain panjang, posisi tangan penari laki-laki turun dan keduanya berada dipinggang dan kain panjang tersebut diletakkan dibahu sebelah kanan.

5. Sipajok

Gambar 9a

Gambar 9b

Gerak berikutnya disebut Sipajok, dengan posisi tangan penari perempuan seperti menolak dan posisi tangan laki-laki seperti meminta yang berada tepat didepan perut (ragam c). Pada saat gerakan ini, posisi kaki penari laki-laki enjut sambil maju kedepan dan perempuan endek sambil mundur. Kemudian posisi kedua tangan di atas bahu sambil pergelangan tangan diputar.

Kemudian melakukan gerak yang hampir sama, dimana penari perempuan dan laki-laki memposisikan tangan didepan perut. Penari perempuan seperti meminta dan


(57)

Gambar 9c

melangkah maju sedangkan yang laki-laki seperti menolak dan mundur kebelakang. Kembali lagi kedua tangan diatas bahu dengan posisi kedua kaki endek ditempat, kemudian kembali melakukan ragam c.

Penari perempuan bergerak ditempat dengan posisi tangan diatas bahu, dan penari laki-laki dengan posisi kedua tangan dipinggang sambil bergerak menghadap kanan kemudian melangkah kesamping kanan, dan kembali menghadap penari perempuan. Posisi tangan kedua penari diatas bahu dan endek ditempat, perlahan-lahan tangan kanan turun berada disamping badan dan putar kanan ditempat. Kembali keposisi semula dan kedua tangan diatas bahu.

6. Kabangkiung

Gambar 10a

Penari akan melakukan gerak

kabangkiung, dimana posisi tangan kanan

penari laki-laki berada diatas bahu dan tangan kiri disamping badan sambil maju kedepan mendekati penari perempuan.


(58)

Gambar 10b

Gambar 10c

Penari perempuan menghadap kiri dengan posisi kedua tangan diatas bahu. Sehingga penari laki-laki akan melangkah melewati depan penari perempuan

Dan ketika penari laki-laki berada tepat disamping kiri penari perempuan, penari laki-laki berputar kekanan dan penari perempuan melakukan gerak hadap kanan 2 kali sehingga penari laki-laki nantinya akan melewati bagian depan penari perempuan.

Setelah penari laki-laki tepat disamping kiri penari perempuan, kedua penari jongkok dengan posisi tangan kiri penari berada diatas bahu dan tangan kanan disamping badan. Masih dalam posisi jongkok kedua penari melakukan endek sambil jole (miring kekanan dan kekiri).


(59)

Gambar 10d

Gambar 11a

Ga

Penari kembali keposisi berdiri, pergelangan tangan diputar sambil penari perempuan menghadap kiri dan posisi tangan berada di atas bahu. Sedangkan penari laki-laki kembali ketempat dengan berputar kekanan hingga berhadapan kembali dengan penari perempuan dan posisi kedua tangan berada di atas bahu. Kemudian tangan kanan di atas bahu dan tangan kiri disamping badan bagi kedua penari, dan putar kiri ditempat setelah berhadapan posisi tangan kembali keduanya di atas bahu.

Gerak berikutnya kebalikan dari gerak sebelumnya, yaitu pada posisi tangan penari dan posisi menghadap penari. Sekarang tangan kanan diatas bahu dan tangan kiri disamping badan. Awalnya penari perempuan menghadap kiri, saat ini penari perempuan menghadap kanan. Untuk penari laki-laki gerak maju dan berputarnya juga hampir sama, yang perlu


(60)

mbar 12b

G ambar 12c

diingat penari laki-laki selalu melangkah melewati bagian depan penari perempuan. Pola gerakan ini juga dilakukan oleh penari perempuan, yang bergerak ditempat adalah penari laki-laki. Pola gerak dan posisi berputar yang dilakukanpun sama.

7. Penutup

Gambar 13a

Gambar 13b

G

Kemudian melakukan gerak penutup (Pertik Rurusen), dimana penari melangkah menghadap penonton dengan posisi tangan berada diatas bahu.

Kemudian mencondongkan badan kedepan dan posisi kedua tangan diturunkan sejajar paha dengan posisi telapak tangan menghadap kebawah, tepuk tangan satu kali dan buka tangan (telapak tangan menghadap keatas).

Kemudian dilanjutkan membuka uis nipes (perempuan), melebarkannya dan dipegang didepan dada. Penari keluar pentas seperti


(61)

ambar 13c gerak pendahulu. TABEL POLA LANTAI

Keterangan lambang: : Penari Perempuan : Penari Laki-laki ↔ : Melangkah sejajar ↓ : Posisi menghadap ● : Jongkok

∆ : Menunduk

--- : Alur perpindahan penari : Posisi penonton

Gendang Pendahulu

Pola Lantai Gambar Keterangan

Penari P dan L memasuki pentas dan setelah berada ditengah pentas kedua penari menghadap penonton (tidak memiliki

hitungan). P

L L P

P L


(62)

Memberi hormat kepada

penonton, dengan mencondongkan sedikit badan ke depan.

Hitung 1 – 4.

Gendang Morah-morah

Pola Lantai Gambar Keterangan

Penari berhadapan.

Hitung 5 – 8

P L

P L


(63)

Penari bergerak endek hingga jongkok serong ke kanan.

Kemudian berdiri dan saling berhadapan.

Lalu kembali jongkok serong ke kiri.

Berdiri kembali dan saling berhadapan. Gerak ini dilakukan terus hingga pemasangan kain adat selesai.

Hitung 3 x 8

P

L

P

L

P L

P L


(64)

Setelah kain adat terpasang dengan baik, dilanjutkan gerak tangan penari L dan P. Yang diawali jongkok serong kekanan.

Kemudian berdiri dan berhadapan dilanjutkan serong kiri. Posisi tangan penari L dan P berubah. Gerak ini dilakukan dengan posisi serong kanan dan kiri bergantian.

P L

P

L


(65)

Setiap pergantian posisi hadap, gerak tangan juga berubah.

(Perhatikan gambar)

Hitungan 2 x 10

Gendang Perakut

Pola Lantai Gambar Keterangan

Masing-masing penari bergerak ke samping kanan 1 langkah.

Hitungan 1 – 2

Kemudian maju kedepan selangkah, sehingga penari bersampingan.

Hitungan 3 – 4

P L

P

L

P

L

P

L


(66)

Kedua penari endek ditempat, (hitungan 5 – 6), dan mundur 1 langkah pada hitungan 7 – 8.

Setelah itu penari melangkah ke samping kiri 1 langkah.

Hitungan 1 – 2

Selangkah maju ke depan, sehingga penari bersampingan.

Hitungan 3 – 4

P

L

P

L

P

L

P

L

P

L

L


(67)

Kedua penari endek ditempat dalam hitungan 5–6, dan mundur 1 langkah kebelakang pada hitungan 7 – 8.

Masing-masing penari melangkah 1 langkah kesamping kanan.

Hitungan 1 – 2

Kemudian bergerak maju selangkah dan samping-sampingan.

Hitungan 3 – 4

P

L

L

P

P

L

L

P

P

L

L


(68)

Endek ditempat pada hitungan 5 – 6, dan mundur 1 langkah pada hitungan 7 – 8.

Gendang Patam-patam Sereng

Pola Lantai Gambar Keterangan

Penari berputar kekanan 2700, dengan posisi

tangan bertemu membentuk lingkaran. Hitungan 1 x 8

Posisi penari berhadapan dan melakukan endek. Hitungan 1 x 8

Penari kembali ketempat semula, dengan gerak dan alur yang sama.

P

L L

P

P

L

L

P

P L

P

L

L

P


(69)

Hitungan 1 x 8

Setelah penari kembali ke tempat semula, penari berputar ditempat ke kiri. Hitungan 1 – 4

Kembali berhadapan dengan endek pada hitungan 5 – 8

Penari berputar kekiri 2700, posisi tangan sama seperti gerak sebelumnya. Hitungan 1 x 8

Berhadapan dan endek ditempat.

Hitungan 1 x 8

Penari bergerak ketempat

L

P

P

L

L

P

L

P

P

L


(70)

semula, dengan alur yang sama.

Hitungan 1 x 8

Kemudian berputar kekanan di tempat (hitungan 1 – 4), kemudian berhadapan dan endek pada hitungan 5 – 8

Kedua penari endek ditempat, sambil penari perempuan melipat uis nipes.

Hitungan 3 x 8

Gendang Sipajok

Pola Lantai Gambar Keterangan

L

P


(71)

Penari berhadapan dan melakukan gerak sipajok. Penari L maju mendekati penari P dan Penari P mundur. Hitungan 1 x 8

Kedua tangan naik dan

endek di tempat. Hitungan 1 x 8

Penari P mendekati penari L yang bergerak mundur. Hitungan 1 x 8

L P

L

P


(72)

Kedua tangan naik dan

endek ditempat. Hitungan

1 x 8

Penari L kembali bergerak maju dan penari P mundur hingga posisi penari ditengah pentas.

Hitungan 1 x 8

Setelah kembali ke posisi semula, penari L hadap kanan, dan 2x melangkah ke kanan. Hitungan 1 x 8

L P

L P


(73)

Penari berhadapan kembali dan endek

ditempat.

Hitungan 1 x 8

Kedua penari berputar kekanan di tempat.

Hitungan 1 x 8

Gendang Kabangkiung

Pola Lantai Gambar Keterangan

Penari P hadap kiri (hadap penonton) disaat bersamaan penari L bergerak maju melewati depan penari P, hingga berada disamping kiri penari P.

L P

L P

L


(74)

Hitungan 1 x 8

Penari P balik kanan dan penari L berputar kekanan ditempat dan bergerak maju melewati depan penari P, hingga posisi bersebelahan.

Hitungan 1 x 8

Saat posisi sudah bersebelahan, kedua penari jongkok.

Hitungan 2 x 8

Masih dalam posisi

jongkok, penari melakukan endek sambil

jole-jole (miring kekanan

dan kekiri).

Hitungan 2 x 8

L

L P


(75)

Penari berdiri, hitungan 1 – 4. Penari P hadap kiri dan penari L berputar kekanan ketempat semula menghadap penari P.

Hitungan 1 x 8

Setelah berhadapan endek ditempat. Hitungan 1 x 8

Putar kiri bersama-sama ditempat. Hitungan 1x8

Kembali berhadapan dan

endek di tempat.

Hitungan 1 – 4

Penari P hadap kanan dan penari L bergerak maju melewati depan penari P hingga berapa disamping kanan P. Hitungan 1 x 8

L

P

L

P

L


(76)

Penari P hadap kiri 2 kali dan penari L berputar kekiri dan bergerak maju melewati depan penari P, hingga posisi keduan bersebelahan.

Hitungan 1 x 8

Saat posisi bersebelahan, kedua penari jongkok. Hitungan 1 x 8

Dalam posisi jongkok, penari melakukan endek sambil jole-jole (miring kekanan dan kekiri) Hitungan 2 x 8

Kedua penari berdiri hitungan 1 – 4. Penari P hadap kanan dan penari L berputar kekiri ketempat semula menghadap penari P. Hitungan 1 x 8

L

L

P

L P


(77)

Gendang Penutup

Pola Lantai Gambar Keterangan

Setelah berhadapan endek ditempat. Hitungan 1 x 8

Kemudian bergerak maju menghadap penonton dengan berdiri sejajar. Hitungan 1-2

Memberi hormat kepada penonton (Pertik

Rurusen)

Hitungan 1 – 4

Penari keluar pentas seperti gerak pendahulu.

Hitungan : 1,2,3,4…..dst

L P

P L

P


(78)

3.5 Alat Musik Pengiring.

Tari Lima Serangkai termasuk tari yang sangat khas karena di iringi oleh musik yang sudah baku. Alat musik pengiring tari Lima Serangkai adalah

Gendang Lima Sedalanen. Menurut Sempa Sitepu (1996:186) Gendang Lima Sedalanen artinya seperangkat gendang terdiri dari lima unsur. Untuk lebih jelas

tentang lima unsur gendang tersebut dapat di uraikan sebagai berikut:

a. Gendang Singindungi.

Gendang singindungi dipegang oleh seorang penabuh yang disebut penggual. Gendang singindungi berfungsi untuk mengatur cepat

lambatnya tempo.

Gbr. Gendang Singindungi


(79)

Gendang singanaki dipegang oleh seorang penabuh (penggual). Gendang singanaki hampir sama dengan gendang singindungi, hanya saja gendang singanaki terdiri dari dua gendang besar dan kecil perbedaan tersebut

menciptakan citra estetis musikal yang berbeda. Si penabuh memukulnya dengan cara satu alat pemukul untuk gendang besar dan satu lagi untuk gendang kecil. Fungsi gendang singanaki hampir sama dengan gendang

singindungi yaitu mengatur ritme/tempo.

Gbr. Gendang Singanaki

c. Gung.

Gung yang sering disebut gong diklasifikasikan kedalam kategori idiofon

yang terbuat dari jenis logam yaitu kuningan atau kangsa yang cara memainkannya dengan dipukul. Pemukul gung terbuat dari kayu yang dilapisi karet. Gung dipegang oleh seorang tenaga yang ahli memukul gung yang sering disebut simalu gung. Gung berperan sebagai bass. Biasanya gung ini dipukul diikuti oleh penganak.


(80)

Gbr. Gung

d. Penganak.

Penganak (gong kecil) bentuk dan bahan penganak sama dengan gung.

Yang berbeda antara gung dan penganak, gung berbentuk besar dan suaranya juga lebih besar sedangkan penganak berbentuk kecil. Penganak berperan sebagai pengatur ritme musik, cara pukulnya satu kali gung dan pukulan gung yang kedua bersamaan dengan penganak (pukulannya ialah penggandaan dari Gong).


(81)

e. Sarunei.

Sarunei adalah alat musik tiup (aerophone). Fungsi sarunei adalah

membawa melodi lagu dalam ensambel gendang Lima Sedalanen. Pemain

sarunei disebut dengan panarune.

Gbr. Sarunei

Walaupun antara melodi dari gendang (lagu) pengiring dengan gerak tari berhubungan, tetapi penulis hanya menitik beratkan pembahasan pada gerak tari saja. Namun penulis mentranskripsikan melodi pokok pengiring tari Lima Serangkai yang dicantumkan pada lampiran (halaman 89).

Alat-alat ini sebelumnya memang sudah dikenal sebagai alat musik tradisional yang berperan dalam mengisi/mengiringi kegiatan-kegiatan baik acara adat maupun hiburan yang diselengkarakan masyarakat setempat, seperti acara kematian, memasuki rumah baru, acara perkawinan,Gendang Guro-guro Aron dan


(82)

lain-lain. Karena peranan gendang Karo dalam garis besarnya pada waktu dulu ialah, untuk acara adat, acara kepercayaan dan sebagai alat hiburan masyarakat.


(83)

BAB IV

MAKNA DAN FUNGSI GERAK TARI LIMA SERANGKAI

4.1Makna Gerak Tari.

Dalam tarian Lima Serangkai terdapat 5 gendang yang mengiringi tari ini yaitu gendang morah-morah, gendang perakut, gendang patam-patam sereng, gendang sipajok dan gendang kabangkiung. Yang menghasilkan komposisi pola gerak tari dan gerak tersebut memiliki nilai-nilai estetis dalam penyajiannya. Setiap gendang memiliki gerak yang berbeda dan penyebutan nama gerak tersebut disesuaikan dengan gendang (lagu) pengiringnya. Menurut Bpk. Lukas Tarigan tari Lima Serangkai selain memiliki nilai estetis dalam penyajiannya, tari Lima Serangkai juga memiliki makna dalam gerakannya. Dimana makna tersebut menceritakan tentang kehidupan masyarakat Karo, khususnya dalam berkenalan (ertutur) muda mudi hingga menjalin hubungan (pacaran) sampai kejenjang pernikahan.

a. Gerak Morah-morah

• Gerak memasang kain, melatih muda mudi Karo untuk bisa memakai busana (pakaian adat) sendiri. Pada gerakan ini juga memiliki arti bahwa muda mudi tersebut sudah dewasa dan bisa hidup mandiri. • Gerak tangan penari perempuan dari bawah perlahan-lahan naik

dapat diartikan muda mudi mulai melihat (memperhatikan) lawan jenisnya, tetapi tidak terburu-buru maksudnya memperhatikan lawan


(84)

jenisnya secara keseluruhan. Setelah memperhatikan barulah dipikirkan dan dipertimbangkan untuk berkenalan (ertutur).

b. Gerak Perakut

Gerakan ini bermakna bahwa muda mudi mulai berkenalan satu dengan yang lain. Mereka berkenalan secara adat (ertutur), ertutur adalah saling menanyakan identitas adat dan merupakan cirri khas yang sangat penting bagi orang Karo karena akan terjalin hubungan yang intim satu sama lain melalui sapaan kekeluargaan yang diperoleh. Bagi muda mudi Karo tidak diperbolehkan memiliki hubungan khusus (berpacaran) apabila memiliki merga yang sama kecuali merga Sembiring Simantangken Biang10

c. Gerak Patam-patam Sering

Dalam gerakan ini muda mudi yang telah berkenalan saling mengenal lebih dalam lagi, mempertimbangkan semuanya hingga akhirnya mereka memiliki hubungan khusus (berpacaran). Bagi masyarakat Karo segala yang mereka ingin lakukan harus dipertimbangkan terlebih dahulu, agar lebih siap mempertanggung jawabkan semua tindakan mereka.

d. Gerak Sipajok

Seperti halnya orang berpacaran, ada bujuk rayu antara laki-laki dan

10Sembiring Simantangken Biang yaitu kelompok yang memantangkan daging anjing dan boleh melakukan perkawinan dengan sub-merga Sembiring lainnya. Lihat Indahnya Perkawinan Adat Karo oleh Ir. Terang Malem Milala (2007;03)


(85)

perempuan. Gerakan ini menceritakan adanya rayuan-rayuan dalam hubungan yang terjalin. Dapat diartikan pula sebagai permintaan untuk menjalin hubungan yang lebih serius (perkawinan).

e. Gerak Kabangkiung

Pada gerak kabangkiung, muda mudi sudah sepakat untuk menjalin hubungan yang lebih serius dalam perkawinan. Seperti hal nya jika seorang pria ingin menikah dengan seorang wanita, maka sang pria haruslah meminta izin terhadap orang tua si wanita. Dalam gerakan ini menceritakan kunjungan keluarga laki-laki ke keluarga perempuan dan sebaliknya. Perhatikan gerak kabangkiung, yang menjadi tuan rumah (yang dikunjungi) adalah penari yang tetap berjalan ditempat yang pada akhirnya dalam posisi jongkokbersama-sama. Pada akhirnya mda mudi tersebut sampai pada perkawinan.

4.2Fungsi Tari

Dalam masyarakat Karo tarian memiliki nilai keindahan, menarikan suatu tarian dapat dilakukan sendirian dan dapat juga dilakukan secara beramai-ramai. Tari tradisional Karo dapat dilihat dari bentuk dan acara pemampilannya dapat dibedakan atas tiga jenis yakni:

- Tari yang berkaitan dengan adat - Tari yang berkaitan dengan Religi - Tari yang berkaitan dengan hiburan


(86)

Tari Lima Serangkai adalah tari yang bersifat hiburan, yang biasanya ditampilkan dalam Gendang Guro-guro Aron dan Kerja Tahun.

Selain bersifat hiburan tari juga memiliki fungsi dalam kehidupan masyarakat Karo. Menurut Soedarsono (1972:22) tari dapat berfungsi sebagai:

a. Sarana upacara keagamaan yang masih kuat dengan unsur kepercayaan kuno.

b. Sarana untuk mengungkapkan perasaan emosional (kegembiraan) dan pergaulan.

c. Sarana pertunjukan untuk memberikan hiburan atau kepuasan batin manusia.

Sejalan dengan pendapat Soedarsono bahwa Tari Lima Serangkai termasuk dalam fungsi mengungkapkan emosional dan pergaulan, serta memberikan hiburan atau kepuasan batin.

Fungsi tari Lima Serangkai sebagai sarana mengungkapkan emosional dan pergaulan sesuai dengan makna tari Lima Serangkai yang telah dibahas sebelumnya. Dimana makna tari Lima Serangkai adalah perkenalan antara muda mudi, yang awalnya tidak saling mengenal kemudian menjalin hubungan khusus (berpacaran) hingga akhirnya muda mudi tersebut sampai kejenjang perkawinan. Walaupun dimasa sekarang ini fungsi tari Lima Serangkai yang lebih menonjol adalah sebagai sarana hiburan dan sarana pertunjukan. Perubahan ini terjadi karena pengaruh modernisasi yang berkembang pada masyarakat Karo khususnya muda-mudi Karo. Tari Karo memiliki norma-norma dalam melakukan geraknya, seperti geseran kaki, gerak pinggang dan main mata tidak diingini karena


(87)

dianggap kurang sopan menurut adat (Sitepu, 1978:77). Namun pada masa sekarang ini norma tersebut tidak lagi dipatuhi, dengan beralasan gerak tari terlihat kaku dan monoton. Perubahan-perubahan inilah yang lambat laun mengubah beberapa pola gerak tari Lima Serangkai, sehingga gerak tari Lima Serangkai di satu tempat memiliki perbedaan dengan yang ditempat lain dan secara tidak langsung juga mengubah fungsi tari tersebut. Dimana dulunya sebagai sarana hiburan dan pergaulan tetapi dimasa sekarang ini tari Lima Serangkai sebagai sarana hiburan dan pertunjukkan. Pertunjukan yang dimaksud adalah sebagai ajang perlombaan. Hal ini dapat kita lihat bahwa tari Lima Serangkai sering diperlombakan (difestivalkan) di beberapa tempat, baik oleh sekolah-sekolah, gereja ataupun instalansi-instalansi pemerintah.


(88)

BAB V PENUTUP

5.1Kesimpulan

Dari hasil pembahasan yang didasarkan kepada penelitian lapangan terhadap pertunjukan tari Lima Serangkai pada bab sebelumnya, penulis akan membuat kesimpulan dari pembahasan tersebut.

Tari Lima Serangkai merupakan tari tradisional Karo yang bersifat hiburan, yang memiliki nilai-nilai estetis dalam penyajiannya dan memiliki makna dalam gerak tarinya. Tari Lima Serangkai diperkirakan ada tahun 1956-1960. Unsur yang membuat tari Lima Serangkai dikatakan indah adalah

1. Gerak endek (gerak naik turun) 2. Gerak jole (gerak goyang badan)

3. Gerak lampir tan (gerak kelentikan jari)

Tari Lima Serangkai menjadi identitas masyarakat Karo, karena dalam tarian ini diajarkan bagaimana seorang muda mudi berkenalan secara adat dan menjalin hubungan. Dalam tarian ini juga menjelaskan kebiasaan hidup masyarakat Karo, setiap melakukan tindakan dipikirkan terlebih dahulu, dipertimbangkan resikonya lalu kemudian dilaksanakan.

Setiap penampilan tarian akan ada terdapat pola-pola gerak tari yang bersifat baku. Secara koreografi tari Lima Serangkai merupakan satu tarian yang diiringi lima gendang, yaitu gendang morah-morah, gendang perakut, gendang


(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

35

35

35

36

37

37 38 39 41 67 72 72 74 77