BAB II LATAR BELAKANG SOSIAL BUDAYA
2.1 Letak Geografis
Masyarakat Karo berada di daratan tinggi Tanah Karo yang sekarang menjadi wilayah administratif Kabupaten Karo. Secara geografis letak Kabupaten
Karo berada diantara 2°50’-3°19’ Lintang Utara dan 97°55’-98°38’ Bujur Timur dengan luas 2.127,25 Km². Wilayah Kabupaten Karo berada pada ketinggian
120-1400 M di atas permukaan laut. Kabupaten Karo memiliki batas-batas wilayah sebagai berikut:
• Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Langkat dan Kabupaten Deli
Serdang •
Sebelah Selatan dengan Kabupaten Dairi dan Kabupaten Samosir •
Sebelah Timur dengan Kabupaten Deli Serdang dan Kabupaten Simalungun
• Sebelah Barat dengan Propinsi Nangroe Aceh Darussalam
Kabanjahe merupakan salah satu Kecamatan yang ada di Kabupaten Karo. Luas wilayah Kecamatan Kabanjahe adalah 44,65 km
2
, sebagian besar dari wilayah kecamatan ini digunakan sebagai tempat pemukiman penduduk, lahan
pertanian dan perkebunan. Kabanjahe memiliki batas-batas wilayah, yaitu:
• Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Berastagi • Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Simpang Empat
• Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Munte • Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Tigapanah
Berdasarkan data statistik yang diperoleh dari BPS Kab. Karo, Kecamatan Kabanjahe memiliki jumlah penduduk sebanyak 56.516 jiwa dengan 20.580
kepala keluarga dan terdiri dari beraneka ragam etnis seperti Karo, Jawa, Minang, Batak Toba dan lainnya. Sebagai pusat pemerintahan kecamatan, kecamatan
Kabanjahe memilki 13 desa kelurahan yang dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
a Desa Lau Simomo
b Desa Kandibata
c Desa Kacaribu
d Desa Lau Cimba
e Desa Padang Mas
f Desa Gung Leto
g Desa Gung Negeri
h Desa Samura
i Desa Ketaren
j Desa Kampung Dalam
k Desa Rumah Kabanjahe
l Desa Kaban
m Desa Sumber Mufakat
2.2 Asal Usul Masyarakat Karo
Berbicara mengenai bagaimana dan dari mana sebenarnya asal mula terbentuknya suku Karo, hingga saat ini kelihatannya masih perlu dikaji lebih
dalam. Banyak pendapat yang disampaikan oleh para ahli dan tokoh, tetapi masih dalam perkiraan menurut legenda dan silsilah cerita lisan.
Di dalam buku Leluhur, Marga-marga Batak Dalam Sejarah, Silsilah dan Legenda, Drs. Richard Sinaga menulis bahwa semua etnis Batak berasal dari
keturunan si Raja Batak yang merupakan cikal-bakal suku Batak dan kemudian berkembang menjadi suku Batak dan kemudian berkembang menjadi sub etnis,
yaitu: Toba, Karo, Mandailing, Simalungun, Pakpak dan Angkola, bahkan etnis Nias juga disebut-sebut memiliki keterkaitan dengan Batak, sekalipun bahasa
suku Nias sangat jauh berbeda dari bahasa etnis batak lainnya. Menurut silsilahnya, si Raja Batak memiliki tiga orang anak yakni Guru
Tateambulan, Raja Isumbaon, dan Toga Laut. Dari Guru Tateambulan kemudian pada generasi IV lahir keturunannya yang merupakan lima induk marga Batak
Toba yakni: Lontung, Borbor, Naiambaton, Nairasaon, dan Naisuanon. Sedangkan dari Raja Isumbaon lahir tiga orang keturunannya yakni: Tuan
Sorimangaraja, Raja Asi-asi, dan Sangkar Somalindang. Konon dua orang anak laki-laki Raja Isumbaon yaitu Raja Asi-asi dan Sangkar Somalindang pergi
merantau ke Dairi dan kemudian ke Tanah Karo. Diperkirakan salah satu dari mereka atau salah satu dari generasi mereka itulah bernama Nini Karo yang
menjadi leluhur Batak Karo. Tetapi tidak disebutkan dari generasi keberapa Nini Karo lahir.
Sementara itu, Bapak Kol. Purn Sempa Sitepu dalam buku Sejarah Pijer Podi, Adat Nggeluh Suku Karo Indonesia menuliskan secara tegas etnis Karo
bukan berasal dari si Raja Batak. Ia mengemukakan silsilah etnis Karo yang diperoleh dari cerita lisan secara turun temurun dan sampai kepada beliau yang
didengar sendiri dari kakeknya yang lahir sekitar tahun 1838. Menurutnya, leluhur etnis Karo berasal dari India Selatan berbatasan dengan Mianmar. Seorang Maha
Raja berangkat dengan rombongan yang terdiri dari anak, istri dayang-dayang, pengawal, prajurit, beserta harta dan hewan peliharaannya. Ia bermaksud mencari
tempat baru yang subur dan mendirikan kerajaan baru. Tidak disebutkan kapan peristiwa itu terjadi, namun dikatakan seorang pengawalnya yang sakti bernama si
Karo, yang kemudian kawin dengan salah satu putri Maha Raja yang bernama Miansari. Didalam perjalanan mereka diterpa angin ribut dan rombongan ini
menjadi terpencar dan akibatnya ada yang terdampar dipulau Berhala. Dalam peristiwa itulah si Karo dan Miansari berpisah dari rombongan yang terdiri dari
tujuh orang. Menggunakan rakit kemudian rombongann sampai disebuah pulau yang diberi nama “Perbulawanen” yang berarti “perjuangan” yang sekarang
dikenal sebagai daerah Belawan. Dari sana mereka terus menelusuri sungai Deli dan Babura dan akhirnya sampai disebuah gua Umang di Sembahe. Setelah
beberapa waktu mereka tinggal didataran tinggi itu dan merasa cocok akhirnya mereka memutuskan untuk tinggal disana. Dan dari sanalah asal mula
perkampungan didataran tinggi Karo.
Dari perkawinan si Karo nenek moyang Karo dengan Miansari lahir tujuh orang anak. Anak sulung hingga anak keenam semuanya perempuan, yaitu:
Corah, Unjuk, Tekang, Girik, Pagit, Jile dan akhirnya lahir anak ketujuh seorang laki-laki diberi nama Meherga yang berarti berharga atau mehaga penting
sebagai penerus. Dari sanalah akhirnya lahir Merga bagi orang Karo yang berasal dari ayah pathrilineal sedangkan bagi anak perempuan disebut Beru berasal dari
kata diberu yang berarti perempuan. Merga akhirnya kawin dengan anak Tarlon yang bernama Cimata. Tarlon
merupakan saudara bungsu dari Miansari istri Nini Karo. Dari Merga dan Cimata kemudian lahir lima orang anak laki-laki yang namanya merupakan lima
induk merga etnis Karo, yaitu: 1.
Karo. Diberi nama Karo tujuannya bila nanti kakeknya Nini Karo telah tiada Karo sebagai gantinya sebagai ingatan. Sehingga nama
leluhurnya tidak hilang. 2.
Ginting, anak kedua. 3.
Sembiring, diberi nama si mbiring hitam karena dia merupakan yang paling hitam diantara saudaranya.
4. Peranginangin, diberi nama peranginangin karena ketika ia lahir
angin berhembus dengan kencangnya angin puting-beliung. 5.
Tarigan, anak bungsu.
Bagan Sejarah Merga menurut Kol. Sempa Sitepu Dikutip dari Buku : Orang Karo diantara Orang Batak , Hal 5 .Marthin
L.Peranginangin
Pada perkembangannya, keturunan merga membentuk sub-sub merga yang baru sehingga terdapat banyak merga-merga pada etnis Karo. Sub-sub merga ini
berkembang akibat migrasinya para keturunan Nini Karo kedaerah lain, sebab kampung mula-mula semakin lama semakin padat, dan akibat terjadi perkawinan
dengan etnis lain dari daerah lain.
Nini Karo + Miansari
Corah Unjuk
Tekang Girik
Pagit Jile
Meherga + Cimata
Karo-karo Ginting
Sembiring Peranginangin
Tarigan
2.3 Sistem Kekerabatan.