1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Isu mengenai risk management berkembang dengan pesat seiring dengan meningkatnya jumlah perusahaan yang mulai mengungkapkan keberadaan
Risk Management Committee sebagai salah satu bentuk nyata adanya Enterprise Risk Management. Tetapi di lain pihak, banyak perusahaan yang
belum mengetahui pentingnya manajemen risiko perusahaan. Manajemen risiko perusahaan atau Enterprise Risk Management ERM merupakan suatu
strategi yang digunakan untuk mengevaluasi dan mengelola semua risiko dalam perusahaan. Pendekatan terhadap pengelolaan risiko organisasi sering
disebut dengan manajemen risiko. Manajemen risiko adalah salah satu disiplin yang menjadi popular
menjelang akhir abad ke dua puluh. Disiplin ini mengajak untuk secara logis, konsisten dan sistematis melakukan pendekatan terhadap ketidakpastian masa
depan, sehingga memungkinkan kita untuk secara lebih hati-hati prudent dan produktif menghindari hal-hal yang tidak berguna karena membuang sumber
daya secara tidak perlu dan mencegah hal-hal yang merugikan atau bahkan meraup dan mengejar hal-hal yang bermanfaat. Ini semua dilakukan lebih dari
sekedar berdasarkan keyakinan dan keberuntungan, karena dalam mengelola masa depan, kita harus mulai dengan mempelajari kemungkinan terjadinya
suatu peristiwa
event, dan
bila terjadi
bagaimana dampaknya
2 consequences. Hal ini ditunjang dengan kemampuan untuk mempelajari dan
lebih memahami apa yang menjadi penyebab terjadinya peristiwa source of risk tersebut. Karena bila dasarnya hanya keberuntungan, maka manajemen
risiko menjadi tidak ada artinya, dan bahkan mengaburkan suatu kebenaran dan sekaligus memisahkan makna penyebab dari suatu peristiwa Komite
Nasional Kebijakan Governance, 2011. Krisis keuangan global pada tahun 2008 menimbulkan banyak
perdebatan mengenai pentingnya good corporate governance. Kegagalan dalam penerapan good corporate governance telah dibahas dalam Sarbanes
Oxley Act yang selanjutnya menekankan pentingnya penerapan manajemen risiko dalam perusahaan untuk mencegah terjadinya kecurangan pelaporan
keuangan. Penerapan manajemen risiko tersebut erat kaitannya dengan pelaksanaan good corporate governance, yaitu prinsip transparansi yang
menuntut diterapkannya enterprise-wide risk management. Beasley 2007 dalam Andarini dan Indira 2010 mengemukakan
bahwa lingkungan perusahaan yang berkembang pesat juga mengakibatkan makin kompleksnya risiko bisnis yang harus dihadapi perusahaan. Berbagai
profil risiko yang dihadapi perusahaan saat ini berbeda dengan profil risiko pada dekade sebelumnya. Perubahan teknologi, globalisasi dan perkembangan
transaksi bisnis seperti hedging dan derivative menyebabkan makin tingginya tantangan yang dihadapi perusahaan dalam mengelola risiko yang harus
dihadapinya. Akibatnya, untuk menghadapi segala tantangan tersebut, penerapan sistem manajemen risiko secara formal dan terstruktur merupakan
3 suatu keharusan bagi perusahaan. Apabila dilaksanakan dengan efektif, sistem
manajemen risiko dapat menjadi sebuah kekuatan bagi pelaksanaan good corporate governance.
Menurut Handayani dkk. 2006 dalam Restuningdiah 2010 mekanisme corporate governance dapat mengawasi manajemen dan
pengambil keputusan, sehingga memudahkan untuk memaksimalkan nilai perusahaan. Corporate Governance merupakan konsep yang didasarkan pada
teori keagenan dan diharapkan dapat berfungsi sebagai alat untuk memberikan keyakinan kepada para investor bahwa mereka akan menerima return atas
dana yang telah mereka investasikan. GCG digunakan sebagai sistem dan struktur yang mengatur hubungan antara manajemen dengan pemilik baik
mayoritas maupun minoritas suatu perusahaan dengan kata lain sebagai bentuk perlindungan investor adanya perbedaan kepentingan pemegang saham
principle dengan pihak manajemen agent. Penerapan corporate governance menuntut adanya perlindungan yang kuat terhadap hak-hak
pemegang saham terutama pemegang saham minoritas. Beberapa hal yang yang terkait dengan mekanisme corporate
governance adalah kepemilikan manajerial, kepemilikan institusional, peran dewan komisaris jumlah dewan komisaris serta independensi dewan
komisaris. Dechow, et al., 1996 dan Beasley 1996 menemukan hubungan yang signifikan antara peran dewan komisaris dengan pelaporan keuangan.
Mereka menemukan bahwa ukuran dan independensi dewan komisaris
4 mempengaruhi kemampuan mereka dalam memonitor proses pelaporan
keuangan. Menurut Peasnell, et al.,2005 dalam Restuningdiah 2010, dewan
komisaris dipercaya dapat memegang peranan penting dalam corporate governance, terutama dalam memonitor manajemen puncak. Davidson, et al.,
2005 dalam Restuningdiah 2010 menyatakan bahwa governance yang kuat merupakan keseimbangan antara kinerja perusahaan dengan tingkat
pengawasan level of monitoring yang cukup. Beberapa hal yang terkait dengan monitoring melalui mekanisme internal governance adalah dewan
komisaris independen, komite audit, fungsi audit internal dan pemilihan audit eksternal.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kandungan informasi dalam laporan keuangan menjadi salah satu isu penting dalam pasar modal
Subiyantoro, 2006. Pasar modal yang efisien harus dapat memberikan perlindungan kepada investor publik dari praktik bisnis yang tidak sehat Suta,
2000. Perlindungan kepada investor publik dapat berupa pemberian informasi dan fakta-fakta yang relevan mengenai perusahaan yang diatur melalui
peraturan pemerintah. Peraturan mengenai praktik pengungkapan informasi perusahaan di Indonesia, khususnya yang bersifat wajib diatur oleh Bapepam
dan lembaga profesi. Selanjutnya, perusahaan dapat juga memberikan pengungkapan yang bersifat sukarela voluntary sebagai tambahan
pengungkapan minimum yang telah ditetapkan Meliana Benardi, dkk., 2009.
5 Pengungkapan laporan keuangan dapat mengurangi masalah keagenan
dengan cara menjembatani asimetri informasi yang terjadi antara manajemen dengan pemegang saham. Banyaknya indikator yang diungkapkan dalam
laporan keuangan mampu meningkatkan nilai perusahaan. Perusahaan yang telah mengungkapkan manajemen risiko dalam laporan tahunan perusahaan
memberikan sinyal positif bagi stakeholders bahwa perusahaan telah menerapkan manajemen risiko sebagai salah satu aspek penting dalam tata
kelola perusahaan. Pandangan ini menunjukkan luas pengungkapan perusahaan erat kaitannya dengan mekanisme untuk mengurangi asimetri
informasi guna menekan konflik kepentingan yang muncul akibat adanya pemisahan kepemilikan dengan pengelolaan Meliana Benardi, dkk., 2009.
Aspek pengawasan monitoring merupakan kunci penting demi berjalannya sistem manajemen risiko perusahaan yang efektif. Dewan
komisaris berperan dalam mengawasi penerapan manajemen risiko untuk memastikan perusahaan memiliki program manajemen risiko yang efektif
Krus dan Orowitz, 2009 dalam Andarini dan Januarti 2010. Untuk meringankan beban tanggung jawabnya yang begitu luas, dewan komisaris
dapat mendelegasikan tugas pengawasan risiko kepada komite pengawas manajemen. Komite tersebut diharapkan dapat mendiskusikan kebijakan dan
panduan untuk mengatur proses manajemen risiko perusahaan Krus dan Orowitz, 2009. Menurut Subramaniam, et al., 2009 dalam Andarini dan
Januarti 2010, komite pengawas manajemen bisa merupakan komite audit atau komite lain yang terpisah dari audit dan berdiri sendiri, meskipun
6 demikian tanggung jawab utama dari pengawasan manajemen risiko tetap di
tangan dewan komisaris secara penuh. Beberapa perusahaan masih mendelegasikan tugas pengawasan risiko kepada komite auditnya Beasley,
2007; Bates dan Leclerc, 2009; Krus dan Orowitz, 2009; COSO, 2009. Namun, luasnya tanggung jawab dan tugas komite audit yang semakin berat
semakin menimbulkan keraguan mengenai kemampuannya untuk berfungsi secara efektif Harrison, 1987; Bates dan Leclerc, 2009. Tugas pengawasan
manajemen risiko membutuhkan pemahaman yang cukup mengenai struktur dan operasi perusahaan secara keseluruhan beserta risiko-risiko yang terkait,
seperti risiko produk, risiko teknologi, risiko kredit, risiko peraturan, dan sebagainya Bates dan Leclerc, 2009. Alasan inilah yang menjadi landasan
beberapa perusahaan untuk menerapkan fungsi pengawasan tersebut pada suatu komite pengawas manajemen yang terpisah dari audit dan berdiri
sendiri, yang secara khusus menangani peran pengawasan dan manajemen risiko perusahaan, atau disebut dengan risk management committee RMC.
Di Indonesia sendiri, perkembangan RMC mulai meningkat. Pemerintah mulai memandatkan pembentukan RMC sebagai komite pengawas risiko pada
industri perbankan. Tetapi, berbeda dari industri perbankan dan finansial yang diregulasi secara ketat, pembentukan RMC pada sektor industri lainnya di
Indonesia masih bersifat sukarela. Dalam sektor perbankan, istilah RMC disebut sebagai Komite Pemantau Risiko melalui Peraturan Bank Indonesia
No.84PBI2006 tentang Pelaksanaan Good Corporate Governance Bagi Bank Umum sebagai suatu kewajiban.
7 Aspek lain yang turut mendukung efektivitas penerapan manajemen
risiko perusahaan adalah auditor eksternal. Kualitas audit yang baik biasanya berasal dari auditor skala besar. Auditor skala besar adalah auditor yang
bekerja sama dengan auditor internasionalluar negeri. Auditor skala besar memiliki insentif lebih untuk mendeteksi dan melaporkan masalah kliennya
dan lebih memungkinkan mendeteksi praktik-praktik akuntansi yang masih meragukan. Oleh karena itu, kualitas auditor dapat menjadi indikator yang
baik untuk meningkatkan nilai perusahaan. Auditor skala besar diyakini mampu bekerja lebih profesional dan dapat mendeteksi adanya risiko-risiko
bisnis yang mungkin terjadi. Auditor yang berafiliasi dengan auditor internasional juga memiliki reputasi yang lebih baik sehingga diharapkan
mampu mengurangi asimetri informasi. Pemegang saham pengendali juga merupakan salah satu mekanisme tata
kelola internal jika terdapat satu atau lebih pemegang saham besar dalam perusahaan. Desender 2010 berpendapat bahwa mungkin ada pengaruh
substitusi atau komplementer antara dimensi struktur kepemilikan konsentrasi dispersi dan dewan direksi dalam hal pemantauan manajerial. Pada struktur
kepemilikan yang lebih terkonsentrasi, investor besar memiliki insentif untuk mengumpulkan informasi dan memantau manajemen secara langsung
Shleifer dan Vishny, 1997, sehingga mereka tidak bergantung pada dewan untuk masalah pemantauan. Selain itu, investor besar mampu memantau
kemampuan dewan, karena mereka memiliki akses informasi dan nilai yang relevan Heflin dan Shaw, 2000. Investor besar terlibat dengan manajemen
8 dalam menetapkan kebijakan perusahaan Davies, 2002, memiliki beberapa
kemampuan untuk mempengaruhi voting dan mungkin mendapat perhatian khusus dari manajemen Useem, 1996. Oleh karena itu, pemegang saham
pengendali dapat memantau ketidaksinambungan manajerial yang terjadi dalam perusahaan Desender, 2010.
Isu mengenai ERM menjadi perdebatan banyak pihak terutama setelah adanya krisis finansial global yang melanda Amerika Serikat pada tahun 2008.
Krisis ekonomi yang melanda Amerika Serikat terjadi akibat macetnya kredit properti subprime mortgage, sejenis kredit kepemilikan rumah KPR di
Indonesia. Hal tersebut diikuti dengan bangkrutnya lembaga-lembaga keuangan di Amerika Serikat. Sebelum krisis, Alan Greenspan, selaku Ketua
The Fed, bank sentral Amerika Serikat, menerapkan suku bunga rendah pada kisaran 1 hingga 2 persen. Yang menjadi masalah, lembaga keuangan pemberi
kredit pemilikan rumah KPR di Negeri Paman Sam itu banyak menyalurkan kredit kepada penduduk yang sebenarnya tidak layak untuk mendapatkan
pembiayaan Depkominfo, 2008:2. Para lembaga penyalur kredit properti bersaing untuk mendapat
konsumen melalui penawaran produk kredit properti yang cukup bervariasi tanpa mengenal secara mendalam karakteristik risiko serta melunakkan
ketentuan mendapatkan kredit properti. Di sisi lain, ketika kredit perumahan disekuritisasi menjadi produk instrumen investasi derivatif bertingkat, maka
gelembung likuiditas makin besar. Produk sekuritas juga diperjualbelikan antarlembaga keuangan di pasar modal sehingga letusan gelembung likuiditas
9 turut mempengaruhi banyak lembaga keuangan dari berbagai penjuru dunia
Depkominfo, 2008:4. Kemudahan pemberian kredit terjadi justru ketika harga properti di AS
sedang naik. Pasar properti yang bergairah membuat spekulasi di sektor ini meningkat. Kredit properti memberi suku bunga tetap selama tiga tahun yang
membuat banyak orang membeli rumah dan berharap bisa menjual dalam tiga tahun sebelum suku bunga disesuaikan. Sementara, untuk memberikan kredit,
lembaga-lembaga itu umumnya meminjam dana jangka pendek dari pihak lain, termasuk lembaga keuangan. Perusahaan pembiayaan kredit rumah juga
menjual surat utang mirip subprime mortgage securities kepada lembaga- lembaga investasi dan investor di berbagai negara. Beberapa perusahaan
pembiayaan kredit rumah, seperti Fannie Mae Freddie Mac mendapatkan
dana dengan menjual surat utang ke bank komersial, bank devisa, atau perusahaan asuransi, diantaranya Lehman Brothers atau AIG Depkominfo,
2008:2. Pada tanggal 14 September 2008, Lehman Brothers, bank investasi
terbesar ke-4 di Amerika Serikat mengumumkan kebangkrutannya akibat krisis solvabilitaspermodalan. Lehman Brothers yang telah berumur 158
tahun dan mampu bertahan dari beberapa krisis sebelumnya termasuk The Great Depression, mengalami kesulitan menambah modal guna menutup
kerugian terkait eksposurnya terhadap unsecured debt termasuk subprime mortgage di AS. Jatuhnya Lehman Brothers secara sederhana disebabkan oleh
kemandekan di pasar keuangan. Krisis kepercayaan melonjak menyebabkan
10 perbankan menolak untuk melakukan transaksi dengan Lehman Brothers.
Penyebab jatuhnya Lehman Brothers hampir sama dengan yang menimpa Nothern Rock di Inggris. Lehman Brothers yang merupakan salah satu bank
investasi terbesar di AS memiliki bisnis trading yang sangat kompleks, memiliki eksposur sekuritas yang berisiko tinggi seperti sekuritas berbasis
kredit properti subprime dan segala produk turunannya. Bangkrutnya Lehman Brothers pada awal September 2008 ditandai
oleh kondisi keuangan dengan utang yang mencapai sekitar 613 miliar dolar AS dengan kreditur utama Mizuho Bank dan Citigroup HongKong. Untuk
meredam kepanikan investor, Lehman Brothers berusaha mengumumkan lebih awal laporan keuangan triwulan III-2008 yang mencatat kerugian sekitar 3,9
miliar dolar AS dan akan menjual 55 aset unit pengelolaan investasi, serta divestasi 25-30 miliar dolar AS kepemilikannya pada real estate komersial.
Namun upaya tersebut tidak berhasil, harga saham Lehman Brothers telah jatuh hingga dinilai sebesar 29 sen dolar AS per lembar.
Lehman Brothers mengajukan petisi bangkrut kepada US Bankcruptcy Court setelah upaya penyelamatan bank investasi yang berumur 158 tahun
tersebut gagal. Kebangkrutan Lehman menyebabkan sekitar 5000 tenaga kerja di PHK. Kejatuhan Lehman ini juga memicu lonjakan persepsi risiko di pasar
keuangan global sehingga krisis kepercayaan antar pelaku pasar keuangan memuncak dan likuiditas sulit diperoleh. Hal tersebut kembali memicu
penarikan dana asing dari emerging market secara besar-besaran sehingga
11 menekan stabilitas nilai tukar dan pasar keuangan global Bank Indonesia,
2009. Kondisi keuangan global menghadapi tekanan yang berat disusul
dengan krisis keuangan Eropa setelah krisis keuangan Amerika Serikat pada tahun 2008. Krisis keuangan Eropa berawal dari defisit anggaran pemerintah
yang semakin besar di negara-negara kawasan Eropa terutama negara-negara lapisan pertama yaitu Yunani, Irlandia, dan Portugal. Sementara itu
melebarnya defisit anggaran pemerintah dibarengi dengan rasio hutang per PDB yang menyebabkan kemampuan memperoleh pembiayaan defisit
terbatas. Tidak berfungsinya kebijakan moneter dalam kawasan Eropa, terbatasnya ruang gerak fiskal, serta tidak terlihatnya upaya pemulihan,
mendorong perlambatan bahkan penurunan perekonomian pada beberapa negara kawasan Eropa Bappenas, 2011.
Krisis keuangan Eropa dikhawatirkan dapat melebar tidak hanya di kawasan Eropa bahkan global. Proses perambatan krisis keuangan Eropa
diperkirakan bersumber dari sistem perbankan yang saling terkait dan kompleks didalam kawasan Eropa maupun dengan luar kawasan Eropa seperti
Amerika dan Jepang. Dengan demikian, pada saat satu negara pada lapisan pertama Yunani, Irlandia, Portugal mengalami default, maka akan
mempengaruhi perbankan negara lain terutama Perancis. Krisis global tidak berpengaruh besar terhadap jalur perdagangan langsung direct trade antara
Indonesia dengan Eropa maupun dengan Amerika Serikat. Tetapi, jalur perdagangan tidak langsung indirect trade Indonesia dengan Eropa dan
12 Amerika akan terpengaruh melalui China. China yang merupakan importir
terbesar barang Indonesia diperkirakan akan mengurangi impornya disebabkan permintaan negara-negara maju menurun terhadap barang China.
Dalam jangka waktu yang lebih panjang menengah panjang, krisis global diperkirakan akan memberi dampak yang besar pada sektor riil terutama
perdagangan terkait perlambatan perekonomian dunia terutama pada negara- negara maju Bappenas, 2011.
Beberapa risiko yang berpotensi muncul akibat melemahnya perekonomian Amerika Serikat dan Uni Eropa adalah pelemahan permintaan
dari AS dan Uni Eropa, perebutan pasar perdagangan ke Asia, serta upaya melakukan global rebalancing. Pelemahan permintaan dari negara Amerika
Serikat dan Uni Eropa akan berpotensi menurunkan ekspor Indonesia ke kedua negara tersebut. Amerika Serikat dan Uni Eropa terutama: Belanda,
Jerman, dan Inggris merupakan mitra dagang utama Indonesia, dimana pangsa pasar ekspor nonmigas ke kedua negara ini terlihat dalam trend yang
menurun dengan indeks intensitas perdagangan trend intensity index yang tidak terlalu tinggi. Salah satu alternatif dari proses penyeimbangan global
global rebalancing adalah Amerika harus meningkatkan ekspornya untuk mengurangi defisit dan negara-negara berkembang seperti: China dan negara
Asia lainnya harus mengurangi ekspornya. Proses ini tentunya akan memberikan risiko terhadap penurunan kinerja ekspor Indonesia, terutama
karena Indonesia merupakan salah satu supplier bahan bakubahan mentah ke China dan India Bappenas, 2011.
13 Kisah Lehman Brothers dan krisis finansial global yang melanda
Amerika Serikat dan Eropa memberikan pelajaran penting bagi semua institusi keuangan untuk menjaga keseimbangan dalam pengelolaan risiko dan upaya
memaksimalkan keuntungan. Dalam hal pengelolaan aset, menjadi penting untuk mendiversifikasikan jenis penempatan sehingga potensi risiko tidak
terkonsentrasi pada suatu jenis penempatan Bank Indonesia, 2008. Sementara itu, Lehman Brothers merupakan salah satu dari sekian
banyak perusahaan yang mengalami krisis finansial pada tahun 2008. Dengan adanya krisis finansial tahun 2008, perusahaan di seluruh dunia menjadi lebih
menyadari pentingnya penerapan Enterprise Risk Management untuk mewujudkan tata kelola perusahaan yang baik dan menjaga kesinambungan
going concern perusahaan, karena ERM diyakini memiliki peran penting dalam efektivitas penerapan good corporate governance sebagai tata kelola
internal perusahaan. Selain itu, menjadi penting bagi perusahaan untuk lebih mempertimbangkan situasi dan kondisi eksternal perusahaan selain tata kelola
internal yang baik. Peristiwa yang dialami oleh Lehman Brothers memberikan bukti
bahwa perusahaan besar yang memiliki tata kelola internal perusahaan yang baik dan mampu bertahan dari gejolak perekonomian dunia, belum menjadi
jaminan sepenuhnya bahwa perusahaan telah menerapkan manajemen risiko untuk mengelola eksposur risiko yang mungkin terjadi. Pada era globalisasi
keuangan saat ini, perusahaan pada dasarnya dihadapkan dengan risiko yang
14 kompleks, tidak hanya risiko yang berasal dari internal perusahaan, tetapi juga
risiko yang berasal dari eksternal perusahaan. Krisis keuangan global menyadarkan perusahaan dan lembaga
keuangan di seluruh dunia untuk lebih berhati-hati dalam mengelola risiko keuangan, seperti risiko kredit, risiko mata uang asing, risiko tingkat suku
bunga, risiko likuiditas, risiko harga pasar dan risiko harga lainnya. Hal ini juga tidak terkecuali bagi perusahaan-perusahaan non finansial, karena
perusahaan non finansial selain memiliki eksposur risiko yang tinggi terkait keuangan tetapi juga risiko yang terkait dengan operasional perusahaan seperti
risiko reputasi; risiko persaingan usaha; risiko katastropik bencana alam; risiko harga komoditas; risiko produk; risiko biaya modal; risiko hukum dan
regulasi; risiko lingkungan sosial, politik dan budaya; serta risiko informasi dan teknologi.
Mencermati hal di atas bahwa perusahaan non finansial juga memiliki eksposur risiko yang tinggi terkait operasional perusahaan selain risiko
keuangan, membuat peneliti tertarik untuk mengetahui bagaimana penerapan manajemen risiko pada perusahaan non finansial melalui pengungkapan pada
laporan tahunan perusahaan. Mengingat saat ini di Indonesia, pengungkapan manajemen risiko hanya diwajibkan bagi perusahaan perbankan dan lembaga
keuangan, sedangkan bagi perusahaan non finansial masih bersifat voluntary sukarela.
Penelitian sebelumnya mengenai faktor-faktor yang berpengaruh pada penerapan ERM telah dilakukan namun menunjukkan hasil yang tidak
15 konsisten. Kleffner et al. 2003 menemukan bahwa adanya Chief Risk
Officer, jumlah dewan direksi, dan kepatuhan atas pedoman yang dikeluarkan bursa efek merupakan kunci sukses penerapan ERM. Hasil penelitian Beasley
et al,. 2005 dan Desender 2007 menunjukkan bahwa keberadaan Chief Risk Officer, komisaris independen, tipe auditor dan ukuran perusahaan
berpengaruh pada tingkat pengungkapan ERM. Penelitian lain juga menunjukkan bahwa dewan direksi merupakan pihak yang berperan penting
dalam penerapan ERM Lam, 2001; Walker et al., 2002. Selain itu, sebagian besar penelitian terdahulu yang membahas
hubungan karakteristik dewan dan perusahaan terhadap keberadaan komite hanya berfokus mengenai komite audit Carson, 2002; Firth dan Rui, 2006;
Chen, et al., 2009, komite nominasi Carson, 2002 dan Ruigrok, et al., 2006, dan komite remunerasi Carson, 2002. Carson 2002 menemukan hasil yang
berbeda pada keberadaan komite audit, komite remunerasi, dan komite nominasi. Keberadaan komite audit ditemukan berhubungan positif dengan
auditor Big Six dan jumlah hubungan intercorporate komisaris dalam perusahaan. Komite remunerasi berhubungan positif dengan auditor Big Six,
hubungan intercorporate dan tingkatan yang tinggi dari investasi institusional. Sementara itu, keberadaan komite nominasi tidak berhubungan dengan auditor
Big Six, komisaris, maupun investor, namun berhubungan dengan ukuran dewan dan leverage Carson, 2002.
Penelitian Ruigrok, et al. 2006 menemukan bahwa perusahaan dengan komite nominasi cenderung memiliki jumlah komisaris independen
16 dengan keragaman kebangsaaan dalam perusahaan yang lebih tinggi.
Selanjutnya, Firth dan Rui 2006 menunjukkan bahwa perusahaan dengan kepemilikan saham terdispersi, proporsi komisaris independen yang lebih
tinggi, dan auditor eksternal non Big Five cenderung untuk mengadopsi komite audit secara sukarela. Chen, et al. 2009 juga menemukan bahwa
faktor-faktor seperti leverage, ukuran perusahaan, ukuran dewan, proporsi komisaris independen, dan CEO independen berhubungan positif dengan
pembentukan komite audit secara sukarela. Namun demikian, hasil penelitian Andarini dan Indira 2010 menunjukkan bahwa komisaris independen,
ukuran dewan komisaris, reputasi auditor, kompleksitas, risiko pelaporan keuangan dan leverage tidak berpengaruh terhadap keberadaan risk
management committee. Sedangkan ukuran perusahaan berhubungan positif terhadap keberadaan risk management committee baik yang tergabung dengan
komite audit maupun terpisah dengan komite audit dan berdiri sendiri. Penelitian mengenai Risk Management Committee oleh Restuningdiah
2010 yang merupakan kelanjutan dari penelitian Davidson, et al., 2005 menunjukkan bahwa mekanisme internal governance yang diproksi dengan
dewan komisaris independen, komite audit, fungsi audit internal dan risk management committee tidak berpengaruh terhadap manajemen laba. Hal ini
mengindikasikan bahwa mekanisme internal governance yang diharapkan dapat mengatasi masalah keagenan terkait dengan manajemen laba income
smoothing belum merupakan jaminan sepenuhnya bagi perusahaan dalam memaksimalkan fungsi pengawasan.
17 Penelitian selanjutnya juga mengangkat isu serupa mengenai pengaruh
Corporate Governance dan Konsentrasi Kepemilikan pada Pengungkapan Enterprise Risk Management oleh Meisaroh dan Lucyanda 2011. Penelitian
ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh komisaris independen, ukuran dewan komisaris, keberadaan RMC, reputasi auditor dan konsentrasi
kepemilikan dengan pengungkapan ERM yang diukur melalui dimensi COSO ERM Framework dengan kriteria 108 pengungkapan. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa komisaris independen dan ukuran dewan komisaris tidak berpengaruh pada pengungkapan ERM. Sementara itu, keberadaan RMC,
reputasi auditor dan konsentrasi kepemilikan berpengaruh terhadap pengungkapan ERM.
Penelitian mengenai ERM belum banyak dilakukan meskipun perkembangan ERM telah berkembang pesat. Oleh karena itu, penelitian
mengenai ERM sangat menarik untuk dilakukan mengingat ERM merupakan isu yang masih baru. Selain itu implementasi ERM erat kaitannya dengan
penerapan good corporate governance. Hal ini karena aspek pengawasan yang dilakukan dewan komisaris, komite pengawas manajemen risiko, eksternal
auditor dan kepemilikan yang terkonsentrasi merupakan kunci penting terlaksananya sistem manajemen risiko yang efektif.
Penelitian ini merupakan penelitian lanjutan dari penelitian sebelumnya yang mereplikasi variabel pengungkapan Enterprise Risk Management
sebagai variabel dependen pada penelitian Meisaroh dan Lucyanda 2011.
18 Untuk membedakannya dengan penelitian sebelumnya, maka peneliti
melakukan beberapa perubahan diantaranya adalah: 1.
Penelitian ini tidak mengikutsertakan variabel ukuran dewan komisaris dalam penelitian Meisaroh dan Lucyanda 2011, karena variabel
komisaris independen yang menggunakan proksi proporsi komisaris independen terhadap jumlah keseluruhan dewan komisaris telah
mencerminkan ukuran dewan komisaris seluruhnya. 2.
Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah perusahaan publik yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia BEI kecuali perusahaan sektor
keuangan pada periode 2009 hingga 2011. Sedangkan populasi yang digunakan dalam penelitian Meisaroh dan Lucyanda 2011 adalah
perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia pada tahun 2009.
3. Variabel Komite Manajemen Risiko dalam penelitian ini diukur dengan
variabel dummy dimana nilai satu diberikan untuk perusahaan yang memiliki komite manajemen risiko terpisah dari komite audit dan berdiri
sendiri, sedangkan pada penelitian Meisaroh dan Lucyanda 2011 nilai satu diberikan untuk perusahaan dengan komite manajemen risiko.
Berdasarkan uraian di atas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian karena adanya perbedaan dari beberapa hasil peneliti terdahulu. Maka penulis
akan mengajukan penelitian dengan judul :
“Pengaruh Komisaris Independen, Komite Manajemen Risiko, Reputasi Auditor dan
Konsentrasi Kepemilikan terhadap Pengungkapan Enterprise Risk
19
Management Dimensi COSO ERM Framework ” Studi Empiris pada
Perusahaan Nonfinancial yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia
Periode Tahun 2009-2011 B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dirumuskan di atas bahwa aspek pengawasan merupakan salah satu kunci berjalannya sistem manajemen risiko
di perusahaan yang efektif dan penerapan enterprise risk management ERM pada perusahaan tidak terlepas dari upaya untuk mewujudkan good corporate
governance, maka rumusan masalah yang hendak dikaji dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Apakah komisaris independen memiliki pengaruh yang signifikan secara parsial terhadap pengungkapan Enterprise Risk Management ERM?
2. Apakah komite manajemen risiko RMC yang terpisah dari audit memiliki pengaruh yang signifikan secara parsial terhadap pengungkapan
Enterprise Risk Management ERM? 3. Apakah reputasi auditor memiliki pengaruh yang signifikan secara parsial
terhadap pengungkapan Enterprise Risk Management ERM? 4. Apakah konsentrasi kepemilikan memiliki pengaruh yang signifikan
secara parsial terhadap pengungkapan Enterprise Risk Management ERM?
5. Apakah komisaris independen, komite manajemen risiko, reputasi auditor dan konsentrasi kepemilikan memiliki pengaruh yang signifikan secara
simultan terhadap pengungkapan Enterprise Risk Management ERM?
20
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian