Pengaruh Komisaris Independen, Komite Manajemen Risiko, Reputasi Auditor dan Konsentrasi Kepemilikan terhadap Pengungkapan Enterprise Risk Management (Dimensi Coso Erm Framework) ( Studi Empiris pada Perusahaan Nonfinancial yang Terdaftar di Bursa Efek In

(1)

PENGARUH KOMISARIS INDEPENDEN, KOMITE MANAJEMEN RISIKO, REPUTASI AUDITOR DAN KONSENTRASI KEPEMILIKAN TERHADAP

PENGUNGKAPAN ENTERPRISE RISK MANAGEMENT (DIMENSI COSO ERM FRAMEWORK)

( Studi Empiris pada Perusahaan Nonfinancial yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia Periode Tahun 2009-2011 )

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Ekonomi dan Bisnis Untuk Memenuhi Syarat Mencapai Gelar

Sarjana Ekonomi

Oleh : Enesti Eka Putri NIM : 109082000200

JURUSAN AKUNTANSI

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS


(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP I. IDENTITAS PRIBADI

1. Nama : Enesti Eka Putri

2. Tempat & Tanggal Lahir : Sukoharjo, 19Agustus1991 3. Jenis Kelamin : Perempuan

4. Agama : Islam

5. Alamat : Jalan Cipulir II RT/RW. 009/004 No. 32, Cipulir, Kebayoran Lama, Jaksel

6. Telepon : 08999158330/ (021) 7267038 7. Email : miss_deyn@yahoo.com

II. PENDIDIKAN FORMAL

1997-2003 : SD Negeri 04 Kartasura Jateng 2003-2006 : SMP Negeri 2Surakarta Jateng 2006-2009 : SMK Muhammadiyah 09 Jakarta

2009-2013 : Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Fakultas Ekonomi dan Bisnis Jurusan Akuntansi

III.PENGALAMAN ORGANISASI

1. Anggota ektrakurikuler Mading SMP Negeri 2 Surakarta

2. Anggota Ikatan Remaja Muhammadiyah (IRM) SMK Muhammadiyah 09 Jakarta periode 2006-2009


(7)

ABSTRACT

The purpose of this research is to determine the influences of independent commissioners, existence of risk management committee, auditor reputation and concentrated ownership toward Enterprise Risk Management (ERM) implementation in nonfinancial companies listed in Indonesia Stock Exchange from 2009 to 2011. The sampling method in this research is purposive sampling with 123 companies as population and 41 companies as samples. The ERM practice is measured based on ERM index, which considers the eight dimension of ERM by COSO framework.

This research uses multiple regression linear analysis method. The analysis technique used in this research is assumption classic test, the hypothesis F-statistic to test the effect together with the 5% confidence level and using the t-statistics for testing the partial regression coefficient. The result of this research that simultaneously independent commissioners, existence of risk management committee, auditor reputation and concentrated ownership (P = 0.000 < α = 0.05) had significant influence toward the disclosure of enterprise risk management by COSO ERM framework. While partially risk management committee, auditor reputation (P = 0.000 < α = 0.05) and concentrated ownership (P = 0.040 < α = 0.05) had significant influence toward the disclosure of enterprise risk management but independent commissioners (P = 0.855 > α = 0.05) did not have significant influence toward the disclosure of enterprise risk management.

Keywords: independent commissioners, risk management committee, auditor reputation, concentrated ownership and disclosure of enterprise risk management (ERM)


(8)

ABSTRAK

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh komisaris independen, keberadaan komite manajemen risiko, reputasi auditor dan konsentrasi kepemilikan terhadap implementasi manajemen risiko perusahaan (ERM) pada perusahaan nonfinansial yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia tahun 2009-2011. Penelitian ini menggunakan metode purposive sampling dengan jumlah populasi sebesar 123 perusahaan dan sampel sebesar 41 perusahaan.

Penerapan ERM diukur berdasarkan indeks ERM dengan mempertimbangkan delapan dimensi COSO ERM framework. Teknik analisis yang digunakan pada penelitian ini adalah uji asumsi klasik, uji hipotesis F-statistik untuk menguji pengaruh secara bersama-sama dengan tingkat kepercayaan 5% serta menggunakan t-statistik untuk menguji koefisien regresi parsial. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara simultan komisaris independen, komite manajemen risiko, reputasi auditor dan konsentrasi kepemilikan (P = 0.000 < α = 0.05) berpengaruh signifikan terhadap pengungkapan ERM dengan COSO ERM framework. Sementara secara parsial komite manajemen risiko, reputasi auditor (P = 0.000 < α = 0.05) dan konsentrasi kepemilikan (P = 0.040 < α = 0.05) berpengaruh signifikan terhadap pengungkapan ERM, sedangkan komisaris independen (P = 0.855 > α = 0.05) tidak berpengaruh signifikan terhadap pengungkapan ERM.

Kata Kunci : komisaris independen, komite manajemen risiko, reputasi auditor, konsentrasi kepemilikan dan pengungkapan manajemen risiko perusahaan (ERM)


(9)

KATA PENGANTAR

Al ‘ilmu bilaa ‘amalin kaassyajarin bilaa tsamarin

Alhamdulillaahirabbil’aalamiin. Segala puji dan syukur hanya bagi ALLAH SWT yang telah melimpahkan segala rahmat dan kasih sayang-Nya kepada kita semua karena hanya dengan ridho-Nya lah penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Pengaruh Komisaris Independen, Komite Manajemen Risiko, Reputasi Auditor dan Konsentrasi Kepemilikan Terhadap Pengungkapan Enterprise Risk Management (ERM) Berdasarkan Dimensi COSO ERM Framework” (Studi Empiris Pada Perusahaan Nonfinansial Yang Terdaftar Di Bursa Efek Indonesia Periode Tahun 2009-2011) ini. Shalawat dan salam semoga selalu tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW, selaku uswatun hasanah bagi setiap rangkaian kehidupan kita, beserta para sahabat, keluarga dan pengikutnya.

Dalam penulisan skripsi ini penulis tidak lepas dari berbagai hambatan dan rintangan, oleh karena itu pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih yang tulus kepada semua pihak yang telah membantu baik moril maupun materi dalam penyusunan skripsi ini kepada:

1. Keluargaku tercinta, Ayahanda dan Ibunda, Suparman dan Mariana, serta adik-adikku, Lina, Tantri, Riffa dan Fattah, atas do’a, dukungan, kesabaran dan keikhlasan yang tidak henti-hentinya. Semoga kita dapat menjadi anak yang menjalani harapan setiap kedua orang tua yang ada di dunia ini. Amiiin. 2. Bapak Prof. Dr. Abdul Hamid, MS selaku Dekan Fakultas Ekonomi dan

Bisnis Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Bapak Dr. Yahya Hamja, MM selaku Dosen Pembimbing I atas waktu yang telah diluangkan untuk ilmu, arahan dan nasehatnya selama penyusunan skripsi ini


(10)

4. Ibu Atiqah, SE, Ak, M.Si selaku Dosen Pembimbing II atas waktu yang telah diluangkan untuk ilmu, bantuan dan motivasinya selama penyusunan skripsi ini

5. Ibu Dr. Rini, SE, Ak., M.Si selaku Ketua Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 6. Bapak Hepy Prayudiawan, SE, Ak., MM selaku Sekretaris Jurusan Akuntansi

Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta sekaligus Dosen Penguji komprehensif penulis.

7. Ibu Rahmawati, SE., MM. selaku Dosen Penguji komprehensif penulis. 8. Bapak Yoghi Citra Pratama, M.Si. selaku Dosen Penguji komprehensif

penulis.

9. Bapak Ady Cahyadi, SE. selaku Dosen Pembimbing Akademik

10. Para Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis yang telah memberikan ilmu dan perhatiannya kepada para mahasiswanya tidak terkecuali penulis

11. Seluruh Staff Bagian Keuangan, Akademik, Jurusan dan Fakultas atas pelayanannya selama ini

12. Kawan-kawan Akuntansi E dan Audit B ’09

Semoga ALLAH SWT membalas semua kebaikan mereka serta ilmu, amal dan iman yang kita miliki dapat diterima di sisi-Nya. Akhirnya, dengan segala kerendahan hati, penulis mempersembahkan skripsi ini kelak dapat bermanfaat kepada semua pihak yang berkepentingan. Semoga ALLAH SWT senantiasa mengiringi setiap langkah kita. Amiiin yaa rabbal ‘aalamiin.

Jakarta, 8 Juli 2013


(11)

DAFTAR ISI

Lembar Pengesahan Skripsi ... ii

Lembar Pengesahan Ujian Komprehensif ... iii

Lembar Pengesahan Ujian Skripsi ... iv

Surat Pernyataan Keaslian Skripsi ... v

Daftar Riwayat Hidup ... vi

Abstract ... vii

Abstrak ... viii

Kata Pengantar ... ix

Daftar Isi ... xi

Daftar Tabel ... xv

Daftar Gambar ... xvi

Daftar Lampiran ... xvii

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Perumusan Masalah ... 19

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 20

1. Tujuan Penelitian ... 20

2. Manfaat Penelitian ... 20

a. Bagi Ilmu Pengetahuan ... 20

b. Bagi Perusahaan ... 21

c. Bagi Bagi Akuntan Publik ... 21


(12)

e. Bagi Regulator…….. ………. 21

BABII. TINJAUAN PUSTAKA…..………...………... 22

A. TinjauanLiteratur…...………...……… 22

1. Agency Theory (TeoriKeagenan).……..…………...……….. 22

2. Signalling Theory….………..….….…...………... 26

3.Risiko (Risk)………….…..……….………... 27

4. Enterprise Risk Management (ERM)………….…...………. 28

5. ERM Framework……….. 31

6.Mekanisme Corporate Governance..……….. 35

7. Komisaris Independen………. 41

8. Risk Management Committee ……….... 43

9. Reputasi Auditor ………. 36

10. Struktur Kepemilikan………. 46

11. Konsentrasi Kepemilikan……… 48

B. Keterkaitan Antar Variabel dan Perumusan Hipotesis…... 56

1. Komisaris Independen dengan Pengungkapan ERM... 56

2. Risk Management Committee (RMC) dengan Pengungkapan ERM……….…... 58

3. Reputasi Auditor dengan Pengungkapan ERM……… 59

4.Konsentrasi Kepemilikan dengan Pengungkapan ERM... 60

5. Komisaris Independen, Komite Manajemen Risiko, Reputasi Auditor dan Konsentrasi Kepemilikan dengan Pengungkapan ERM……….. 61


(13)

C. Hasil-hasil Penelitian Terdahulu...………...………… 61

D. Kerangka Pemikiran…….……….……..………... 69

BABIII. METODOLOGI PENELITIAN.……….………... 70

A. Ruang Lingkup Penelitian………... 70

B. Metode Penentuan Sampel…...………... 70

C. Metode Pengumpulan Data…..………. 71

D. Metode Analisis Data.………... 72

1. Analisis Stasistik Deskriptif……..………... 73

2. Uji Asumsi Klasik…….………... 74

a. Uji Normalitas Data……….….…… 74

b. Uji Multikolonieritas……….……….…….. 77

c. Uji Heteroskedastisitas…………..………….…………. 78

d. Uji Autokorelasi ...……….…...……….…... 79

3. Analisis Regresi Berganda………...……...…… 81

4. Koefisien Determinasi………. 82

5. Pengujian Hipotesis………... 84

a. Pengujian secara Simultan (Uji F)……… 84

b. Pengujian secara Parsial (Uji t)..……….. 84

E. Operasional Variabel Penelitian……….……... 85

1. Variabel Dependen…..……….... 85

a. Pengungkapan ERM…………..………..…. 85

2. Variabel Independen………...……….……... 87

a. Komisaris Independen………..… 87


(14)

c. Reputasi Auditor………..………...………..…. 88

d. KonsentrasiKepemilikan………...…..…. 89

BAB IV. ANALISIS DAN PEMBAHASAN………...……….. 93

A. Gambaran Umum Objek Penelitian…………...…………..… 93

B. Hasil Analisis dan Pembahasan……… 95

1. Statistik Deskriptif……….... 95

2. Uji Asumsi Klasik………... 100

a. Uji Normalitas...………...……… 100

b. Uji Multikolonieritas……….... 105

c. Uji Heteroskedastisitas..………..………... 106

d. Uji Autokorelasi………..……. 108

3. Koefisien Determinasi.………. 110

4. Pengujian Hipotesis….………. 111

a. Pengujian secara Simultan (Uji F)..……….. 112

b. Pengujian secara Parsial (Uji t)……… 113

BAB V. PENUTUP………. 122

A. Kesimpulan………..…….... 122

B. Implikasi………...………... 123

C. Saran………... 125

DAFTAR PUSTAKA…………...……….….. 127


(15)

DAFTAR TABEL

Nomor Keterangan Halaman

2.1 Penelitian Terdahulu 65

3.1 Definisi Operasional Variabel dan Indikatornya 91

4.1 Rincian Sampel Penelitian 93

4.2 Daftar Nama Perusahaan 94

4.3 Hasil Statistik Deskriptif 96

4.4 Daftar Perusahaan dengan RMC terpisah dari komite audit 99

4.5 Hasil Uji Skewnessdan Kurtosis 101

4.6 Uji Normalitas : Nilai Kolmogrov Smirnov 103

4.7 Uji Multikolinieritas 106

4.8 Uji Autokorelasi 108

4.9 Uji Autokorelasi Run Test 109

4.10 Uji Goodness of Fit 110

4.11 Uji Simultan (F test) 112


(16)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Keterangan Halaman

2.1 Operasionalisasi kerangka kerja dan proses manajemen risiko 30

2.2 Infrastruktur Manajemen Risiko 31

2.3 COSO ERM Framework 32

2.4 Kerangka Pemikiran 69

4.1 Uji Normalitas: Grafik Normal Plot 104 4.2 Uji Normalitas: Grafik Histogram 104 4.3 Uji Heteroskedastisitas – Grafik Scatterplot 107


(17)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Keterangan Halaman

1. Dimensi Pengungkapan ERM 134

2. Data Sampel Penelitian 140


(18)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Isu mengenai risk management berkembang dengan pesat seiring dengan meningkatnya jumlah perusahaan yang mulai mengungkapkan keberadaan Risk Management Committee sebagai salah satu bentuk nyata adanya Enterprise Risk Management. Tetapi di lain pihak, banyak perusahaan yang

belum mengetahui pentingnya manajemen risiko perusahaan. Manajemen risiko perusahaan atau Enterprise Risk Management (ERM) merupakan suatu strategi yang digunakan untuk mengevaluasi dan mengelola semua risiko dalam perusahaan. Pendekatan terhadap pengelolaan risiko organisasi sering disebut dengan manajemen risiko.

Manajemen risiko adalah salah satu disiplin yang menjadi popular menjelang akhir abad ke dua puluh. Disiplin ini mengajak untuk secara logis, konsisten dan sistematis melakukan pendekatan terhadap ketidakpastian masa depan, sehingga memungkinkan kita untuk secara lebih hati-hati (prudent) dan produktif menghindari hal-hal yang tidak berguna karena membuang sumber daya secara tidak perlu dan mencegah hal-hal yang merugikan atau bahkan meraup dan mengejar hal-hal yang bermanfaat. Ini semua dilakukan lebih dari sekedar berdasarkan keyakinan dan keberuntungan, karena dalam mengelola masa depan, kita harus mulai dengan mempelajari kemungkinan terjadinya suatu peristiwa (event), dan bila terjadi bagaimana dampaknya


(19)

(consequences). Hal ini ditunjang dengan kemampuan untuk mempelajari dan lebih memahami apa yang menjadi penyebab terjadinya peristiwa (source of risk) tersebut. Karena bila dasarnya hanya keberuntungan, maka manajemen

risiko menjadi tidak ada artinya, dan bahkan mengaburkan suatu kebenaran dan sekaligus memisahkan makna penyebab dari suatu peristiwa (Komite Nasional Kebijakan Governance, 2011).

Krisis keuangan global pada tahun 2008 menimbulkan banyak perdebatan mengenai pentingnya good corporate governance. Kegagalan dalam penerapan good corporate governance telah dibahas dalam Sarbanes Oxley Act yang selanjutnya menekankan pentingnya penerapan manajemen risiko dalam perusahaan untuk mencegah terjadinya kecurangan pelaporan keuangan. Penerapan manajemen risiko tersebut erat kaitannya dengan pelaksanaan good corporate governance, yaitu prinsip transparansi yang menuntut diterapkannya enterprise-wide risk management.

Beasley (2007) dalam Andarini dan Indira (2010) mengemukakan bahwa lingkungan perusahaan yang berkembang pesat juga mengakibatkan makin kompleksnya risiko bisnis yang harus dihadapi perusahaan. Berbagai profil risiko yang dihadapi perusahaan saat ini berbeda dengan profil risiko pada dekade sebelumnya. Perubahan teknologi, globalisasi dan perkembangan transaksi bisnis seperti hedging dan derivative menyebabkan makin tingginya tantangan yang dihadapi perusahaan dalam mengelola risiko yang harus dihadapinya. Akibatnya, untuk menghadapi segala tantangan tersebut, penerapan sistem manajemen risiko secara formal dan terstruktur merupakan


(20)

suatu keharusan bagi perusahaan. Apabila dilaksanakan dengan efektif, sistem manajemen risiko dapat menjadi sebuah kekuatan bagi pelaksanaan good corporate governance.

Menurut Handayani dkk. (2006) dalam Restuningdiah (2010) mekanisme corporate governance dapat mengawasi manajemen dan pengambil keputusan, sehingga memudahkan untuk memaksimalkan nilai perusahaan. Corporate Governance merupakan konsep yang didasarkan pada teori keagenan dan diharapkan dapat berfungsi sebagai alat untuk memberikan keyakinan kepada para investor bahwa mereka akan menerima return atas dana yang telah mereka investasikan. GCG digunakan sebagai sistem dan struktur yang mengatur hubungan antara manajemen dengan pemilik baik mayoritas maupun minoritas suatu perusahaan dengan kata lain sebagai bentuk perlindungan investor adanya perbedaan kepentingan pemegang saham (principle) dengan pihak manajemen (agent). Penerapan corporate governance menuntut adanya perlindungan yang kuat terhadap hak-hak pemegang saham terutama pemegang saham minoritas.

Beberapa hal yang yang terkait dengan mekanisme corporate governance adalah kepemilikan manajerial, kepemilikan institusional, peran dewan komisaris (jumlah dewan komisaris serta independensi dewan komisaris). Dechow, et al., (1996) dan Beasley (1996) menemukan hubungan yang signifikan antara peran dewan komisaris dengan pelaporan keuangan. Mereka menemukan bahwa ukuran dan independensi dewan komisaris


(21)

mempengaruhi kemampuan mereka dalam memonitor proses pelaporan keuangan.

Menurut Peasnell, et al.,(2005) dalam Restuningdiah (2010), dewan komisaris dipercaya dapat memegang peranan penting dalam corporate governance, terutama dalam memonitor manajemen puncak. Davidson, et al.,

(2005) dalam Restuningdiah (2010) menyatakan bahwa governance yang kuat merupakan keseimbangan antara kinerja perusahaan dengan tingkat pengawasan (level of monitoring) yang cukup. Beberapa hal yang terkait dengan monitoring melalui mekanisme internal governance adalah dewan komisaris independen, komite audit, fungsi audit internal dan pemilihan audit eksternal.

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kandungan informasi dalam laporan keuangan menjadi salah satu isu penting dalam pasar modal (Subiyantoro, 2006). Pasar modal yang efisien harus dapat memberikan perlindungan kepada investor publik dari praktik bisnis yang tidak sehat (Suta, 2000). Perlindungan kepada investor publik dapat berupa pemberian informasi dan fakta-fakta yang relevan mengenai perusahaan yang diatur melalui peraturan pemerintah. Peraturan mengenai praktik pengungkapan informasi perusahaan di Indonesia, khususnya yang bersifat wajib diatur oleh Bapepam dan lembaga profesi. Selanjutnya, perusahaan dapat juga memberikan pengungkapan yang bersifat sukarela (voluntary) sebagai tambahan pengungkapan minimum yang telah ditetapkan (Meliana Benardi, dkk., 2009).


(22)

Pengungkapan laporan keuangan dapat mengurangi masalah keagenan dengan cara menjembatani asimetri informasi yang terjadi antara manajemen dengan pemegang saham. Banyaknya indikator yang diungkapkan dalam laporan keuangan mampu meningkatkan nilai perusahaan. Perusahaan yang telah mengungkapkan manajemen risiko dalam laporan tahunan perusahaan memberikan sinyal positif bagi stakeholders bahwa perusahaan telah menerapkan manajemen risiko sebagai salah satu aspek penting dalam tata kelola perusahaan. Pandangan ini menunjukkan luas pengungkapan perusahaan erat kaitannya dengan mekanisme untuk mengurangi asimetri informasi guna menekan konflik kepentingan yang muncul akibat adanya pemisahan kepemilikan dengan pengelolaan (Meliana Benardi, dkk., 2009).

Aspek pengawasan (monitoring) merupakan kunci penting demi berjalannya sistem manajemen risiko perusahaan yang efektif. Dewan komisaris berperan dalam mengawasi penerapan manajemen risiko untuk memastikan perusahaan memiliki program manajemen risiko yang efektif (Krus dan Orowitz, 2009) dalam Andarini dan Januarti (2010). Untuk meringankan beban tanggung jawabnya yang begitu luas, dewan komisaris dapat mendelegasikan tugas pengawasan risiko kepada komite pengawas manajemen. Komite tersebut diharapkan dapat mendiskusikan kebijakan dan panduan untuk mengatur proses manajemen risiko perusahaan (Krus dan Orowitz, 2009). Menurut Subramaniam, et al., (2009) dalam Andarini dan Januarti (2010), komite pengawas manajemen bisa merupakan komite audit atau komite lain yang terpisah dari audit dan berdiri sendiri, meskipun


(23)

demikian tanggung jawab utama dari pengawasan manajemen risiko tetap di tangan dewan komisaris secara penuh. Beberapa perusahaan masih mendelegasikan tugas pengawasan risiko kepada komite auditnya (Beasley, 2007; Bates dan Leclerc, 2009; Krus dan Orowitz, 2009; COSO, 2009). Namun, luasnya tanggung jawab dan tugas komite audit yang semakin berat semakin menimbulkan keraguan mengenai kemampuannya untuk berfungsi secara efektif (Harrison, 1987; Bates dan Leclerc, 2009). Tugas pengawasan manajemen risiko membutuhkan pemahaman yang cukup mengenai struktur dan operasi perusahaan secara keseluruhan beserta risiko-risiko yang terkait, seperti risiko produk, risiko teknologi, risiko kredit, risiko peraturan, dan sebagainya (Bates dan Leclerc, 2009). Alasan inilah yang menjadi landasan beberapa perusahaan untuk menerapkan fungsi pengawasan tersebut pada suatu komite pengawas manajemen yang terpisah dari audit dan berdiri sendiri, yang secara khusus menangani peran pengawasan dan manajemen risiko perusahaan, atau disebut dengan risk management committee (RMC).

Di Indonesia sendiri, perkembangan RMC mulai meningkat. Pemerintah mulai memandatkan pembentukan RMC sebagai komite pengawas risiko pada industri perbankan. Tetapi, berbeda dari industri perbankan dan finansial yang diregulasi secara ketat, pembentukan RMC pada sektor industri lainnya di Indonesia masih bersifat sukarela. Dalam sektor perbankan, istilah RMC disebut sebagai Komite Pemantau Risiko melalui Peraturan Bank Indonesia No.8/4/PBI/2006 tentang Pelaksanaan Good Corporate Governance Bagi Bank Umum sebagai suatu kewajiban.


(24)

Aspek lain yang turut mendukung efektivitas penerapan manajemen risiko perusahaan adalah auditor eksternal. Kualitas audit yang baik biasanya berasal dari auditor skala besar. Auditor skala besar adalah auditor yang bekerja sama dengan auditor internasional/luar negeri. Auditor skala besar memiliki insentif lebih untuk mendeteksi dan melaporkan masalah kliennya dan lebih memungkinkan mendeteksi praktik-praktik akuntansi yang masih meragukan. Oleh karena itu, kualitas auditor dapat menjadi indikator yang baik untuk meningkatkan nilai perusahaan. Auditor skala besar diyakini mampu bekerja lebih profesional dan dapat mendeteksi adanya risiko-risiko bisnis yang mungkin terjadi. Auditor yang berafiliasi dengan auditor internasional juga memiliki reputasi yang lebih baik sehingga diharapkan mampu mengurangi asimetri informasi.

Pemegang saham pengendali juga merupakan salah satu mekanisme tata kelola internal jika terdapat satu atau lebih pemegang saham besar dalam perusahaan. Desender (2010) berpendapat bahwa mungkin ada pengaruh substitusi atau komplementer antara dimensi struktur kepemilikan (konsentrasi /dispersi) dan dewan direksi dalam hal pemantauan manajerial. Pada struktur kepemilikan yang lebih terkonsentrasi, investor besar memiliki insentif untuk mengumpulkan informasi dan memantau manajemen secara langsung (Shleifer dan Vishny, 1997), sehingga mereka tidak bergantung pada dewan untuk masalah pemantauan. Selain itu, investor besar mampu memantau kemampuan dewan, karena mereka memiliki akses informasi dan nilai yang relevan (Heflin dan Shaw, 2000). Investor besar terlibat dengan manajemen


(25)

dalam menetapkan kebijakan perusahaan (Davies, 2002), memiliki beberapa kemampuan untuk mempengaruhi voting dan mungkin mendapat perhatian khusus dari manajemen (Useem, 1996). Oleh karena itu, pemegang saham pengendali dapat memantau ketidaksinambungan manajerial yang terjadi dalam perusahaan (Desender, 2010).

Isu mengenai ERM menjadi perdebatan banyak pihak terutama setelah adanya krisis finansial global yang melanda Amerika Serikat pada tahun 2008. Krisis ekonomi yang melanda Amerika Serikat terjadi akibat macetnya kredit properti (subprime mortgage), sejenis kredit kepemilikan rumah (KPR) di Indonesia. Hal tersebut diikuti dengan bangkrutnya lembaga-lembaga keuangan di Amerika Serikat. Sebelum krisis, Alan Greenspan, selaku Ketua The Fed, bank sentral Amerika Serikat, menerapkan suku bunga rendah pada

kisaran 1 hingga 2 persen. Yang menjadi masalah, lembaga keuangan pemberi kredit pemilikan rumah (KPR) di Negeri Paman Sam itu banyak menyalurkan kredit kepada penduduk yang sebenarnya tidak layak untuk mendapatkan pembiayaan (Depkominfo, 2008:2).

Para lembaga penyalur kredit properti bersaing untuk mendapat konsumen melalui penawaran produk kredit properti yang cukup bervariasi tanpa mengenal secara mendalam karakteristik risiko serta melunakkan ketentuan mendapatkan kredit properti. Di sisi lain, ketika kredit perumahan disekuritisasi menjadi produk instrumen investasi derivatif bertingkat, maka gelembung likuiditas makin besar. Produk sekuritas juga diperjualbelikan antarlembaga keuangan di pasar modal sehingga letusan gelembung likuiditas


(26)

turut mempengaruhi banyak lembaga keuangan dari berbagai penjuru dunia (Depkominfo, 2008:4).

Kemudahan pemberian kredit terjadi justru ketika harga properti di AS sedang naik. Pasar properti yang bergairah membuat spekulasi di sektor ini meningkat. Kredit properti memberi suku bunga tetap selama tiga tahun yang membuat banyak orang membeli rumah dan berharap bisa menjual dalam tiga tahun sebelum suku bunga disesuaikan. Sementara, untuk memberikan kredit, lembaga-lembaga itu umumnya meminjam dana jangka pendek dari pihak lain, termasuk lembaga keuangan. Perusahaan pembiayaan kredit rumah juga menjual surat utang (mirip subprime mortgage securities) kepada lembaga-lembaga investasi dan investor di berbagai negara. Beberapa perusahaan pembiayaan kredit rumah, seperti Fannie Mae & Freddie Mac mendapatkan dana dengan menjual surat utang ke bank komersial, bank devisa, atau perusahaan asuransi, diantaranya Lehman Brothers atau AIG (Depkominfo, 2008:2).

Pada tanggal 14 September 2008, Lehman Brothers, bank investasi terbesar ke-4 di Amerika Serikat mengumumkan kebangkrutannya akibat krisis solvabilitas/permodalan. Lehman Brothers yang telah berumur 158 tahun dan mampu bertahan dari beberapa krisis sebelumnya termasuk The Great Depression, mengalami kesulitan menambah modal guna menutup

kerugian terkait eksposurnya terhadap unsecured debt termasuk subprime mortgage di AS. Jatuhnya Lehman Brothers secara sederhana disebabkan oleh


(27)

perbankan menolak untuk melakukan transaksi dengan Lehman Brothers. Penyebab jatuhnya Lehman Brothers hampir sama dengan yang menimpa Nothern Rock di Inggris. Lehman Brothers yang merupakan salah satu bank

investasi terbesar di AS memiliki bisnis trading yang sangat kompleks, memiliki eksposur sekuritas yang berisiko tinggi seperti sekuritas berbasis kredit properti subprime dan segala produk turunannya.

Bangkrutnya Lehman Brothers pada awal September 2008 ditandai oleh kondisi keuangan dengan utang yang mencapai sekitar 613 miliar dolar AS dengan kreditur utama Mizuho Bank dan Citigroup HongKong. Untuk meredam kepanikan investor, Lehman Brothers berusaha mengumumkan lebih awal laporan keuangan triwulan III-2008 yang mencatat kerugian sekitar 3,9 miliar dolar AS dan akan menjual 55% aset unit pengelolaan investasi, serta divestasi 25-30 miliar dolar AS kepemilikannya pada real estate komersial. Namun upaya tersebut tidak berhasil, harga saham Lehman Brothers telah jatuh hingga dinilai sebesar 29 sen dolar AS per lembar.

Lehman Brothers mengajukan petisi bangkrut kepada US Bankcruptcy

Court setelah upaya penyelamatan bank investasi yang berumur 158 tahun

tersebut gagal. Kebangkrutan Lehman menyebabkan sekitar 5000 tenaga kerja di PHK. Kejatuhan Lehman ini juga memicu lonjakan persepsi risiko di pasar keuangan global sehingga krisis kepercayaan antar pelaku pasar keuangan memuncak dan likuiditas sulit diperoleh. Hal tersebut kembali memicu penarikan dana asing dari emerging market secara besar-besaran sehingga


(28)

menekan stabilitas nilai tukar dan pasar keuangan global (Bank Indonesia, 2009).

Kondisi keuangan global menghadapi tekanan yang berat disusul dengan krisis keuangan Eropa setelah krisis keuangan Amerika Serikat pada tahun 2008. Krisis keuangan Eropa berawal dari defisit anggaran pemerintah yang semakin besar di negara-negara kawasan Eropa terutama negara-negara lapisan pertama yaitu Yunani, Irlandia, dan Portugal. Sementara itu melebarnya defisit anggaran pemerintah dibarengi dengan rasio hutang per PDB yang menyebabkan kemampuan memperoleh pembiayaan defisit terbatas. Tidak berfungsinya kebijakan moneter dalam kawasan Eropa, terbatasnya ruang gerak fiskal, serta tidak terlihatnya upaya pemulihan, mendorong perlambatan bahkan penurunan perekonomian pada beberapa negara kawasan Eropa (Bappenas, 2011).

Krisis keuangan Eropa dikhawatirkan dapat melebar tidak hanya di kawasan Eropa bahkan global. Proses perambatan krisis keuangan Eropa diperkirakan bersumber dari sistem perbankan yang saling terkait dan kompleks didalam kawasan Eropa maupun dengan luar kawasan Eropa seperti Amerika dan Jepang. Dengan demikian, pada saat satu negara pada lapisan pertama (Yunani, Irlandia, Portugal) mengalami default, maka akan mempengaruhi perbankan negara lain terutama Perancis. Krisis global tidak berpengaruh besar terhadap jalur perdagangan langsung (direct trade) antara Indonesia dengan Eropa maupun dengan Amerika Serikat. Tetapi, jalur perdagangan tidak langsung (indirect trade) Indonesia dengan Eropa dan


(29)

Amerika akan terpengaruh melalui China. China yang merupakan importir terbesar barang Indonesia diperkirakan akan mengurangi impornya disebabkan permintaan negara-negara maju menurun terhadap barang China. Dalam jangka waktu yang lebih panjang (menengah panjang), krisis global diperkirakan akan memberi dampak yang besar pada sektor riil terutama perdagangan terkait perlambatan perekonomian dunia terutama pada negara-negara maju (Bappenas, 2011).

Beberapa risiko yang berpotensi muncul akibat melemahnya perekonomian Amerika Serikat dan Uni Eropa adalah pelemahan permintaan dari AS dan Uni Eropa, perebutan pasar perdagangan ke Asia, serta upaya melakukan global rebalancing. Pelemahan permintaan dari negara Amerika Serikat dan Uni Eropa akan berpotensi menurunkan ekspor Indonesia ke kedua negara tersebut. Amerika Serikat dan Uni Eropa (terutama: Belanda, Jerman, dan Inggris) merupakan mitra dagang utama Indonesia, dimana pangsa pasar ekspor nonmigas ke kedua negara ini terlihat dalam trend yang menurun dengan indeks intensitas perdagangan (trend intensity index) yang tidak terlalu tinggi. Salah satu alternatif dari proses penyeimbangan global (global rebalancing) adalah Amerika harus meningkatkan ekspornya (untuk mengurangi defisit) dan negara-negara berkembang (seperti: China dan negara Asia lainnya) harus mengurangi ekspornya. Proses ini tentunya akan memberikan risiko terhadap penurunan kinerja ekspor Indonesia, terutama karena Indonesia merupakan salah satu supplier bahan baku/bahan mentah ke China dan India (Bappenas, 2011).


(30)

Kisah Lehman Brothers dan krisis finansial global yang melanda Amerika Serikat dan Eropa memberikan pelajaran penting bagi semua institusi keuangan untuk menjaga keseimbangan dalam pengelolaan risiko dan upaya memaksimalkan keuntungan. Dalam hal pengelolaan aset, menjadi penting untuk mendiversifikasikan jenis penempatan sehingga potensi risiko tidak terkonsentrasi pada suatu jenis penempatan (Bank Indonesia, 2008).

Sementara itu, Lehman Brothers merupakan salah satu dari sekian banyak perusahaan yang mengalami krisis finansial pada tahun 2008. Dengan adanya krisis finansial tahun 2008, perusahaan di seluruh dunia menjadi lebih menyadari pentingnya penerapan Enterprise Risk Management untuk mewujudkan tata kelola perusahaan yang baik dan menjaga kesinambungan (going concern) perusahaan, karena ERM diyakini memiliki peran penting dalam efektivitas penerapan good corporate governance sebagai tata kelola internal perusahaan. Selain itu, menjadi penting bagi perusahaan untuk lebih mempertimbangkan situasi dan kondisi eksternal perusahaan selain tata kelola internal yang baik.

Peristiwa yang dialami oleh Lehman Brothers memberikan bukti bahwa perusahaan besar yang memiliki tata kelola internal perusahaan yang baik dan mampu bertahan dari gejolak perekonomian dunia, belum menjadi jaminan sepenuhnya bahwa perusahaan telah menerapkan manajemen risiko untuk mengelola eksposur risiko yang mungkin terjadi. Pada era globalisasi keuangan saat ini, perusahaan pada dasarnya dihadapkan dengan risiko yang


(31)

kompleks, tidak hanya risiko yang berasal dari internal perusahaan, tetapi juga risiko yang berasal dari eksternal perusahaan.

Krisis keuangan global menyadarkan perusahaan dan lembaga keuangan di seluruh dunia untuk lebih berhati-hati dalam mengelola risiko keuangan, seperti risiko kredit, risiko mata uang asing, risiko tingkat suku bunga, risiko likuiditas, risiko harga pasar dan risiko harga lainnya. Hal ini juga tidak terkecuali bagi perusahaan-perusahaan non finansial, karena perusahaan non finansial selain memiliki eksposur risiko yang tinggi terkait keuangan tetapi juga risiko yang terkait dengan operasional perusahaan seperti risiko reputasi; risiko persaingan usaha; risiko katastropik (bencana alam); risiko harga komoditas; risiko produk; risiko biaya modal; risiko hukum dan regulasi; risiko lingkungan sosial, politik dan budaya; serta risiko informasi dan teknologi.

Mencermati hal di atas bahwa perusahaan non finansial juga memiliki eksposur risiko yang tinggi terkait operasional perusahaan selain risiko keuangan, membuat peneliti tertarik untuk mengetahui bagaimana penerapan manajemen risiko pada perusahaan non finansial melalui pengungkapan pada laporan tahunan perusahaan. Mengingat saat ini di Indonesia, pengungkapan manajemen risiko hanya diwajibkan bagi perusahaan perbankan dan lembaga keuangan, sedangkan bagi perusahaan non finansial masih bersifat voluntary (sukarela).

Penelitian sebelumnya mengenai faktor-faktor yang berpengaruh pada penerapan ERM telah dilakukan namun menunjukkan hasil yang tidak


(32)

konsisten. Kleffner et al. (2003) menemukan bahwa adanya Chief Risk Officer, jumlah dewan direksi, dan kepatuhan atas pedoman yang dikeluarkan

bursa efek merupakan kunci sukses penerapan ERM. Hasil penelitian Beasley et al,. (2005) dan Desender (2007) menunjukkan bahwa keberadaan Chief Risk

Officer, komisaris independen, tipe auditor dan ukuran perusahaan

berpengaruh pada tingkat pengungkapan ERM. Penelitian lain juga menunjukkan bahwa dewan direksi merupakan pihak yang berperan penting dalam penerapan ERM (Lam, 2001; Walker et al., 2002).

Selain itu, sebagian besar penelitian terdahulu yang membahas hubungan karakteristik dewan dan perusahaan terhadap keberadaan komite hanya berfokus mengenai komite audit (Carson, 2002; Firth dan Rui, 2006; Chen, et al., 2009), komite nominasi (Carson, 2002 dan Ruigrok, et al., 2006), dan komite remunerasi (Carson, 2002). Carson (2002) menemukan hasil yang berbeda pada keberadaan komite audit, komite remunerasi, dan komite nominasi. Keberadaan komite audit ditemukan berhubungan positif dengan auditor Big Six dan jumlah hubungan intercorporate komisaris dalam perusahaan. Komite remunerasi berhubungan positif dengan auditor Big Six, hubungan intercorporate dan tingkatan yang tinggi dari investasi institusional. Sementara itu, keberadaan komite nominasi tidak berhubungan dengan auditor Big Six, komisaris, maupun investor, namun berhubungan dengan ukuran

dewan dan leverage (Carson, 2002).

Penelitian Ruigrok, et al. (2006) menemukan bahwa perusahaan dengan komite nominasi cenderung memiliki jumlah komisaris independen


(33)

dengan keragaman kebangsaaan dalam perusahaan yang lebih tinggi. Selanjutnya, Firth dan Rui (2006) menunjukkan bahwa perusahaan dengan kepemilikan saham terdispersi, proporsi komisaris independen yang lebih tinggi, dan auditor eksternal non Big Five cenderung untuk mengadopsi komite audit secara sukarela. Chen, et al. (2009) juga menemukan bahwa faktor-faktor seperti leverage, ukuran perusahaan, ukuran dewan, proporsi komisaris independen, dan CEO independen berhubungan positif dengan pembentukan komite audit secara sukarela. Namun demikian, hasil penelitian Andarini dan Indira (2010) menunjukkan bahwa komisaris independen, ukuran dewan komisaris, reputasi auditor, kompleksitas, risiko pelaporan keuangan dan leverage tidak berpengaruh terhadap keberadaan risk management committee. Sedangkan ukuran perusahaan berhubungan positif

terhadap keberadaan risk management committee baik yang tergabung dengan komite audit maupun terpisah dengan komite audit dan berdiri sendiri.

Penelitian mengenai Risk Management Committee oleh Restuningdiah (2010) yang merupakan kelanjutan dari penelitian Davidson, et al., (2005) menunjukkan bahwa mekanisme internal governance yang diproksi dengan dewan komisaris independen, komite audit, fungsi audit internal dan risk management committee tidak berpengaruh terhadap manajemen laba. Hal ini

mengindikasikan bahwa mekanisme internal governance yang diharapkan dapat mengatasi masalah keagenan terkait dengan manajemen laba (income smoothing) belum merupakan jaminan sepenuhnya bagi perusahaan dalam


(34)

Penelitian selanjutnya juga mengangkat isu serupa mengenai pengaruh Corporate Governance dan Konsentrasi Kepemilikan pada Pengungkapan Enterprise Risk Management oleh Meisaroh dan Lucyanda (2011). Penelitian

ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh komisaris independen, ukuran dewan komisaris, keberadaan RMC, reputasi auditor dan konsentrasi kepemilikan dengan pengungkapan ERM yang diukur melalui dimensi COSO ERM Framework dengan kriteria 108 pengungkapan. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa komisaris independen dan ukuran dewan komisaris tidak berpengaruh pada pengungkapan ERM. Sementara itu, keberadaan RMC, reputasi auditor dan konsentrasi kepemilikan berpengaruh terhadap pengungkapan ERM.

Penelitian mengenai ERM belum banyak dilakukan meskipun perkembangan ERM telah berkembang pesat. Oleh karena itu, penelitian mengenai ERM sangat menarik untuk dilakukan mengingat ERM merupakan isu yang masih baru. Selain itu implementasi ERM erat kaitannya dengan penerapan good corporate governance. Hal ini karena aspek pengawasan yang dilakukan dewan komisaris, komite pengawas manajemen risiko, eksternal auditor dan kepemilikan yang terkonsentrasi merupakan kunci penting terlaksananya sistem manajemen risiko yang efektif.

Penelitian ini merupakan penelitian lanjutan dari penelitian sebelumnya yang mereplikasi variabel pengungkapan Enterprise Risk Management sebagai variabel dependen pada penelitian Meisaroh dan Lucyanda (2011).


(35)

Untuk membedakannya dengan penelitian sebelumnya, maka peneliti melakukan beberapa perubahan diantaranya adalah:

1. Penelitian ini tidak mengikutsertakan variabel ukuran dewan komisaris dalam penelitian Meisaroh dan Lucyanda (2011), karena variabel komisaris independen yang menggunakan proksi proporsi komisaris independen terhadap jumlah keseluruhan dewan komisaris telah mencerminkan ukuran dewan komisaris seluruhnya.

2. Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah perusahaan publik yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) kecuali perusahaan sektor keuangan pada periode 2009 hingga 2011. Sedangkan populasi yang digunakan dalam penelitian Meisaroh dan Lucyanda (2011) adalah perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia pada tahun 2009.

3. Variabel Komite Manajemen Risiko dalam penelitian ini diukur dengan variabel dummy dimana nilai satu diberikan untuk perusahaan yang memiliki komite manajemen risiko terpisah dari komite audit dan berdiri sendiri, sedangkan pada penelitian Meisaroh dan Lucyanda (2011) nilai satu diberikan untuk perusahaan dengan komite manajemen risiko. Berdasarkan uraian di atas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian karena adanya perbedaan dari beberapa hasil peneliti terdahulu. Maka penulis akan mengajukan penelitian dengan judul : “Pengaruh Komisaris Independen, Komite Manajemen Risiko, Reputasi Auditor dan Konsentrasi Kepemilikan terhadap Pengungkapan Enterprise Risk


(36)

Management (Dimensi COSO ERM Framework)” (Studi Empiris pada Perusahaan Nonfinancial yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia Periode Tahun 2009-2011)

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dirumuskan di atas bahwa aspek pengawasan merupakan salah satu kunci berjalannya sistem manajemen risiko di perusahaan yang efektif dan penerapan enterprise risk management (ERM) pada perusahaan tidak terlepas dari upaya untuk mewujudkan good corporate governance, maka rumusan masalah yang hendak dikaji dalam penelitian ini

adalah sebagai berikut:

1. Apakah komisaris independen memiliki pengaruh yang signifikan secara parsial terhadap pengungkapan Enterprise Risk Management (ERM)? 2. Apakah komite manajemen risiko (RMC) yang terpisah dari audit

memiliki pengaruh yang signifikan secara parsial terhadap pengungkapan Enterprise Risk Management (ERM)?

3. Apakah reputasi auditor memiliki pengaruh yang signifikan secara parsial terhadap pengungkapan Enterprise Risk Management (ERM)?

4. Apakah konsentrasi kepemilikan memiliki pengaruh yang signifikan secara parsial terhadap pengungkapan Enterprise Risk Management (ERM)?

5. Apakah komisaris independen, komite manajemen risiko, reputasi auditor dan konsentrasi kepemilikan memiliki pengaruh yang signifikan secara simultan terhadap pengungkapan Enterprise Risk Management (ERM)?


(37)

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah, penelitian ini bertujuan untuk menemukan bukti empiris mengenai hal-hal sebagai berikut:

a. Menganalisis besarnya pengaruh komisaris independen secara parsial terhadap pengungkapan Enterprise Risk Management (ERM).

b. Menganalisis besarnya pengaruh keberadaan komite manajemen risiko (RMC) yang terpisah dari audit secara parsial terhadap pengungkapan Enterprise Risk Management (ERM).

c. Menganalisis besarnya pengaruh reputasi auditor secara parsial terhadap pengungkapan Enterprise Risk Management (ERM).

d. Menganalisis besarnya pengaruh konsentrasi kepemilikan secara parsial terhadap pengungkapan Enterprise Risk Management (ERM).

e. Menganalisis besarnya pengaruh komisaris independen, komite manajemen risiko (RMC), reputasi auditor dan konsentrasi kepemilikan secara simultan terhadap pengungkapan Enterprise Risk Management (ERM).

2. Manfaat Penelitian

Adapun hasil penelitian ini diharapkan akan memberikan manfaat dan kontribusi sebagai berikut:

a. Bagi perkembangan ilmu pengetahuan

Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan memperkuat penelitian sebelumnya terutama mengenai pengaruh


(38)

komisaris independen, komite manajemen risiko, reputasi auditor dan konsentrasi kepemilikan terhadap pengungkapan ERM.

b. Bagi Manajemen Perusahaan

Dengan adanya penelitian ini diharapkan manajemen perusahaan lebih transparan dalam mengungkapkan informasi mengenai perusahaan dan menganalisis arti penting penerapan manajemen risiko oleh perusahaan serta dalam rangka mewujudkan Good Corporate Governance.

c. Bagi profesi akuntan publik

Dengan adanya penelitian ini diharapkan akuntan publik lebih memahami tentang penerapan manajemen risiko perusahaan sebagai bahan pertimbangan dalam menilai efektivitas pengendalian internal perusahaan dan memberikan opini audit yang sesuai.

d. Bagi Investor dan Analis Pasar Modal

Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan pertimbangan pada saat melakukan investasi dan memberikan kredit dengan melihat bagaimana penerapan manajemen risiko yang dilakukan oleh perusahaan.

e. Bagi Regulator (Pembuat Kebijakan)

Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu bahan pertimbangan bagi pembuat regulasi yang berkaitan dengan arti penting penerapan manajemen risiko bagi perusahaan nonfinancial di Indonesia mengingat pengungkapan manajemen risiko perusahaan (ERM) masih bersifat voluntary.


(39)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Literatur 1. Agency Theory

Agency theory sering digunakan sebagai landasan dalam penelitian-penelitian sebelumnya mengenai corporate governance, khususnya tentang keberadaan komite yang diharapkan dapat memitigasi adanya konflik antara agen dan prinsipal. Hal ini dikarenakan pentingnya aspek pengawasan (monitoring) demi terwujudnya good corporate governance. Teori agensi merupakan teori yang mendasari praktik bisnis perusahaan yang telah dipakai selama ini. Teori ini menyatakan adanya hubungan kerja antara pihak yang memberi wewenang (prinsipal) dengan pihak yang menerima wewenang (agen) dalam bentuk sebuah kontrak kerjasama.

Fama dan Jensen (1983) dalam Meisaroh dan Lucyanda (2011) menyatakan bahwa teori ini adalah serangkaian mekanisme untuk menyatukan kepentingan pemegang saham dan manajer seperti adanya mekanisme pengawasan internal oleh dewan komisaris dan komite audit pengawasan dari pemegang saham mayoritas (Shleifer dan Vishny, 1986), adanya pengendalian internal (Matsumura dan Tucker, 1992), serta pengawasan eksternal yang dilakukan eksternal auditor atas laporan keuangan perusahaan (Watts dan Zimmerman, 1986). Sistem kontrol


(40)

diatas dirancang untuk memantau kinerja perusahaan dan diharapkan dapat menjelaskan konflik keagenan yang terjadi.

Dalam teori agensi, baik principal maupun agent diasumsikan sebagai orang-orang ekonomi yang rasional dan semata-mata termotivasi oleh kepentingan pribadinya masing-masing. Dari situasi ini timbullah konflik kepentingan antara principal dan agent.

Ada beberapa kemungkinan konflik dalam hubungan antara prinsipal dengan agen (agency conflict), konflik yang timbul sebagai akibat dari keinginan manajemen (agen) untuk melakukan tindakan yang sesuai dengan kepentingannya yang dapat mengorbankan kepentingan pemegang saham (prinsipal) untuk memperoleh return dan nilai jangka panjang perusahaan. Jensen dan Meckling dalam Larasati (2009) yang berpendapat bahwa agency conflict timbul pada berbagai hal sebagai berikut:

a. Moral-Hazard

Manajemen memilih investasi yang paling sesuai dengan kemampuan dirinya dan bukan yang paling menguntungkan bagi perusahaan. b. Earning Retention

Manajemen cenderung mempertahankan tingkat pendapatan perusahaan yang stabil, sedangkan pemegang saham lebih menyukai distribusi kas yang lebih tinggi melalui beberapa peluang investasi internal yang positif.


(41)

c. Risk Aversion

Manajemen cenderung mengambil posisi aman untuk mereka sendiri dalam mengambil keputusan investasi. Dalam hal ini, mereka akan mengambil keputusan investasi yang sangat aman dan masih dalam kemampuan manajer. Mereka akan menghindari keputusan investasi yang dianggap menambah resiko bagi perusahaannya walaupun mungkin hal itu bukan pilihan yang terbaik bagi perusahaan.

d. Time Horizon

Alijoyo dan Zaini (2004) dalam Setyarini (2011) menyatakan bahwa manajemen cenderung hanya memperhatikan cashflow perusahaan sejalan dengan waktu penugasan mereka. Hal ini dapat menimbulkan bias dalam pengambilan keputusan yaitu berpihak pada proyek jangka pendek dengan pengembalian akuntansi yang tinggi dan kurang atau tidak berpihak pada proyek jangka panjang dengan pengembalian net present value yang jauh lebih besar.

Masalah lain yang mungkin timbul dari hubungan keagenan ini yaitu agen memiliki informasi yang lebih banyak dibandingkan dengan prinsipal, sehingga menimbulkan adanya asimetri informasi yaitu kondisi ketidakseimbangan perolehan informasi antara pihak manajemen sebagai penyedia informasi dengan pihak pemegang saham dan stakeholder sebagai pengguna informasi (Indrayati, 2010). Untuk meredam tindakan para agent yang tidak sesuai dengan kepentingannya, principal memiliki dua cara (Jensen dan Meckling, 1976 dan Subramaniam, et al., 2009):


(42)

a. Mengawasi perilaku agent dengan mengadopsi fungsi audit dan mekanisme corporate governance lain yang dapat meluruskan kepentingan agent dengan kepentingan principal.

b. Menyediakan insentif kepegawaian yang menarik kepada agent dan mengadakan struktur reward yang dapat membujuk para agent untuk bertindak sesuai dengan kepentingan terbaik principal.

Secara umum, keberadaan komite-komite seperti komite audit, komite nominasi, komite remunerasi, serta komite manajemen risiko. merupakan mekanisme pengawasan internal di dalam perusahaan dan keberadaan komite pengawas yang dibentuk oleh dewan komisaris tersebut menyediakan kualitas pengawasan yang lebih baik dan menuntun untuk menurunkan perilaku oportunistik yang dilakukan oleh manajer. Komite-komite yang dibentuk oleh dewan komisaris tersebut diperkirakan ada dalam situasi dimana biaya agensi tinggi, seperti leverage tinggi serta kompleksitas dan ukuran perusahaan yang lebih besar (Subramaniam, et al., 2009).

Firth dan Rui (2006) menyatakan teori agensi juga mengemukakan bahwa moral hazard yang melekat dalam hubungan prinsipal dan agen dapat menimbulkan biaya keagenan (agency cost). Komite audit merupakan salah satu cara untuk mengurangi masalah biaya keagenan ini. Komite audit yang efektif dapat meningkatkan kualitas dan kredibilitas laporan keuangan tahunan yang telah diaudit dan hal ini dapat membantu


(43)

pekerjaan dewan direksi yang bertugas menjaga dan memajukan kepentingan para pemegang saham.

2. Signalling Theory

Salah satu teori yang dapat melatarbelakangi masalah asimetri informasi dalam pasar adalah signalling theory (Kartika, 2009). Teori sinyal membahas mengenai dorongan perusahaan untuk memberikan informasi kepada pihak eksternal. Teori sinyal muncul karena adanya permasalahan asimetri informasi antara pihak manajemen dan pihak eksternal. Oleh karena itu, untuk mengurangi asimetri informasi yang akan terjadi perusahaan harus mengungkapkan informasi yang dimiliki, baik informasi keuangan maupun informasi non keuangan (Setyarini, 2011).

Penggunaan signaling theory dalam praktik pengungkapan perusahaan, secara umum menguntungkan bagi perusahaan untuk mengungkapkan praktik corporate governance yang baik, sehingga dapat menciptakan kualitas perusahaan yang baik dalam pasar (Subramaniam, et al., 2009). Salah satu bentuk sinyal tentang kualitas perusahaan tersebut

adalah pembentukan komite, yang memberikan informasi bahwa perusahaan tersebut lebih baik dalam segi pengawasan dibandingkan dengan perusahaan lain (Andarini dan Indira, 2010).

Berdasarkan signalling theory, walaupun belum ada peraturan yang memandatkan mengenai penerapan ERM secara khusus, tetapi perusahaan tetap dapat menerapkan dan mengungkapkan ERM dalam komitmennya


(44)

menuju praktik good corporate governance dan dengan harapan dapat meningkatkan reputasi serta nilai perusahaan.

3. Risiko (Risk)

Sonnidwiharsono (1996) dalam Setyarini (2011) menunjukkan bahwa dari perspektif kegiatan usaha, pengaruh kegiatan usaha modern khususnya dalam sektor industri bertambah kompleks. Bertambah kompleksnya kegiatan usaha ini telah membawa pengaruh pula pada kebutuhan untuk lebih memperhatikan risiko-risiko yang dihadapi perusahaan. Menurut ISO Guide 73:2009 definisi 1.1 yang dimaksud dengan risiko adalah dampak ketidakpastian pada sasaran (Komite Nasional Kebijakan Governance, 2011).

Dalam konteks keterkaitan risiko dan proses organisasi, maka risiko adalah sesuatu yang dapat mempengaruhi sasaran organisasi (Komite Nasional Kebijakan Governance, 2011). Salah satu atribut risiko adalah ketidakpastian, baik dari sesuatu yang sudah diketahui maupun dari sesuatu yang belum diketahui. Dengan demikian strategi yang baik haruslah juga memperhatikan risiko-risiko yang mungkin terjadi dalam konteks eksternal organisasi maupun konteks internal organisasi dan melakukan antisipasi perlakuan risiko bila memang risiko tersebut menjadi kenyataan. Untuk risiko-risiko eksternal perlu diperhatikan antara lain harapan dari tiap-tiap pemangku kepentingan terhadap organisasi yang bila tidak dipenuhi akan menimbulkan konflik dan mempengaruhi pencapaian sasaran organisasi. Begitu pula risiko yang mungkin terjadi akibat


(45)

perubahan situasi politik, ekonomi, sosial dan lainnya. Risiko juga dapat mengakibatkan kehancuran organisasi, karena itu risiko penting untuk dikelola. Risiko juga diyakini tidak dapat dihindari, oleh karena itu pemahaman terhadap risiko merupakan suatu langkah untuk menentukan prioritas strategi dan program dalam pencapaian tujuan organisasi (Setyarini, 2011).

4. Enterprise Risk Management (ERM)

Manajemen risiko perusahaan merupakan suatu strategi yang digunakan untuk tetap bertahan dalam lingkungan usaha yang kompetitif. Pesatnya pertumbuhan ekonomi menjadikan ERM sebagai bagian penting perusahaan dalam mempertahankan kinerja dan tingkat profitabilitas perusahaan. Kesadaran yang tinggi terhadap manajemen risiko sebagian besar sebagai akibat dari beberapa bencana yang dihadapi perusahaan dan kegagalan bisnis yang tidak diharapkan (Walker, et al., 2009). Oleh karena itu, setiap perusahaan membutuhkan Entreprise Risk Management (ERM) untuk mengurangi dan menangani setiap risiko perusahaan yang mungkin muncul. Elemen yang mendasari ERM, antara lain:

 Komitmen Chief Executive Officer (CEO)  Kebijaksanaan risiko dan misi perusahaan  Laporan unit bisnis dan jajaran eksekutif

 Pengembangan kerangka kerja (framework) risiko  Pengembangan bahasa risiko yang umum


(46)

 Perangkat untuk memperkirakan risiko

 Perangkat untuk melaporkan dan memonitor risiko

 Keterkaitan risiko pada pihak-pihak yang sesuai dan bertanggung jawab

 Keterkaitan risiko dengan fungsi keuangan dan pendanaan

 Identifikasi risiko dan perkiraan risiko ke strategi perusahaan yang terintegrasi

Penerapan manajemen risiko juga bertujuan untuk mengidentifikasi risiko perusahaan pada setiap kegiatan, serta mengukur dan mengatasinya pada level toleransi tertentu (Meisaroh dan Lucyanda, 2011). Oleh karena itu, struktur manajemen risiko yang tepat dapat membantu dalam mengelola risiko bisnis secara lebih efektif dan mengungkapkan hasil manajemen risiko kepada stakeholders organisasi (Subramaniam et al., 2009 dalam Setyarini, 2011).

Menurut KNKG (2011), manajemen risiko adalah bagian terpadu dari proses organisasi, maka proses manajemen risiko merupakan bagian yang tak terpisahkan dari manajemen umumnya dan harus masuk menjadi bagian dari budaya organisasi, praktik terbaik organisasi, dan proses bisnis organisasi. Dalam Pedoman Manajemen Risiko (KNKG, 2011), proses manajemen risiko meliputi lima kegiatan, yaitu komunikasi dan konsultasi, menentukan konteks, asesmen risiko, perlakuan risiko serta monitoring dan review, sebagaimana ditunjukkan pada gambar 2.1 pada halaman berikutnya:


(47)

Gambar 2.1

Operasionalisasi kerangka kerja dan proses manajemen risiko

Sumber: diadopsi dari Broadleaf Capital International Pty, Ltd. (2008) Menurut KNKG (2011), tidak terdapat model atau panduan baku dalam penyusunan infrastruktur pengelolaan manajemen risiko. Hal yang terpenting adalah kejelasan akuntabilitas dan tanggung jawab untuk mendorong pelaksanaan manajemen risiko. Setiap organisasi harus menyusun infrastruktur organisasi manajemen risiko sesuai dengan kebutuhan dan jenis-jenis risiko yang dihadapi. Model ini adalah contoh


(48)

infrastruktur manajemen risiko yang lebih tepat diaplikasikan pada organisasi yang cukup besar, dapat dilihat pada gambar 2.2 berikut:

Gambar 2.2

Infrastruktur Manajemen Risiko

Sumber: Pedoman Manajemen Risiko (diadopsi dari berbagai sumber oleh KNKG, 2011) 5. ERM Framework

Pada tahun 2004, COSO (Committee of Sponsoring Organization of the Treadway Commission) menerbitkan Enterprise Risk

Management-Integrated Framework yang menggambarkan komponen-komponen penting, prinsip dan konsep dari manajemen risiko perusahaan untuk seluruh organisasi, tanpa memandang ukurannya. Definisi Enterprise Risk Management menurut COSO, yaitu:

A process, effected by an entity’s board of directors, management and other personnel, applied in strategy setting and across the enterprise, designed to identify potential events that may affect the entity, manage risk to be within its risk appetite, and provide reasonable assurance regarding the achievement of entity objectives.” (COSO, 2009)


(49)

Definisi COSO mengandung makna bahwa ERM sebagai suatu proses yang dipengaruhi manajemen perusahaan, yang diimplementasikan dalam setiap strategi perusahaan dan dirancang untuk memberikan keyakinan memadai agar dapat mencapai tujuan perusahaan. COSO ERM-Intergrated Framework memberi gambaran secara garis besar sebuah pendekatan untuk memahami risiko-risiko dan mengatasinya.

COSO ERM Framework terdiri dari delapan komponen yang harus ada dan berjalan agar dapat dikatakan sebagai ERM efektif yang dapat dilihat pada gambar 2.3 berikut:

Gambar 2.3 COSO ERM Framework


(50)

a. Internal Environment

Komponen ini mencerminkan selera perusahaan terhadap risiko yang dapat memberikan gambaran risiko dan pengendalian yang harus didasari atau diketahui oleh seluruh jajaran perusahaan. Manajemen bertanggung jawab dalam menetapkan sikap terhadap risiko kepada seluruh jajaran dalam perusahaan sebagai guidelines.

b. Objective Settings

Perusahaan perlu menetapkan tujuan-tujuan strategis secara luas dan risiko yang dapat diterima. Strategic Objectives mencerminkan pilihan manajemen mengenai bagaimana perusahaan meningkatkan nilai perusahaan khususnya bagi pemegang saham. Selanjutnya, perusahaan harus menetapkan juga risiko yang berkaitan dengan tujuan perusahaan. Kategori objek tersebut, antara lain:

 Strategi: tujuan akhir yang mendukung misi organisasi

 Operasi: menggunakan sumber daya secara efektif dan efisien  Laporan Keuangan

 Kepatuhan (compliance): sesuai dengan hukum dan regulasi yang berlaku

c. Events Identification

Mengikuti konsep dari COSO Internal Control, manajemen harus memiliki proses-proses yang dilakukan untuk mengidentifikasi kejadian yang mempunyai pengaruh positif maupun negatif terhadap strategi risiko yang berhubungan. Berdasarkan risiko yang dapat


(51)

ditoleransi, perusahaan dapat mempertimbangkan kejadian internal atau eksternal yang dapat menjadi risiko baru atau malah mengurangi risiko yang ada. Contoh kejadian-kejadian tersebut antara lain perubahan lingkungan kompetisi dan tren sosial ekonomi.

d. Risk Assessments

Pada saat terdapat suatu kejadian yang merupakan suatu risiko, manajemen perlu mempertimbangkan bagaimana dampak yang dapat ditimbulkan dari kejadian tersebut terhadap ERM Objectives perusahaan yang dilihat dari frekuensi dan seberapa besar pengaruh kejadian tersebut.

e. Risk Responses

Manajemen harus menetapkan berbagai pilihan tanggapan (response) terhadap risiko dan mempertimbangkan konsekuensinya melalui intensitas dan besarnya pengaruh dari kejadian tersebut yang berkaitan dengan toleransi risiko perusahaan. Tanggapan terhadap risiko yang dapat dilakukan adalah:

1) Menghindari risiko (avoidance) 2) Mengurangi risiko (reduction) 3) Membagi risiko (sharing) 4) Menerima risiko (acceptance)

Penelaahan terhadap tanggapan atas risiko dan jaminan keyakinan bahwa beberapa risk responses diambil dan diimplementasikan merupakan suatu komponen kunci dari suatu ERM Framework.


(52)

f. Control Activities

Kebijakan dan prosedur harus ada untuk meyakinkan bahwa tanggapan terhadap risiko yang memadai telah dilakukan. Control Activities harus ada pada setiap level dan fungsi dalam perusahaan, termasuk approval, authorizations, performance review, safety and security issues, dan segregations of duties yang memadai.

g. Information and Communication

Informasi atas risiko yang berkaitan dengan perusahaan baik yang berasal dari pihak luar ataupun pihak internal harus diidentifikasi, diolah, dan dikomunikasikan kepada pihak-pihak yang mempunyai kaitan dan tanggung jawab. Komunikasi yang efektif harus mengalir ke seluruh level perusahaan dan juga ke pihak-pihak eksternal seperti pelanggan, pemasok, pemerintah, maupun pemegang saham.

h. Monitoring

Prosedur yang terus-menerus dilakukan untuk mengawasi program ERM dan kualitasnya dari waktu ke waktu.

6. Mekanisme Corporate Governance a. Pengertian Corporate Governance

Menurut Cadburry dalam Sutedi (2011), Good Corporate Governance adalah prinsip yang mengarahkan dan mengendalikan

perusahaan agar mencapai keseimbangan antara kekuatan serta kewenangan perusahaan dalam memberikan pertanggungjawabannya


(53)

kepada para shareholders khususnya, dan stakeholders pada umumnya.

Kelompok negara maju Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) dalam Surya dan Yustiavandana (2008),

mendefinisikan Good Corporate Governance adalah:

“Sekumpulan hubungan antara pihak manajemen perusahaan,

board, pemegang saham, dan pihak lain yang mempunyai kepentingan dengan perusahaan. Corporate Governance juga mensyaratkan adanya struktur perangkat untuk mencapai tujuan dan pengawasan atas kinerja. Corporate governance yang baik dapat memberikan rangsangan bagi board dan manajemen untuk mencapai tujuan yang merupakan kepentingan perusahaan dan pemegang saham harus memfasilitasi pengawasan yang efektif sehingga mendorong perusahaan

menggunakan sumber daya dengan lebih efisien”.

Adapun Keputusan Menteri Badan Usaha Milik Negara Nomor KEP-177/M-MBU/2002 dalam Surya dan Yustiavandana (2008), corporate governance adalah:

“Suatu proses dari struktur yang digunakan oleh organ BUMN

untuk meningkatkan keberhasilan usaha dan akuntabilitas perusahaan guna mewujudkan nilai pemegang saham dalam jangka panjang dengan tetap memerhatikan kepentingan stakeholder lainnya, berlandaskan peraturan perundangan dan nilai-nilai etika”.

Sedangkan menurut Price Waterhouse Coopers dalam Surya dan Yustiavandana (2008).

“Corporate governance terkait dengan pengambilan keputusan yang efektif dan dibangun melalui kultur organisasi, nilai-nilai, sistem, berbagai proses, kebijakan-kebijakan dan struktur organisasi, yang bertujuan untuk mencapai bisnis yang menguntungkan, efisien, dan efektif dalam mengelola risiko dan bertanggung jawab dengan memerhatikan kepentingan stakeholders”.


(54)

Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa Good Corporate Governance merupakan:

1) Suatu struktur yang mengatur pola hubungan harmonis tentang peran dewan komisaris, Direksi, Pemegang Saham dan Para Stakeholder lainnya.

2) Suatu sistem pengecekan dan pertimbangan kewenangan atas pengendalian perusahaan yang dapat membatasi munculnya dua peluang: pengelolaan yang salah dan penyalahgunaan aset perusahaan.

3) Suatu proses yang transparan atas penentuan tujuan perusahaan, pencapaian, berikut pengukuran kinerjanya.

b. Prinsip-prinsip Corporate Governance

Di Indonesia, dalam Code of Corporate Governance yang diterbitkan oleh Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG) 2006, terdapat 5 prinsip Corporate Governance (CG) yang harus diterapkan oleh setiap perusahaan yaitu transparency, accountability, responsibility, independency dan fairness.

1) Transparency (Transparansi)

Untuk menjaga objektivitas dalam menjalankan bisnisnya, perusahaan harus menyediakan informasi yang material dan relevan dengan cara yang mudah diakses dan dipahami oleh para pemangku kepentingan. Perusahaan harus mengambil inisiatif untuk mengungkapkan tidak hanya masalah yang disyaratkan oleh


(55)

peraturan perundang-undangan tetapi juga hal-hal yang penting dalam pengambilan keputusan bagi pemegang saham, kreditur dan pemangku kepentingan lainnya.

2) Accountability (Akuntabilitas)

Perusahaan harus dapat mempertanggungjawabkan kinerjanya secara transparan dan wajar. Untuk itu perusahaan harus dikelola secara benar, terukur dan sesuai dengan kepentingan perusahaan dengan tetap memperhatikan kepentingan pemegang saham dan pemangku kepentingan lainnya. Akuntabilitas merupakan prasyarat yang diperlukan untuk mencapai kinerja yang berkesinambungan.

3) Responsibility (Tanggung Jawab)

Perusahaan harus mematuhi peraturan perundang-undangan serta melaksanakan tanggung jawabnya terhadap masyarakat dan lingkungan sehingga dapat terpelihara kesinambungan usaha dalam jangka yang panjang dan mendapat pengakuan sebagai good corporate citizen.

4) Independency (Kemandirian)

Untuk melancarkan pelaksanaan azas GCG, perusahaan harus dikelola secara independen sehingga masing-masing organ perusahaan tidak saling mendominasi dan tidak dapat diintervensi oleh pihak lain.


(56)

Dalam melaksanakan kegiatannya perusahaan harus selalu senantiasa memperhatikan kepentingan pemegang saham dan pemangku kepentingan lainnya berdasarkan azas kesetaraan dan kewajaran.

Adapun Prinsip-prinsip GCG terdapat lima aspek yang dijabarkan oleh OECD (Organization for Economic Cooperation and Development) sebagai pedoman pengembagan kerangka kerja legal,

institutional, dan regulatory untuk corporate governance di suatu negara. Lima aspek tersebut antara adalah:

1) Hak-hak pemegang saham dan fungsi kepemilikan: Hak-hak pemegang saham harus dilindungi dan difasilitasi.

2) Perlakuan setara terhadap seluruh pemegang saham: Seluruh pemegang saham termasuk pemegang saham minoritas dan pemegang saham asing harus diperlakukan setara. Seluruh pemegang saham harus diberikan kesempatan yang sama untuk mendapatkan perhatian bila hak-haknya dilanggar.

3) Peran stakeholders dalam corporate governance: Hak-hak para pemangku kepentingan (stakeholders) harus diakui sesuai peraturan perundangan yang berlaku, dan kerjasama aktif antara perusahaan dan para stakeholders harus dikembangkan dalam upaya bersama menciptakan kekayaan, pekerjaan, dan keberlanjutan perusahaan. 4) Disclosure dan transparansi: Disclosure atau pengungkapan yang


(57)

termasuk situasi keuangan, kinerja, kepemilikan, dan governance perusahaan.

5) Tanggung jawab Pengurus Perusahaan (Corporate Boards): Pengawasan Komisaris terhadap pengelolaan perusahaan oleh Direksi harus berjalan efektif, disertai adanya tuntutan strategik terhadap manajemen, serta akuntabilitas dan loyalitas Direksi dan Komisaris terhadap perusahaan dan pemegang saham.

Good corporate governance terdiri dari dua unsur, yaitu unsur yang

berasal dari dalam perusahaan (corporate governance internal perusahaan) dan unsur yang berasal dari luar perusahaan (corporate

governance eksternal perusahaan). Corporate governance internal

perusahaan adalah unsur yang selalu diperlukan dalam perusahaan dan sangat berperan dalam mengelola perusahaan. Jika kinerja corporate governace internal baik maka kinerja perusahaan pun baik dan sebaliknya.

Unsur-unsur Corporate governance internal perusahaan menurut Kresnohadi (2000:9) terdiri dari pemegang saham, direksi, dewan komisaris, manajer, karyawan, sistem, dan komite audit.

Internal Governance merupakan bagian dari mekanisme Corporate Governance yang telah menjadi pokok bahasan yang penting bagi para pelaku bisnis di seluruh dunia. Krisis ekonomi yang berkepanjangan dan tuntutan persaingan global menjadi salah satu faktor pendorong dilakukannya reformasi GCG (Alijoyo dan Zaini, 2004). Saat ini terdapat tuntutan yang besar dan ada kecenderungan bahwa manajemen


(58)

perusahaan-perusahaan publik diwajibkan mempertanggungjawabkan pengelolaan perusahaan kepada publik (Syakhroza, 2004).

Istilah internal governance pada penelitian ini mengacu pada penelitian Davidson, et al., (2005) yang menyatakan bahwa pengungkapan laporan keuangan dapat mengurangi masalah keagenan dengan melakukan monitoring terhadap perilaku agent. Beberapa hal yang terkait dengan

monitoring melalui mekanisme internal governance adalah dewan

komisaris independen, komite audit, fungsi internal audit, dan pemilihan auditor eksternal. Tetapi dalam penelitian ini tidak memasukkan variabel pemilihan auditor eksternal karena pernyataan Subramaniam, et al. (2009) bahwa pemilihan auditor eksternal bukan merupakan mekanisme internal governance melainkan external governance.

c. Komisaris Independen

Keberhasilan penegakan GCG sangat ditentukan oleh kualitas pimpinannya yaitu komisaris sebagai pengawas dan direksi sebagai pelaksana. Dalam mekanisme corporate governance, dewan komisaris memiliki peranan dan tugas yang sangat penting. Dalam melaksanakan fungsi pengawasan, dewan komisaris dapat memberikan kontribusi terhadap proses penyusunan laporan keuangan yang berkualitas dan mengandung informasi yang relevan bagi para stakeholders.

Di Indonesia saat ini, keberadaan komisaris independen sudah diatur dalam Code of Good Corporate Governance yang dikeluarkan oleh KNKG. Komisaris menurut kode tersebut, bertanggung jawab dan


(59)

mempunyai kewenangan untuk mengawasi kebijakan dan kegiatan yang dilakukan oleh direksi dan memberi nasihat bila diperlukan (Juwitasari, 2008). Namun terkadang dewan komisaris di suatu perusahaan belum bisa melaksanakan fungsi kontrol terhadap direksi dengan baik (Kusuma, 2004 dalam Yuliandri, 2010).

Pengertian komisaris independen seperti yang dikemukakan oleh Alijoyo dan Zaini (2004) dalam Setyarini (2011), yaitu:

“Komisaris Independen adalah anggota komisaris yang berasal dari

luar perusahaan (tidak memiliki hubungan afiliasi dengan perusahaan) yang dipilih secara transparan dan independen, memiliki integritas dan kompetensi yang memadai, bebas dari pengaruh yang berubungan dengan kepentingan pribadi atau pihak lain, serta dapat bertindak secara objektif dan independen dengan berpedoman kepada prinsip-prinsip Good Corporate Governance (transparency, accountability, responsibility, fairness).

PT Bursa Efek Jakarta (BEJ) melalui Keputusan Direksi PT Bursa Efek Jakarta No: Kep-305/BEJ/07-2004 di dalam Pencatatan Efek No.1- A: tentang Ketetentuan Umum Pencatatan Saham dan Efek yang bersifat Ekuitas di bursa, dalam pasal 1-a menyebutkan tentang rasio komisaris independen yaitu komisaris independen yang jumlahnya secara proporsional sebanding dengan jumlah saham yang dimiliki oleh yang bukan pemegang saham pengendali dengan ketentuan jumlah komisaris independen sekurang kurangnya 30% (tiga puluh persen) dari seluruh jumlah anggota komisaris.


(60)

d. Risk Management Committee (RMC)

RMC menjadi populer sebagai mekanisme pengawas risiko yang penting bagi perusahaan (Subramaniam, et al., 2009). Hal ini makin diperkuat dengan survey oleh KPMG (2005) pada perusahaan-perusahaan Australia, yang menyatakan bahwa lebih dari setengah responden (54%) telah memiliki RMC, di mana sebesar 70% tergabung dengan komite audit. Menurut Subramaniam, et al. (2009), secara umum area tugas dan wewenang RMC adalah :

a. Mempertimbangkan strategi manajemen risiko organisasi b. Mengevaluasi operasi manajemen risiko organisasi c. Menaksir pelaporan keuangan organisasi

d. Memastikan bahwa organisasi dalam prakteknya memenuhi hukum dan peraturan yang berlaku.

Peranan yang tidak boleh dilakukan oleh internal audit dan disarankan untuk dilakukan oleh RMC sebagai unit yang independen, antara lain:

a. Menetapkan batasan dan selera risiko (risk appetite)

b. Memastikan berlangsungnya proses manajemen risiko pada perusahaaan

c. Melakukan validasi atas risiko yang telah teridentifikasi dan terukur Dalam pembentukannya, RMC dapat tergabung dengan audit atau dapat pula menjadi komite yang terpisah dan berdiri sendiri. Komite terpisah yang secara khusus berfokus pada masalah risiko (RMC), dinilai


(61)

dapat menjadi mekanisme yang efektif dalam mendukung dewan komisaris untuk memenuhi tanggung jawabnya dalam tugas pengawasan risiko dan manajemen pengendalian internal (Subramaniam, et al., 2009). RMC yang terpisah dari audit akan lebih dapat mencurahkan lebih banyak waktu dan usaha untuk menggabungkan berbagai risiko yang dihadapi perusahaan secara luas dan mengevaluasi pengendalian terkait secara keseluruhan (Subramaniam, et al., 2009). Selain itu, RMC yang terpisah dari audit juga lebih memungkinkan dewan komisaris dalam memahami profil risiko perusahaan dengan lebih mendalam (Bates dan Leclerc, 2009).

Pada sektor perbankan, RMC disebut pula dengan Komite Pemantau Risiko. Berdasarkan PBI No.8/4/PBI/2006 salah satu prasyarat yang harus dilengkapi oleh Bank Umum yaitu tentang Penerapan GCG bagi Bank Umum adalah pembentukan Komite Pemantau Risiko. Komite ini merupakan komite yang berada di bawah dewan komisaris, yang memiliki fungsi membantu dewan komisaris dalam tugas pengawasan, khususnya di bidang manajemen risiko.

Dibandingkan dengan sektor non-perbankan, ternyata risiko sektor perbankan lebih banyak dan jauh lebih kompleks. Tercatat kurang lebih ada 9 (sembilan) risiko yang dihadapi mulai dari risiko operasional, risiko pasar, risiko likuiditas, risiko hukum, risiko reputasi, risiko strategik, dan risiko kepatuhan (Fajri, 2007). Oleh karena itu, Bank Indonesia mengakomodir hal ini dengan mewajibkan pembentukan Komite


(62)

Pemantau Risiko yang memiliki fungsi untuk melaksanakan evaluasi tentang kesesuaian antara kebijakan manajemen risiko dengan pelaksanaan kebijakan tersebut dan melakukan pemantauan dan evaluasi pelaksanaan tugas Komite Manajemen Risiko dan Satuan Kerja Manajemen Risiko di tingkat direksi. Pembentukan Komite Pemantau Risiko menjadi efektif dengan mempertimbangkan tingkat kegunaannya bagi perusahaan.

e. Reputasi Auditor

Auditor merupakan kunci mekanisme pengawasan eksternal dari sebuah organisasi, dan dalam beberapa tahun ini menjadi pusat perhatian bagi manajemen risiko (Subramaniam, et al., 2009). Auditor eksternal juga dapat mempengaruhi sistem pengawasan internal klien dengan membuat rekomendasi post-audit pada peningkatan desain dari sistem (Subramaniam, et al., 2009).

Auditor dengan reputasi baik seperti Big Four juga cenderung untuk lebih memilih berhubungan dengan klien yang memiliki nilai yang baik dalam komunitas bisnis, oleh karena itu auditor Big Four akan mempengaruhi klien untuk bertindak sesuai dengan praktek terbaik. (Carson, 2002 dalam Andarini dan Indira, 2010). Auditor Big Four dapat meningkatkan kualitas mekanisme pengawasan internal yang lebih tinggi kepada kliennya dibandingkan dengan auditor non-Big Four (Cohen et al., 2004 dalam Subramaniam et al., 2009).


(63)

f. Struktur Kepemilikan

Pengelolaan perusahaan pada umumnya bertujuan untuk memakmurkan pemiliknya. Semakin tinggi nilai perusahaan menggambarkan semakin sejahtera pemiliknya. Nilai perusahaan akan tercermin dari harga pasar sahamnya (Fama, 1978 dalam Untung dan Hartini, 2006 dalam Pujiati 2010). Untuk mencapai tujuan tersebut, para pihak yang berkepentingan seperti pemilik modal (sebagai principal) bisa mempercayakan kepada para profesional (managerial) untuk mengelola perusahaan dengan tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan sebelumnya.

Berdasarkan teori keagenan (agency theory), adanya pemisahan kepemilikan dan pengelolaan perusahaan dapat menimbulkan masalah keagenan (agency problems), yaitu ketidaksejajaran antara principal (pemilik atau pemegang saham) dan agent (manajer). Adanya beberapa penyatuan kepentingan pemegang saham, debtholders dan manajemen dengan pihak-pihak yang mempunyai kepentingan terhadap tujuan perusahaan, seringkali menimbulkan masalah-masalah. Untuk itu, diperlukan sebuah kontrol dari pihak luar dimana peran monitoring dan pengawasan yang baik akan mengarahkan tujuan sebagaimana mestinya.

Manajemen merupakan pihak yang dikontrak oleh pemegang saham untuk bekerja demi kepentingan pemegang saham. Untuk itu manajemen diberikan sebagian kekuasaan untuk membuat keputusan bagi kepentingan terbaik pemegang saham. Oleh karena itu, manajemen wajib mempertanggungjawabkan semua upayanya kepada pemegang saham.


(1)

141 2010 IND_COM OWN_CON AUD_REP FIRM_RMC ERM

AALI 0.429 0.797 1 0 0.944

SGRO 0.400 0.671 1 1 0.833

SMAR 0.375 0.952 0 0 0.889

ITMG 0.333 0.650 1 1 0.917

MITI 0.500 0.676 0 0 0.944

PTBA 0.400 0.650 1 1 0.907

SIPD 0.667 0.586 0 0 0.907

SMCB 0.571 0.807 1 0 0.954

SMGR 0.500 0.510 1 1 0.972

SOBI 0.333 0.688 1 0 0.889

SULI 0.400 0.516 1 0 0.898

ASII 0.455 0.501 1 1 0.907

AUTO 0.300 0.957 1 0 0.907

POLY 0.333 0.607 0 0 0.833

INDF 0.300 0.501 1 0 0.907

KAEF 0.600 0.900 0 0 0.880

KLBF 0.333 0.670 1 1 0.898

RMBA 0.500 0.991 1 0 0.889

TCID 0.400 0.608 1 0 0.889

UNVR 0.750 0.850 1 0 0.889

JKON 0.400 0.677 0 0 0.852

JRPT 0.400 0.662 0 0 0.852

LPCK 0.600 0.575 0 0 0.824

SMDM 0.667 0.737 1 0 0.824

ISAT 0.400 0.650 1 1 0.954

JSMR 0.333 0.700 0 1 0.880

ACES 0.500 0.600 0 0 0.843

AKRA 0.333 0.592 1 0 0.898

JTPE 0.500 0.643 0 0 0.880

KBLV 0.571 0.551 0 0 0.880

LMAS 0.333 0.546 0 0 0.843

LTLS 0.400 0.630 1 0 0.880

MAMI 0.667 0.501 0 0 0.796

MAPI 0.400 0.588 1 0 0.833

MDRN 0.333 0.561 1 0 0.843

MICE 0.333 0.604 0 0 0.815

MNCN 0.400 0.717 1 0 0.972

MTDL 0.333 0.769 1 0 0.870

POOL 0.333 0.808 0 0 0.815

RALS 0.500 0.559 1 0 0.843


(2)

142 2011 IND_COM OWN_CON AUD_REP FIRM_RMC ERM

AALI 0.429 0.797 1 0 0.944

SGRO 0.400 0.671 1 1 0.833

SMAR 0.375 0.972 0 0 0.889

ITMG 0.333 0.650 1 1 0.917

MITI 0.500 0.679 0 0 0.944

PTBA 0.333 0.650 1 1 0.907

SIPD 0.667 0.586 0 0 0.907

SMCB 0.571 0.807 1 0 0.954

SMGR 0.333 0.510 1 1 0.972

SOBI 0.333 0.980 1 0 0.889

SULI 0.400 0.516 1 0 0.898

ASII 0.455 0.501 1 1 0.907

AUTO 0.400 0.957 1 0 0.907

POLY 0.333 0.600 0 0 0.833

INDF 0.333 0.501 1 0 0.907

KAEF 0.400 0.900 0 0 0.880

KLBF 0.333 0.640 1 1 0.981

RMBA 0.500 0.856 1 0 0.889

TCID 0.400 0.608 1 0 0.889

UNVR 0.800 0.850 1 0 0.889

JKON 0.400 0.677 0 0 0.852

JRPT 0.400 0.662 0 0 0.852

LPCK 0.600 0.578 0 0 0.824

SMDM 0.667 0.737 0 0 0.824

ISAT 0.400 0.650 1 1 0.954

JSMR 0.333 0.700 0 1 0.880

ACES 0.500 0.600 0 0 0.843

AKRA 0.333 0.597 1 0 0.898

JTPE 0.500 0.636 0 0 0.880

KBLV 0.500 0.551 0 0 0.880

LMAS 0.333 0.546 0 0 0.843

LTLS 0.400 0.630 1 0 0.880

MAMI 0.667 0.501 0 0 0.796

MAPI 0.400 0.560 1 0 0.833

MDRN 0.333 0.561 1 0 0.843

MICE 0.333 0.604 0 0 0.815

MNCN 0.400 0.700 1 0 0.972

MTDL 0.333 0.595 1 0 0.870

POOL 0.333 0.808 0 0 0.815

RALS 0.500 0.559 1 0 0.843


(3)

143 Lampiran 3: Hasil Uji Regresi Berganda

Variables Entered/Removedb

Model

Variables Entered

Variables

Removed Method

1 OWN_CON,

IND_COM, AUD_REP, FIRM_RMC

. Enter

a. All requested variables entered. b. Dependent Variable: ERM Model Summaryb

Model R R Square

Adjusted R Square

Std. Error of the Estimate

1 ,566a ,320 ,297 ,039072

Model Summaryb

Model

Change Statistics

Durbin-Watson R Square

Change F Change df1 df2

Sig. F Change

1 ,320 13,891 4 118 ,000 1,922

a. Predictors: (Constant), OWN_CON, IND_COM, AUD_REP, FIRM_RMC b. Dependent Variable: ERM

ANOVAb

Model

Sum of

Squares df

Mean

Square F Sig.

1 Regression ,085 4 ,021 13,891 ,000a

Residual ,180 118 ,002

Total ,265 122

a. Predictors: (Constant), OWN_CON, IND_COM, AUD_REP, FIRM_RMC b. Dependent Variable: ERM


(4)

144 Coefficientsa

Model

Unstandardized Coefficients

B Std. Error

1 (Constant) ,813 ,025

AUD_REP ,036 ,008

FIRM_RMC ,035 ,009

IND_COM ,006 ,031

OWN_CON ,059 ,028

Coefficientsa

Model

Standardized Coefficients

t Sig.

Collinearity Statistics

Beta Tolerance VIF

1 (Constant) 33,060 ,000

AUD_REP ,375 4,648 ,000 ,883 1,133

FIRM_RMC ,315 3,820 ,000 ,848 1,180

IND_COM ,014 ,184 ,855 ,951 1,051

OWN_CON ,162 2,081 ,040 ,956 1,046


(5)

145 Charts


(6)

Dokumen yang terkait

Pengaruh Komisaris Independen, Komite Audit, dan Struktur Kepemilikan Terhadap Kinerja Keuangan Pada Perusahaan Sektor Keuangan yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI)

8 121 97

Pengaruh Komisaris Independen, Komite Audit, Kepemilikan Manajerial, dan Kepemilikan Institusional Terhadap Manajemen Laba pada Perusahaan Otomotif yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia

1 81 85

Analisis Pengaruh Kepemilikan Institusional, Kepemilikan Manajerial, Dewan Komisaris Independen, Leverage, dan Komite Audit Pada Perusahaan Perbankan Terdaftar di BEI

3 79 92

Pengaruh Komisaris Independen, Komite Audit, dan Kepemilikan Institusional Terhadap Manajemen Laba Pada Perusahaan Otomotif Yang Terdaftar Di Bursa Efek Indonesia

2 154 83

Pengaruh Karakteristik Komite Audit, Ukuran Dewan, dan Struktur Kepemilikan terhadap Financial Distress(Studi Empiris pada Perusahaan yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia Tahun 2009-2011)

5 35 132

Pengaruh Komisaris Independen, Komite Manajemen Risiko, Reputasi Auditor dan Konsentrasi Kepemilikan terhadap Pengungkapan Enterprise Risk Management (Dimensi Coso Erm Framework) ( Studi Empiris pada Perusahaan Nonfinancial yang Terdaftar di Bursa Efek In

2 36 163

Pengaruh Corporate Governance dan Konsentrasi Kepemilikan pada Pengungkapan Enterprise Risk Management

1 2 30

Pengaruh Komisaris Independen, Komite Audit, dan Struktur Kepemilikan Terhadap Kinerja Keuangan Pada Perusahaan Sektor Keuangan yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI)

0 1 14

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Teori Keagenan - Pengaruh Komisaris Independen, Komite Audit, Kepemilikan Manajerial, dan Kepemilikan Institusional Terhadap Manajemen Laba pada Perusahaan Otomotif yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia

0 0 24

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Pengaruh Komisaris Independen, Komite Audit, Kepemilikan Manajerial, dan Kepemilikan Institusional Terhadap Manajemen Laba pada Perusahaan Otomotif yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia

0 0 9