Pengaruh Karakteristik Komite Audit, Ukuran Dewan, dan Struktur Kepemilikan terhadap Financial Distress(Studi Empiris pada Perusahaan yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia Tahun 2009-2011)

(1)

PENGARUH KARAKTERISTIK KOMITE AUDIT, UKURAN DEWAN, DAN STRUKTUR KEPEMILIKAN TERHADAP FINANCIAL DISTRESS

(Studi Empiris pada Perusahaan yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) Tahun 2009-2011)

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Ekonomi dan Bisnis

Untuk Memenuhi Syarat-syarat Guna Meraih Gelar Sarjana Ekonomi

Disusun oleh : DHIKA HARMAWAN

NIM. 109082000089

JURUSAN AKUNTANSI

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA


(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

vi

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

I. IDENTITAS PRIBADI

1. Nama Lengkap : Dhika Harmawan 2. Tempat Tanggal Lahir : Jakarta, 6 Agustus 1991

3. Alamat : Jl. Raya Tengah Gg. Rukun RT 008/03 No.34 Kelurahan Gedong, Kec. Ps.Rebo Jakarta.

4. Telepon : 085692626341

5. Email : dhika_empatbelas@yahoo.co.id

II. PENDIDIKAN

1. TK Tat Twam Asi 1995-1997

2. SDN 07 Pagi Gedong 1997-2003

3. SMPN 223 Jakarta 2003-2006

4. SMAN 14 Jakarta 2006-2009

5. S1 Ekonomi Akuntansi UIN Syarif Hidayatullah 2009-2013

III. PENGALAMAN ORGANISASI

1. Lembaga Semi Otonom Jurusan Akuntansi BEM Fakultas Ekonomi dan Bisnis, UIN Syarif Hidayatullah periode 2010-2011

IV. SEMINAR DAN WORKSHOP

1. Talkshow “The Key To a Successful Career” by English First Education, July 9th, 2008, at STEKPI

2. Talkshow Pemberantasan Korupsi bersama KPK oleh BEMJ Akuntansi Syarif Hidayatullah Jakarta, 9 September 2009.

3. Seminar Nasional oleh Fakultas Ekonomi dan Ilmu Sosial UIN Syarif Hidayatullah, “Peran Asuransi dalam Era Globalisasi”, 20 Mei 2010. 4. Workshop Audit Perpajakan, oleh BEMJ Akuntansi, UIN Syarif


(7)

vii

5. Accurate Traning oleh BEMJ Akuntansi, UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2011

6. Training of Accounting Software and Talkshow (TOAST) bersama Zahir dan IAI oleh STAN, 17 Maret 2012.

7. Pelatihan Penulisan Karya Ilmiah untuk Guru se-Jabotabek, oleh Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, FITK, UIN Jakarta, 10 November 2012.

8. Seminar Audit National Acccounting Challenge oleh STAN, “Implikasi Penerapan UU No.5 Tahun 2011 Tentang Akuntan Publik Terhadap Perkembangan Profesi Akuntan Publik”, 6 Desember 2012.

V. LATAR BELAKANG KELUARGA

1. Ayah : Sanwani

2. Tempat tanggal Lahir : Jakarta, 3 Agustus 1960

3. Ibu : Titiek Amaliah

4. Tempat tanggal Lahir : Jakarta, 31 Maret 2966

5. Alamat : Jl. Raya Tengah Gg.Rukun RT 008/03 No.34 Kel. Gedong, Kec. Pasar Rebo. Jakarta Timur. 6. Telepon : (021) 8412801


(8)

viii ABSTRACT

The Effect of Audit Committee Characteristic, Board Size, and Ownership Structure on Financial Distress

This research purpose to examine the effects of variables audit committee size, frequency of meeting audit committee, Proportion of audit committee independent, director size, commissioner size, managerial ownership, and institutional ownership. This research used sample of listing company in Indonesia Stock Exchange during 2009-2011 period. The number of companies that became sample in this study were 21 company with financial distress condition and 21 company with non-financial distress company with 3 year observation. Based on method purposive sampling, research sample total is 128 annual report. Hypothesis in this research are tested by logistic regression.

Result of this research indicates that audit committee size, frequency of meeting audit committee, commissioner size, and institutional ownership influences significantly on financial distress. On the other hand, independency of audit committee, director size, and managerial ownership don’t influence significantly on financial distress condition.

Keyword: Audit committee size, frequency of meeting audit committee, independency audit committee, director size, commissioner size, managerial ownership, institutional ownership, financial distress.


(9)

ix ABSTRAK

Pengaruh Karakteristik Komite Audit, Ukuran Dewan, dan Struktur Kepemilikan terhadap Financial Distress

Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh variabel ukuran komite audit, frekuensi pertemuan komite audit, independensi komite audit, ukuran dewan direksi, ukuran dewan komisaris, kepemilikan manajerial, dan kepemilikan institusional terhadap financial distress. Penelitian ini menggunakan sampel perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) selama periode 2009-20111. Jumlah perusahaan yang dijadikan sampel penelitian ini adalah 21 perusahaan yang mengalami financial distress dan 21 perusahaan yang tidak mengalami financial distress dengan pengamatan 3 tahun. Berdasarkan metode purposive sampling, total sampel penelitian adalah 128 laporan tahunan. Pengujian hipotesis dalam penelitian ini menggunakan teknik regresi logistik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ukuran komite audit, frekuensi pertemuan komite audit, ukuran dewan komisaris, dan kepemilikan institusional berpengaruh signifikan terhadap financial distress. Sedangkan komite audit independen, ukuran dewan direksi, dan kepemilikan manajerial tidak berpengaruh signifikan terhadap kondisi financial distress.

Kata kunci: ukuran komite audit, pertemuan komite audit, komite audit independen, dewan direksi, dewan komisaris, kepemilikan manajerial, kepemilikan institusional


(10)

x

KATA PENGANTAR Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Segala puji bagi Allah SWT, Yang Maha Penganugerah, yang telah memberikan karunia-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Shalawat serta salam penulis haturkan kepada Nabi Muhammad SAW, nabi akhir zaman, yang telah membimbing umatnya menuju jalan kebenaran. Skripsi ini disusun dalam rangka memenuhi syarat-syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Pada kesempatan ini, dengan segala kerendahan hati penulis menyampaikan terimakasih atas bantuan, bimbingan, dukungan, semangat dan doa, baik langsung maupun tidak langsung dalam penyelesaian skripsi ini, kepada:

1. Ayahanda Sanwani dan Ibunda Titiek Amaliah tercinta, yang selalu mencurahkan perhatian, cinta dan kasih sayang, dukungan serta doa tiada henti yang tertuju hanya untuk ananda, semoga semakin hari ananda semakin mampu membuat bangga bapak dan ibu.

2. Saudara-saudaraku tercinta, Meidita dan Andini, yang selalu mendoakan dan memberikan dukungan untuk kesuksesan penulis. Terimakasih atas semua kasih sayang.

3. Bapak Prof. Dr. Abdul Hamid, MS selaku Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

4. Ibu Dr. Rini.,SE.,Ak.,M.Si selaku Ketua Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

5. Bapak Hepi Prayudiawan,SE.,Ak.,MM. selaku Sekretaris Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

6. Bapak Dr. Yahya Hamja selaku Dosen Pembimbing Skripsi I yang telah bersedia meluangkan waktu untuk berdiskusi, memberikan pengarahan dan bimbingan dalam penulisan skripsi ini. Terimakasih atas ilmu yang telah Bapak berikan selama ini.


(11)

xi

7. Ibu Wilda Farah, SE., Ak., M.Si. selaku Dosen Pembimbing Skripsi II yang telah meluangkan waktu, mencurahkan perhatian, membimbing dan memberikan pengarahan kepada penulis. Terima kasih atas semua saran yang Ibu berikan selama proses penulisan skripsi sampai terlaksananya sidang skripsi.

8. Seluruh dosen yang telah memberikan ilmu dan karyawan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah yang telah memberikan bantuan kepada penulis. 9. Annisa Ayu Fitria, terima kasih selama ini telah memberikan doa dan

dukungan penuh kepada penulis. Tetap berdoa kepada Allah SWT. dan selalu berikhtiar secara maksimal.

10. Sahabat seperjuanganku, Silvia, Puspo, Zahra, Rizka, Laila, Galih, Hamdan, Rachmat, dan Adi. Terima kasih atas dukungan dan kasih sayang yang diberikan kepada penulis.

11. Keluarga besar Akuntansi C Angkatan 2009 (ACID). Terima kasih atas dukungan, doa, semangat, dan kasih sayang yang diberikan kepada penulis. Semoga tali persahabatan tetap terjaga diantara kita.

12. Seluruh Rekan Akuntansi 2009 yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna dikarenakan terbatasnya pengalaman dan pengetahuan yang dimiliki penulis. Oleh karena itu, penulis mengharapkan segala bentuk saran serta masukan bahkan kritik yang membangun dari berbagai pihak.

Wassalamu’alaikum Wr.Wb.

Jakarta, Mei 2013


(12)

xii DAFTAR ISI

Halaman Judul ... i

Lembar Pengesahan Skripsi... ii

Lembar Pengesahan Ujian Komprehensif ... iii

Lembar Pengesahan Ujian Skripsi ... iv

Lembar Pernyataan Keaslian Karya Ilmiah ... v

Daftar Riwayat Hidup ... vi

Abstract ... viii

Abstrak ... ix

Kata Pengantar ... x

Daftar Isi ... xii

Daftar Tabel ... xv

Daftar Gambar ... xvi

Daftar Lampiran ... xvii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Penelitian ... 1

B. Perumusan Masalah ... 12

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 12

1. Tujuan Penelitian ... 13

2. Manfaat Penelitian ...13

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 15

A. Tinjauan Literatur ... 15

1. Teori Keagenan (Agency Theory) ... 15

2. Corporate Governance... 17

3. Komite Audit ... 19

4. Dewan Direksi dan Dewan Komisaris ... 27

5. Struktur Kepemilikan ... 30

6. Financial Distress………31

B. Keterkaitan Antar Variabel dan Perumusan Hipotesis ... 36


(13)

xiii

D. Kerangka Konseptual ... 47

BAB III METODE PENELITIAN ... 49

A. Ruang Lingkup Penelitian ... 49

B. Metode Penentuan Sampel ... 49

C. Metode Pengumpulan Data ... 51

D. Metode Analisis Data ... 51

1. Definisi Regresi Logistik ... 52

2. Tahapan Regresi Logistik ... 52

E. Definisi Opersionalisasi Variabel ... 58

1. Ukuran Komite Audit ... 58

2. Frekuensi Pertemuan Komite Audit ... 58

3. Komite Audit Independen ... 59

4. Ukuran Dewan Direksi ... 59

5. Ukuran Dewan Komisaris ... 60

6. Kepemilikan Manajerial ... 60

7. Kepemilikan Institusional ... 61

8. Financial Distress ... 61

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 63

A. Sekilas Gambaran Umum Objek Penelitian ... 63

1. Deskripsi Objek Penelitian ... 63

2. Deskripsi Sampel Penelitian ... 64

B. Hasil Uji Analisis Data Penelitian ... 66

1. Hasil Uji Statistik Deskriptif ... 69

2. Hasil Uji Hipotesis Penelitian ... 70

a. Hasil Uji Kesesuaian Model (Overall Model Fit ... 70

b. Hasil Uji Koefisien Determinasi (Nagelkerke R. Square) .... 71

c. Hasil Uji Kelayakan Model Regresi ... 72

d. Hasil Uji Multikolinearitas... 72

e. Hasil Matriks Klasifikasi ... 73


(14)

xiv

BAB V PENUTUP ... 87

A. Kesimpulan... 87

B. Saran ... 88

C. Implikasi ………89

Daftar Pustaka ... 91


(15)

xv

DAFTAR TABEL

No. Keterangan Halaman

1.1. Perbedaan dengan Penelitian Sebelumnya ... 10

2.1. Penelitian Terdahulu ... 45

3.1. Definisi Operasionalisasi Variabel ... 62

4.1. Tahapan Seleksi Sampel dengan Kriteria ... 64

4.2. Sampel Penelitian ... 65

4.3. Distribusi Sampel Berdasarkan Sektor Industri ... 66

4.4. Statistik Deskriptif ... 67

4.5 Menilai Keseluruhan Model ... 71

4.6. Koefisien Determinasi ... 71

4.7. Menguji Kelayakan Model Regresi ... 72

4.8. Hasil Uji Multikolinearitas ... 73

4.9. Matriks Klasifikasi ... 73


(16)

xvi

DAFTAR GAMBAR

No. Keterangan Halaman


(17)

xvii

DAFTAR LAMPIRAN

No. Keterangan Halaman

1. Data sampel ... 97 2. Hasil Output SPSS ... 108


(18)

1 BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perkembangan dunia usaha yang semakin pesat dan kompleks membuat konsep mengenai corporate governance semakin dibutuhkan perusahaan. Selama sepuluh tahun terakhir ini, istilah corporate governance semakin popular. Hal ini karena corporate governance merupakan salah satu kunci sukses perusahaan untuk dapat memperoleh profit dalam jangka panjang dan memenangkan persaingan bisnis global (Rachmandy, 2012).

Menurut Achmad Syachroza (2002) dalam studi penerapan OECD (Organization of Economic Cooperation and Development) mendefinisikan corporate governance adalah suatu sistem yang dipakai board untuk mengarahkan dan mengendalikan serta mengawasi (directing, controlling, and supervising) pengelolaan sumber daya organisasi secara efisien, efektif, ekonomis, dan produktif dengan prinsip-prinsip transparant, accountable, responsible, independent, dan fairness dalam rangka mencapai tujuan organisasi yaitu memperoleh profit yang sebesar-besarnya.

Teori keagenan merupakan landasan bagi penerapan corporate governance sebagai suatu mekanisme pengawasan dan pengendalian. Hal itu dikarenakan corporate governance dijalankan karena adanya masalah keagenan antara agent dan principle, dimana masing-masing pihak menginginkan keuntungan bagi dirinya sendiri. Oleh karena itu, penerapan


(19)

2 konsep corporate governance diharapkan memberikan kepercayaan terhadap agen (manajemen) dalam mengelola kekayaan pemilik (investor), dan pemilik menjadi lebih yakin bahwa agen tidak akan melakukan suatu kecurangan untuk kesejahteraan agen (Widyati, 2013).

Corporate governance merupakan seperangkat peraturan yang mengatur hubungan antara pemegang saham, pengurus (pengelola) perusahaan, pihak kreditor, pemerintah, karyawan, serta para pemegang kepentingan intern dan ekstern lainnya yang berkaitan dengan hak-hak dan kewajiban mereka, atau dengan kata lain sistem yang mengarahkan dan mengendalikan perusahaan (Forum Corporate Governance in Indonesia, 2002).

Forum Corporate Governance in Indonesia (FCGI, 2001) merumuskan tujuan dari corporate governance adalah untuk menciptakan nilai tambah bagi semua pihak yang berkepentingan (stakeholders). Corporate governance yang mengandung empat unsur penting seperti yang diuraikan oleh Organization for Economic Co-Operation and Development (OECD) yaitu keadilan, transparansi, pertanggungjawaban dan akuntabilitas, diharapkan dapat menjadi suatu jalan dalam mengurangi konflik keagenan. Dengan adanya tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance), diharapkan nilai perusahaan akan dinilai dengan baik oleh investor.

Ada empat mekanisme corporate governance yang sering dipakai dalam berbagai penelitian mengenai corporate governance yang bertujuan untuk mengurangi konflik keagenan, yaitu komposisi dewan, komite audit, kepemilikan institusional, dan kepemilikan manajerial. Komposisi dewan


(20)

3 komisaris merupakan salah satu karakteristik dewan yang berhubungan dengan kandungan informasi laba. Melalui perannya dalam menjalankan fungsi pengawasan, komposisi dewan dapat mempengaruhi pihak manajemen dalam menyusun laporan keuangan sehingga dapat diperoleh suatu laporan laba yang berkualitas (Boediono, 2005). Berbagai skandal kasus korporasi dunia pada perusahaan berskala besar seperti Enron, Xerox, dan WorldCom, mengindikasikan bahwa kegagalan bisnis perusahaan tersebut akibat corporate governance yang buruk (Cornett et al, 2006). Kegagalan bisnis perusahaan tersebut akan mendorong terjadinya financial distress.

Menurut Widarjo dan Setiawan (2002), Kondisi financial distress adalah tahap penurunan kondisi keuangan yang dialami oleh suatu perusahaan, yang terjadi sebelum terjadinya kebangkrutan ataupun likuidasi. Kondisi ini pada umumnya ditandai antara lain dengan adanya penundaan pengiriman, kualitas produk yang menurun, dan penundaan pembayaran tagihan dari bank. Apabila kondisi financial distress ini diketahui, diharapkan dapat dilakukan tindakan untuk memperbaiki situasi tersebut sehingga perusahaan tidak akan masuk pada tahap kesulitan yang lebih berat seperti kebangkrutan ataupun likuidasi. Sedangkan menurut Brigham dan Daves (2003), financial difficulties terjadi karena serangkaian kesalahan, pengambilan keputusan yang tidak tepat, dan kelemahan-kelemahan yang saling berhubungan yang dapat menyumbang secara langsung maupun tidak langsung kepada manajemen serta tidak adanya atau kurangnya upaya mengawasi kondisi keuangan sehingga penggunaan uang tidak sesuai keperluan.


(21)

4 Krisis yang terjadi tahun 1997 pada perusahaan-perusahaan yang berada di Asia menunjukkan kegagalan penerapan corporate governance. Pada masa-masa tersebut perusahaan banyak yang mengalami kebangkrutan karena gagal membayar utang dan default yang disebabkan perubahan nilai kurs rupiah terhadap mata uang asing (Wallace dan Zinkin, 2005). Kasus yang menimpa perusahaan-perusahaan di Asia pada tahun 1997 s.d 1998 sesuai dengan yang ungkapkan oleh Scott (1983) dalam Yang dan Lee (2008) bahwa suatu perusahaan mengalami financial distress apabila perusahaan tersebut tidak dapat memenuhi kewajiban finansialnya dengan dilanggarnya persyaratan utang (debt covenants) disertai penghapusan atau pengurangan pembiayaan deviden. Oleh karena itu keadaan krisis moneter pada tahun tersebut merupakan contoh perusahaan yang mengalami financial distress. Kasus lain yang menggambarkan kondisi financial distress yang baru-baru ini terjadi adalah kasus Bank Century pada tahun 2008. Dimana dalam kasus tersebut, Bank Century secara tiba-tiba dinyatakan pailit karena tidak dapat memenuhi kewajiban kliringnya terhadap Bank Indonesia (Pattinassarany, 2010).

Akibat dari terjadinya krisis moneter pada tahun 1997 sampai dengan 1998 yang menimpa perusahaan-perusahaan di Asia termasuk Indonesia, Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) melalui surat edaran No.SE-03/PM/2000 merekomendasikan perusahaan publik untuk membentuk komite audit. Komite audit merupakan salah satu elemen yang penting untuk mewujudkan kondisi tata kelola perusahaan yang baik. Komite audit dibentuk guna


(22)

5 melakukan pengawasan terhadap kinerja dan operasional perusahaan. Oleh karena itu, Keberadaan komite audit dinilai semakin penting oleh Bapepam. Dengan mengeluarkan surat Kep-339/BEJ/07-2001 Bapepam mewajibkan semua perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia untuk mempunyai komite audit.

Komite audit bertugas memberikan suatu pandangan tentang masalah akuntansi, pelaporan keuangan dan penjelasannya, sistem pengawasan internal, serta auditor independen (FCGI, 2002). Tujuan dan manfaat dibentuknya komite audit adalah untuk melaksanakan pengawasan independen atas proses penyusunan pelaporan keuangan dan pelaksanaan audit eksternal, memberikan pengawasan independen atas proses pengelolaan risiko dan kontrol, serta melaksanakan pengawasan independen atas proses pelaksanaan corporate governance. Mekanisme corporate governance yang baik penting dalam meningkatkan kinerja keuangan perusahaan sehingga perusahaan dapat menghindari permasalahan keuangan.

Efektivitas kinerja dari komite audit dapat diukur melalui karakteristik-karakteristik yang dimiliki antara lain ukuran, independensi, aktivitas dari komite audit, dan kompetensi yang dimiliki oleh anggota komite audit (Anggraeni, 2010). Ukuran komite audit berhubungan dengan jumlah anggota komite audit. Independensi komite audit berhubungan dengan seberapa besar keterlibatan anggota komite audit dengan aktivitas perusahaan. Aktivitas dari komite audit diwujudkan melalui frekuensi pertemuan komite audit dalam satu tahun. Sedangkan kompetensi yang dimiliki oleh anggota komite audit


(23)

6 berhubungan dengan pengetahuan akuntansi, keuangan dan audit serta pengalaman dalam tata kelola perusahaan. Melalui karakteristik komite audit yang baik diharapkan akan memiliki hubungan negatif yang signifikan dengan kesulitan keuangan.

Menurut Carcello dan Neal (2000) komite audit yang independen membuktikan secara negatif terkait dengan going concern perusahaan yang mengalami permasalahan keuangan. Semakin besar independensi dalam komite audit, maka semakin rendah probabilitas perusahaan financially distressed akan menerima opini going concern dari auditor eksternal. Mueller dan Barker III (1997) mengidentifikasikan komite audit sebagai bagian dari sumbangan strategi kepemimpinan perusahaan untuk keberhasilan upaya perubahan arah perusahaan (Rahmat et al., 2008). Hal ini berkaitan erat dengan kompetensi yang dimiliki anggotanya. Simpson dan Gleason (1999) membuktikan komite audit yang berkompeten memiliki kapasitas untuk mengurangi kesulitan keuangan suatu perusahaan (Rahmat et al., 2008). Kompetensi yang dimiliki oleh komite audit akan membantu meningkatkan kinerja perusahaan sehingga mengurangi kemungkinan perusahaan mengalami kesulitan keuangan. Oleh karena itu, efektivitas komite audit dapat dikaitkan dengan kemakmuran atau kesulitan keuangan perusahaan.

Mekanisme corporate governance lain yang tidak kalah penting adalah dewan (board). Board disini diartikan sebagai pucuk pimpinan suatu organisasi yang mengarahkan dan mengendalikan serta mengawasi pemakaian sumber daya agar selalu selaras dengan tujuan organisasi yang


(24)

7 telah ditetapkan (Pembayun dan Januarti, 2012). Dalam konteks perusahaan Indonesia yang dimaksud dengan board adalah dewan komisaris dan dewan direksi. Dewan direksi dalam suatu perusahaan akan menentukan kebijakan yang akan diambil perusahaan secara jangka pendek maupun jangka panjang. Sedangkan peran dewan komisaris lebih ditekankan pada fungsi monitoring dari implementasi kebijakan direksi. Peran komisaris diharapkan akan meminimalisir permasalahan agensi yang timbul antara dewan direksi dan pemegang saham (Wardhani, 2006). Penelitian Emrinaldi (2007) menyatakan bahwa terdapat hubungan signifikan dan negatif ukuran dewan direksi dengan kesulitan keuangan. Artinya, semakin besar jumlah dewan komisaris maka semakin kecil potensi terjadinya kesulitan keuangan.

Masalah tentang keagenan biasanya berhubungan dengan struktur kepemilikan perusahaan yang bersangkutan. Struktur kepemilikan (kepemilikan manajerial dan kepemilikan institusional) merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kondisi perusahaan di masa yang akan datang. Kepemilikan manajerial mampu mengurangi masalah keagenan yang timbul pada suatu perusahaan. Kepemilikan manajerial merupakan proporsi kepemilikan perusahaan oleh manajemen (direksi atau komisaris). Semakin besar proporsi kepemilikan oleh manajemen maka semakin besar pula tanggung jawab manajemen tersebut dalam mengelola perusahaan (Triwahyuningtyas, 2012). Keputusan yang lahir dari manjemen diharapkan merupakan keputusan bagi kepentingan perusahaan. Dengan demikian perusahaan pun dapat terhindar dari potensi terjadinya financial distress.


(25)

8 Gotti et al. (2010) berpendapat bahwa kepemilikan saham manajerial dapat berperan dalam menyelaraskan kepentingan manajemen dan pemegang saham, tetapi terkadang manajer lebih memikirkan kepentingannya sendiri. Sedangkan Lafond & Roychudhury (2008) menemukan bahwa konservatisme akuntansi akan menurun dengan adanya managerial ownership.

Rozeff (1982) berpendapat bahwa kepemilikan manajerial yang tinggi menyebabkan dividen yang dibayarkan pada pemegang saham rendah. Penetapan dividen rendah disebabkan manajer memiliki harapan investasi di masa mendatang yang dibiayai dari sumber internal. Distribusi saham antara pemegang saham dari luar yaitu institusional investor dan shareholders dis-persion dapat mengurangi agency cost karena kepemilikan mewakili suatu sumber kekuasaan (source of power) yang berguna mendukung keberadaan manajemen atau sebaliknya (Moh‟d, Perry & Rimbey, 1998). Hal ini bertentangan dengan pendapat Jensen (1992) yang mengidentifikasi bahwa peningkatan insider ownership akan mensejajarkan kepentingan antara pemegang saham dan manajer, sehingga kepemilikan manajerial bisa menggantikan peranan hutang dalam mengurangi agency cost.

Penelitian terdahulu oleh Emrinaldi (2007) menyatakan bahwa terdapat hubungan signifikan dan negatif antara kepemilikan manajerial dengan perusahaan yang mengalami kesulitan keuangan. Hal ini berbeda dengan Ayuningtyas (2013) yang meneliti hubungan antara kepemilikan manajerial dan financial distress yang menyatakan bahwa prosentase kepemilikan


(26)

9 manjerial, yaitu kepemilikan oleh komisaris mempunyai hubungan positif dan tidak signifikan terhadap kemungkinan terjadinya financial distress.

Di sisi lain, adanya kepemilikan oleh investor institusional seperti perusahaan efek, perusahaan asuransi, perbankan, perusahaan investasi, dana pensiun, dan kepemilikan institusi lain akan mendorong peningkatan pengawasan yang lebih optimal terhadap kinerja manajemen perusahaan, sehingga potensi terjadinya potensi financial distress dapat diminimalisir karena perusahaan dengan kepemilikan institusional yang lebih besar (lebih dari 5%) mengindikasi kemampuannya untuk memonitor manajemen. Pernyataan ini didukung dengan hasil penelitian Emrinaldi (2007) yang menyatakan bahwa peningkatan kepemilikan institusional dalam perusahaan akan mendorong semakin kecilnya potensi kesulitan keuangan atau financial distress.

Penelitian mengenai pengaruh ukuran dewan telah dilakukan oleh Emrinaldi (2007) yang menyatakan bahwa terdapat hubungan signifikan dan negatif ukuran dewan direksi dengan kesulitan keuangan. Artinya, semakin besar jumlah dewan komisaris maka semakin kecil potensi terjadinya kesulitan keuangan. Hasil berbeda terjadi pada penelitian Wardhani (2006) yang menyatakan adanya hubungan signifikan dan positif ukuran dewan dalam menentukan kemungkinan perusahaan mengalami tekanan keuangan.

Penelitian Emrinaldi (2007) yang menyatakan bahwa peningkatan kepemilikan institusional dalam perusahaan akan mendorong semakin kecilnya potensi kesulitan keuangan. Hal ini sejalan dengan penelitian


(27)

10 Abdullah (2006) di Malaysia yang menyatakan bahwa kepemilikan oleh non executive director mempunyai hubungan signifikan dan negatif pada perusahaan yang mengalami kondisi financial distress. Namun, hasil berbeda terjadi pada penelitian yang dilakukan oleh Parulian (2007) yang tidak dapat membuktikan adanya hubungan antara kepemilikan institusional dengan financial distress.

Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan diatas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian karena karakteristik komite audit dalam sebuah perusahaan, ukuran dewan, dan struktur kepemilikan seringkali memengaruhi sebuah perusahaan mengalami financial distress. Berdasarkan hal tersebut, maka peneliti melakukan penelitian yang berjudul “Pengaruh Karakteristik Komite Audit, Ukuran Dewan, dan Struktur Kepemilikan terhadap Financial Distress.

Tabel 1.1

Perbedaan dengan Penelitian Sebelumnya No. Perbedaan Penelitian sebelumnya Peneliti

Variabel - Ellomi et al. (Proporsi outside director, Audit com, Blockholder, Liquidity, Leverage) - Abdullah (Board

independence, CEO duality, management interest, non-executive director’s interest, the extent of director’s blockholder interest) - Ratna Wardhani (Ukuran

dewan direksi, proporsi komisaris independen, turnover direksi,

kepemilikan saham oleh

- Peneliti menggunakkan variabel ukuran komite audit, frekuensi

pertemuan komite audit, independensi komite audit, ukuran dewan direksi, ukuran dewan komisaris, kepemilikan saham manajerial dan kepemilikan saham institusional yang diduga berpengaruh terhadap financial distress


(28)

11 No. Perbedaan Penelitian sebelumnya Peneliti

bank, kepemilikan saham oleh direksi) - Emrinaldi (Kepemilikan

manajerial, kepemilikan institusional, ukuran dewan direksi, dewan komisaris dan komite audit)

- Pembayun dan Januarti (Ukuran komite audit, komite audit independen, kompentensi komite audit, dan frekuensi pertemuan komite audit) Populasi - Elloumi et al

(Perusahaan publik yang di listing di bursa efek Canada periode 1994-1998)

- Abdullah (Seluruh Perusahaan yang listing Bursa Efek Malaysia) - Wardhani (Perusahaan

manufaktur yang listing di Bursa Efek Indoensia periode 1999 s.d 2004) - Emrinaldi (Seluruh

perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia periode 2000-2002)

- Pembayun dan januarti (Seluruh perusahaan yang listing di Bursa Efek indonesia periode 2007-2010)

- Peneliti memilih populasi seluruh perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) periode 2009 s.d 2011

Pengukuran financial distress

- Elloumi et al

(Perusahaan mengalamai laba negatif dua tahun berturut-turut)

- Abdullah (Perusahaan mengalami NPV negatif) - Wardhani (Perusahaan

yang memiliki interest expense lebih kecil dari

- Pengukuran yang

digunakan peneliti dalam variabel financial

distress adalah perusahaan yang mengalami laba bersih negatif dua tahun berturut-turut.


(29)

12 No. Perbedaan Penelitian sebelumnya Peneliti

satu)

- Emrinaldi (Perusahaan yang memiliki earning per share/EPS negatif) - Pembayun dan Januarti (

perusahaan yang mengalami laba negatif minimal satu tahun) Sumber: hasil olahan data sekunder

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, rumusan permasalahan dalam penelitian dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Apakah ukuran komite audit berpengaruh terhadap financial distress? 2. Apakah frekuensi pertemuan komite audit berpengaruh terhadap financial

distress?

3. Apakah proporsi komite audit independen berpengaruh terhadap financial distress?

4. Apakah ukuran dewan direksi berpengaruh terhadap financial distress? 5. Apakah ukuran dewan komisaris berpengaruh terhadap financial distress? 6. Apakah kepemilikan manajerial berpengaruh terhadap financial distress? 7. Apakah kepemilikan institusional berpengaruh terhadap financial distress?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah, penelitian ini bertujuan untuk menemukan bukti empiris tentang:


(30)

13 1. Besarnya pengaruh ukuran komite audit terhadap financial distress 2. Besarnya pengaruh frekuensi pertemuan komite audit terhadap

financial distress

3. Besarnya pengaruh proporsi komite audit independen terhadap financial distress

4. Besarnya pengaruh ukuran dewan direksi terhadap financial distress 5. Besarnya pengaruh ukuran dewan komisaris terhadap financial

distress

6. Besarnya pengaruh kepemilikan manajerial terhadap financial distress

7. Besarnya pengaruh kepemilikan institusional terhadap financial distress

2. Manfaat Penelitian

a. Bagi ilmu pengetahuan dan akademisi, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi berupa bukti empiris mengenai financial distress, karakteristik komite audit, ukuran dewan, dan struktur kepemilikan.

b. Untuk manajemen perusahaan, penelitian ini dapat menjadi acuan bagi pihak manajemen untuk meningkatkan kinerjanya sehingga mampu menghindari perusahaan dari kondisi financial distress. c. Untuk pihak eksternal, hasil penelitian ini diharapkan dapat

digunakan oleh para investor, pemegang saham, kreditor, dan pemerintah dalam pengambilan keputusan.


(31)

14 d. Untuk pembaca, penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan wawasan ilmu pengetahuan bagi pembaca terkait financial distress.

e. Untuk pemegang saham, penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan ilmu mengenai financial distress sehingga dapat meningkatkan pengawasan terhadap operasional perusahaan. f. Untuk Bapepam, penelitian ini diharapkan dijadikan acuan bagi

Bapepam untuk mengambil keputusan dalam mengeluarkan kebijakan.

g. Untuk masyarakat, penelitian ini diharapkan dapat menjadi tambahan ilmu bagi masyarakat mengenai financial distress.


(32)

15 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Literatur

1. Teori Keagenan (Agency Theory)

Jensen dan Mekling pertama kali mencetuskan teori keagenan pada tahun 1951. Jensen dan Meckling (1976) menyatakan bahwa teori keagenan menyangkut hubungan kontraktual antara dua pihak yaitu prinsipal dan agen, dimana pemilik perusahaan atau investor menunjuk agen sebagai manajemen yang mengelola perusahaan atas nama pemilik. Prinsipal memberikan wewenang kepada manajemen untuk membuat keputusan yang berhubungan dengan operasional perusahaan. Manajemen diberi tanggung jawab oleh prinsipal untuk mengelola sumber daya perusahaan. Manajemen diminta untuk mengoptimalkan sumber daya yang dipercayakan kepada mereka untuk mensejahterakan pemilik baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang.

Manajemen sebagai agen mempunyai tanggung jawab dalam operasional perusahaan sehari-hari dalam hal pengambilan keputusan berdasarkan informasi yang diperoleh manajemen. Dengan demikian, agen lebih banyak mempunyai informasi dibandingkan pemilik. Ketimpangan informasi ini biasa disebut sebagai asimetri informasi. Asimetri informasi dan konflik kepentingan yang terjadi antara prinsipal dan agen mendorong agen untuk menyajikan informasi yang tidak sebenarnya kepada prinsipal (Pamudji dan Trihartati, 2008).


(33)

16 Adanya asimetri informasi ini menimbulkan dua permasalahan yang disebabkan oleh kesulitan prinsipal untuk memonitor dan melakukan pengendalian terhadap tindakan-tindakan agen. Jensen dan Meckling (1976) menyatakan permasalahan tersebut adalah:

1. Moral Hazard, yaitu permasalahan yang muncul jika agen tidak melaksanakan hal-hal yang telah disepakati bersama dalam kontrak kerja.

2. Adverse selection, yaitu suatu keadaan dimana prinsipal tidak dapat mengetahui apakah suatu keputusan yang diambil oleh agen benar-benar didasarkan atas informasi yang telah diperolehnya, atau terjadi sebagai sebuah kelalaian dalam tugas.

Setiawan (2007) menyatakan bahwa masalah keagenan akan muncul jika kepemilikan dan pengelolaan perusahaan dijalankan secara terpisah. Manajer yang bertindak sebagai pengelolaan dalam suatu perusahaan diberi kewenangan untuk mengurus jalannya perusahaan dan mengambil keputusan atas nama pemilik. Dengan kewenangan yang dimiliki ini, manajer tidak bertindak yang terbaik untuk kepentingan pemilik karena adanya perbandingan kepentingan (conflict of interest).

Pandangan teori keagenan bahwa terdapat pemisahan antara pihak agen dan principal yang mengakibatkan munculnya potensi konflik dapat mempengaruhi kondisi keuangan perusahaan. Dengan demikian diperlukan suatu mekanisme pengendalian yang dapat mensejajarkan perbedaan kepentingan antara kedua belah pihak. Mekanisme corporate


(34)

17 governance merupakan mekanisme yang tepat dengan tujuan untuk menciptakan nilai tambah bagi semua pihak yang berkepentingan, sehingga tidak terjadi konflik antara pihak agen dan principal yang berdampak pada penurunan agency cost (Tribodroastuti, 2009).

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa teori keagenan muncul karena adanya konflik kepentingan antara principle dan agent yang saling ingin menguntungkan dirinya sendiri. Masalah keagenan timbul karena adanya asimetri informasi, dimana agent memiliki informasi yang lebih banyak daripada principle. Masalah keagenan sebenarnya dapat diatasi melalui mekanisme corporate governance yang pada akhirnya dapat memberikan nilai tambah bagi pihak-pihak yang berkepentingan tersebut.

2. Corporate governance

FCGI (Forum Corporate Governance for Indonesia) dalam publikasinya mendefinisikan corporate governance adalah seperangkat peraturan yang mengatur hubungan antara pemegang saham, manajemen, pihak kreditur, pemerintah, karyawan serta para pemegang kepentingan intern dan ekstern lainnya yang berkaitan dengan hak-hak dan kewajiban mereka. Oleh karena itu, dapat diambil kesimpulan mengenai tujuan dari corporate governance adalah untuk menciptakan nilai tambah bagi semua pihak yang berkepentingan (stakeholders).

Corporate governance biasanya mengacu pada sekumpulan mekanisme yang mempengaruhi keputusan yang akan diambil oleh


(35)

18 manajer ketika ada pemisahan antara kepemilikan dan pengendalian. Beberapa dari pengendalian ini terletak pada fungsi dari dewan direksi, pemegang saham institusional, dan pengendalian dari mekanisme pasar (Larcker et al., 2005 dalam Yang dan Lee 2008). Mekanisme corporate governance dalam suatu perusahaan dapat menentukan kesuksesan perusahaan. Dewan memegang peranan yang sangat signifikan bahkan peran yang utama dalam penentuan strategi perusahaan tersebut. Indonesia merupakan negara yang menggunakan konsep two tier, di mana dewan terdiri dari dewan direksi dan dewan komisaris. Istilah dewan di Amerika lebih mengacu pada fungsi dari dewan komisaris. Dalam hasil penelitian yang dilakukan di Amerika, yang dimaksud dengan dewan (board) adalah dewan komisaris (Wardhani, 2006). Struktur corporate governance yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah dewan, struktur kepemilikan perusahaan dan komite audit.

Struktur corporate governance adalah suatu kerangka dalam organisasi yang mengatur bagaimana berbagai prinsip corporate governance dapat dijalankan dan dikendalikan. Struktur corporate governance harus didesain agar dapat mendukung berjalannya aktivitas organisasi perusahaan secara bertanggung jawab dan terkendali. Hal yang paling penting di dalam struktur corporate governance adalah masalah pengendalian sehingga perlu adanya pemisahan yang tegas antara ”pihak yang mengambil keputusan” (decision making) dan ”pihak yang mengawasi keputusan tersebut” (decision control). Dengan demikian


(36)

19 struktur corporate governance harus dapat mendukung tata kelola perusahaan berdasarkan empat pilar yang melandasi sebagaimana hasil pengembangan Organization for Economic Corporation and Development (OECD).

Dapat disimpulkan bahwa tujuan utama dari coporate governance adalah menciptakan nilai tambah bagi para pemangku kepentingan. Corporate governance melalui mekanismenya dapat menentukan kesuksesan sebuah perusahaan. Mekanisme corporate governance yang efektif akan meningkatkan tingkat pengawasan oleh principle sehingga kinerja agent akan semakin terkendali.

3. Komite Audit.

Keberadaan komite audit pada perusahaan publik di Indonesia secara resmi dimulai sejak bulan Juni 2000 yang ditandai dengan keluarnya Keputusan Direksi BEJ No: Ke-315/BEJ/06/2000 perihal: Peraturan Pencatatan Efek Nomor I-A: Tentang Ketentuan Umum Pencatatan Efek Bersifat Ekuitas di Bursa. Pada bagian ini dinyatakan bahwa dalam rangka penyelenggaraan pengelolaan perusahaan yang baik (good corporate governance), perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta (sekarang Bursa Efek Indonesia) wajib memiliki komisaris independen, komite audit, sekretaris perusahaan, keterbukaan, dan standar laporan keuangan per sektor. Pembentukan komite audit dilakukan dengan dasar UU No.19 tahun 2003 pasal 70, yang dijabarkan lebih lanjut dalam keputusan Bapepam No.29 tahun 2004 pasal 2. Pembentukan tersebut


(37)

20 berkaitan dengan review sistem pengendalian internal perusahaan, memastikan kualitas laporan keuangan, dan meningkatkan efektivitas fungsi audit.

Peran komite audit adalah untuk mengawasi dan memberi masukan kepada dewan komisaris dalam hal terciptanya mekanisme pengawasan (FCGI, 2002). Komite audit memberikan pendapat kepada dewan komisaris terhadap laporan atau hal-hal yang disampaikan oleh direksi kepada dewan komisaris, mengidentifikasi hal-hal yang memerlukan perhatian komisaris, dan melaksanakan tugas-tugas lain yang berkaitan dengan tugas dewan komisaris.

Tanggungjawab komite audit mencakup pada tiga bidang (Surya dan Yustiavandana, 2008) yaitu:

a) Laporan Keuangan (Financial Reporting) b) Tata kelola perusahaan (corporate governance) c) Pengawasan perusahaan (corporate control)

Ada delapan komponen audit committee charter yang dipakai sebagai masukan pembuatan audit committee charter di BUMN dan perusahaan publik di Indonesia. Delapan komponen tersebut (Alijoyo, 2003 dalam Murtanto dan Maulana, 2005) adalah:

a) Tujuan umum dan otoritas komite audit (overall objectives and authority)

b) Peran dan tanggungjawab komite audit (roles and responsibilities) c) Fungsi dari pihak-pihak terkait dengan komite audit (function of


(38)

21 d) Struktur komite audit (structure)

e) Syarat-syarat keanggotaan (membership requirements) f) Rapat-rapat komite audit (meetings)

g) Pelaporan komite audit (reporting) h) Kinerja komite audit (performing) a. Komite Audit yang Efektif

Komite audit yang efektif bekerja sebagai suatu alat untuk meningkatkan efektifitas, tanggungjawab, keterbukaan dan objektifitas dewan komisaris dan memiliki fungsi untuk:

1. Memperbaiki mutu laporan keuangan dengan mengawasi laporan keuangan atas nama dewan komisaris

2. Menciptakan iklim disiplin dan kontrol yang akan mengurangi kemungkinan penyelewengan-penyelewengan

3. Memungkinkan anggota non-eksekutif menyumbangkan suatu

penilaian independen dan memainkan suatu peranan yang positif

4. Membantu direktur keuangan, dengan memberikan suatu

kesempatan di mana pokok-pokok persoalan yang penting yang sulit dilaksanakan dapat dikemukakan

5. Memperkuat posisi auditor eksternal dengan memberikan suatu saluran komunikasi terhadap pokok-pokok persoalan yang memprihatinkan dengan efektif

6. Memperkuat posisi auditor internal dengan memperkuat


(39)

22

7. Meningkatkan kepercayaan publik terhadap kelayakan dan

objektifitas laporan keuangan serta meningkatkan kepercayaan terhadap kontrol internal yang lebih baik.

Dezoort et al. (2002) berpendapat bahwa komite audit yang efektif ditentukan dua hal, yaitu sisi input merupakan komposisi kualifikasi, kewenangan dan jumlah sumber daya, serta dari sisi proses yaitu harus memiliki etos kerja yang tinggi. Dari input dan proses tersebut diharapkan komite audit dapat bekerja efektif sehingga mampu menghasilkan output berupa laporan keuangan, pengendalian internal dan manajemen risiko yang bisa dipercaya.

Dalam setiap audit committee charter yang dimiliki oleh masing-masing anggota, komite audit akan mengadakan pertemuan untuk rapat secara periodik dan dapat mengadakan rapat tambahan atau rapat-rapat khusus bila diperlukan.

Pertemuan secara periodik ini sebagaimana ditetapkan oleh komite audit sendiri dan dilakukan sekurang-kurangnya sama dengan ketentuan rapat dewan komisaris yang ditentukan dalam anggaran dasar perusahaan. Komite audit biasanya perlu untuk mengadakan pertemuan tiga sampai empat kali dalam satu tahun untuk melaksanakan kewajiban dan tanggung jawabnya (FCGI, 2002).

b. Karakteristik Komite Audit

Komite audit mempunyai peran yang cukup vital dalam proses terlaksananya suatu mekanisme tata kelola perusahaan yang baik. Tentunya agar komite audit dapat menjalankan tugasnya dengan benar


(40)

23 dan efektif, maka diperlukan kualifikasi-kualifikasi khusus yang memadai agar maksimal dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya (Wardhani 2010). Kualifikasi atau karakteristik dari komite audit ini diharapkan dapat menjadi suatu dasar kepercayaan terhadap para anggota komite audit untuk nantinya dapat bekerja maksimal dan sebaik mungkin. Karakteristik-karakteristik komite audit yang dapat digunakan untuk menilai efektivitasnya, antara lain independensi dan ukuran dari komite audit,serta keahlian keuangan dan ketekunan yang dimiliki oleh anggota komite audit. Empat karakter ini diidentifikasi oleh Xie et al (2003). Independensi komite audit berhubungan dengan seberapa besar keterlibatan anggota komite audit dengan aktivitas perusahaan.

Ukuran komite audit berhubungan dengan jumlah anggota komite audit. Keahlian keuangan yang dimiliki oleh anggota komite audit berhubungan dengan pengetahuan keuangan dan akuntansi. Sedangkan ketekunan komite audit diwujudkan melalui frekuensi pertemuan komite audit dalam satu tahun. Melalui karakteristik komite audit yang baik diharapkan akan berpengaruh negatif terhadap financial distress. 1) Ukuran Komite Audit

Ukuran komite audit adalah jumlah seluruh anggota komite audit. Jumlah anggota komite audit memiliki kaitan yang erat dengan seberapa banyak sumber daya yang dialokasikan untuk menghadapi permasalahan yang dihadapi perusahaan. Komite audit haruslah memiliki jumlah yang memadai untuk mengemban


(41)

24

tanggung jawab pengendalian dan pengawasan aktivitas

manajemen puncak. Ukuran komite yang lebih besar menyebabkan adanya pertukaran pengetahuan dan informasi (Tao dan Hutchinson, 2011). Jumlah anggota komite audit disesuaikan besar-kecilnya dengan perusahaan dan tanggung jawab. Menurut Wallace dan Zinkin (2005) rentang yang efektif adalah sebesar 3 - 6 orang. Komite audit yang terlalu kecil akan mengalami kesulitan dalam pendistribusian kerja. Namun, biasanya 3 - 5 anggota merupakan jumlah yang cukup ideal (FCGI, 2002; KNKG, 2006). Di Indonesia, berdasarkan Keputusan Ketua BAPEPAM No. Kep-29/PM/2004 juga menyatakan bahwa perusahaan go public wajib untuk memiliki komite audit dengan jumlah minimal tiga orang. Jumlah tersebut mayoritas harus bersifat independen.

2) Komite Audit Independen

Komite audit independen adalah jumlah komite audit yang independen dalam suatu perusahaan. Dalam keputusan ketua Bapepam No.Kep-29/PM/2004 dinyatakan bahwa kedudukan komite audit berada di bawah dewan komisaris dan salah seorang komisaris independen sekaligus menjadi ketua komite audit. Komite audit terdiri dari sekurang-kurangnya satu orang komisaris independen dan sekurang-kurangnya dua orang anggota lainnya berasal dari luar perusahaan. Anggota komite audit dipersyaratkan berasal dari pihak yang tidak terlibat dengan tugas sehari-hari dari manajemen yang mengelola perusahaan dan memiliki pengalaman


(42)

25 untuk melaksanakan fungsi pengawasan secara efektif. Salah satu dari beberapa alasan utama independensi ini adalah untuk memelihara integritas serta pandangan yang objektif dalam laporan serta penyusunan rekomendasi yang diajukan oleh komite audit, karena individu yang independen cenderung lebih adil dan tidak memihak serta obyektif dalam menangani suatu permasalahan (FCGI, 2002).

3) Pertemuan Komite Audit

Pertemuan komite audit adalah frekuensi pertemuan komite audit. Dalam setiap audit committee charter yang dimiliki oleh masing-masing anggota, komite audit akan mengadakan pertemuan untuk rapat secara periodik dan dapat mengadakan rapat tambahan atau rapat-rapat khusus bila diperlukan. Pertemuan secara periodik ini sebagaimana ditetapkan oleh komite audit sendiri dan dilakukan sekurang-kurangnya sama dengan ketentuan rapat dewan komisaris yang ditentukan dalam anggaran dasar perusahaan. Komite audit biasanya perlu mengadakan pertemuan tiga sampai empat kali dalam satu tahun untuk melaksanakan kewajiban dan tanggung jawabnya (FCGI, 2002). Komite audit juga dapat mengadakan pertemuan eksekutif dengan pihak-pihak luar keanggotaan komite audit yang diundang sesuai dengan keperluan atau secara periodik. Pihak-pihak luar tersebut antara lain komisaris, manajemen senior, kepala auditor internal dan kepala auditor eksternal. Hasil rapat komite audit dituangkan dalam risalah rapat yang ditandatangani


(43)

26 oleh semua anggota komite audit. Ketua komite audit bertanggung jawab atas agenda dan bahan-bahan pendukung yang diperlukan serta wajib melaporkan aktivitas pertemuan komite audit kepada dewan komisaris. Apabila komite audit menemukan hal-hal yang diperkirakan dapat mengganggu kegiatan perusahaan, komite audit wajib menyampaikannya kepada dewan komisaris selambat-lambatnya sepuluh hari kerja. Laporan yang dibuat dan disampaikan komite audit kepada komisaris utama adalah:

(a) Laporan triwulanan mengenai tugas yang dilaksanakan dan realisasi program kerja dalam triwulan bersangkutan.

(b) Laporan tahunan pelaksanaan kegiatan komite audit.

(c) Laporan atas setiap penugasan khusus yang diberikan oleh dewan komisaris.

Dalam laporan komite audit kepada dewan komisaris, komite audit memberikan kesimpulan dari diskusi dengan auditor eksternal tentang temuan mereka yang berhubungan dengan peninjauan tengah tahun dan laporan keuangan tahunan, rekomendasi atas pengangkatan auditor eksternal dan setiap masalah pengunduran diri, penggantian dan pemberhentian perikatannya, kesimpulan tentang nilai fungsi audit internal dan tanggapan atas penemuan audit internal, serta kesimpulan atas kinerja sistem kontrol internal. Pertemuan komite audit berfungsi sebagai media komunikasi formal anggota komite audit dalam mengawasi proses corporate governance, memastikan bahwa manajemen senior membudayakan


(44)

27 corporate governance, memonitor bahwa perusahaan patuh pada code of conduct, mengerti semua pokok persoalan yang mungkin dapat mempengaruhi kinerja keuangan atau non-keuangan perusahaan, memonitor bahwa perusahaan patuh pada tiap undang-undang dan peraturan yang berlaku, dan mengharuskan auditor internal melaporkan secara tertulis hasil pemeriksaan corporate governance dan temuan lainnya (Anggraini, 2010).

Penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa komite audit yang dibuat dengan tujuan mengawasi jalannya operasional perusahaan memegang

peranan yang cukup penting dalam mewujudkan good corporate

governance. Melalui karakteristik-karakteristiknya, komite audit diharapkan dapat menjadi lebih efektif dalam mengawasi jalannya perusahaan. Karakteristik-karakteristik yang dimaksud contohnya adalah ukuran komite audit, frekuensi pertemuan komite audit, dan independensi komite audit. Dalam karakteristik-karakteristik tersebut dibutuhkan kriteria-kriteria khusus agar komite audit dapat menciptakan good corporate governance.

4. Dewan Direksi dan Dewan Komisaris

Dewan direksi (board of directors) berfungsi untuk mengurus perusahaan, sementara dewan komisaris (board of commissioner) berfungsi untuk melakukan pengawasan. Dewan direksi dan dewan komisaris dipilih oleh pemegang saham dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) yang mewakili kepentingan para pemegang saham tersebut. Peran direksi dan komisaris sangat penting dan cukup menentukan bagi keberhasilan implementasi Good Corporate


(45)

28 governance. Diperlukan komitmen penuh dari dewan direksi dan komisaris agar implementasi GCG dapat berjalan dengan lancar sesuai dengan harapan (Effendi,2009).

Dewan direksi dalam suatu perusahaan akan menentukan kebijakan yang akan diambil atau strategi perusahaan tersebut secara jangka pendek maupun jangka panjang. Menurut Puspitasari (2009), dewan direksi harus mampu merumuskan strategi agar bisnis dapat berjalan secara efektif dan efisien dengan turbulensi kondisi internal dan eksternal. Dewan direksi tidak mungkin dapat melakukan tugas dengan baik apabila hanya mengedepankan self interest dan mengabaikan kepentingan para stakeholders. Dengan demikian, anggota dewan direksi harus memiliki reputasi moral yang baik dan kompetensi teknis yang mendukung. Oleh karena itu, untuk memilih anggota dewan direksi diperlukan standar profesionalisme. Dewan direksi memiliki kewajiban untuk menjaga transparansi dalam menjalankan operasional perusahaan. Prinsip transparansi tersebut tercermin dalam penyampaian informasi secara jujur kepada seluruh stakeholders. Manajemen harus mampu menyediakan informasi yang relevan kepada direktur, pengawas, dan pemegang saham. Dewan komisaris berperan untuk memonitoring dari implementasi kebijakan direksi. Dewan komisaris bertanggung jawab mengawasi tindakan direksi dan memberikan nasehat kepada direksi jika dipandang perlu.


(46)

29 Komposisi dewan komisaris harus sedemikan rupa sehingga memungkinkan pengambilan keputusan yang efektif, tepat dan cepat serta dapat bertindak secara independen dalam arti tidak mempunyai kepentingan yang dapat mengganggu kemampuannya untuk melaksanakan tugasnya secara mandiri dan kritis dalam hubungan satu sama lain dan terhadap direksi. Peran komisaris ini diharapkan akan meminimalisir permasalahan agensi yang timbul antara dewan direksi dan pemegang saham. Oleh karena itu, dewan komisaris seharusnya dapat mengawasi kinerja direksi sehingga kinerja yang dihasilkan sesuai dengan kepentingan pemegang saham (Wardhani, 2006).

Komposisi dewan komisaris merupakan salah satu karakteristik dewan yang berhubungan dengan kandungan informasi laba. Melalui perannya dalam menjalankan fungsi pengawasan, komposisi dewan dapat mempengaruhi pihak manajemen dalam menyusun laporan keuangan (Boediono, 2005). Komposisi yang tepat berarti jumlah yang dianggap proporsional untuk mewakili pemegang saham. Jadi, ukuran dewan komisaris merupakan jumlah yang dianggap proporsional untuk mewakili pemegang saham badan usaha agar dewan komisaris dapat bekerja secara efektif dan menjalankan corporate governance dengan bertanggung jawab kepada pemegang saham.

Menurut Wallace dan Zinkin (2005), perusahaan harus mempertimbangkan ukuran dewan dengan tujuan menentukan efektifitas


(47)

30 jumlah dewan yang dimiliki perusahaan. Ukuran dewan yang efektif adalah yang dapat memfasilitasi pengambilan keputusan yang efektif.

Dewan komisaris yang merupakan pemegang saham perusahaan mempercayakan sumber daya yang mereka tanamkan untuk dikelola oleh dewan direksi. Dalam mengelola sumber daya tersebut dewan direksi berada dibawah pengawasan dewan komisaris. Dewan direksi harus mampu memberikan informasi yang penuh kebenaran kepada pemegang saham, maka jumlah dewan direksi dan dewan komisaris harus ideal agar tercipta efisiensi.

5. Struktur kepemilikan

Davies et al. (2002) menyatakan bahwa: “Managerial ownership is equity ownership by inside company managers in providing incentives to

maximize the value of their company”. Kepemilikan manajerial diukur dengan persentase saham yang dimiliki oleh pihak manajerial (Li et al. 2008)

Struktur kepemilikan merupakan perbandingan antara jumlah saham yang dimiliki oleh orang dalam (manajemen) dengan jumlah saham yang dimiliki oleh investor (Triwahyuningtias, 2012). Struktur kepemilikan dalam perusahaan merupakan salah satu faktor internal yang mempengaruhi pencapaian tujuan perusahaan. Kepemilikan manajerial didefinisikan sebagai kepemilikan saham yang dimiliki oleh manajemen, dalam hal ini kepemilikan oleh dewan direksi dan dewan komisaris. Kepemilikan manajerial diasumsikan mampu mengurangi tingkat


(48)

31 masalah keagenan yang timbul dalam perusahaan (Emrinaldi, 2007). Hal ini disebabkan dengan adanya kepemilikan oleh manajerial, pengambilan keputusan yang berkaitan dengan perusahaan akan dilakukan dengan tanggung jawab penuh karena sesuai dengan kepentingan pemegang saham dalam hal ini termasuk kepentingan manajemen sebagai salah satu komponen pemilik perusahaan. Kepemilikan oleh manajemen juga akan meningkatkan kontrol terhadap manajemen perusahaan itu sendiri.

Kepemilikan institusional adalah persentase saham yang dimiliki oleh institusi dari keseluruhan saham perusahaan yang beredar. Kepemilikan institusional akan mengurangi masalah keagenan karena pemegang saham oleh institusional akan membantu mengawasi perusahaan sehingga manajemen tidak akan bertindak merugikan pemegang saham. Kepemilikan institusional yang besar (lebih dari 5%) akan memberikan kemampuan yang lebih baik untuk memonitor manajemen (Emrinaldi, 2007).

6. Financial distress

Para peneliti terdahulu memiliki penjabaran tersendiri dalam mendefinisikan financial Distress. Menurut Kamaludin dan Karina (2011), financial distress adalah tahap penurunan kondisi keuangan sebelum terjadinya kebangkrutan atau likuidasi. Perbedaan dalam mendefinisikan konsep financial distress tergantung dari cara pengukuran masing-masing peneliti. Classens et al. (1999), mendefinisikan perusahaan yang berada dalam kesulitan keuangan


(49)

32 sebagai perusahaan yang memiliki interest coverage ratio kurang dari satu. Almilia dan Kristijadi (2003), menyatakan bahwa perusahaan yang mengalami financial distress adalah perusahaan yang selama beberapa tahun mengalami laba bersih operasi (net operation income) negatif dan selama lebih dari satu tahun tidak melakukan pembayaran deviden. Ross et al. (2010) mengatakan bahwa financial distress situasi dimana arus kas operasi tidak cukup untuk memenuhi kewajiban saat ini (seperti kredit perdagangan atau beban bunga) Sedangkan Scott (1983) menyatakan bahwa suatu perusahaan mengalami financial distress apabila perusahaan tersebut tidak dapat memenuhi kewajiban finansialnya dengan dilanggarnya persyaratan utang (debt ovenants) disertai penghapusan atau pengurangan pembiayaan deviden (Kurniasari, 2009).

a. Dampak

Financial distress dapat membawa suatu perusahaan mengalami kegagalan pembayaran (default), tidak sesuai dengan kontrak yang telah disepakati. Kegagalan pembayaran tersebut, mendorong debitor untuk mencari penyelesaian dengan pihak kreditor, yang pada akhirnya dapat dilakukan restrukturisasi keuangan antara perusahaan, kreditor dan investor (Ross et al, 2010). Perusahaan yang mengalami financial distress (kesulitan keuangan) akan menghadapi kondisi a) tidak mampu memenuhi jadwal atau kegagalan pembayaran kembali utang yang sudah jatuh tempo


(50)

33 kepada kreditor. b) perusahaan dalam kondisi tidak solvable (insolvency).

b. Faktor Penyebab Financial Distress

Menurut Damodaran (1997), kesulitan keuangan dapat disebabkan oleh faktor internal dan eksternal perusahaan. Faktor-faktor penyebab kesulitan keuangan perusahaan, yaitu:

1) Faktor internal kesulitan keuangan

Merupakan faktor dan kondisi yang timbul dari dalam perusahaan yang bersifat mikro ekonomi. Faktor internal dapat berupa:

a. Kesulitan arus kas

Disebabkan oleh tidak imbangnya antara aliran penerimaan uang yang bersumber dari penjualan dengan pengeluaran uang untuk pembelanjaan dan terjadinya kesalahan pengelolaan arus kas (cash flow) oleh manajemen dalam pembiayaan operasional perusahaan sehingga arus kas perusahaan berada pada kondisi defisit.

b. Besarnya jumlah utang

Perusahaan yang mampu mengatasi kesulitan keuangan melalui pinjaman bank, sementara waktu kondisi defisit arus kas dapat teratasi. Pada masa depan akan menimbulkan masalah baru yang berkaitan dengan pembayaran pokok dan


(51)

34 bunga pinjaman, sekiranya sumber arus kas dari operasional perushaan tidak dapat menutupi kewajiban pada pihak bank.

Ketidakmampuan manajemen perusahaan dalam mengatur penggunaan dana pinjaman akan berakibat terjadinya gagal pembayaran (default) yang pada akhirnya timbul penyitaan harta perusahaan yang dijadikan sebagai jaminan pada bank.

c. Kerugian operasional

Kerugian operasional perusahaan selama beberapa tahun merupakan salah satu faktor utama yang menyebabkan perusahaan mengalami kesulitan keuangan (financial distress). Situasi ini perlu mendapat perhatian manajemen dengan seksama dan terarah.

Sedangkan menurut Kamaluddin dan Pribadi (2011) faktor-faktor yang mempengaruuhi financial distress antara lain: sensitivitas pendapatan perusahaan terhadap aktivitas ekonomi secara keseluruhan, proporsi biaya tetap terhadap biaya variabel, likuiditas dan kondisi pasar dari asset perusahaan, kemampuan kas terhadap bisnis perusahaan. Financial distress dapat ditinjau dari komposisi neraca- jumlah asset dan kewajiban, dari laporan laba rugi – jika perushaan terus menerus rugi, dan dari laporan arus kas – jika arus kas masuk lebih kecil dari arus kas keluar. Semua laporan tersebut


(52)

35 merupakan hasil akhir dari siklus akuntasi atau pembukuan perusahaan.

2) Faktor eksternal kesulitan keuangan

Faktor eksternal kesulitan keuangan merupakan faktor-faktor diluar perusahaan yang bersifat makro ekonomi yang mempengaruhi baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap kesulitan keuangan perusahaan. Faktor eksternal kesulitan keuangan dapat berupa kenaikan tingkat bunga pinjaman.

Sumber pendanaan yang berasal dari pinjaman lembaga keuangan bank atau non-bank, merupakan solusi yang harus ditempuh oleh manajemen agar proses produksi dan investasi dapat berjalan lancar. Konsekuensi dari pinjaman, jika terjadi kenaikan tingkat bunga pinjaman bagi para pelaku bisnis merupakan suatu resiko dan ancaman bagi kelangsungan usaha. Financial distress dapat disimpulkan sebagai suatu kondisi yang dialami oleh sebuah perusahaan sebelum mengalami kebangkrutan. Para peneliti terdahulu mempunyai pandangan yang berbeda-beda dalam menafsirkan kondisi financial distress. Kondisi financial distress mempunyai dampak kegagalan (default) perusahaan dalam menyelesaikan kewajibannya kepada pihak ketiga. Kegagalan pembayaran ini akan memicu pihak ketiga untuk mengambil tindakan hukum.

Ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan terjadinya financial distress baik itu faktor internal maupun faktor eksternal. Faktor internal


(53)

36 berhubungan dengan kondisi mikro dan kinerja yang ada dalam perusahaan. Faktor internal merupakan faktor yang perlu diperhatikan lebih ketat karena banyak perusahaan yang mengalami financial distress yang disebabkan oleh faktor internal ini. Mekanisme corporate governance yang tidak dijalankan dengan baik juga bisa menjadi faktor terjadinya financial distress. Sedangkan faktor eksternal adalah faktor-faktor yang berasal dari luar perusahaan. Kondisi financial distress perusahaan yang disebabkan karena faktor eksternal biasanya disebabkan oleh keputusan-keputusan yang diambil oleh para regulator yang berdampak pada operasional perusahaan.

B. Keterkaitan Antar Variabel dan Perumusan Hipotesis

Hubungan atau keterkaitan antara variabel independen dan variabel dependen dalam penelitian ini, dapat dijabarkan sebagai berikut:

1. Ukuran komite audit dengan financial distress

Sesuai dengan teori keagenan, kualitas pengawasan yang baik dapat menurunkan perilaku oportunistik yang dilakukan oleh manajer sebagai agen. Dalam rangka untuk membuat komite audit yang efektif dalam pengendalian dan pemantauan atas kegiatan pengelolaan perusahaan, komite harus memiliki anggota yang cukup untuk melaksanakan tanggungjawab. Di Indonesia, pedoman pembentukan komite audit yang efektif (KNKG, 2002) menjelaskan bahwa anggota komite audit yang dimiliki oleh perusahaan sedikitnya terdiri dari 3 orang, diketuai oleh komisaris independen perusahaan dengan dua orang eksternal yang independen terhadap perusahaan serta menguasai dan memiliki latar


(54)

37 belakang akuntansi dan keuangan. Jumlah anggota komite audit yang harus lebih dari satu orang ini dimaksudkan agar komite audit dapat mengadakan pertemuan dan bertukar pendapat satu sama lain. Hal ini dikarenakan masing-masing anggota komite audit memiliki pengalaman tata kelola perusahaan dan pengetahuan keuangan yang berbeda-beda.

Menurut Wallace dan Zinkin (2005) komite audit dibentuk untuk membantu dewan dan direksi secara pribadi untuk melaksanakan tugas mereka, khususnya yang berhubungan dengan pengendalian internal perusahaan, melaporkan informasi keuangan, dan standar perilaku perusahaan. Komite audit harus bisa memahami masalah dasar akuntansi yang dihadapi perusahaan dan dapat memberi masukan kepada dewan atas masalah tersebut. Oleh karena itu, semakin banyak anggota komite audit, maka akan mempermudah komite audit dalam bertukar pikiran untuk memecahkan masalah yang dihadapi perusahaan.

H1: Ukuran komite audit berpengaruh terhadap financial distress 2. Frekuensi pertemuan komite audit dengan financial distress

Sesuai dengan teori keagenan, pengawasan merupakan salah satu komponen dalam GCG. Kualitas pengawasan yang baik dapat menurunkan perilaku oportunistik yang dilakukan oleh manajer sebagai agen. Efektivitas komite audit dalam melaksanakan peran pengawasan atas proses pelaporan keuangan dan pengendalian internal memerlukan pertemuan rutin. Pertemuan yang teratur dan terkendali dengan baik akan membantu komite audit dalam memeriksa akuntansi berkaitan dengan


(55)

38 sistem pengendalian internal, dan dalam hal menjaga informasi manajemen (McMullen dan Raghunandan, 1996) dalam Rahmat et al. (2008). Forum for Corporate Governance in Indonesia (FCGI) mewajibkan komite audit untuk mengadakan pertemuan tiga sampai empat kali dalam satu tahun. Frekuensi pertemuan tersebut harus jelas terstruktur dan dikontrol dengan baik oleh ketua komite.

Collier dan Gregory (1999) dalam Pembayun dan Januarti (2012), mengungkapkan bahwa komite audit yang menyelenggarakan frekuensi pertemuan yang lebih sering memberikan mekanisme pengawasan dan pemantauan kegiatan keuangan yang lebih efektif, meliputi persiapan dan pelaporan informasi keuangan perusahaan. Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan McMullen dan Raghunandan (1996), yang membuktikan bahwa komite audit perusahaan yang mengalami kesulitan keuangan tidak mengadakan pertemuan sesering perusahaan yang tidak mengalami kesulitan keuangan (Rahmat et al., 2008). Dengan melakukan pertemuan secara periodik, komite audit dapat mencegah dan mengurangi kemungkinan terjadinya kesalahan dalam pembuatan keputusan oleh manajemen karena aktivitas pengendalian internal perusahaan dilakukan secara terus menerus dan terstruktur sehingga setiap permasalahan dapat cepat terdeteksi dan diselesaikan dengan baik oleh manajemen. Berdasarkan penjelasan diatas, dapat dirumuskan hipotesis. Semakin sering frekuensi pertemuan komite audit, maka semakin kecil financial distress terjadi dalam sebuah perusahaan.


(56)

39 H2: Frekuensi pertemuan komite audit berpengaruh terhadap financial distress

3.Proporsi komite audit independen dengan financial distress

Menurut teori keagenan, anggota independen merupakan pengawas yang dapat menurunkan asimetri informasi dan menjembatani kepentingan antara pemilik dan manajemen. Anggota independen dapat dikatakan sebagai pengawas yang baik karena dianggap lebih objektif dan kritis dalam hubungannya dengan kebijakan yang dibuat oleh manajemen. Di samping itu, anggota independen memiliki kepentingan untuk meningkatkan reputasi sebagai pengawas yang baik. Oleh karena itu, anggota independen akan mengurangi terjadinya financial distress. Peraturan BEI dan ketentuan pedoman corporate governance dalam pembentukan komite audit yang efektif menyatakan bahwa komite audit terdiri tidak kurang dari tiga anggota yang mayoritas independen, yaitu kurangnya satu orang komisaris independen dan sekurang-kurangnya dua orang anggota lainnya berasal dari luar perusahaan. Anggota komite audit dipersyaratkan berasal dari pihak ekstern perusahaan yang independen, harus terdiri dari individu-individu yang independen dan tidak terlibat dengan tugas sehari-hari dari manajemen yang mengelola perusahaan, serta memiliki pengalaman untuk melaksanakan fungsi pengawasan secara efektif. Independensi ini bertujuan untuk memelihara integritas serta pandangan yang objektif dalam laporan serta penyusunan rekomendasi yang diajukan oleh komite


(57)

40 audit, karena individu yang independen cenderung lebih adil dan tidak memihak serta obyektif dalam menangani suatu permasalahan (FCGI, 2002).

Hasil beberapa penelitian sebelumnya menunjukkan adanya pengaruh positif atas komposisi anggota komite yang didominasi oleh pihak-pihak independen terhadap kinerja komite audit. Seperti penelitian McMullen dan Raghunandan (1996), yang membuktikan bahwa direktur non-eksekutif akan mengurangi kemungkinan manipulasi laporan keuangan (Rahmat et al., 2008). Kehadiran anggota yang independen sebagai mayoritas anggota komite audit akan meningkatkan independensi komite dan akan mengoptimalkan reputasi komite audit sebagai monitor yang baik, karena anggota yang independen mampu memberikan opini yang independen, lebih objektif dan lebih mampu menawarkan kritik dalam hubungannya dengan kebijakan-kebijakan yang dilakukan oleh manajemen (Porter dan Gendall, 1993) dalam Rahmat et al (2008). Diperkirakan bahwa dengan adanya komite audit independen maka akan menambah kepercayaan investor terhadap laporan keuangan dan akan mengurangi kemungkinan perusahaan berada dalam kondisi kesulitan keuangan karena sebuah kasus penyimpangan tata kelola perusahaan. Berdasarkan penjelasan diatas, dapat dirumuskan hipotesis bahwa semakin banyak jumlah anggota komite audit yang independen, maka semakin kecil financial distress terjadi dalam sebuah perusahaan.


(58)

41 H3: Proporsi komite audit independen berpengaruh terhadap

financial distress

4. Ukuran dewan direksi dengan financial distress

Dewan direksi dalam suatu perusahaan akan menentukan kebiijakan yang akan diambil atau strategi perusahaan tersebut secara jangka pendek maupun jangka panjang. Penelitian Wardhani (2006) menyatakan semakin besar jumlah direksinya maka semakin tinggi kemungkinan perusahaan mengalami kondisi tekanan keuangan. Namun hasil berbeda terjadi pada penelitian Emrinaldi (2007) yang menyatakan semakin besar jumlah dewan direksi semakin kecil potensi terjadinya kesulitan keuangan. Hal ini sesuai dengan penelitian Pearch dan Zahra (1992) dalam Emrinaldi (2007) yang menyatakan ukuran dan diversitas dewan direksi memberikan manfaat bagi perusahaan karena terciptanya network dengan pihak luar dalam menjamin ketersediaan sumber daya. Jadi, dewan merupakan salah satu mekanisme yang sangat penting dalam corporate governance, dimana keberadaannya menentukan kinerja perusahaan. Bukti yang menyatakan efektifitas ukuran dewan masih baur karena terjadi perbedaan hasil temuan. Dari hasil yang berbeda-beda tersebut mungkin dapat dikatakan bahwa pengaruh ukuran direksi terhadap kinerja perusahaan tergantung dari karakteristik dari masing-masing perusahaan (Wardhani, 2006). Berdasarkan pernyataan diatas tersebut, dirumuskan hipotesis sebagai berikut:


(59)

42 5. Ukuran dewan komisaris dengan financial distress

Dewan komisaris berperan untuk memonitoring dari implementasi kebijakan direksi. Dewan komisaris bertanggung jawab mengawasi tindakan direksi dan memberikan nasehat kepada direksi jika dipandang perlu. Komposisi dewan komisaris harus sedemikan rupa sehingga memungkinkan pengambilan keputusan yang efektif, tepat dan cepat serta dapat bertindak secara independen dalam arti tidak mempunyai kepentingan yang dapat menggangu kemampuannya untuk melaksanakan tugasnya secara mandiri dan kritis dalam hubungan satu sama lain dan terhadap direksi. Kecilnya jumlah komisaris berarti fungsi monitoring yang dijalankan dalam perusahaan tersebut relatif lebih lemah, dibandingkan dengan perusahaan yang tidak mengalami tekanan keuangan sehingga hal itu tidak mempengaruhi potensi kesulitan keuangan (financial distress). Sedangkan peran dewan komisaris dalam suatu perusahaan lebih ditekankan pada fungsi monitoring dari implementasi kebijakan direksi. Sehingga dapat ditarik hipotesis bahwa kemungkinan ukuran dewan direksi komisaris berpengaruh terhadap financial distress.

H5: Ukuran dewan komisaris berpengaruh terhadap financial distress

6. Kepemilikan manajerial dengan financial distress

Struktur kepemilikan merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kondisi perusahaan di masa yang akan datang.


(60)

43 Kemungkinan suatu perusahaan berada pada posisi tekanan keuangan juga banyak dipengaruhi oleh struktur kepemilikan perusahaan tersebut. Struktur kepemilikan menjelaskan komitmen dari pemiliknya untuk menyelamatkan perusahaan (Wardhani, 2006). Kepemilikan manajerial diasumsikan mampu mengurangi masalah keagenan yang timbul pada suatu perusahaan. Short dan Keasey (1999) dalam Emrinaldi (2007) menyatakan bahwa terdapat hubungan linear antara kepemilikan manjerial dengan nilai perusahaan. Hubungan linear tersebut ditunjukan dengan kinerja perusahaan. Menurut penelitian Emrinaldi (2007), dengan terjadinya peningkatan pada kepemilikan manajerial maka akan mampu mendorong turunnya potensi kesulitan keuangan. Hal ini akan mampu menyatukan kepentingan antara pemegang saham dan manajer sehingga mampu menurunkan potensi terjadinya kesulitan keuangan. Berdasarkan penelitian terdahulu tersebut, dirumuskan hipotesis sebagai berikut: H6: Kepemilikan manajerial berpengaruh terhadap financial distress 7. Kepemilikan institusional dengan financial distress

Kepemilikan oleh institusional investor menghasilkan manajemen yang fokus pada kinerja perusahaan (Elloumi dan Gueyie, 2001). Kepemilikan institusional yang besar (lebih dari 5%) mengindikasi kemampuan memonitor perusahaan. Semakin besar kepemilikan institusional maka semakin efisien pemanfaatan aktiva perusahaan, sehingga potensi kesulitan keuangan dapat diminimalkan. Hal ini dikarenakan semakin besar kepemilikan institusional akan semakin besar


(61)

44 monitoring yang dilakukan terhadap perusahaan yang pada akhirnya akan mampu mendorong semakin kecilnya potensi kesulitan keuangan yang mungkin terjadi dalam perusahaan (Emrinaldi, 2007). Pernyataan ini didukung dengan hasil penelitian Holderness dan Barclay (1991) dalam Emrinaldi (2007) yang menyatakan bahwa terdapat peningkatan turnover manajemen dan gains akibat pembelian saham oleh pihak luar. Menurut penelitian yang dilakukan Parulian (2007), adanya kepemilikan saham oleh investor institusional akan dapat lebih mengawasi manajemen dalam melaksanakan operasi sehingga lebih terhindar dari kondisi financial distress. Hal ini dikarenakan dengan kepemilikan oleh investor institusional akan lebih ketat mengawasi manajemen dalam memenuhi penyajian laporan keuangan, maka manajemen relatif tidak mudah menutupi kinerja aktifnya dan harus melaporkan laba bersih dalam laporan keuangan. Hal tersebut juga didukung oleh penelitian Emrinaldi (2007) bahwa kepemilikan institusional berpengaruh negatif terhadap financial distress. Berdasarkan penelitian terdahulu tersebut, dirumuskan hipotesis sebagai berikut:

H7: Kepemilikan institusional berpengaruh terhadap financial distress


(62)

45 C. Penelitian Terdahulu

Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu

NAMA JUDUL VARIABEL HASIL

Elloumi dan Gueyie (2001) Financial Distress and Corporate governance:an empirical analysis Variabel dependen: financial distress Variabel independen: board size, board independence, blockdown, duality (variabel dummy), dirown, audit committee, audit opinion Adanya kepemilikan saham oleh direktur dan adanya audit committee, kehadiran CEO duality

dan board kemungkinan financial distress

Shamsul Nahar Abdullah (2006)

Board Structure and Ownership in Malaysia: the case of distressed listed companies. Board Independence, CEO duality structure, management interest, non-executive director‟s

interest, extent of outside blockholder‟s interests Board Independence Berpengaruh Signifikan terhadap Distress. Dan ada pengaruh signifikan antara struktur kepemilkan dan financial distress. Wardhani (2006) Mekanisme Corporate Governance Dalam Perusahaan Yang Mengalami Permasalahan Keuangan Financial distress, ukuran dewan direksi dan dewan komisaris, independensi dewan komisaris, Dewan komisaris, turn over direksi, struktur kepemilikan, log total asset, dan

Ukuran dewan direktur,

turn over direksi mempunyai pengaruh signifikan terhadap financial distressed, sedangkan Independensi dewan komisaris dan struktur kepemilikan tidak


(1)

110

Classification Tablea,b

Observed Predicted

FDISTRESS Percentage

Correct

0 1

Step 0 FDISTRESS

0 0 63 .0

1 0 63 100.0

Overall Percentage 50.0

a. Constant is included in the model. b. The cut value is .500

Variables in the Equation

B S.E. Wald df Sig. Exp(B)

Step 0 Constant .000 .178 .000 1 1.000 1.000

Variables not in the Equation

Score df Sig.

Step 0

Variables

SIZECA 14.602 1 .000

FRECA 16.531 1 .000

INCA .276 1 .600

SIZEDIR 6.262 1 .012

SIZECOM 15.685 1 .000

MANJ .001 1 .981

INST 5.911 1 .015


(2)

111

Block 1: Method = Enter

Iteration Historya,b,c,d

Iteration -2 Log likelihood

Coefficients

Constant SIZECA FRECA INCA SIZEDIR SIZECOM MANJ INST

Step 1

1 138.165 2.107 -.321 -.102 -1.154 -.227 -.918 .015 1.280 2 129.944 4.308 -.938 -.192 -1.950 -.203 -.951 .588 2.296 3 128.772 5.655 -1.318 -.234 -2.342 -.225 -1.004 .833 2.753 4 128.747 5.894 -1.383 -.241 -2.404 -.232 -1.019 .859 2.812 5 128.747 5.900 -1.384 -.242 -2.405 -.232 -1.020 .860 2.813 6 128.747 5.900 -1.384 -.242 -2.405 -.232 -1.020 .860 2.813 a. Method: Enter

b. Constant is included in the model. c. Initial -2 Log Likelihood: 174.673

d. Estimation terminated at iteration number 6 because parameter estimates changed by less than .001.

Omnibus Tests of Model Coefficients

Chi-square df Sig.

Step 1

Step 45.926 7 .000

Block 45.926 7 .000

Model 45.926 7 .000

Model Summary

Step -2 Log likelihood Cox & Snell R Square

Nagelkerke R Square

1 128.747a .305 .407

a. Estimation terminated at iteration number 6 because parameter estimates changed by less than .001.


(3)

112

Hosmer and Lemeshow Test

Step Chi-square df Sig.

1 5.597 8 .692

Contingency Table for Hosmer and Lemeshow Test

FDISTRESS = 0 FDISTRESS = 1 Total

Observed Expected Observed Expected

Step 1

1 13 12.706 0 .294 13

2 12 11.187 1 1.813 13

3 7 9.580 6 3.420 13

4 8 7.692 5 5.308 13

5 8 6.564 5 6.436 13

6 5 4.951 8 8.049 13

7 3 3.978 10 9.022 13

8 3 3.181 10 9.819 13

9 2 2.180 11 10.820 13

10 2 .981 7 8.019 9

Classification Tablea

Observed Predicted

FDISTRESS Percentage

Correct

0 1

Step 1 FDISTRESS

0 46 17 73.0

1 15 48 76.2

Overall Percentage 74.6


(4)

113

Variables in the Equation

B S.E. Wald df Sig. Exp(B)

Step 1a

SIZECA -1.384 .646 4.597 1 .032 .251

FRECA -.242 .075 10.409 1 .001 .785

INCA -2.405 1.508 2.545 1 .111 .090

SIZEDIR -.232 .473 .240 1 .624 .793

SIZECOM -1.020 .470 4.716 1 .030 .361

MANJ .860 2.050 .176 1 .675 2.363

INST 2.813 1.184 5.642 1 .018 16.658

Constant 5.900 2.396 6.061 1 .014 364.911

a. Variable(s) entered on step 1: SIZECA, FRECA, INCA, SIZEDIR, SIZECOM, MANJ, INST.

Correlation Matrix

Constant SIZECA FRECA INCA SIZEDIR SIZECOM MANJ INST

Step 1

Constant 1.000 -.821 -.105 -.525 -.275 .051 -.221 -.158

SIZECA -.821 1.000 -.018 .130 .073 -.237 -.018 -.149

FRECA -.105 -.018 1.000 .094 -.188 .147 -.026 -.222

INCA -.525 .130 .094 1.000 .218 .119 -.019 -.101

SIZEDIR -.275 .073 -.188 .218 1.000 -.127 .249 .180

SIZECOM .051 -.237 .147 .119 -.127 1.000 .039 .026

MANJ -.221 -.018 -.026 -.019 .249 .039 1.000 .561


(5)

114

8 + + I I I I F I I R 6 + + E I I Q I0 1 I U I0 1 I E 4 +0 0 1 1 + N I0 0 1 1 I C I00 0 0 0 1 11 0 11 1 1 0 11 11 I Y I00 0 0 0 1 11 0 11 1 1 0 11 11 I 2 +00 0 0 0 0 1 1 01 11011 1 0 01 1 1 11110 1 1111 1111 + I00 0 0 0 0 1 1 01 11011 1 0 01 1 1 11110 1 1111 1111 I

I00 00000 00 0010 00 0011 10 0 10 010 0000 00001 00 1 00 01 10111100011 1 10101111001 1 I I00 00000 00 0010 00 0011 10 0 10 010 0000 00001 00 1 00 01 10111100011 1 10101111001 1 I Predicted ---+---+---+---+---+---+---+---+---+--- Prob: 0 .1 .2 .3 .4 .5 .6 .7 .8 .9 1 Group: 0000000000000000000000000000000000000000000000000011111111111111111111111111111111111111111111111111 Predicted Probability is of Membership for 1

The Cut Value is .50 Symbols: 0 - 0 1 - 1

Each Symbol Represents .5 Cases.

Casewise Listb

Case Selected Statusa Observed Predicted Predicted Group Temporary Variable

FDISTRESS Resid ZResid

30 S 0** .883 1 -.883 -2.743

89 S 1** .159 0 .841 2.302

114 S 0** .874 1 -.874 -2.635

a. S = Selected, U = Unselected cases, and ** = Misclassified cases. b. Cases with studentized residuals greater than 2.000 are listed.


(6)

Dokumen yang terkait

Pengaruh Komisaris Independen, Komite Audit, dan Struktur Kepemilikan Terhadap Kinerja Keuangan Pada Perusahaan Sektor Keuangan yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI)

8 121 97

Pengaruh Karakteristik Komite Audit, Stres Kerja, Pergantian Auditor dan Biaya Eksternal Audit Terhadap Kualitas Audit pada Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia

5 103 106

Pengaruh Karakteristik Komite Audit Terhadap Praktik Manjemen Laba Pada Perusahaan Manufaktur Yang Terdaftar Di Bursa Efek Indonesia Tahun 2010 - 2012.

1 75 90

Pengaruh Kualitas Auditor Dan Ukuran Komite Audit Terhadap Manajemen Laba Studi Empiris Pada Perusahaan Manufaktur Yang Terdaftar Dibursa Efek Indonesia Tahun 2009-2011

0 59 86

Pengaruh Komisaris Independen, Komite Audit, dan Kepemilikan Institusional Terhadap Manajemen Laba Pada Perusahaan Otomotif Yang Terdaftar Di Bursa Efek Indonesia

2 154 83

Analisis Pengaruh Struktur Governance dan Internal Control terhadap Fee Audit Eksternal (Studi Empiris pada Perusahaan Manufaktur yang terdaftar di BEI tahun 2009-2011)

2 11 142

Pengaruh corporate governance terhadap tax avoidance : studi empiris pada sektor perbankan yang terdaftar di bei periode tahun 2009-2013

0 15 0

PENGARUH KARAKTERISTIK KOMITE AUDIT TERHADAP FINANCIAL DISTRESS PADA PERUSAHAAN MANUFAKTUR YANG TERDAFTAR DI BURSA EFEK INDONESIA.

0 2 26

PENGARUH KARAKTERISTIK KOMITE AUDIT TERHADAP FINANCIAL DISTRESS (Studi Empiris pada Perusahaan yang Terdaftar di BEI)

1 8 82

PENGARUH KARAKTERISTIK KOMITE AUDIT, UKURAN DEWAN DIREKSI, UKURAN DEWAN KOMISARIS, DAN STRUKTUR KEPEMILIKAN TERHADAP FINANCIAL DISTRESS PADA PERUSAHAAN MANUFAKTUR YANG TERDAFTAR DI BURSA EFEK INDONESIA PERIODE 2012-2014 - repository perpustakaan

0 1 19