22
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Literatur
1. Agency Theory
Agency theory sering digunakan sebagai landasan dalam penelitian- penelitian sebelumnya mengenai corporate governance, khususnya
tentang keberadaan komite yang diharapkan dapat memitigasi adanya konflik antara agen dan prinsipal. Hal ini dikarenakan pentingnya aspek
pengawasan monitoring demi terwujudnya good corporate governance. Teori agensi merupakan teori yang mendasari praktik bisnis perusahaan
yang telah dipakai selama ini. Teori ini menyatakan adanya hubungan kerja antara pihak yang memberi wewenang prinsipal dengan pihak yang
menerima wewenang agen dalam bentuk sebuah kontrak kerjasama. Fama dan Jensen 1983 dalam Meisaroh dan Lucyanda 2011
menyatakan bahwa teori ini adalah serangkaian mekanisme untuk menyatukan kepentingan pemegang saham dan manajer seperti adanya
mekanisme pengawasan internal oleh dewan komisaris dan komite audit pengawasan dari pemegang saham mayoritas Shleifer dan Vishny, 1986,
adanya pengendalian internal Matsumura dan Tucker, 1992, serta pengawasan eksternal yang dilakukan eksternal auditor atas laporan
keuangan perusahaan Watts dan Zimmerman, 1986. Sistem kontrol
23 diatas dirancang untuk memantau kinerja perusahaan dan diharapkan dapat
menjelaskan konflik keagenan yang terjadi. Dalam teori agensi, baik principal maupun agent diasumsikan sebagai
orang-orang ekonomi yang rasional dan semata-mata termotivasi oleh kepentingan pribadinya masing-masing. Dari situasi ini timbullah konflik
kepentingan antara principal dan agent. Ada beberapa kemungkinan konflik dalam hubungan antara prinsipal
dengan agen agency conflict, konflik yang timbul sebagai akibat dari keinginan manajemen agen untuk melakukan tindakan yang sesuai
dengan kepentingannya yang dapat mengorbankan kepentingan pemegang saham prinsipal untuk memperoleh return dan nilai jangka panjang
perusahaan. Jensen dan Meckling dalam Larasati 2009 yang berpendapat bahwa agency conflict timbul pada berbagai hal sebagai berikut:
a. Moral-Hazard Manajemen memilih investasi yang paling sesuai dengan kemampuan
dirinya dan bukan yang paling menguntungkan bagi perusahaan. b. Earning Retention
Manajemen cenderung
mempertahankan tingkat
pendapatan perusahaan yang stabil, sedangkan pemegang saham lebih menyukai
distribusi kas yang lebih tinggi melalui beberapa peluang investasi internal yang positif.
24 c. Risk Aversion
Manajemen cenderung mengambil posisi aman untuk mereka sendiri dalam mengambil keputusan investasi. Dalam hal ini, mereka akan
mengambil keputusan investasi yang sangat aman dan masih dalam kemampuan manajer. Mereka akan menghindari keputusan investasi
yang dianggap menambah resiko bagi perusahaannya walaupun mungkin hal itu bukan pilihan yang terbaik bagi perusahaan.
d. Time Horizon Alijoyo dan Zaini 2004 dalam Setyarini 2011 menyatakan bahwa
manajemen cenderung hanya memperhatikan cashflow perusahaan sejalan dengan waktu penugasan mereka. Hal ini dapat menimbulkan
bias dalam pengambilan keputusan yaitu berpihak pada proyek jangka pendek dengan pengembalian akuntansi yang tinggi dan kurang atau
tidak berpihak pada proyek jangka panjang dengan pengembalian net present value yang jauh lebih besar.
Masalah lain yang mungkin timbul dari hubungan keagenan ini yaitu agen memiliki informasi yang lebih banyak dibandingkan dengan
prinsipal, sehingga menimbulkan adanya asimetri informasi yaitu kondisi ketidakseimbangan perolehan informasi antara pihak manajemen sebagai
penyedia informasi dengan pihak pemegang saham dan stakeholder sebagai pengguna informasi Indrayati, 2010. Untuk meredam tindakan
para agent yang tidak sesuai dengan kepentingannya, principal memiliki dua cara Jensen dan Meckling, 1976 dan Subramaniam, et al., 2009:
25 a. Mengawasi perilaku agent dengan mengadopsi fungsi audit dan
mekanisme corporate governance lain yang dapat meluruskan kepentingan agent dengan kepentingan principal.
b. Menyediakan insentif kepegawaian yang menarik kepada agent dan mengadakan struktur reward yang dapat membujuk para agent untuk
bertindak sesuai dengan kepentingan terbaik principal. Secara umum, keberadaan komite-komite seperti komite audit,
komite nominasi, komite remunerasi, serta komite manajemen risiko. merupakan mekanisme pengawasan internal di dalam perusahaan dan
keberadaan komite pengawas yang dibentuk oleh dewan komisaris tersebut menyediakan kualitas pengawasan yang lebih baik dan menuntun
untuk menurunkan perilaku oportunistik yang dilakukan oleh manajer. Komite-komite yang dibentuk oleh dewan komisaris tersebut diperkirakan
ada dalam situasi dimana biaya agensi tinggi, seperti leverage tinggi serta kompleksitas dan ukuran perusahaan yang lebih besar Subramaniam, et
al., 2009. Firth dan Rui 2006 menyatakan teori agensi juga mengemukakan
bahwa moral hazard yang melekat dalam hubungan prinsipal dan agen dapat menimbulkan biaya keagenan agency cost. Komite audit
merupakan salah satu cara untuk mengurangi masalah biaya keagenan ini. Komite audit yang efektif dapat meningkatkan kualitas dan kredibilitas
laporan keuangan tahunan yang telah diaudit dan hal ini dapat membantu
26 pekerjaan dewan direksi yang bertugas menjaga dan memajukan
kepentingan para pemegang saham.
2. Signalling Theory