Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Jumlah perempuan Indonesia yang besar ternyata tidak mengidentifikasikan kekuatan posisi strategis mereka dalam pengambilan keputusan-keputusan politik. Tercatat Biro Pusat Statistik tahun 200p1, terdapat 101.628.816 atau sekitar 51 jumlah perempuan dari total penduduk Indonesia, tetapi hanya 8 hingga 10 saja yang terpilih dalam setiap pemilu. Di dalam parlemen di suatu daerah-daerah, hanya terdapat 44 orang atau 9,1 saja jumlah perempuan. Data ini di dukung fakta bahwa 30 daerah Tingkat I di Indonesia, tidak satupun terdapat perempuan yang memimpin, sedangkan dari 336 Daerah Tingkat II hanya 6 daerah yang dipimpim oleh perempuan. http:mirisa.wordpress.com 20080823keterwakilan-perempuan, diakses 12122008. Pada konferensi perempuan tahun 1994 yang dihadiri 27 negara, menyatakan bahwa akses perempuan Asia untuk terjun ke bidang politik masih rendah. Hal ini disebabkan karena perempuan Asia pada umumnya masih terbelenggu masalah klasik, yaitu adanya diskriminasi, kurangnya dana dan dukungan Jurnal Perempuan 2001:27. Seorang politisi sekaligus ilmuwan wanita Bangladesh, Roanaq Johan menyatakan bahwa dari seluruh perempuan yang ada di muka bumi ini, hanya 10 saja yang menduduki jabatan sebagai anggota parlemen. Sementara yang menduduki jabatan anggota kabinet Mentri hanya 40 saja. Di Asia tercatat hanya lima perempuan saja yang berhasi merebut posisi kepala negara, yakni, Gandhi di India, Sirimaro Bandaranaike di Srilanka, Benazir Bhuto di Pakistan, Khaledah Zia di Bangladesh dan Corazon Aquino di Filipina http:www.angelfire.commdalihsas.html. Universitas Sumatera Utara Jika kita melihat ke dalam suatu organisasi politik formal, saat perempuan menyuarakan dan memperjuangkan kepeduliannya terhadap isu-isu, seperti kekerasan, kesehatan, pengamanan, dan kebebasan berpolitik, sering sekali tidak terjadi perubahan, artinya tidak ada tindak lanjut dari tuntutan-tuntutan kebutuhan perempuan, sehingga tuntutan tersebut hanya sampai sekadar wacana saja, tanpa ada tindak lanjut dalam penyelesaian masalah-masalah perempuan. Pada sejarah pemerintahan kita, pada masa orde lama, jumlah perempuan dalam pemerintahan berada di bawah 10, pada masa orde baru jumlah perempuan di lembaga-lembaga pemerintahan hanya berkisar 10 - 11 saja, hal yang tidak jauh berbeda pada masa reformasi yang hanya 9 saja. Jurnal Perempuan ; 2001:21. Dalam seminar “Peranan Wanita” dalam peta demokrasi 1997 yang diselenggarakan oleh Fatayat NU dan harian republika, Drs. Arbi Sanit menyatakan meski secara kuantitatif jumlah wanita Indonesia lebih banyak dibanding pria, perkembangan posisi dan peran politik wanita Indonesia amatlah lamban. Secara kualitatif, wanita Indonesia belum secara proporsional mempengaruhi dan menentukan proses dan produk politik Indonesia. Di DPR porsi wanita meningkat dari 6,25 pada tahun 1955 menjadi berturut- turut 7,17 pada tahun 1971, 8,48 pada tahun 1977 dan 9,35 pada tahun 1985. http:www.surabayapost.co.id112506 kanan.html, diakses 260808. Gambaran ini semakin jelas dapat dilihat pada tabel sebagai berikut : Universitas Sumatera Utara Tabel 1.1 Gambaran Keterwakilan Perempuan di Lembaga-Lembaga Politik Formal Tahun 2001 KETERWAKILAN PEREMPUAN INDONESIA Dalam Lembaga Politik Formal Lembaga Perempuan Laki-laki Jumlah 100 Jumlah Jumlah MPR 18 9,5 177 90,8 195 DPR 45 9,0 455 91,0 500 MA 7 14,8 40 85,2 47 BPK 0,0 7 100,00 7 DPA 2 4,4 43 95,6 42 KPU 2 18,1 9 81,9 11 Gubernur Dati I 0,0 30 100,0 32 Bupati Dati II 5 1,5 331 98,5 336 Eselon I-III 1.883 7,0 25.110 93,0 16.993 Hakim 536 16,2 2.775 83,8 3.311 PTUN 35 23,4 150 76,6 185 Sumber : kompas Senin, 11 Maret 2002 Tabel 1.1 menunjukkan jumlah keterwakilan perempuan di lembaga-lembaga politik formal. Dari beberapa lembaga yang ada diatas, terutama lembaga tinggi negara, seperti MPR, DPR dan MA menunjukkan jumlah perempuan berada di bawah 15, yakni MPR hanya 9,5, DPR 9,0 dan MA 14,8. Bahkan pada lembaga seperti BPK dan kepala Daerah Tingkat I keterlibatan perempuan tidak ada sama sekali. Namun pada lembaga formal yang lain seperti KPU, Hakim dan PTUN menunjukkan jumlah yang signifikan mengenai keberadaan perempuan. Tetapi yang paling penting untuk diperhatikan, bahwa jumlah tingkat partisipasi perempuan dalam lembaga-lembaga tersebut sangat minim dan memprihatinkan. Dari tabel tersebut kita dapat melihat perbedaan jumlah yang sangat jauh antara keberadaan laki-laki dan perempuan di dalam lembaga-lembaga tersebut. Universitas Sumatera Utara Tabel I.2 Jumlah dan Persentase Anggota DPR Perempuan Tahun 1950-2004 Masa Kerja DPR Perempuan Jumlah Anggota Prasentase 1950-1955 DPR Sementara 9 236 3,8 1955-1960 17 272 6,3 1956-1959 Konstituante 25 488 5,1 1971-1977 36 460 7,8 1977-1982 29 460 6,3 1982-1987 39 460 8,5 1987-1992 65 500 13 1992-1997 62 500 12,5 1997-1999 54 500 10,8 1999-2004 45 500 9 Sumber : Jurnal Perempuan 2001, edisi pertama. Tabel 1.2 menunjukkan sejak 1950-2004 sudah ada 10 kali lembaga DPR terbentuk, menunjukkan perentase keterlibatan perempuan di bawah 15. Bahkan sejak tahun 1950-1987 jumlah perempuan di DPR berada di bawah 10, tetapi pada tahun 1987 angka perentasenya mencapai 13, sedangkan tahun 1992-1997 dengan persentase 12,5 dan 1997-1999 dengan 10,8, tetapi pada tahun 1999-2004 turun menjadi 9. Tabel 1.2 menggambarkan belum ada regulasi yang tetap dalam mengatur jumlah keterwakilan perempuan di parlemen pada saat itu. Pandangan Aristoteles sebagai pandangan politik klasik, membuat dikotomi kepentingan publik dan kepentingan individu atau kelompok masyarakat tertentu. Pengembangan pengertian politik didasarkan pada cara pandang biner patriarchist, yang akhirnya menciptakan pengertian politik yang semula sebagai suatu musyawarah warga negara untuk membicarakan dan menyelenggarakan segala aspek kehidupan, telah berubah. Ia telah menjadi ilmu yang mempelajari hakikat kedudukan dan menggunakan kekuasaan dimanapun kekuasaan itu ditemukan Robson dalam Nunuk P.M. 2004 :122 . Pengertian politik adalah kekuasaan yang sekarang berkembang dan makin Universitas Sumatera Utara menyingkirkan perempuan serta pandangan perempuan dalam kehidupan berpolitik. Pengertian politik ini menganggap perempuan sebagai manusia yang tidak boleh berkuasa. Padahal jika kita melihat defenisi politik yang sebenarnya adalah suatu sarana pencapaian kedudukan atau kekuasaan secara legal dan rasional dan bagaimana menjalankan kekuasaan yang dimiliki sesuai dengan peraturan yang berlaku dan berwujud pada kemakmuran masyarakat dan wilayah yang dikuasainya itu. Kesempatan wanita dalam politik mulai diperhatikan dengan tindakan khusus sementara affirmatife action untuk meningkatkan keterwakilan perempuan dengan sistem kuota 30 sehingga mencapai sedikitnya minoritas kritis yaitu 30 dari total anggota parlemen. Tetapi persoalan tidak selesai dengan kuota saja, karena daftar caleg yang disusun oleh partai peserta pemilu menempatkan perempuan pada daftar nomor bawah sehingga sulit untuk menang dalam pemilu, sedangkan laki-laki tetap berada pada nomor urut teratas, hal tersebut karena adanya anggapan bahwa laki-laki dianggap lebih berkualitas, dan lebih unggul dalam bidang politik. Dalam hal ini budaya Patriarkhi determinan terhadap kuantitas perempuan dalam legislatif Jurnal Politeia Vol II, 2006:74. Affirmative action ini membawa perdebatan pada isu kuantitas dan kualitas. Lembaga-lembaga non pemerintah di Indonesia mengambil angka 30 sebagai angka keterwakilan perempuan di parlemen sebagai jumlah minimum agar keputusan yang dambil parlemen bisa menyuarakan aspirasi, nilai dan kepentingan perempuan. Budaya patriarkhi yang ada di Indonesia membawa perempuan dalam posisi yang subordinat dalam politik. Budaya patriarkhi yang terakumulasi mengakibatkan terciptanya cara berpikir pasangan biner dan dikotomis yang memposisikan si kuat yang berkuasa yang menentukan kehidupan si lemah, Aristoteles dalam Nunuk P. Murniati 2004 : 119. Universitas Sumatera Utara Center for Elektoral Reform Cetro menyatakan jumlah 30 sebagai jumlah keterwakilan minimum dengan argumentasi bahwa kajian-kajian tentang tingkah laku minoritas menunjukkan diperlukannya 30 wakil kelompok agar sebuah kelompok dapat mempengaruhi proses pembuatan keputusan atau kebijakan atau membuat aliansi-aliansi diantara berbagai kelompok. Jika jumlah perempuan ada dibawah angka strategis 30, maka perempuan akan sekedar menjadi dekorasi politik atau akan sebagai pelengkap saja Kompas, 27 Mei 2002. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa banyak kendala-kendala yang dihadapi perempuan dalam berpolitik yang menurut Lycette dalam Indriyati Suparno, 2005: 27, yaitu : 1. Perempuan menjalankan dua peran sekaligus, yaitu peran reproduktif serta peran produktif, di dalam maupun di luar 2. Perempuan relatif memiliki pendidikan lebih rendah daripada laki-laki. Tingkat pendidikan perempuan yang rendah dan perbedaan kesempatan yang diperoleh anak perempuan dan laki-laki terjadi di seluruh dunia 3. Adanya hambatan budaya yang terkait dengan pembagian kerja secara seksual, dan pola interaksi perempuan dengan laki-laki yang membatasi perempuan 4. Adanya hambatan legal bagi perempuan seperti larangan kepemilikan tanah, larangan berpartisipasi dalam pendidikan atau program KB tanpa persetujuan suami atau ayahnya. Selain itu hambatan kultural dan hambatan struktural juga menghalangi kesempatan dan peluang wanita berpolitik. Hambatan kultural berhubungan dengan masih kentalnya budaya patriarkhi dalam masyarakat yang menetapkan pola dan peran sosial Universitas Sumatera Utara yang berdeda untuk laki-laki dan perempuan, sedangkan kendala struktural berhubungan dengan sistem pemilu yang memperkecil peluang munculnya perempuan dalam partai politik yang tidak didukung pula dengan sistem pendidikan politik di dalam internal partai Indriyati Suparno, 2005:27. Streotipe yang ditujukan kepada perempuan membentuk pandangan bahwa wanita sering diragukan kemampuannya. Sebagian ahli menyatakan bahwa kemampuan manajerial wanita yang baik akan mendukung kualitas kepemimpinannya. Kepemimpinan tidak dibedakan atas gender. Kepemimpinan dapat dipelajari oleh siapapun tetapi yang pasti kepemimpinan perlu dikarakterkan dan tidak hanya dipelajari secara teori Jajan Kaswara 1999. Gambaran ini dapat dilihat diantaranya banyak pemimpin negara adalah perempuan. Ini juga berlaku di Indonesia seperti keberhasilan wanita menjadi ketua partai bahkan menjadi presiden. Namun tidak dapat dipungkiri kenyataannya belum banyak perempuan yang aktif dalam ranah politik. Tentunya dengan penetapan kuota 30 memberikan peluang dan kesempatan wanita dalam karier politiknya. Penelitian ini akan melihat sejauh mana partai ini menerapkan sistem keterwakilan perempuan dalam pemenuhan kuota 30 serta bagaimana partai-partai yang ada memberikan peluang dan kesempatan wanita dalam karier politiknya. Dalam hal ini dikonsentrasikan pada partai yang terdapat di Tapanuli Utara.

1.2. Perumusan Masalah

Dokumen yang terkait

Partisipasi Politik Elit Politik Perempuan di DPC Partai Demokrat Pematangsiantar (Studi Kasus Pada Pemilihan Umum 2009)

1 45 71

UPAYA PARTAI POLITIK DALAM MENINGKATKAN PARTISIPASI POLITIK PEREMPUAN DALAM PARTAI POLITIK DAN PEMILU 2004 (Studi pada DPC PKB Kabupaten Bangkalan)

0 3 1

PARTISIPASI POLITIK PEREMPUAN DALAM PARTAI POLITIK (Studi pada DPC Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Kabupaten Ngawi)

1 19 2

PERAN PARTAI POLITIK GOLKAR DALAM PENDIDIKAN POLITIK (Studi Kasus di DPD Partai GOLKAR Kabupaten Sragen) Peran Partai Politik Golkar Dalam Pendidikan Politik (Studi Kasus di DPD Partai GOLKAR Kabupaten Sragen).

0 1 17

PERAN PARTAI POLITIK GOLKAR DALAM PENDIDIKAN POLITIK (Studi Kasus di DPD Partai GOLKAR Kabupaten Sragen) Peran Partai Politik Golkar Dalam Pendidikan Politik (Studi Kasus di DPD Partai GOLKAR Kabupaten Sragen).

0 1 12

PERAN PARTAI POLITIK DALAM MENINGKATKAN KETERWAKILAN PEREMPUAN DI LEMBAGA LEGISLATIF KABUPATEN CIANJUR: Studi Deskriptif Tentang Pendidikan Politik Bagi Kader Perempuan di Partai Politik.

1 1 63

Partisipasi dan Akuntabilitas partai politik.

0 1 68

ANALISA GENDER DALAM PENGELOLAAN PARTAI POLITIK (Studi Deskriptif Kualitatif Pada Anggota Partai Politik dan Partai Politik Peserta Pemilu 2014).

0 0 16

Partai Politik: Studi Deskriptif Proses Pendirian Partai Solidaritas Indonesia

0 0 15

PARTISIPASI PURNAWIRAWAN TNI DALAM PARTAI POLITIK : Studi Deskriptif Tentang Partisipasi Dan Adaptasi Puruawirawan TNI Dalam Partai Politik Di Surabaya Repository - UNAIR REPOSITORY

0 0 110