Barak dan Pola Permukiman

38 perkembangan fluktuatif jumlah kuli Cina, kuli Jawa dan kuli perempuan Jawa dapat dilihat dari diagram berikut ini. Gambar 2. Diagram Perbandingan Antara Jumlah Kuli Cina, Kuli Jawa dan Kuli Perempuan Jawa di Perkebunan Senembah Maatschappij Tahun 1928-1933. Sumber: Versla g over het boekja a r N.V. Senembah Ma a tscha ppij, Amsterdam: De Bussy, 1929-1934, dirangkum dari tahun 1928 sampai 1933

2.3 Barak dan Pola Permukiman

Dengan banyaknya kuli yang ada di perkebunan, pihak perkebunan harus menyediakan tempat tinggal bagi kuli. Hal itu juga merupakan kewajiban bagi pengusaha perkebunan yang tertuang pada pasal 2 dari Koeli Ordonnantie. 68 Dalam 68 Staatsblad van Nederlandsch-Indie, 1880 No. 133 . 0.000 2.000 4.000 6.000 8.000 10.000 12.000 1928 1929 1930 1931 1932 1933 Kuli Cina Kuli Jawa Kuli Perempuan Jawa Universitas Sumatera Utara 39 perkebunan pola permukiman antara kuli, asisten dan tuan kebun menunjukkan hierarki strata kehidupan yang terjadi, bahwa kuli baik Cina maupun Jawa menempati strata kehidupan terendah. 69 Hal yang paling penting dalam pola permukiman kuli di perkebunan adalah masalah sanitasi, kebersihan dan ventilasi udara. Tempat tinggal dan pola permukiman yang buruk dapat menimbulkan wabah yang menjalar di antara kuli. 70 Menjelang akhir abad XIX banyak terjadi wabah yang menyebabkan angka kematian kuli di perkebunan sangat tinggi. Wabah tersebut diantaranya adalah kolera, typhus, pes dan malaria. 71 Pada akhir abad ke XIX dan awal abad ke XX masalah permukiman kuli menjadi perhatian yang serius bagi Perkebunan Senemba h Ma a tscha ppij karena terjadi banyak wabah penyakit. Bagi perkebunan, wabah penyakit yang terjadi berarti kerugian dalam arti kuli tidak mampu melakukan pekerjaan yang layak. Biaya perawatan bagi kuli yang terkena wabah penyakit, dan berarti pula jumlah kematian yang tinggi di antara tenaga kerja sehingga dapat mempengaruhi kondisi produksi di perkebunan. 72 Jenis tempat tinggal kuli dibedakan menjadi menjadi dua yaitu tempat tinggal atau perumahan permanen atau biasa disebut kolonisa si dan tempat tinggal atau perumahan sementara biasanya terletak di tengah perkebunan tembakau dan pindah 69 T. Keizerina Devi, op.cit., hal. 126; lihat juga Ann Laura Stoler, op.cit., hal. 4-5. 70 B. Alkema, Ar beidswetgeving in Nederlandsch-Indie Inzonderheid met het Oog op de Oostkust van Soematra, Haarlem: NV. H. D. Tjeenk Willink Zoon, 1929, hal. 48-50. 71 J. Tideman, “Penampungan Kuli Kontrak di Pantai Timur Sumatera”, Kolonial Studien , 1919, hal. 129. 72 T. Keizerina Devi, op.cit., hal. 28. Universitas Sumatera Utara 40 setiap penanaman baru. Tempat tinggal permanen ada yang berbentuk panggung dan berlantai batu, dilengkapi dengan dapur, sumur dan pembuangan kotoran yang ditutupi dengan papan. 73 Tempat tinggal sementara berbentuk seperti barak dengan ruang ventilasi cahaya. Di tengah-tengah barak ini dibangun dapur umum sebagai tempat penyediaan makanan bagi kuli. Kegiatan mandi dan persediaan air minum dibuat disekitar barak dan dikontrol setiap tahun. 74 Permukiman antara kuli Cina dan Jawa ditempatkan pada tempat yang berbeda. Hal ini dilakukan untuk menghindari konflik antar kuli. Faktor lainnya adalah agar pihak perkebunan mudah untuk mengawasi dalam sistem kerja di perkebunan. Selain itu karena pekerjaan kuli Cina adalah kuli lapangan maka pola permukiman mereka terletak di tengah perkebunan tembakau. Permukiman kuli Cina ditempatkan dalam barak-barak yang berbentuk panjang yang biasanya disebut ta ngsi. Dalam satu pola permukiman kuli Cina terdiri dari 4 baris ta ngsi. Ta ngsi ini dapat menampung satu atau dua regu kuli Cina yang berkisar antara 10 sampai 15 orang. Dalam setiap ta ngsi juga ditinggali oleh seorang ta ndil atau pengawas kuli Cina. Ta ngsi atau barak tersebut berbentuk panggung dengan tinggi satu meter dari tanah dan panjang barak adalah 200 meter. Barak ini dibangun dengan dinding dan lantai kayu dengan atap daun nipah. 75 73 Catalogus van de Inzending van de Oostkust van Sumatra op de Eerste Hygienische Tentoonstelling In Nederlandsch Indie EHTINI te Bandoeng, 25 Juni Tot 10 Juli 1927, Medan: Varekamp Co, 1927, hal. 12-13. 74 B. Alkema, op.cit., hal. 49-50. 75 W .A. P. Schuffner dan W. A. Kuenen, op.cit., hal. 79. Universitas Sumatera Utara 41 Pola permukiman kuli Jawa berbeda dengan kuli Cina. Pola permukiman kuli Jawa dibangun dengan sistem pondok. Pondok tersebut agak jauh dan tidak berada di tengah perkebunan. Dalam satu pondok biasanya terdiri sampai 20 rumah. Model sistem pondok ini ada yang berbentuk rumah tunggal atau model dua rumah. Biaya yang dikeluarkan untuk membuat rumah tersebut adalah f 150 untuk rumah tunggal dan f 250 untuk model dua rumah. 76 Rumah-rumah dalam pondok biasanya dilengkapi dengan kebun kecil atau halaman di depan atau belakang rumah kuli. Kebun kecil atau halaman tersebut ditanami pohon pisang, sayur-sayuran, tanaman buah dan tempat untuk berternak unggas. 77 Model ini hanya ditempati oleh kuli yang sudah menikah dan berbeda dengan kuli yang masih lajang. Bagi kuli yang masih lajang disediakan pondok yaitu barak yang memanjang yang biasanya ditempati oleh 30 sampai 40 kuli lajang. 78 Pada tahun 1924 perkebunan mencoba melakukan perubahan dalam sistem perumahan terhadap kuli Cina, yaitu mencontoh sistem pondok seperti kuli Jawa. Hal ini disebabkan oleh banyak kuli Cina yang menikah atau sekedar hidup bersama dengan perempuan Jawa. Banyak juga kuli Cina yang membawa istrinya dari Cina. Faktor lainnya adalah untuk mengikat kuli Cina dengan perkebunan seperti yang dilakukan terhadap kuli Jawa. Percobaan pertama dilakukan di perkebunan Gunung Rintih dan Simpang Empat. Namun hal itu tidak berlangsung lama, karena istri kuli 76 E. P. Snijders, Koeliehuisvesting en Geneeskundige Dienst op Rubberondernemingen, Amsterdam: De Bussy, 1921, hal. 30. 77 B. M. van Driel, Iets Over de Zorg voor den Gezondheidstoestand der Ondernemingsarbeiders In de Toekomst, Batavia: G. Kolff, 1931, hal. 810. 78 C. W. Janssen dan H. J. Bool, op.cit., hal. 68. Universitas Sumatera Utara 42 Cina tidak bekerja di perkebunan dan banyak yang meminjamkan uang dengan bunga tinggi atau menghasut suaminya untuk meninggalkan perkebunan. Setelah dua tahun, percobaan di perkebunan Gunung Rintih dihentikan dan menyusul tahun berikutnya di perkebunan Simpang Empat. 79

2.4 Kondisi Ekonomi dan Lingkungan Sosial