Bunyi Bau Kerangka Pemikiran

kehidupan manusia. Bagi masyarakat tertentu, melakukan suatu pekerjaan seringkali melihat waktu. Misalnya membangun rumah, menanam padi, melaksanakan perkawinan, membeli sesuatu dan sebagainya. Penggunaan waktu atau chronemics adalah cara lain untuk menyampaikan pesan-pesan nonverbal. Terdapat beberapa aspek mengenai bagaimana kita berpikir tentang dan menggunakan waktu yang mengandung kesan-kesan bagi orang lain. Apakah anda yang memusatkan diri pada masa lalu, masa kini atau masa yang akan datang?. Beberapa orang dan budaya kebanyakan berpikir mengenai masa lalu sedangkan yang lainnya berpusat pada masa kini dan yang lainnya lagi menekankan pada masa yang akan datang Chen Starosta, 1998 dalam Budyatna Ganiem, 2011.

k. Bunyi

Kalau paralanguage dimaksudkan sebagai tekanan suara yang keluar dari mulut untuk menjelaskan ucapan verbal, maka banyak bunyi-bunyian yang dilakukan sebagai tanda isyarat yang dapat digolongkan sebagai paralanguage. Misalnya bersiul, bertepuk tangan, bunyi terompet, letusan senjata, beduk, tambur, sirine dan sebagainya. Bunyi-bunyian seperti ini dimaksudkan untuk mengatasi jarak yang jauh dan menyatakan perintah untuk kelompok orang banyak, misalnya dalam kesatuan tentara, pandu dan sebagainya.

l. Bau

Bau juga menjadi kode nonverbal. Selain digunakan untuk melambangkan status seperti kosmetik, bau juga dapat dijadikan sebagai petunjuk arah. Misalnya posisi bangkai, bau karet terbakar dan semacamnya.

m. Gerakan wajah

Gerakan wajah mengomunikasikan macam-macam emosi selain juga kualitas atau dimensi emosi. Kebanyakan periset sependapat dengan Paul Ekman, Wallace V Friesen dan Phoebe Ellsworth dalam DeVito, 2011 menyatakan bahwa pesan wajah dapat mengomunikasikan sedikitnya “kelompok emosi” berikut: kebahagiaan, keterkejutan, ketakutan, kemarahan, kesedihan dan kemuakanpenghinaan. Periset nonverbal Dele Leathers mengemukakan bahwa Universitas Sumatera Utara gerakan wajah mungkin juga mengomunikasikan kebingungan dan ketetapan hati DeVito, 2011: 208. Gambar II.6 Contoh Ekspresi Wajah Sumber: www.google.com Dalam komunikasi nonverbal banyak terdapat bentuk-bentuk komunikasi nonverbal seperti kinesics berupa gerakan tubuh, paralanguage, proxemics yang berkenaan dengan penggunaan ruang, territory, artifacts, physical appearance, chronemics berkenaan dengan penggunaan waktu, dan olfactory communication berkaitan dengan masalah penciuman Verderber et al., dalam Budyatna dan Ganiem, 2011. • Budaya Maskulin dan Feminin Budaya “maskulin” yang tinggi, pria dilihat sebagai orang yang tegas, berorientasi kepada kesuksesan material, dan kuat; wanita dilihat sebagai yang baik hati, berfokus kepada kualitas hidup, dan lemah lembut. Dalam budaya “feminin” yang tinggi, kedua pria dan wanita baik hati, berorientasi untuk mempertahankan kualitas hidup, dan lemah lembut. Budaya maskulin memaksa kesuksesan dan mensosialisasikan masyarakat mereka untuk menjadi tegas, ambisius, dan kompetitif. Anggota dari budaya maskulin lebih suka untuk terlibat konflik secara langsung dan berkompetisi untuk segala perbedaan. Budaya feminin memaksa kualitas hidup dan mensosialisasikan masyarakat mereka untuk menjadi baik hati dan memaksa hubungan antarpersonal. Anggota dari budaya feminin lebih suka untuk berkompromi dan Universitas Sumatera Utara bernegosiasi dalam menyelesaikan masalah; mereka lebih suka untuk mencari win-win solutionsArrindell, Steptoe, Wardle, dalam DeVito, 2009: 39. • Budaya Toleransi-Ambiguitas-Tinggi dan Toleransi-Ambiguitas-Rendah Dalam beberapa budaya, orang-orang melakukan sedikit penolakan yang tidak pasti, dan mereka punya sedikit kegelisahan tentang tidak mengetahui apa yang akan terjadi selanjutnya. Pada beberapa budaya lainnya, bagaimanapun juga, ketidakpastian ditolak secara keras dan lebih banyak kegelisahan tentang ketidakpastian. Budaya Toleransi-Ambiguitas-Tinggi Anggota budaya dengan toleransi ambiguitas yang tinggi tidak merasa terancam oleh situasi yang tidak pastidiketahui; ketidakpastian adalah sebuah kenormalan dalam kehidupan, dan orang-orang menerimanya jika hal tersebut muncul Hofstede; Lustig Koester, dalam DeVito, 2009: 39. Budaya Toleransi-Ambiguitas-Rendah Anggota-anggota dari budaya dengan toleransi ambiguitas yang rendah melakukan lebih untuk menghindar dari ketidakpastian dan punya masalah besar mengenai kegelisahan mengenai tidak mengetahui apa yang akan terjadi selanjutnya; mereka melihat ketidakpastian sebagai ancaman dan sebagai sesuatu yang musti dilawan. Hofstede, dalam DeVito, 2009: 39-40. • Orientasi Kolektivis dan Individualis Budaya juga berbeda dalam tingkatan dimana mereka meningkatkan nilai- nilai individualis sebagai contoh, kekuasaankekuatan, pencapaian, hedonisme, dan rangsangan melawan nilai-nilai kolektivis sebagai contoh, tradisi dan penyesuaiankecocokan. Dalam sebuah budaya individual, anggota budaya bertanggung jawab terhadap diri mereka sendiri dan mungkin keluarga terdekat. Dalam budaya kolektif, anggota budaya bertanggung jawab terhadap keseluruhan kelompok. Dalam budaya individualis, sukses diukur oleh keluasan, dimana kita melewati anggota-angota suku yang lain. Kita akan berbangga dengan berdiri di depan keramaian. Dalam budaya kolektifis, kesuksesan diukur dari kontribusi Universitas Sumatera Utara pada pencapaian sebuah kelompok masyarakat secara keseluruhan; kita akan berbangga hati pada kesamaan dengan anggota kelompok masyarakat yang lain. Han Shavitt, dalam DeVito, 2009: 40-41. • Budaya Konteks-Tinggi dan-Rendah Menurut Gudykunst Ting Toomey; Gudykunst Kimdalam DeVito, 2009: 41 budaya konteks-tinggi adalah juga budaya kolektivis. Budaya konteks- rendah adalah juga budaya individualis. Budaya ini menempatkan perhatian yang kurang dalam informasi personal dan lebih menekankan verbal, penjelasan eksplisit dan diatas kontrak tertulis dalam transaksi bisnis. Anggota-anggota dari budaya konteks-tinggi menghabiskan banyak waktu untuk mengenal satu sama lain antarpersonal dan antarmasyarakat sebelum transaksi penting apapun dilakukan. Anggota budaya konteks-rendah menghabiskan waktu yang lebih sedikit untuk mengenal satu sama lain, dan karena itu, tidak mempunyai shared knowledge. Kepada anggota budaya konteks- tinggi, apa yang dihilangkan atau diasumsikan adalah bagian vital dari transaksi komunikasi. Menurut Basso dalam DeVito, 2009: 41,diam, sebagai contoh sangat bernilai tinggi. Untuk anggota budaya konteks-rendah, apa yang dihilangkan menciptakan ambiguitas, tapi ambiguitas ini adalah sesuatu yang sederhana yang akan hilang oleh komunikasi langsung dan eksplisit. Menurut Gudykunstdalam DeVito, 2009: 41 untuk anggota budaya konteks-tinggi, ambiguitas adalah sesuatu yang dihindari; ini adalah tanda bahwa interaksi personal dan sosial tidak terbukti cukup untuk menyusun informasi yang berbasis sama.

II.2.3 Teori Pelanggaran Harapan

Teori Pelanggaran Harapan atau Expectancy Violations Theory EVT pada mulanya disebut sebagai Teori Pelanggaran Harapan Nonverbal NonverbalExpectancy Violations Theory. Teori ini dikembangkan oleh Judee Burgoon untuk memahami komunikasi nonverbal serta pengaruhnya terhadap pesan-pesan dalam sebuah percakapan. Akan tetapi kemudian Burgoon menghapus kata nonverbal karena sekarang teori ini juga mencakup isu-isu di luar Universitas Sumatera Utara area komunikasi nonverbal. Walaupun demikian, dari awal pembentukannya di akhir 1970an, Teori Pelanggaran Harapan telah menjadi teori utama dalam mengidentifikasi pengaruh komunikasi nonverbal terhadap perilaku. Teori Pelanggaran Harapan Expectancy Violations Theory—EVT, menyatakan bahwaorang memiliki harapan mengenai perilaku nonverbal orang lain. Burgoon berargumen bahwa perubahan tak terduga yang terjadi dalam jarak perbincangan antara para komunikator dapat menimbulkan suatu perasaan yang tidak nyaman atau bahkan rasa marah dan sering kali ambigu. Tulisan awal Burgoon mengenai EVT mengintegrasikan kejadian-kejadian khusus dari komunikasi nonverbal; yaitu, ruang personal dan harapan orang akan jarak ketika perbincangan terjadi karena ruang personal merupakan konsep inti dari teori ini West dan Turner, 2009 : 154-155 Hubungan Ruang Ilmu yang mempelajari penggunaan ruang seseorang disebut sebagai proksemik proxemics. Proksemik membahas cara seseorang menggunakan ruang dalam percakapan mereka dan juga persepsi orang lain akan penggunaan ruang. Menurut Mark Knapp dan Judith Hall dalam West dan Turner 2009 penggunaan ruang seseorang dapat mempengaruhi kemampuan mereka untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Penggunaan ruang dapat mempengaruhi makna dan pesan. Ruang-ruang orang telah menarik minat peneliti untuk beberapa saat; Burgoon memulai karya awalnya yang membahas EVT dengan mempelajari interpretasi dari pelanggaran ruang. Burgoon dalam West dan Turner, 2009 mulai dari sebuah premis bahwa manusia memiliki dua kebutuhan yang saling bertarung: afiliasi dan ruang pribadi. Ruang personal personal space, menurut Burgoon dapat didefenisikan sebagai “sebuah ruang tidak kelihatan dan dapat berubah-ubah yang melingkupi seseorang, yang menunjukkan jarak yang dipilih untuk diambil oleh seseorang terhadap orang lain.” Burgoon dan peneliti Pelanggaran Harapan lainnya percaya bahwa manusia senantiasa memiliki keinginan untuk dekat dengan orang lain, tetapi juga menginginkan adanya jarak tertentu. Hal ini membingungkan, tetapi merupakan dilema yang realistis bagi kita. Sedikit orang dapat hidup dalam Universitas Sumatera Utara keterasingan, dan walaupun demikian seringkali orang-orang membutuhkan privasi. - Zona Proksemik Teori Pelanggaran Harapan Burgoon banyak dipengaruhi oleh karya-karya dari seorang antropolog Edward Hall dalam West dan Turner, 2009. Setelah mempelajari tentang orang-orang Amerika Utara di daerah Timur Laut, Hall mengklaim bahwa terdapat empat zona proksemik, yaitu: 1. Jarak intim, zona ini mencakup perilaku yang ada pada jarak antara 0 sampai 18 inci 46 sentimeter. Hall dalam West dan Turner, 2009 mengamati bahwa perilaku-perilaku ini termasuk perilaku yangbervariasi mulai dari sentuhan misalnya, berhubungan intim hingga mengamati bentuk wajah seseorang. Bisikan yang biasanya digunakan dalam kisaran jarak intim intimate distance ini dapat menjadi sangat berpengaruh. Hall menganggapnya sebagai suatu hal yang menarik bahwa ketika warga Amerika Serikat sedang berada dalam suasana dan lingkungan yang intim tetapi sedang tidak bersama pasangan yang dekat dengan mereka, mereka seringkali berusaha untuk menciptakan pengalaman yang tidak intim. 2. Jarak personal, zona spasial yang berkisar antara 18 inci sampai 4 kaki, digunakan untuk keluarga dan teman. Menurut Hall dalam West dan Turner 2009, perilaku dalam jarak personal personal distance termasuk bergandengan tangan hingga menjaga jarak dengan seseorang sejauh panjang lengan. 3. Jarak sosial, zona spasial yang berkisar antara 4-12 kaki, digunakan untuk hubungan-hubungan yang formal seperti hubungan dengan rekan sekerja. Hall dalam West dan Turner, 2009 menyatakan bahwa jarak sosial yang terdekat biasanya digunakan di dalam latar sosial yang kasual, contohnya pesta koktail. Walaupun jarak ini tampaknya sedikit jauh, Hall mengingatkan kita bahwa kita masih dapat melihat tekstur rambut dan kulit pada fase dekat dari kategori ini. Fase yang jauh biasanya dikaitkan dengan orang yang harus berbicara lebih keras Universitas Sumatera Utara dibandingkan dengan mereka yang ada di dalam fase dekat. Selain itu, fase jauh dapat dianggap sebagai fase yang lebih formal dari fase dekat. Fase jauh dari jarak sosial memungkinkan seseorang untuk menjalankan berbagai pekerjaan sekaligus. 4. Jarak publik, zona spasial yang berjarak 12 kaki atau lebih dan digunakan untuk diskusi yang sangat formal seperti antara seorang dosen dan mahasiswa di dalam kelas. - Kewilayahan Kewilayahan territoriality adalah kepemilikan seseorang akan sebuah area atau benda. Menurut Altman, Lyman Scott dalam West dan Turner, 2009: 157. Ada tiga jenis wilayah: primer, skunder dan publik. Wilayah primer primary territories merupakan wilayah eksklusif seseorang. Contohnya, ruang kerja seseorang atau komputer adalah wilayah primer. Wilayah sekunder secondary territories menunjukkan hubungan personal seseorang dengan sebuah area atau benda. Contohnya, banyak mahasiswa pascasarjana merasakan bahwa perpustakaan kampus adalah wilayah sekunder mereka. Wilayah publik public territories tidak melibatkan suatu afiliasi personal dan termasuk area-area yang terbuka bagi semua orang—misalnya, pantai, taman, bioskop dan transportasi umum. Kewilayahan seringkali diikuti dengan pencegahan dan reaksi Knapp Hall, dalam West dan Turner, 2009. Maksudnya, orang akan berusaha untuk mencegah anda memasuki wilayah mereka atau akan memberikan respon begitu wilayah mereka dilanggar. Beberapa geng menggunakan penanda wilayah untuk mencegah geng lain melanggar wilayah kekuasaan mereka. Knapp Hall melihat bahwa jika suatu pencegahan tidak berfungsi dalam mempertahankan wilayah seseorang, orang itu mungkin akan bereaksi dengan cara tertentu, termasuk menjadi tertantang secara fisik maupun kognitif. Singkatnya, manusia biasanya menandai wilayah mereka dengan empat cara: menandai menandai wilayah kita, melabeli memberikan simbol untuk identifikasi, menggunakan tanda atau gambar yang mengancam menunjukkan penampilan dan perilaku yang agresif dan meduduki mengambil tempat terlebih dahulu dan tinggal di sana untuk waktu Universitas Sumatera Utara yang paling lama dari orang lain Knapp, dalam West dan Turner, 2009: 157- 158. Gambar II.7 Contoh Kewilayahan Sumber: DeVito 2011 : 220 Asumsi Teori Pelanggaran Harapan Teori Pelanggaran Harapan berakar pada bagaimana pesan-pesan ditampilkan pada orang lain dan jenis-jenis perilaku yang dipilih orang lain dalam sebuah percakapan. Selain itu, terdapat tiga asumsi yang menuntun teori ini West dan Turner, 2009 : 158: • Harapan mendorong terjadinya interaksi antarmanusia • Harapan terhadap perilaku manusia dipelajari • Orang membuat prediksi mengenai perilaku nonverbal Asumsi pertama menyatakan bahwa orang memiliki harapan dalam interaksinya dengan orang lain. Dengan kata lain, harapan mendorong terjadinya interaksi. Harapan expectancy dapat diartikan sebagai pemikiran dan perilaku yang diantisipasi dan disetujui dalam percakapan dengan orang lain. Judee Burgoon dan Jerold Hale dalam West dan Turner, 2009 menyatakan bahwa ada dua jenis harapan: prainteraksional dan interaksional. Harapan prainteraksional pre-interaksional-expectatio mencakup jenis pengetahuan dan keahlian Universitas Sumatera Utara interaksional yang dimiliki oleh komunikator sebelum ia memulai sebuah percakapan. Harapan interaksional interaksional expectation merujuk pada kemampuan seseorang untuk menjalankan interaksi itu sendiri. Kebanyakan orang mengharapkan orang lain untuk menjaga jarak sewajarnya dalam sebuah percakapan. Hal ini menuntun kita pada asumsi EVT yang kedua—bahwa orang mempelajari harapannya melalui budaya secara luas dan juga individu-individu dalam budaya tersebut. Misalnya, di Amerika hubungan antara profesor dengan mahasiswa didasari rasa hormat profesional. Individu-individu dalam sebuah budaya juga berpengaruh dalam mengomunikasikan harapan. Burgoon dan Hale dalam West dan Turner, 2009 menyatakan bahwa sangat penting bagi kita untuk memperhatikan perbedaan- perbedaan berdasarkan pengetahuan awal kita mengenai orang lain, sejarah hubungan kita dengan mereka dan observasi kita. Asumsi yang ketiga terkait dengan prediksi yang dibuat oleh orang mengenai komunikasi nonverbal. Pada titik ini, sangatlah penting untuk menunjukkan sebuah pandangan yang terkandung dalam teori ini: orang membuat prediksi mengenai perilaku nonverbal orang lain.

II.2.4 Teori Pengurangan Ketidakpastian

Teori Pengurangan Ketidakpastian dipelopori oleh Charles Berger dan Richard Calabrese pada tahun 1975. Tujuan mereka dalam menyusun teori ini adalah untuk menjelaskan bagaimana komunikasi digunakan untuk mengurangi ketidakpastian di antara orang asing yang tidak terlibat dalam pembicaraan satu sama lain untuk pertama kali. Berger dan Calabrese yakin bahwa ketika orang asing pertama kali bertemu, utamanya mereka tertarik untuk meningkatkan prediktabilitas dalam usaha untuk memahami pengalaman komunikasi mereka. Orang bertindak sebagai peneliti yang naif, dan Berges dan Calabrese berpikir bahwa sebagai peneliti yang naif, kita termotivasi baik untuk memprediksi maupun untuk menjelaskan apa yang terjadi dalam perjumpaan-perjumpaan awal. Prediksi prediction dapat didefenisikan sebagai kemampuan untuk memperkirakan pilihan-pilihan perilaku yang mungkin dipilih dari sejumlah Universitas Sumatera Utara kemungkinan pilihan yang ada bagi diri sendiri atau bagi pasangan dalam suatu hubungan. Penjelasan explanation merujuk kepada usaha untuk menginterpretasikan makna dari tindakan yang dilakukan di masa lalu dari sebuah hubungan. Dua konsep ini—prediksi dan penjelasan—menyusun dua subproses utama dari pengurangan ketidakpastian. Selain itu, Berger dan Calabrese menyatakan bahwa ketidakpastian berhubungan dengan tujuh konsep lain yang berakar pada komunikasi dan pengembangan hubungan: output verbal, kehangatan nonverbal seperti nada suara yang menyenangkan dan mencondongkan tubuh ke arah depan, pencarian informasi bertanya, pembukaan diri, resiprositas pembukaan diri, kesamaan dan kesukaan. Tiap konsep ini bekerja bersama dengan lainnya sehingga partisipan dapat mengurangi sebagian dari ketidakpastian mereka. Namun dalam penelitian ini, peneliti menggunakan konsep yang kedua yaitu kehangatan nonverbal. Melalui aksioma dan teoromanya, URT Uncertainty Reduction Theory mengemukakan sebuah pergerakan yang dinamis dari hubungan interpersonal pada tahap-tahap awalnya. Teori ini telah digambarkan sebagai contoh berteori secara orisinil dalam area komunikasi Miller, 1981 karena teori ini memperlihatkan konsep-konsep seperti pencarian informasi, pembukaan diri yang secara khusus relevan terhadap mempelajari perilaku komunikasi West dan Turner, 2009: 173-176 Teori Pengurangan Ketidakpastian adalah teori yang aksiomatik. Ini berarti bahwa Berger dan Calabrese memulai dengan sekumpulan aksioma axioms atau kebenaran yang ditarik dari penelitian yang sebelumnya. URT mengemukakan adanya tujuh aksioma dan dua aksioma tambahan. Sedangkan dalam penelitian ini, aksioma yang berkaitan dengan topik penelitian adalah aksioma yang kedua, yaitu “Ketika ekspresi afiliatif nonverbal meningkat, tingkat ketidakpastian menurun dalam situasi interaksi awal. Selain itu, penurunan tingkat ketidakpastian akan menyebabkan peningkatan keekspresifan afiliatif nonverbal. Hal ini merupakan salah satu hubungan yang bersifat negatif.” West dan Turner, 2009: 179 Universitas Sumatera Utara

II.2.5 Teori Kebohongan

David Buller dari AMC Cancer Research Center, Denver dan Judee Burgoon dari University of Arizona, telah melakukan lebih dari selusin percobaan dimana mereka meminta kepada partisipan untuk membohongi orang lain. Para peneliti ini menerangkan bahwa orang sering kali menemukan diri mereka dalam situasi dimana mereka membuat pernyataan yang kurang jujur guna menghindar dari melukai perasaan atau menyerang orang lain, untuk menampilkan kualitas terbaik mereka, untuk menghindar terlibat dalam suatu konflik, atau untuk mempercepat atau memperlambat suatu hubungan David Buller et al., dalam Budyatna, 2011. Dalam hal ini dapat dilihat dari contoh kasus di bawah ini: Anda telah berkencan dengan Pat selama hampir tiga tahun dan merasa sangat dekat dalam hubungan Anda tersebut. Pat kuliah di kota yang berbeda dan keduanya setuju untuk bisa berkencan dengan orang lain. Namun demikian, Pat orangnya sangat besar cemburunya dan suka menguasai. Selama kuliah Anda hanya mengunjungi Pat sekali-sekali tetapi saling menelepon setiap hari Minggu dan berbicara di telepon berjam-jam lamanya. Pada hari Jumat salah seorang teman Anda mengundang Anda untuk pergi ke pesta malam minggu, tetapi pesta itu mengisyaratkan harus dengan pasangan, makanya Anda perlu berkencan dengan wanita lain untuk diajak ke pesta. Tidak mungkin Pat bisa datang selama libur ke tempat Anda. Anda memutuskan untuk mengajak teman sekelas yang Anda juga tertarik padanya sehingga Anda bisa pergi ke pesta. Anda berdua pergi ke pesta dan sangat menikmati pesta itu. Pada Minggu sore, ada yang mengetuk pintu kamar Anda dan ternyata Pat. Ia masuk dan berkata “Saya memutuskan untuk datang dan mengejutkan kamu. Saya telah menelepon kamu tadi malam, tetapi HP kamu tidak aktif. Apa yang sedang kamu lakukan tadi malam?” Steven McCornack, 1992. Buller dan Burgoon membicarakan tiga tipe respon yang Anda akan berikan jika Anda memutuskan untuk tidak menceritakan hal yang sebenarnya. Pertama, Anda dapat berbohong: “Saya sedang di perpustakaan mempersiapkan Universitas Sumatera Utara ujian teori komunikasi.” Kedua, Anda dapat menceritakan hanya sebagian kebenaran dengan membuang bagian-bagian yang penting: “Saya pergi ke pesta di apartemen seorang teman.” Ketiga, Anda bisa dengan sengaja memberikan jawaban yang samar-samar atau bersifat mengelak: “Saya lagi keluar sebentar.” Menurut petunjuk pihak lain yang mempelajari kebohongan verbal, Buller dan Burgoon menamakan tiga strategi dengan label falsifikasi, dan dalih atau falsification, concealment and equivocation. Beda ketiganya ialah bahwa falsifikasi menciptakan khayalan, menyembunyikan sebuah rahasia, dan dalih mengelak atau menghindar dari masalah itu. Ketiganya itu berada dalam payung mengenai konsep kebohongan atau concept of deception, dimana Buller dan Burgoon mendefenisikan sebagai “sebuah pesan yang secara sadar disampaikan oleh si pengirim untuk membantu menciptakan keyakinan atau kesimpulan palsu pada diri penerima” Buller and Burgoon, dalam Budyatna, 2011 Granhag dan Stromwall dalam Budyatna, 2011 membedakannya antara falsifikasi, distorsi dan penyembunyian atau falsification, distortions and concealments. Falsifikasi merupakan kebohongan total dimana segala sesuatu yang diceritakan merupakan kebalikan daripada keadaan yang sebenarnya. Distorsi berangkat dari kebenaran tetapi kurang lebih telah diubah agar sesuai dengan tujuan orang yang berbohong dan dalam kategori ini sering mendapat hal- hal yang berlebihan. Penyembunyian, dimana si pembohong mengatakan tidak tahu walaupun ia tahu atau ia mengatakan tidak ingat walaupun ia ingat, yakni ia dapat menyembunyikan kebenaran. Menurut kedua penulis ini apa yang dikemukakan di atas merupakan kebohongan yang serius dan bukan merupakan kebohongan sosial atau social lies atau dinamakan juga kebohongan yang putih atau white lies yang kebanyakan orang mengatakannya dalam kehidupan sehari- hari baik ditujukan kepada orang lain atau kepada dirinya sendiri. Misalnya, “Ah, bagus amat gaya rambut Anda,” “Hari ini Anda kelihatan cantik,” dan yang ditujukan kepada diri sendiri: “Saya tidak pernah berkhayal mengenai orang lain.” Kembali kepada kasus Pat dengan kekasihnya. Apakah Pat dapat melihat kebohongan itu?. Teori kebohongan antarpribadi mengatakan tidak. Walaupun kebanyakan orang yakin mereka bisa melihat kebohongan itu, adalah sangat diragukan bahwa mitra romantis yang pencemburu merupakan kekecualian Universitas Sumatera Utara Gerald Miller James Stiff, dalam Budyatna, 2011. Berangkat dari asumsi yang populer bahwa komunikasi nonverbal sulit untuk berpura-pura, Pat agaknya akan mengamati ekspresi wajah Anda dan mendengarkan nada suara Anda untuk memperkuat atau melemahkan jawaban Anda. Kebijakan umum memberikan pembenaran untuk menangkap isyarat-isyarat nonverbal bagi isyarat kebohongan. Apabila orang tidak mau menatap langsung ke mata Anda, kita berasumsi bahwa orang itu telah menyembunyikan sesuatu. Kita juga cenderung percaya bahwa tertawa dengan gugup dan berbicara tergesa-gesa mencerminkan rasa takut ketahuan dalam berbohong. Meskipun pemikiran seperti ini merupakan hal yang umum dan wajar, sejumlah besar penelitian mengenai kebohongan menunjukkan bahwa isyarat nonverbal khusus ini bukan merupakan indikator yang dapat dipercaya mengenai kebohongan Miron Zuckerman Robert Driver, dalam Budyatna, 2011. Orang tertawanya tertekan atau tertawa kecil, orang yang bicaranya tergesa-gesa berusaha menghindar dari kontak mata seperti halnya akan menceritakan kebenaran seperti seseorang yang menampilkan isyarat-isyarat yang diterima umum mengenai kesungguhan atau ketulusan hati. Ketika diadakan pengujian di laboratorium jarang orang yang mencapai lebih dari 60 ketepatan dalam kemampuannya menangkap kebohongan, sedangkan hanya secara kebetulan 50 tingkat pendeteksian adalah umum. Jadi, agaknya bahwa Pat tidak akan pernah tahu secara pasti apa yang Anda lakukan dan bagaimana perasaan Anda pada malam minggu itu E.M. Griffin, dalam Budyatna, 2011. Keadaan menempatkan para ilmuwan yang tertarik pada komunikasi antarpribadi dalam kebingungan sejauh mana asumsi, teori dan temuan terdahulu mengenai kebohongan dapat menyamaratakan atau generalize bagi interaksi sosial. Buller dan Burgoon percaya perspektif teori yang baru dijamin untuk menjelaskan bagi kebohongan dan lebih luas lagi, komunikasi yang dapat dipercaya dan yang tidak dapat dipercaya dalam konteks antarpribadi. Model itu memberikan di dalamnya yang menggambarkan usaha mereka untuk mengembangkan perspektif teoritis dimana faktor-faktor individual seperti tujuan, motivasi, emosi dan kemampuan kognitif adalah perlu tetapi tidak merupakan faktor-faktor yang cukup untuk memprediksi dan menerangkan topografi Universitas Sumatera Utara mengenai pertemuan antarpribadi yang mengandung kebohongan dan mengenai hasilnya. Di dalamnya mereka melakukan pendekatan terhadap masalah secara relasional, mempertimbangkan saling pertukaran mengenai kebohongan dari perspektif diadik dan dialogik daripada perspektif monodik dan monologik. Mereka mengakui sifat kerja sama mengenai episode kebohongan, seperti tindakan-tindakan komunikasi dari mereka yang berinteraksi bukan hanya proses- proses psikologi mereka, merupakan prasyarat bagi perilaku dan interpretasi. Sebagai tambahan, persyaratan kognitif dan perilaku khusus yang menyertai partisipasi aktif ikut diperhitungkan pula. Singkatnya, Buller dan Burgoon menggabungkan prinsip-prinsip kebohongan dengan prinsip-prinsip komunikasi antarpribadi. Model yang telah kedua penulis ciptakan yaitu teori kebohongan antarpribadi atau interpersonal deception theory IDT masih dalam tahap-tahap perkembangan Buller Burgoon, Burgoon, Burgoon Buller, dalam Budyatna, 2011. Nama teori tersebut menentukan kondisi lingkupnya yaitu interaksi antarpribadi dimana keyakinan komunikator adalah jelas atau dipertanyakan. Teori ini telah dikembangkan oleh Buller dan Burgoon dan penelitian-penelitian yang dilakukan oleh pihak lain lebih dari dua setengah dekade ke dalam bidang yang luas dari komunikasi antarpribadi, perilaku nonverbal, pemrosesan pesan, kredibilitas dan kebohongan. Perspektif kedua penulis tersebut tidak menjauhkan diri dari apa yang telah diketahui mengenai kebohongan. Kebohongan atau deception didefenisikan sebagai pesan yang secara sadar disampaikan oleh pengirim atau sender untuk membantu mengembangkan keyakinan atau kesimpulan yang salah oleh penerima Ekman and Knapp Comadena, dalam Budyatna, 2011. Lebih spesifiknya kebohongan terjadi apabila para komunikator mengendalikan informasi berisikan pesan-pesan mereka untuk menyampaikan sebuah makna yang menyimpang dari kebenaran sebagaimana mereka mengetahui atau menyadarinya. Ini berarti menyampingkan kesalahan atau kebohongan yang tidak dimaksudkan. Mitra penerima mengenai kebohongan yaitu pengirim dirasakan sebagai berbohong atau mencurigakan. Kecurigaan atau suspicion mengacu kepada keyakinan yang dianut tanpa bukti yang cukup untuk menjamin kepastian, bahwa ucapan atau tindakan seseorang dapat ditandai Universitas Sumatera Utara sebagai bermuka dua. Kecurigaan terletak di antara kebenaran dan kebohongan, yakni penerima yang curiga tidak merasa pasti apakah pengirim pesan menceritakan hal yang benar atau bohong. Sebagaimana pendekatan para penerima apakah ekstrem mengenai kepastian, ketidakpastian memberi jalan bagi kepastian yang baik dan kecurigaan menjadi berubah ke dalam keyakinan yang mantap tentang kebenaran pengirim, yaitu, penerima “tahu” pengirim adalah jujur atau bohong.

II.3 Kerangka Pemikiran

Pada dasarnya kerangka berpikir framework of thinking sama dengan kerangka teoritis theoritical framework. Menurut Uma Sekaran dalam bukunya yang berjudul Research Methods for Business 2000 mengatakan bahwa, kerangka berpikir dapat diartikan sebagai model konseptual mengenai bagaimana teori berhubungan dengan berbagai faktor atau variabel yang telah dikenali diidentifikasi sebagai masalah yang penting sekali. Penentuan dari suatu variabel atau faktor dipertimbangkan untuk diteliti, karena merupakan salah satu penyebab timbulnya masalah, benar-benar didasarkan pada teori yang relevan. Kerangka berpikir akan menjelaskan secara teoritis antar variabel yang sudah diputuskan untuk diteliti khususnya hubungan antar variabel bebas independent dan variabel tak bebas dependent Supranto, 2003 : 324. Kerangka Pemikiran: Teori Pelanggaran Harapan Teori Kebudayaan Komunikasi Nonverbal Dosen Teori Pengurangan Ketidakpastian Teori Kebohongan persepsi mahasiswa tentang gambaran komunikasi nonverbal dosen bentuk-bentuk komunikasi nonverbal dosen Universitas Sumatera Utara

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

III.1 Metodologi Penelitian Metode adalah cara atau teknik yang digunakan untuk riset. Metode mengatur langkah-langkah dalam melakukan riset. Sedangkan penentuan metode riset, periset memilih metode apa yang akan dipakai dalam mendekati dan mencari data Kriyantono, 2006: 84. Dalam penelitian ini, metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif. Metode ini bertujuan untuk menggambarkan, meringkaskan berbagai kondisi, berbagai situasi atau berbagai fenomena realitas sosial yang ada di masyarakat yang menjadi objek penelitian dan berupaya menarik realitas itu ke permukaan sebagai suatu ciri, karakter, sifat, model, tanda, atau gambaran tentang kondisi, situasi ataupun fenomena tertentu Bungin, 2007: 68. Metodologi diukur berdasarkan kemanfaatannya dan tidak dapat dinilai apakah suatu metode benar atau salah. Untuk menelaah penelitian secara benar, kita tidak cukup sekedar melihat apa yang ditemukan peneliti, tetapi juga bagaimana peneliti sampai pada temuannya berdasarkan kelebihan dan keterbatasan metode yang digunakannya Mulyana, 2002: 146. Riset kualitatif bertujuan untuk menjelaskan fenomena dengan sedalam- dalamnya melalui pengumpulan data sedalam-dalamnya. Riset ini tidak mengutamakan besarnya populasi atau sampling, bahkan populasi atau samplingnya sangat terbatas. Jika data yang terkumpul sudah mendalam dan dapat menjelaskan fenomena yang diteliti, maka tidak perlu mencari sampling lainnya. Di sini yang lebih ditekankan adalah persoalan kedalaman kualitas data bukan banyaknya kuantitas data. Dalam riset kualitatif, periset adalah bagian integral dari data, artinya periset ikut aktif dalam menentukan jenis data yang diinginkan. Dengan demikian, periset menjadi instrumen riset yang harus terjun langsung di lapangan. Karena itu riset ini bersifat subjektif dan hasilnya lebih kasuistik bukan untuk digeneralisasikan Kriyantono, 2006: 56-57. Universitas Sumatera Utara