67
Artinya:” Diriwayatkan dari Hakim bin Hizam, ia berkata: Saya menemui Rasulullah Saw, lalu berkata: Seorang laki-laki datang kepadaku
meminta agar saya menjual suatu barang yang tidak ada pada saya, saya akan membelikan untuknya di pasar kemudian saya menjualnya
kepada orang tersebut. Rasul ullah Saw.menjawab:”Janganlah kamu
menjual sesuatu yang tidak ada padamu. H.R.Tirmidzi. Adapun keputusan keenam menyatakan bahwa transaksi forward
dalam pasar bursa bukanlah jual beli Salam yang diperbolehkan dalam syari’at Islam, karena terdapat perbedaan antara keduanya.
Perbedaan pertama yakni dalam bursa saham, harga barang tidak dibayar langsung saat transaksi. Melainkan ditangguhkan pembayarannya
sampai penutupan pasar bursa. Sementara dalam jual beli Salam harga barang harus dibayar terlebih dahulu.
Perbedaan kedua yakni dalam pasar bursa, barang transaksi dijual beberapa kali penjualan saat dalam kepemilikan penjual pertama. Tujuannya
tidak lain hanyalah tetap memegang barang tersebut atau menjualnya dengan harga maksimal kepada para pembeli dan pedagang lain bukan secara
sungguhan akan tetapi secara spekulatif dengan mempertimbangkan untung ruginya. Sehingga hal tersebut dapat diqiyaskan dengan perjudian. Padahal
dalam jual beli Salam tidaklah diperbolehkan menjual barang tersebut diserahterimakan.
14
Berikut ini akan dijelaskan berbagai jenis transaksi yang tidak bisa dilepaskan dari bursa komoditi berjangka.
1. Menjual Sesuatu Untuk Masa Yang Akan Datang future contract
13
Imam Muhammad ibn Ali al-Syaukani, Nailu al-Authar syarh muntaqa al- Akhbar
Mathba’ah al-Babi al-Halbi,1372, h.164
14
Abdullah al-Mushlih dan Shalah al-Shawi, Fikih Ekonomi Keuangan Islam, Penerjemah Abu Umar Basyir, cet.I, Jakarta:Darul Haq,2004, h.296-298
68
Menjual sesuatu untuk masa yang akan datang jika dikaitkan dengan fikih Islam merupakan jual beli sesuatu yang
ma’dum tidak ada wujudnya. Adapun mayoritas ulama fikih melarang untuk melakukan jual
beli yang tidak ada wujudnya ma’dum secara mutlak. Meskipun ada
sebagian ulama fikih yang melarang jual beli sesuatu yang tidak ada wujudnya tersebut dengan alasan mengandung unsur gharar saja.
Dalam pandangan fikih, jual beli dengan keberadaan komoditi yang belum jelas tidak diperbolehkan kecuali dalam kondisi darurat.
Namun dalam hukum positif di berbagai negara Islam, hal tersebut tetap dibolehkan untuk melakukan jual beli sesuatu yang dimungkinkan
komoditinya ada dalam bentuk apapun selama pihak penjual dan pembeli saling rido, dan tidak ada pengecualian dalam hal ini kecuali jual beli harta
warisan untuk masa yang akan datang.
15
Seluruh contoh transaksi seperti yang berkembang saat ini tersebut dilarang dalam fikih, bahkan dalam sebagian transaksi tersebut
tidak ada lagi celah untuk melakukan ijtihad karena adanya nash yang secara spesifik melarangnya dan ditambah dengan adanya dalil s
yar’i yang bersifat umum tentang larangan jual beli sesuatu yang bersifat gharar.
Hal demikian karena adanya hadis yang melarang untuk menjual buah yang belum layak panen, dan tidak ada perbedaan antara menjualnya
dengan ta’liq bersyarat jika panen berhasil ataupun secara munjizan
sudah terlaksana dan panennya ada, karena unsur gharar ada dalam dua
15
Hussein Syahatah dan Siddiq Muhammad al-Amin adh-Dharir, Transaksi dan Etika Bisnis Dalam Islam, Penerjemah Saptono Budi Satryo dan Fauziah R, Jakarta:
Visi Insani Publishing, 2005, h.230-231
69
kondisi tersebut. Dalam kondisi ta’liq, gharar muncul dari dua sisi, yaitu sisi jahalah ketidaktahuan dalam wujud dari komoditi dan sisi jahalah
ketidaktahuan dalam ukurannya jika ada. Misalnya seseorang menjual buah yang akan dihasilkan dari
kebunnya, dengan harga tertentu, maka dapat dikatakan bahwa sesungguhnya jual beli dengan cara seperti ini sah menurut fikih, karena
tidak ada unsur gharar di dalamnya. Hal tersebut karena seorang pembeli akan membayar komoditi seharga dengan buah yang dapat diambil. Dan
seandainya kebun
tersebut tidak
menghasilkan apapun
maka sesungguhnya pembeli tidak memiliki kewajiban untuk membayar
apapun.
16
Di bawah ini akan dijelaskan dalil yang dimungkinkan dapat digunakan untuk pelarangan transaksi jual beli buah sebelum layak panen
future contract. Yang pertama yakni bahwa jual beli dengan harga keseluruhan
sekaligus, sekalipun tidak mengandung unsur gharar dan sisi ketidaktahuan terhadap efek dari akad itu sendiri. Karena sesungguhnya
transaksi dalam kondisi tersebut menjadi mu’allaq bergantung atas
adanya buah, dan itu adalah perkara yang dapat dimungkinkan akan keberadaannya. Dan kita telah mengetahui bahwa para ulama fikih tidak
membolehkan transaksi jual beli dengan adanya ta’alluq penggantungan
bersyarat karena mengandung unsur gharar dan juga interpretasi lainnya. Dan dalam transaksi tersebut juga mengandung unsur gharar dari sisi
ketidaktahuan dalam takaran komoditi ataupun harga, yaitu ketika
16
Hussein Syahatah dan Siddiq Muhammad al- Amin adh-Dharir, Transaksi dan Etika Bisnis Dalam Islam, h.234
70
seseorang tidak mengetahui ukuran dari apa yang akan dihasilkan oleh kebun tersebut walaupun faktanya memang menghasilkan buah.
Dalil yang kedua yakni bahwa jual beli semacam ini dapat dikategorikan sebagai transaksi al-kali bi al-kali jual beli hutang dengan
hutang, atau juga salam akan tetapi untuk buah tertentu dalam sebuah kebun, dan kedua transaksi tersebut dilarang dalam fikih. Hal demikian
karena jika pembeli tidak membayarkan uangnya maka hal ini bisa disebut dengan transaksi al-kali bi al-kali, dan jika pembeli membayarkan uangnya
maka ini adalah akad salam untuk komoditi tertentu.
17
Para pendukung akad kedua membela akan sahnya transaksi tersebut karena transaksi tersebut dianggap telah terlaksana. Dengan
kondisi yang sama bahwa jual beli yang diperdebatkan keabsahannya adalah jual beli
mu’allaq menggantungbersyarat atas adanya buah. Dan telah diketahui, bahwa transaksi bersyarat tidak akan terlaksana kecuali
dengan terlaksananya sesuatu yang disyaratkan. Dengan alasan ini, maka pendapat kedua dianggap batal.
Sekarang tinggal landasan argumentasi yang dipakai oleh pendapat pertama yang mengatakan bahwa unsur
ta’liq dalam jual beli tidak diperbolehkan. Dan pendapat yang dipilih adalah tidak bolehnya
memasukkan unsur penggantungan bersyarat dalam jual beli, walaupun pendapat mayoritas telah menolak sebagian pendapat para ulama fikih
dengan membolehkan adanya ta’liq.
17
Hussein Syahatah dan Siddiq Muhammad al- Amin adh-Dharir, Transaksi dan Etika Bisnis Dalam Islam, h.235
71
Adapun ta’liq dalam kondisi seperti itu tidak diperbolehkan karena tidak adanya kebutuhan mendesak dan tidak adanya unsur
maslahah yang terbangun, bahkan terkadang dapat menimbulkan kemudharatan, yaitu ketika hasil panen lebih banyak dari yang telah
disepakati oleh pembeli, karena ia akan merasa tidak mampu untuk membayarnya. Terkadang juga harganya berubah dari hasil panen yang
dihasilkan dengan harga yang telah disepakati sebelumnya. Maka kemudharatan dapat dipastikan akan menimpa salah satu pihak yang
berakad dengan penuh penyesalan dan kerugian. Hal ini dapat menjadi alasan untuk membatalkan transaksi jual beli atau tetap melanjutkan
transaksi dengan tidak adanya saling ridho. Padahal saling ridho merupakan hal yang sangat ditekankan oleh syaria’t dalam transaksi jual
beli. Oleh karenanya kemaslahatan dapat terbangun ketika larangan jual beli hasil panen yang belum layak panen untuk waktu yang akan datang itu
tetap dilarang, sekalipun transaksi tersebut dapat diharapkan hasilnya dan dijual dengan harga keseluruhan sekaligus.
2. Jual Beli Sesuatu Yang Belum Dimiliki Secara Penuh Oleh Penjual