13
BAB II LANDASAN TEORI TENTANG AKAD DAN JUAL BELI
A. Akad
1. Pengertian Akad
Secara bahasa Akad berarti ikatan ar-Ribthu, perikatan, perjanjian, dan permufakatan al-ittifaq. Dalam fikih didefinisikan
dengan pertalian ijab pernyataan melakukan ikatan dan qabul pernyataan penerimaan ikatan sesuai dengan kehendak syariat yang
berpengaruh pada objek perikatan. Akad juga dapat didefinisikan sebagai kontrak antara dua belah pihak.
1
2. Rukun-Rukun Akad
Rukun-rukun akad ialah sebagai berikut: a.
‘Aqid ialah orang yang berakad, terkadang masing-masing pihak terdiri dari satu orang, terkadang terdiri dari beberapa orang, misalnya
penjual dan pembeli beras di pasar biasanya masing-masing satu pihak satu orang, ahli waris sepakat untuk memberikan sesuatu kepada pihak
yang lain yang terdiri dari beberapa orang. b.
Ma’qud ‘alaih ialah benda-benda yang diakadkan, seperti benda-benda yang dijual dalam akad jual beli, dalam akad hibah pemberian, dalam
akad gadai, utang yang dijamin seseorang dalam akad kafalah. c.
Maudhu’al-‘aqd ialah tujuan atau maksud pokok mengadakan akad.
1
Ahmad Ifham Sholihin, Buku Pintar Ekonomi Syariah, cet.I, Jakarta:PT. Gramedia Pustaka Utama, 2010, h.18
14
d. Sighat al’aqd ialah ijab dan qabul.
2
Bentuk dari ijab dan kabul ini dapat diungkapkan dengan beberapa cara, yakni dengan:
1 Lisan, Cara ini paling banyak dan biasa dilakukan mayoritas orang
dalam melaksanakan akad, sebab lebih mudah dilakukan dan cepat diketahui oleh pihak yang berakad.
2 Perbuatan, yaitu suatu perikatan yang menunjukkan rasa saling
meridhai atau biasa kita sebut dengan tha’ati atau mutha’ah saling
memberi dan menerima. 3
Isyarat, hal ini biasanya dilakukan bagi orang yang tidak mampu untuk berbicara cacat atau lemah dalam berbicara, sedangkan
bagi orang yang bisa berbicara tidak boleh berakad dengan menggunakan isyarat. Isyarat ini dilakukan asalkan para pihak
memahami perikatan yang dilakukan. 4
Tulisan, cara ini biasa kita sebut dengan Surat Perjanjian, yang berisikan identitas para pihak, objek perjanjian, hak dan kewajiban
para pihak, mulai dari permulaan hingga berakhirnya perjanjian. Cara ini boleh dilakukan baik oleh orang yang bisa berbicara dan
dalam satu tempat maupun yang tidak bisa berbicara dan dalam satu tempat ataupun tidak, dengan syarat bahwa tulisan itu haruslah
jelas dan dapat dipahami oleh kedua pihak yang berakad.
3
2
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, cet.V,Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2010, h.47
3
Isnawati Rais dan Hasanudin, Fiqih Muamalah dan Aplikasinya pada Lembaga Keuangan Syari’ah, cet.I, Jakarta: Lembaga Penelitian UIN
Syarif Hidayatullah, 2011, h.46
15
3. Syarat-Syarat Akad