Kebisingan Faktor-Faktor Penyebab Kecelakaan Kerja

2.3.6 Kelelahan Kerja

Faktor kelelahan dapat mengakibatkan kecelakaan kerja atau turunnya produktifitas kerja Benny dan Achmadi, 1991 . Kelelahan adalah fenomena kompleks fisiologis maupun psikologis dimana ditandai dengan adanya gejala perasaan lelah dan perubahan fisiologis dalam tubuh. Kelelahan akan berakibat menurunnya kemampuan kerja dan kemampuan tubuh para pekerja. Kelelahan disebabkan oleh beberapa faktor salah satunya beban kerja, Beban kerja harus seimbang dengan kemampuan individu, Ketika beban kerja telah melebihi kemampuan individu maka akan terjadi kelelahan kerja yang dapat mengakibatkan kecelakaan kerja.

2.3.7 Kebisingan

Kebisingan merupakan salah satu faktor fisik di lingkungan kerja yang sering muncul. Faktor-faktor yang mempengaruhi kebisingan antara lain intensitas kebisingan, frekuensi kebisingan, dan lama berada dalam lingkungan bising. Kebisingan adalah suara-suara yang tidak diinginkan manusia. Kebisingan ditempat kerja dapat berpengaruh terhadap pekerja karena kebisingan dapat menimbulkan gangguan perasaan, gangguan komunikasi sehingga menyebabkan salah pengertian, tidak mendengar isyarat yang diberikan, hal ini dapat berakibat terjadinya kecelakaan akibat kerja disamping itu kebisingan juga dapat menyebabkan hilangnya pendengaran sementara atau menetap Suma’mur, 1996. Bunyi dinilai sebagai bising sangatlah relatif sekali, suatu contoh misalnya musik di diskotik, bagi orang yang biasa mengunjungi tempat itu tidak merasa suatu kebisingan, tetapi bagi orang –orang yang tidak pernah berkunjung di diskotik akan merasa suatu kebisingan yang mengganggu Gabriel, 1997. Menurut Suma’mur 1996 bunyi didengar sebagai rangsangan pada telinga oleh getaran- getaran melalui media elastis, dan manakala bunyi-bunyi tersebut tidak dikehendaki, maka dinyatakan sebagai kebisingan. Terdapat dua hal yang menentukan kualitas suatu bunyi, yaitu frekuensi dan intensitasnya. Frekuensi dinyatakan dalam jumlah getaran per detik atau disebut hertz Hz dan intensitas atau arus energi persatuan luas biasanya dinyatakan dalam desibel db. Telinga manusia mampu mendengar frekuensi-frekuensi diantara 16-20.000 Hz. Pengukuran kebisingan biasanya dilakukan dengan tujuan memperoleh data kebisingan di perusahaan atau dimana saja sehingga dapat dianalisis dan dicari pengendaliannya. Alat yang digunakan untuk mengukur intensitas kebisingan adalah dengan menggunakan sound level meter dengan satuan intensitas kebisingan sebagai hasil pengukuran adalah desibel dBA. Alat ini mampu mengukur kebisingan diantara 30-130 dBA dan dari frekuensi 20-20000 Hz. Alat kebisingan yang lain adalah yang dilengkapi dengan octave band analyzer dan noise dose meter Depnaker, 2004. 2.3.7.1 Nilai Tingkat Baku Kebisingan Adalah angka dB yang dianggap aman untuk sebagian besar tenaga kerja bila bekerja 8 jamhari atau 40 jamminggu. Keputusan Menteri Tenaga Kerja No 51 tahun 1999, Nilai Ambang Batas untuk kebisingan di tempat kerja adalah intensitas tertinggi dan merupakan nilai rata-rata yang masih dapat diterima tenaga kerja tanpa mengakibatkan hilangnya daya dengar yang tetap untuk waktu terus menerus tidak lebih dari 8 jam sehari atau 40 jam seminggunya. Waktu maksimum bekerja adalah sebagai berikut: Tabel 2.1. NAB Kebisingan Menurut KepMenNaker NO. 51 TAHUN 1999 Waktu Pemajanan Hari Intensitas Kebisingan dBA 8 Jam 85 4 88 2 91 1 94 30 Menit 97 15 100 7,5 103 3,75 106 1,88 109 0,94 112 28,12 Detik 115 14,06 118 7,03 121 3,52 124 1,76 127 0,88 130 0,44 133 0,22 136 0,11 139 Sumber : KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA NOMOR KEP.51MEN1999 2.3.7.2 Pengukuran Kebisingan Pengukuran adalah kunci dalam meminimalkan risiko yang ditimbulkan oleh kebisingan. Pengukuran kebisingan tidak jauh berbeda dengan survey bising. Untuk lebih memadai, pengukuran kebisingan harus dapat mengidentifikasi pekerja yang terekspos pada tingkatan yang berbahaya tidak standar dan menghasilkan informasi yang selanjutnya akan dijadikan dasar dalam menentukan peraturan perusahaan terkait dengan kebisingan. Contoh dari peraturan perusahaan terkait dengan kebisingan adalah penurunan pajanan kebisingan; pelindung telinga; tanda zona wajib memakai pelindung telinga; pembekalan pelatihan terhadap karyawan. a. Alat Pengukur Kebisingan Untuk mengetahui intensitas bising di lingkungan kerja, digunakan Sound Level meter. Untuk mengukur nilai ambang pendengaran digunakan Audiometer. Untuk menilai tingkat pajanan pekerja lebih tepat digunakan Noise Dose Meter karena pekerja umumnya tidak menetap pada suatu tempat kerja selama 8 jam ia bekerja. Nilai ambang batas [ NAB ] intensitas bising adalah 85 dB dan waktu bekerja maksimum adalah 8 jam per hari. Sound Level Meter adalah alat pengukur suara. Mekanisme kerja SLM apabila ada benda bergetar, maka akan menyebabkan terjadinya perubahan tekanan udara yang dapat ditangkap oleh alat ini, selanjutnya akan menggerakan meter penunjuk. Audiometer adalah alat untuk mengukur nilai ambang pendengaran. Audiogram adalah chart hasil pemeriksaan audiometri. Nilai ambang pendengaran adalah suara yang paling lemah yang masih dapt didengar telinga. Adapun operasional pengkuran dapat dilakukan sebagaimana Lampiran II Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No.: Kep-48MENLH111996 sebgai berikut : 1 Langkah pertama yang harus diperhatikan adalah penentuan standar yang akan diacu dalam survei. 2 Pemeriksaan instrumen. Hal ini meliputi pemeriksaan batere sound level meter SLM dan kalibrator, serta aksesories misalnya windscreen, rain cover, dan lain-lain. 3 Kalibrasi instrumen. Hal ini harus selalu dilakukan sebelum dan sesudah pengukuran berlangsung. 4 Pembuatan denah lokasi dan titik dimana pengukuran dilakukan. 5 Bila pengukuran dilakukan dengan free-field microphone standar IEC maka SLM diarahkan lurus ke sumber. Sedangkan jika mikropon yang digunakan merupakan random incidence microphone ANSI, maka SLM harus diorientasikan sekitar 70 o - 80 o terhadap sumber bising. 6 Dalam keadaan kebisingan berasal dari lebih dari satu arah, maka sangat penting untuk memilih mikropon dan mounting yang tepat yang memungkinkan untuk mencapai karakteristik omnidirectional terbaik. 7 Pemilihan weighting network yang sesuai. 8 Pemilihan respons detektor yang sesuai, F atau S untuk mendapatkan pembacaan yang akurat. 9 Hindarkan refleksi baik dari tubuh operator maupun blocking suara dari arah tertentu. 10 Saat pengukuran berlangsung, selalu perhtikan haal-hal berikut: a Hindari pengukuran dekan bidang pemantul; b. Lakukan pengukuran pada jarak yang tepat, sesuai dengan standar atau baku mutu yang diacu; c. Cek bising latar; d. Pastikan 77 tidak terdapat perintang terhadap sumber bising yang diukur; e. Selalu gunakan windshield windscreen, dan f. Tolak pembacaan overloud. 11 Laporan harus terdokumentasi dengan baik. Laporan ini sedikitnya harus terdiri dari: a. Sket pengukuran meliputi orientasi dan kedudukan SLM, luas ruangan atau tempat pengukuran dilakukan serta kedudukan sumber bising; b. Standar yang diacu; c. Identitas instrumen; jenis dan nomor seri; d. Metode kalibrasi; e. Weighting network dan respons detektor yang digunakan; f. Deskripsi jenis suara impulsif, kontinyu, atau tone; g. Data bising latar; termasuk chart yang digunakan untuk perhitungan; h. Kondisi lingkungan; tekanan atmosfir; i. Data obyek yang diukur jenis mesin, beban, kecepatan, dll; j. Tanggal pengukuran dan nama operator. 2.3.8 Pencahayaan Penerangan di tempat kerja adalah salah satu sumber cahaya yang menerangi benda- benda di tempat kerja. Banyak obyek kerja beserta benda atau alat dan kondisi di sekitar yang perlu dilihat oleh tenaga kerja. Hal ini penting untuk menghindari kecelakaan yang mungkin terjadi. Pencahayaan merupakan suatu aspek lingkungan fisik yang penting bagi keselamatan kerja. Beberapa penelitian membuktikan bahwa pencahayaan yang tepat dan sesuai dengan pekerjaan akan dapat menghasilkan produksi yang maksimal dan dapat mengurangi terjadinya kecelakaan akibat kerja ILO, 1989 . Selain itu penerangan yang memadai memberikan kesan pemandangan yang lebih baik dan keadaan lingkungan yang menyegarkan Suma’mur, 1996. Penerangan di tempat kerja merupakan salah satu faktor yang perlu diupayakan penyempurnaannya. Penerangan yang baik mendukung kesehatan kerja dan memungkinkan tenaga kerja bekerja dengan lebih aman dan nyaman, yang antara lain disebabkan karena mereka dapat melihat obyek yang dikerjakan dengan jelas, cepat dan tanpa upaya tambahan, serta membantu menciptakan lingkungan kerja yang nikmat dan menyenangkan. Akibat- akibat penerangan yang buruk adalah: 1. Kelelahan mata dengan berkurangnya daya dan efisiensi kerja. 2. Keluhan- keluhan pegal di daerah mata, dan sakit kepala sekitar mata. 3. Kerusakan alat penglihatan. 4. Meningkatnya kecelakaan Budiono, 2003. 2.3.9 Faktor Kimia Faktor kimia merupakan salah satu faktor yang memungkinkan penyebab kecelakaan kerja. Faktor tersebut dapat berupa bahan baku suatu produksi, hasil suatu produksi dari suatu proses, proses produksi sendiri ataupun limbah dari suatu produksi. 2.4 Pencegahan Kecelakaan Kerja Kecelakaan kerja tidak terjadi secara kebetulan, melainkan penyebabnya. Akan tetapi kecelakaan merupakan kejadian yang dapat dicegah ILO,1989:14. Pencegahan dan penanggulangan kecelakaan kerja harus ditujukan untuk mengenal dan menemukan penyebabnya, bukan menemukan gejalanya untuk kemudian sedapat mungkin menghilangkan atau mengeliminir Depnaker, 1996:8. Menurut Suma’mur 1981:11, yang dapat dilakukan untuk mencegah kecelakaan kerja antara lain sebagai berikut : a. Peraturan perundangan Yaitu ketentuan-ketentuan yang diwajibkan mengenai kondisi-kondisi kerja pada umumnya, perencanaan, konstruksi, perawatan dan pemeliharaan, pengujian dan cara kerja peralatan industri, tugas-tugas pengusaha dan buruh, latihan, supervisi medis, PPPK dan pemeriksaan kesehatan. b. Standarisasi Yaitu penetapan standar-standar resmi, setengah resmi atau tak resmi mengenai misalnya konstruksi yang memenuhi syarat- syarats keselamatan jenis-jenis peralatan industri tertentu, praktek- praktek keselamatan dan hygiene umum, atau alat-alat perlindungan diri. c. Pengawasan Yaitu pengawasan tentang dipatuhinya ketentuan-ketentuan perundang-undangan yang diwajibkan. d. Pengawasan bersifat teknik Yaitu yang meliputi sifat dan ciri-ciri bahan-bahan yang berbahaya, penyelidikan tentang pagar pengaman, pengujian alat- alat perlindungan diri, penelitian tentang pencegahan peledakan gas dan debu atau penelaahan tentang bahan-bahan dan desain paling tepat untuk tambang-tambang pengangkat dan peralatan pengangkat lainnya. e. Riset medis Yaitu yang mliputi terutama penelitian tentang efek-efek fisiologis dan patologis, faktor-faktor lingkungan dan teknologis, dan keadaan fisik yang mengakibatkan kecelakaan. f. Komunikasi Yaitu berkenaan dengan informasi kesehatan dan keselamatan kerja. g. Penelitian secara statistik Yaitu untuk menetapkan jenis-jenis kecelakaan yang terjadi, banyaknya, mengenai siapa saja, dalam pekerjaan apa dan apa sebabnya. h. Pendidikan Yaitu yang menyangkut pendidikan keselamatan dalam kurikulum teknik, sekolah-sekolah perniagaan atau kursus-kursus pertukangan. i. Latihan-latihan Yaitu latihan praktek bagi tenaga kerja, khususnya tenaga kerja yang baru, dalam keselamatan kerja. j. Penggairahan Yaitu penggunaan aneka cara penyuluhan atau pendekatan lain untuk menimbulkan sikap untuk selamat. k. Asuransi Yaitu intensif finansial untuk meningkatkan pencegahan kecelakaan misalnya dalam bentuk pengurangan premi yang dibayar oleh perusahaan, jika tindakan keselamatan cukup baik. Usaha keselamatan pada tingkat perusahaan yang merupakan ukuran utama efektif tidaknya penerapan keselamatan kerja. Pada perusahaanlah, kecelakaan-kecelakaan terjadi, sedangkan pola-pola kecelakaan pada suatu perusahaan sangat tergantung kepada tingkat kesadaran akan keselamatan kerja oleh semua pigak yang bersangkutan. Jelaslah, bahwa untuk pencegahan kecelakaan akibat kecelakaan akibat kerja diperlukan kerjasama aneka keahlian dan profesi seperti pembuat undang-undang, pegawai pemerintah, ahli-ahli teknik, dokter, ahli ilmu jiwa, ahli statistik, guru- guru, dan pengusaha serta buruh Suma’mur,1981:11. 2.5 Kerangka Teori Berdasarkan teori yang dikatakan oleh Surry dalam colling 1990 faktor utama yang signifikan yang menyebabkan terjadinya kecelakaan, meliputi, : umur, jenis kelamin, unit pekerjaan, shift kerja, massa kerja, kebisingan, pencahayaan dan lingkungan kimia. Kemudian benny dan achmadi 1991 menambahkan faktor kelelahan kerja. Untuk lebih mudahnya dapat dilihat kerangka teori di bawah ini. Kecelakaan kerja `Gambar 2.2 Kerangka teori Sumber : Colling 1990, benny dan achmadi 1991 Kelelahan Unit pekerjaan Umur Jenis Kelamin Shift kerja Massa Kerja Faktor kimia Pencahayaan Kebisingan Pencahayaan Pencahayaan Kecelakaan kerja PT. Indocement Tunggal Prakarsa

BAB III KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL

3.1 Kerangka Konsep Penelitian ini meneliti faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian kecelakaan kerja di Divisi Pant PT. Indocement Tunggsl Prakarsa, variabel yang diteliti adalah umur, masa kerja, shift kerja, dan kebisingan. Untuk variabel jenis kelamin tidak diteliti karena bersifat homogen, pekerja yang berada di bagian produksi semuanya laki-laki, untuk variabel kelelahan tidak diteliti karena tidak ada data riwayat kelelahan di masa lalu. Untuk variabel unit kerja tidak diteliti karena dijadikan faktor yang matching dalam pengambilan sampel penelitian. Adapun untuk variabel pencahayaan dan faktor kimia tidak diteliti karena tidak terdapat data hasil pengukuran faktor kimia dan pencahayaan, sehingga hal ini menjadi salah satu kekurangan dalam penelitian. Gambar 3.1 Kerangka konsep Umur shift kerja Kebisingan Massa Kerja