Perilaku Akseptor Vasektomi dan Dukungan Keluarga di Wilayah Kerja Kecamatan Porsea Kabupaten Toba Samosir
PERILAKU AKSEPTOR VASEKTOMI DAN DUKUNGAN KELUARGA DI WILAYAH KERJA KECAMATAN PORSEA
KABUPATEN TOBA SAMOSIR
TESIS Oleh
TIURMINTA HUTAGAOL 127032226/IKM
PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA M E D A N
(2)
PERILAKU AKSEPTOR VASEKTOMI DAN DUKUNGAN KELUARGA DI WILAYAH KERJA KECAMATAN PORSEA
KABUPATEN TOBA SAMOSIR
T E S I S
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan dalam Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat
Minat Studi Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku pada Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Sumatera Utara
Oleh
TIURMINTA HUTAGAOL 127032226/IKM
PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
(3)
(4)
Telah diuji
Pada Tanggal : 14 Juli 2014
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Dr. Drs. R. Kintoko Rochadi, M.K.M Anggota : 1. Dra. Rabiatun Adawiyah, M.P.H.R
2. Ir. Etti Sudaryati, M.K.M., Ph.D 3. Drs. Eddy Syahrial, M.S
(5)
PERNYATAAN
PERILAKU AKSEPTOR VASEKTOMI DAN DUKUNGAN KELUARGA DI WILAYAH KERJA KECAMATAN PORSEA
KABUPATEN TOBA SAMOSIR TESIS
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Medan, Juli 2014
Tiurminta Hutagaol 127032226/IKM
(6)
ABSTRAK
Rendahnya keikutsertaan pria dalam ber-KB dikarenakan kurangnya pemahaman tentang kontrasepsi, dan rendahnya minat dalam mengakses informasi tentang KB. Selain itu, masih adanya pandangan negatif yang muncul di masyarakat terhadap pria ber KB, berupa kenyamaan dengan pengebirian, memengaruhi kenikmatan berhubungan seksual dan anggapan sulit untuk ereksi. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui perilaku peserta akseptor vasektomi dan dukungan keluarga di wilayah Kerja Kecamatan Kecamatan Porsea Kabupaten Toba Samosir.
Jenis penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Informan pada penelitian ini adalah kepala rumah tangga atau suami yang telah menjadi akseptor KB vasektomi yaitu sebanyak 4 orang. Teknik pengumpulan data melalui wawancara mendalam. Data yang diperoleh dianalisis secara kualitatif naratif
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengetahuan suami masih tergolong rendah, hal ini terlihat dari penjelaskan informan tentang mekanisme vasektomi, kelebihan dan kekurangan vasektomi serta resiko pelaksanaan vasektomi yang belum dapat dijawab secara benar. Sikap informan terhadap suami yang melakukan KB cukup positif, hal tersebut terlihat dari saran informan kepada suami-suami untuk melakukan KB vasektomi bagi keluarga yang sudah memiliki banyak anak. Dukungan keluarga masih kurang baik, hal ini dapat dilihat masih minimnya informasi tentang vasektomi yang diperoleh dari keluarga, kurangnya anjuran keluarga untuk menggunakan vasektomi, dan keluarga tidak menemani dalam melakukan vasektomi. Pelaksanaan vasektomi yang dilakukan sudah cukup baik karena informan telah mengetahui alasan mengapa mereka mau menjadi akseptor vasektomi dan mengingat waktu melakukan vasektomi, yang menandakan bahwa mereka mengetahui saat melakukan vasektomi secara sadar.
Perlu adanya peningkatan pengetahuan secara berkelanjutan oleh tenaga kesehatan atau petugas dari Badan Kependudukan, Catatan Sipil, KB dan Keluarga Sejahtera untuk memberikan penyuluhan mengenai vasektomi dan keuntungannya, sehingga suami memilih untuk menjadi akseptor vasektomi.
(7)
ABSTRACT
The lack of men’s participation in KB (Family Planning) program is because of the lack of their understanding in contraception and interest in accessing information about KB program. Besides that, there are still negative interpretations on men’s participation in KB program such as convenience in sterilization, bad effect on sexual intercourse, and assumption on the difficulty in erection. The objective of the research was to find out the behavior of vasectomy acceptors and family support in the working area of Porsea Subdistrict, Toba Samosir District.
The type of the research was descriptive qualitative. The informants consisted of four heads of family or husbands who had participated in KB as vasectomy acceptors. The data were gathered by conducting in-depth interviews and analyzed narrative qualitatively.
The result of the research showed that husbands’ knowledge was low; it could be seen from their explanation about the mechanism of vasectomy, the positive and negative values of vasectomy and the risk of the implementation of vasectomy was not correctly expressed by them. The attitude of their wives toward their husbands’ participation in KB was positive; it could be seen from their suggestion that their husbands participate in KB when they had had a lot of children. Family support was bad; it could be seen from the lack of information about vasectomy , the lack of suggestion from families to participate in using vasectomy, and family members did not actively accompanied husbands to participate in KB. The implementation of vasectomy was relatively good because the informants had already known the reasons why they became vasectomy acceptors and knew the right time in using vasectomy which indicated that they did it consciously.
It is recommended that health care providers or the personnel from the Residential Affairs Office, Civil Registry Office, KB, and Family Welfare provide counseling about vasectomy and its benefit so that husbands are willing to be vasectomy acceptors.
(8)
KATA PENGANTAR
Pertama-tama penulis ucapkan puji dan syukur kepada Tuhan dan putra-Nya, Yesus Kristus karena berkat, anugerah, penyertaan, dan bimbingan-Nya, penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul “Perilaku Akseptor Vasektomi dan Dukungan Keluarga di Wilayah Kerja Kecamatan Porsea Kabupaten Toba Samosir”.
Tesis ini merupakan salah satu persyaratan akademik untuk menyelesaikan pendidikan Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.
Dalam penulisan tesis ini, penulis mendapat bantuan, dorongan, dan bimbingan dari berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan kepada :
1. Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.A(K) selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.
2. Dr. Drs. Surya Utama, M.S selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat USU yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan pada Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.
3. Dr. Ir. Evawany Aritonang, M.Si selaku Sekretaris Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.
(9)
4. Dr. Drs. R. Kintoko Rochadi, M.K.M, selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Dra. Rabiatun Adawiyah, M.P.H.R, selaku Anggota Komisi Pembimbing yang dengan penuh perhatian dan kesabaran membimbing, mengarahkan dan meluangkan waktu untuk membimbing penulis mulai dari proposal hingga penulisan tesis selesai.
5. Ir. Etti Sudaryati, M.K.M., Ph.D, dan Drs. Eddy Syahrial, M.S sebagai komisi penguji atau pembanding yang telah banyak memberikan arahan dan masukan demi kesempurnaan penulisan tesis ini.
6. Seluruh dosen dan staf di lingkungan Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.
7. Bupati Kabupaten Toba Samosir Pandapotan Kasmin Simanjuntak, yang telah memberikan kesempatan tugas belajar di Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat, USU Medan.
8. Kapolres Toba Samosir AKBP M. Edi Faryadi, S.H, SIK, M.H, beserta Ibu, yang telah memberikan kesempatan untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan di Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat, USU Medan.
9. Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Toba Samosir, yang telah memberikan kesempatan dan dukungan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan.
10.Kepala Badan Pemberdayaan Perempuan Anak dan Keluarga Berencana Dr. Frida Sinaga, yang telah memberikan kesempatan dan izin untuk melakukan penelitian di Wilayah Kerja Kecamatan Porsea Kabupaten Toba Samosir.
(10)
11.Camat Kecamatan Porsea Elister Manurung, S.E, yang telah memberikan kesempatan dan izin untuk melakukan penelitian di Wilayah Kerja Kecamatan Porsea Kabupaten Toba Samosir.
12.Teristimewa kepada Suamiku Tercinta Robinson Sembiring dan ke-3 buah hatiku tersayang Caesarea Winartha Sembiring, Immanuel Edo Prasetyo Sembiring, dan Calvien Douglas Marcelino Sembiring, yang telah memberikan dukungan, motivasi, dan doa yang tiada henti-hentinya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini.
13.Seluruh Keluarga khususnya kepada kedua orangtuaku, yang telah memberikan dukungan dan doa yang tiada henti-hentinya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini.
14.Rekan-rekan seperjuangan Mahasiswa Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Angkatan 2012, yang telah membantu penulis selama pendidikan dan proses penyusunan tesis ini.
Akhirnya Penulis menyadari atas segala keterbatasan dan kekurangan, untuk itu saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan demi kesempurnaan tesis ini dengan penuh harapan, semoga tesis ini bermanfaat bagi semua pihak.
Medan, Juli 2014 Penulis
Tiurminta Hutagaol 127032226 /IKM
(11)
RIWAYAT HIDUP
Tiurminta Hutagaol dilahirkan pada tanggal 30 Maret 1973 di Dumai, beragama Kristen, dan tinggal di Jln. Balige No. 94 Kelurahan Parparea 3 Kecamatan Porsea Kabupaten Toba Samosir. Pendidikan Sekolah Dasar dimulai tahun 1986-1986 di SD Negeri 2 Porsea, pendidikan SMP tahun 1986-1986-1989 di SMP Negeri 2 Porsea, pendidikan SPK tahun 1989-1992 di SPK YTP Arjuna, pendidikan program Bidan tahun 2002-2007 di RS HKBP Balige, Pendidikan S1 tahun 2002-2007 di Fakultas Kesehatan Masyarakat USU, dan tahun 2012 sampai sekarang dengan sumber dana Tugas Belajar PPSDM PUSDIKLAT KEMENKES penulis melanjutkan pendidikan di Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku Fakultas Kesehatan Masyarakat USU. Tahun 1994-1998 bekerja sebagai Bidan Desa di Kecamatan Parlilitan Kabupaten Tapanuli Utara, tahun 1998-2007 bekerja sebagai staf Puskesmas Narumonda Kecamatan Narumonda Kabupaten Toba Samosir, dan tahun 2007-2012 sebagai staf Dinas Kesehatan Kabupaten Toba Samosir.
(12)
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ... i
ABSTRACT ... ii
KATA PENGANTAR ... iii
RIWAYAT HIDUP ... vi
DAFTAR ISI ... vii
DAFTAR TABEL ... x
BAB 1. PENDAHULUAN ... 1
1.1. Latar Belakang ... ... 1
1.2. Perumusan Masalah ... ... 10
1.3. Tujuan Penelitian ... ... 10
1.4. Manfaat Penelitian ... ... 10
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ... 10
2.1. Perilaku ... ... 12
2.1.1. Pengetahuan ... ... 12
2.1.2. Sikap ... ... 15
2.1.3. Tindakan ... ... 17
2.1.4. Faktor-faktor yang Memengaruhi Perilaku ... ... 17
2.2. Sejarah Keluarga Berencana ... ... 20
2.3. Perkembangan Gerakan Keluarga Berencana Nasional ... ... 23
2.4. Teori Keikutsertaan ... ... 29
2.4.1. Keikutsertaan Pria dalam Keluarga Berencana ... ... 30
2.4.2. Faktor-faktor yang Memengaruhi Keikutsertaan Pria dalam Keluarga Berencana ... ... 33
2.4.3. Dukungan Sosial Keluarga (Istri) ... ... 36
2.5. Filosofi Penerangan dan Motivasi KB ... ... 38
2.6. Vasektomi ... ... 41
2.6.1. Definisi Vasektomi ... ... 41
2.6.2. Jenis Vasektomi ... ... 41
2.6.3. Kelebihan Vasektomi ... ... 42
2.6.4. Kekurangan/Kerugian/Efek Samping Vasektomi Serta Pengobatan atau Penangannya ... ... 43
2.6.5. Indikasi Vasektomi ... ... 44
2.6.6. Kontra Indikasi Vasektomi ... ... 45
2.6.7. Hal-hal yang Perlu Diketahui Akseptor Vasektomi ... ... 38
2.7. Pelaksanaan Pelayanan Vasektomi ... ... 46
2.7.1. Tempat Pelaksanaan Vasektomi ... ... 46
2.7.2. Teknik Vasektomi Standar ... ... 48
(13)
2.8. Landasan Teori ... ... 53
2.9. Kerangka Pikir ... ... 54
BAB 3. METODE PENELITIAN ... 56
3.1. Jenis Penelitian... ... 56
3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian... ... 56
3.2.1. Lokasi Penelitian... ... 56
3.2.2. Waktu Penelitian ... ... 56
3.3. Pemilihan Informan ... ... 56
3.4. Metode Pengumpulan Data ... ... 57
3.5. Variabel dan Definisi Operasional ... ... 58
3.6. Metode Analisis Data ... ... 58
BAB 4. HASIL PENELITIAN ... 60
4.1. Gambaran Kecamatan Porsea ... 60
4.1.1. Letak Geografi ... 60
4.1.2. Data Demografi ... 62
4.2. Hasil Wawancara ... 63
4.2.1. Karakteristik Informan ... 63
4.2.2. Pengetahuan Informan ... 64
4.2.3. Sikap Informan ... 74
4.2.4. Dukungan Keluarga ... 81
4.2.5. Pelaksanaan Vasektomi ... 87
BAB 5. PEMBAHASAN ... 90
5.1 Pengetahuan Informan Tentang Vasektomi ... 90
5.2. Sikap Tentang Vasektomi ... 97
5.3. Dukungan Keluarga Tentang Vasektomi ... 102
5.4. Pelaksanaan Vasektomi ... 106
BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN ... . 111
6.1. Kesimpulan ... 111
6.2. Saran ... . 112
DAFTAR PUSTAKA ... 114 LAMPIRAN
(14)
DAFTAR MATRIKS
No Judul Halaman
4.1. Jawaban Informan tentang KB Pria dan Jenisnya ... 64
4.2. Jawaban Informan tentang Vasektomi, Jenisnya, dan Syaratnya ... 66
4.3. Jawaban Informan tentang Mekanisme Kerja Vasektomi ... 68
4.4. Jawaban Informan tentang Kelebihan dan Kekurangan Vasektomi ... 69
4.5. Jawaban Informan tentang Dampak Resiko Pelaksanaan Vasektomi... 71
4.6. Jawaban Informan tentang Pengembalian Kesuburan Pria Setelah Vasektomi 72 4.7. Jawaban Informan tentang Keikutsertaan Suami Dalam KB ... 74
4.8. Jawaban Informan tentang Suami yang Melakukan KB ... 75
4.9. Jawaban Informan tentang Kaitan Antara Vasektomi dengan Hubungan Seksual ... 76
4.10. Jawaban Informan tentang Kaitan Antara Vasektomi dengan Keturunan ... 78
4.11. Jawaban Informan terhadap Suami yang Melakukan Vasektomi Tanpa Dukungan Istri ... 79
4.12. Jawaban Informan tentang Dukungan Keluarga/ Istri dalam Bentuk Pemberian Informasi tentang Vasektomi ... 82
4.13. Jawaban Informan tentang Dukungan Keluarga/Istri dalam Menganjurkan Suami Melakukan Vasektomi ... 83
4.14. Jawaban Informan tentang Dukungan Keluarga/Istri dalam Menemani Suami Saat Melakukan Vasektomi ... 84
4.15. Jawaban Informan tentang Sikap Keluarga/Istri Setelah Informan Melakukan Vasektomi ... 85
4.16. Jawaban Informan terhadap Waktu Menjadi Akseptor Vasektomi ... 87
(15)
DAFTAR GAMBAR
No Judul Halaman
2.1. Daerah Skrotum ... 48
2.2. Prosedur Vasektomi Langkah Keempat ... 49
2.3. Prosedur Vasektomi Langkah Kelima ... 49
2.4. Prosedur Vasektomi Langkah Keenam ... 50
2.5. Prosedur Vasektomi Langkah Kedelapan ... 51
2.6. Prosedur Vasektomi Langkah Kesembilan ... 52
(16)
ABSTRAK
Rendahnya keikutsertaan pria dalam ber-KB dikarenakan kurangnya pemahaman tentang kontrasepsi, dan rendahnya minat dalam mengakses informasi tentang KB. Selain itu, masih adanya pandangan negatif yang muncul di masyarakat terhadap pria ber KB, berupa kenyamaan dengan pengebirian, memengaruhi kenikmatan berhubungan seksual dan anggapan sulit untuk ereksi. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui perilaku peserta akseptor vasektomi dan dukungan keluarga di wilayah Kerja Kecamatan Kecamatan Porsea Kabupaten Toba Samosir.
Jenis penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Informan pada penelitian ini adalah kepala rumah tangga atau suami yang telah menjadi akseptor KB vasektomi yaitu sebanyak 4 orang. Teknik pengumpulan data melalui wawancara mendalam. Data yang diperoleh dianalisis secara kualitatif naratif
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengetahuan suami masih tergolong rendah, hal ini terlihat dari penjelaskan informan tentang mekanisme vasektomi, kelebihan dan kekurangan vasektomi serta resiko pelaksanaan vasektomi yang belum dapat dijawab secara benar. Sikap informan terhadap suami yang melakukan KB cukup positif, hal tersebut terlihat dari saran informan kepada suami-suami untuk melakukan KB vasektomi bagi keluarga yang sudah memiliki banyak anak. Dukungan keluarga masih kurang baik, hal ini dapat dilihat masih minimnya informasi tentang vasektomi yang diperoleh dari keluarga, kurangnya anjuran keluarga untuk menggunakan vasektomi, dan keluarga tidak menemani dalam melakukan vasektomi. Pelaksanaan vasektomi yang dilakukan sudah cukup baik karena informan telah mengetahui alasan mengapa mereka mau menjadi akseptor vasektomi dan mengingat waktu melakukan vasektomi, yang menandakan bahwa mereka mengetahui saat melakukan vasektomi secara sadar.
Perlu adanya peningkatan pengetahuan secara berkelanjutan oleh tenaga kesehatan atau petugas dari Badan Kependudukan, Catatan Sipil, KB dan Keluarga Sejahtera untuk memberikan penyuluhan mengenai vasektomi dan keuntungannya, sehingga suami memilih untuk menjadi akseptor vasektomi.
(17)
ABSTRACT
The lack of men’s participation in KB (Family Planning) program is because of the lack of their understanding in contraception and interest in accessing information about KB program. Besides that, there are still negative interpretations on men’s participation in KB program such as convenience in sterilization, bad effect on sexual intercourse, and assumption on the difficulty in erection. The objective of the research was to find out the behavior of vasectomy acceptors and family support in the working area of Porsea Subdistrict, Toba Samosir District.
The type of the research was descriptive qualitative. The informants consisted of four heads of family or husbands who had participated in KB as vasectomy acceptors. The data were gathered by conducting in-depth interviews and analyzed narrative qualitatively.
The result of the research showed that husbands’ knowledge was low; it could be seen from their explanation about the mechanism of vasectomy, the positive and negative values of vasectomy and the risk of the implementation of vasectomy was not correctly expressed by them. The attitude of their wives toward their husbands’ participation in KB was positive; it could be seen from their suggestion that their husbands participate in KB when they had had a lot of children. Family support was bad; it could be seen from the lack of information about vasectomy , the lack of suggestion from families to participate in using vasectomy, and family members did not actively accompanied husbands to participate in KB. The implementation of vasectomy was relatively good because the informants had already known the reasons why they became vasectomy acceptors and knew the right time in using vasectomy which indicated that they did it consciously.
It is recommended that health care providers or the personnel from the Residential Affairs Office, Civil Registry Office, KB, and Family Welfare provide counseling about vasectomy and its benefit so that husbands are willing to be vasectomy acceptors.
(18)
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
Pembangunan kesehatan adalah upaya yang dilakukan oleh semua komponen bangsa yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajad kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya. Derajat kesehatan masyarakat dapat dilihat dari berbagai indikator, yang meliputi angka harapan hidup, angka kematian, angka kesakitan, dan status gizi masyarakat (DepKes, 2011).
Saat ini Keluarga Berencana telah di kenali dunia. Di Negara-negara maju, Keluarga Berencana (KB) bukan lagi merupakan suatu program atau gagasan, tetapi telah merupakan falsafah hidup masyarakat, sedangkan di Negara-negara berkembang Keluarga Berencana masih merupakan program yang pelaksanaannya harus terus ditingkatkan (BKKBN RI, 2007).
Menurut BKKBN RI (2007) peran dan tanggung jawab pria dalam kesehatan reproduksi khususnya pada Keluarga Berencana (KB) sangat berpengaruh terhadap kesehatan. Program Keluarga Berencana merupakan bagian program pembangunan nasional di Indonesia yang sudah dimulai sejak awal pembangunan lima tahun yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan ibu dan anak dalam mewujudkan keluarga bahagia dan sejahtera, dengan cara pengaturan kelahiran dan juga pengendalian laju
(19)
pertumbuhan penduduk sehingga tidak melampaui kemampuan produksi hasil pertanian.
Pertumbuhan penduduk yang pesat merupakan akibat dari fertilitas yang tinggi. Berdasarkan data sensus penduduk tahun 2010, melebihi angka proyeksi nasional, yaitu sebanyak 237,6 juta jiwa dengan Laju Pertumbuhan Penduduk (LPP) 1,49 per tahun, kondisi kualitas penduduk berdasarkan indeks pembangunan manusia (IPM) masih sangat rendah, berada pada posisi ke 124 dari 187 negara. Selain akan menjadi sumber kemiskinan, hal ini akan menghambat pertumbuhan ekonomi, sehingga menjadi permasalahan nasional (Sonny, 2011).
Undang-Undang Nomor 52 Tahun 2009 mengamanatkan bahwa penduduk harus menjadi titik sentral dalam pembangunan berkelanjutan.Untuk itu, pengelolaan perkembangan kependudukan diharapkan dapat mewujudkan keseimbangan yang serasi antara kuantitas dan kualitas penduduk, pengarahan mobilitas penduduk dan laju pertumbuhan penduduk agar tercapai kondisi yang ideal antara kuantitas dan kualitas penduduk dengan daya dukung dan daya tampung lingkungan. Keberhasilan dalam mewujudkan pertumbuhan penduduk yang seimbang dan mengembangkan kualitas penduduk dapat mempercepat terwujudnya pembangunan yang berkelanjutan, serta penduduk tumbuh seimbang tahun 2015 dan mewujudkan keluarga kecil bahagia dan sejahtera.
Pada era Otonomi Daerah dengan mengacu kepada Undang–Undang No 32 Tahun 2004 sebagai urusan pemerintah dilakukan oleh daerah sendiri, maka sebagian kewenangan BKKBN telah diserahkan kepada pemerintah Kabupaten/Kota. Sehingga
(20)
pengelolaan program KB mengalami babak baru, kondisi ini memunculkan struktur BKKBN disetiap Kabupaten/Kota menjadi beragam. Bentuk lembaga yang menangani program KB di Kabupaten/Kota seluruhnya berbentuk dinas/badan, ada yang merupakan dinas/kantor yang utuh maupun megser dengan bagian yang lain, dan kesemuanya dibentuk dengan peraturan daerah, yang disesuikan dengan paraturan terbaru yaitu peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 38 tahun 2007 tentang pembagian urusan pemerintah antara pemerintah, pemerintah daerah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota. Peraturan pemerintah ini disebutkan bahwa Kependudukan Catatan Sipil, Keluarga Berencana dan Keluarga sejahtera merupakan salah satu urusan yang ditangani oleh pemerintah kabupaten/kota (BKKBN RI, 2007).
Provinsi Sumatra Utara sesuai dengan hasil sensus penduduk 2010 mengalami peningkatan jumlah penduduk sebesar 1,11 persen dengan jumlah penduduk sekitar 13 juta jiwa yang sebelumnya sekitar 11,5 juta jiwa menurut sensus 2000. Keadaan ini menempatkan Sumatera Utara di posisi keempat jumlah penduduk terbesar setelah Jawa Barat dengan jumlah penduduk sekitar 43 juta jiwa, Jawa Timur sekitar 38 juta jiwa dan Jawa Tengah sekitar 35 juta jiwa.
Sulistyo (2009), Program KB Nasional pasca-Otonomi Daerah, program KB seharusnya menjadi prioritas pembangunan di setiap daerah karena sangat penting untuk Human Capital Investment atau investasi sumberdaya manusia yang berkualitas. Menurut analisa Cost Benefit program KB berhasil mencegah kelahiran sebanyak kurang lebih 100 juta jiwa untuk tahun 2015 dan mempunyai manfaat
(21)
sangat besar bagi bangsa dan negara. Dalam upaya mengantisipasi perubahan lingkungan strategis, diantaranya kesepakatan global, BKKBN melakukan perumusan kembali visi, misi, dan strategi dasar (Grand Strategy). Melalui upaya ini diharapkan kinerja program dapat meningkat dan sasaran program KB Nasional yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2004-2009 dapat dicapai.
Kesadaran akan pentingnya kontrasepsi di Indonesia saat ini masih perlu tingkatkan guna mencegah terjadinya ledakan penduduk yang merupakan salah satu permasalahan global yang muncul di seluruh dunia, selain isu tentang pemanasan global, krisis ekonomi, dan masalah pangan serta menurunnya tingkat kesehatan penduduk. Kekhawatiran akan terjadinya ledakan penduduk pada decade mendatang mendorong pemerintah Indonesia membuat berupa kajian penting karena penduduk yang besar tanpa disertai dengan kualitas yang memadai justru menjadi beban pembangunan dan menyulitkan pemerintah dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan pembangunan nasional (Emon, 2008).
Secara Nasional, KB pria kurang diminati. Secara psikologi mengikuti program KB bagi sebagian besar pria di nilai sebagai tindakan asing dan aneh. Jadi tidak ada alasan pria untuk ber-KB, akibatnya tak cukup banyak peserta KB pria hingga saat ini. Sedikitnya peserta pria memang di picu oleh banyak sebab antara lain rumor medis, agama, budaya, dan biaya, hal utama lainnya adalah kampanye dan sosialisasi yang minim (BKKBN RI, 2005).
(22)
Perpres Nomor 5 Tahun 2010 tentang RPJMN 2010-2014 dan Inpres No 1 Tahun 2010 tentang percepatan pelaksanaan Proritas Pembangunan Nasional serta Inpres No.3 Tahun 2010 tentang program pembangunan yang berkeadilan telah menempatkan program KB sebagai bagian strategis dari pembangunan nasional. Oleh karena itu peran aktif dan upaya peningkatan peran pria harus ditingkatkan. Hasil penelitian Saptono Tahun 2008 di Kabupaten Bantul bahwa terdapat hubungan antara sikap terhadap keikutsertaan pria dalam KB. Sikap kepedulian terhadap masalah kesehatan reproduksi diyakini akan meningkatkan keikutsertaan pria. Hal ini disebabkan karena selama ini adanya kebiasaan masyarakat yang menganggap bahwa masalah KB adalah urusan kaum perempuan dan pria tidak pernah terlibat. Sebab sikap terwujud dalam sebuah tindakan yang bergantung pada situasi saat itu, dan pengalaman yang terjadi pada seseorang mengacu dari pengalaman orang lain. Keikutsertaan dalam KB merupakan perasaan mendukung atau tidak mendukung terhadap objek tersebut. Sikap baik keikutsertaan pria dalam KB merupakan perasaan yang memihak atau mendukung terhadap upaya keikutsertaan.
Menurut Lumastari (2008) hasil penelitian di Puskesmas Sukarame kota Kediri, dalam jurnal analisa keikutsertaan pria dalam ber KB, jumlah aseptor KB pria pada tahun 2007 sebesar 1,3%, targetnya tahun 2009 meningkat menjadi 4,5 antara, 2007 dari 1,3% (1,8 juta orang) aseptor KB pria tersebut jumlah akseptor vasektomi sebanyak 250.000 orang (13,89%) BKKBN RI, 2008; Sedangkan di Jawa Timur
(23)
Peserta KB, Pria pada tahun 2006. Sebanyak 420.000 atau sekitar 2% dari jumlah penduduk pria dewasa dan 15% nya menggunakan vasektomi.
Tingkat keikutsertaan pria dalam ber-KB sampai saat ini masih tergolong rendah, hanya 15 persen dari 61,4 persen total peserta KB (SDKI 2007). Dalam upaya meningkatkan keikutsertaan pria dalam ber-KB, kini sedang dikembangkan alat/metode kontrasepsi untuk pria. Namun semenjak program ini diluncurkan yang menjadi sasaran selalu para istri. Dengan rasa cinta dan tanggungjawab kepada keluarga para suami juga dapat menjadi sasaran KB yaitu dengan Metode Operatif Pria (MOP) (BKKBN RI, 2009).
Peserta KB aktif adalah Pasangan Usia Subur (PUS) yang pada saat pendataan masih menggunakan salah satu cara atau alat kontrasepsi untuk menjarangkan kehamilan atau mengakhiri kesuburan. Sementara pasangan tidak aktif KB adalah Pasangan Usia Subur (PUS) yang pada saat pendataan tidak menggunakan salah satu cara atau alat kontrasepsi (BKKBN RI, 2009).
Data yang ada di BKKBN Provinsi Sumatera Utara diketahui bahwa pada tahun 2012 diperoleh 2.152.585 PUS, dan sebesar 1.463.520 pasangan peserta KB aktif sedangkan 689.065 pasangan tidak aktif KB. Peserta akseptor KB aktif dengan rincian sebagai berikut : IUD 153.925 (10,52%), MOW 105.547 (7,21%), MOP 8.212 (0,56%), Kondom 108.262 (7,40%), Inplant 155.243 (10,63%), Suntik 478.494 (32,69%), Pil, 453.837 (31,01%), dan demikian juga data September Tahun 2013 di peroleh 2.230.890 PUS, dan sebesar 1.554.539 pasangan peserta akseptor KB aktif sedangkan 676.351 pasangan tidak akseptor KB. Peserta akseptor KB aktif dengan
(24)
rincian sebagai berikut : IUD 164.473 (7,37%), MOW 115.798 (5,19%), MOP 10.991 (0,49%), Kondom 117,133 (5,25%), Inplant 175.336 (7,86%), Suntik 507.336 (22,75%), Pil, 463.472 (20,78%).Di lihat pada data tahun 2012 bahwa dari akseptor KB yang ada peserta pelayanan kontrasepsi pria (vasektomi) terdapat kenaikan di Tahun 2013 sebanyak 2.699 akseptor.
Masih rendahnya kesadaran pria ber-KB itu terkait dengan kurangnya pemahaman kaum pria tentang kontrasepsi pria, rendahnya minat suami dalam mengakses informasi tentang KB dan kesehatan reproduksi, peran tokoh agama yang masih kurang, sarana pelayanan KB bagi pria juga terbatas. Pada masyarakat juga masih ada pandangan negatif yang muncul terhadap pria ber KB berupa kenyamaan dengan pengebirian, disalahgunakan oleh pria untuk penyimpangan seksual, memengaruhi kenikmatan berhubungan seksual dan anggapan sulit untuk ereksi. Ditambah lagi adanya rumor dmasyarakat yang terkait dengan vasektomi, yaitu sifat yang tidak reversibel atau pria yang melakukan vasektomi sama dengan dikebiri (BKKBN RI, 2007).
Salah satu kunci kesuksesan Program Keluarga Berencana Nasional adalah adanya keterlibatan semua pihak baik dari instansi pemerintah, swasta maupun masyarakat itu sendiri, dalam lingkup yang lebih kecil keterlibatan seluruh anggota keluarga. Pelayanan keluarga berencana ditujukan kepada Pasangan Usia Subur (PUS) yang berarti harus melibatkan kedua belah pihak yakni istri dan suami. Namun pada kenyataannya hanya perempuan saja yang dituntut untuk menggunakan alat
(25)
kontrasepsi, hal ini dapat dilihat dari data peserta Keluarga Berencana (KB) yang lebih banyak wanita dari pada pria (Siswosudarmo, 2007).
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Puslitbang Biomedis dan Reproduksi manusia pada tahun 2009 di Yogyakarta dan Jakarta menyimpulkan bahwa rendahnya partisipasi pria dalam penggunaan kontrasepsi disamping karena kurangnya informasi kontrasepsi untuk pria (47,6%) terbatasnya kontrasepsi pria (19%), dan terbatasnya pelayanan KB pria (17,1%) ternyata juga sebagian besar ibu/istri tidak mendukung dan merasa khawatir bila suaminya memakai alat kontrasepsi. Hal ini dinyatakan oleh lebih dari 70% ibu atau 3 dari 4 ibu. Demikian juga dengan hasil penelitian yang dilakukan di Jawa Barat dan Sumatera Selatan pada tahun 2000 penyebab rendahnya pria ber KB sebagian besar disebabkan oleh faktor keluarga, antara lain istri tidak mendukung (66,26%), rumor dimasyarakat, (46,65%), kurangnya informasi metode KB pria dan terbatasnya tempat pelayanan (6,22%) (BKKBN RI, 2009).
Penelitian yang di lakukaan Litbangkes (penelitian pengembangan kesehatan) di wilayah Puskesmas Tembilahan Pekanbaru tahun 2008, bahwa pendidikan berhubungan dengan keikutsertaan pria dalam KB, Semakin tinggi tingkat pendidikan suami, maka semakin mudah untuk menerima gagasan program KB. Selain itu pengetahuan pria yang baik tentang kelebihan vasektomi, keterbatasan vasektomi, serta kelebihan coitus interuptus senggama terputus) akan membentuk tindakan yang positif terhadap keikutsertaan KB, karena pengetahuan merupakan faktor predisposisi untuk berperilaku. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang (overt behavior), yang salah satu tindakannya
(26)
untuk menjadi peserta KB. Hasil ini juga didukung oleh studi kuantitatif oleh Fakultas Kedokteran Muhammadiyah Yogyakarta tahun 1999, bahwa tingkat pendidikan berpengaruh secara bermakna terhadap keikutsertaan KB pria dalam pemakaian kontrasepsi.
Upaya Dinas Kesehatan melalui BKKBN untuk meningkatkan kesertaan pria untuk ikut KB MOP dengan cara menggalakkan promosi kesehatan khususnya tentang KB MOP melalui kader-kader yang telah dibina oleh PPLKB (Pengawas Petugas Lapangan Keluarga Berencana). Sedangkan kemudahan pelayanan dalam penyelenggaraan KB MOP BKKBN menyelenggarakan safari KB di setiap wilayah kerja Puskesmas, namun sasaran KB yang ditujukan untuk pria selalu dimonopoli oleh kaum ibu, hal ini menunjukkan kesadaran pria untuk ber KB masih sangat kurang.
Data dari BKKBN Kabupaten Toba Samosir Tahun 2012 diperoleh 24.116 PUS, diantara PUS tersebut yang mengikuti program KB yaitu IUD 2.186, MOW 2.577, MOP 5, kondom 1.637, Inplant 2.632, Pil 2.664, suntik KB 5.009. Dan demikian juga data Tahun 2013 jumlah peserta KB aktif menurut metoda kontrasepsi adalah sebagai berikut : IUD 2.196, MOW 2.586, MOP 70, Kondom, 1.823, IMP 2.746. Suntik 4.719, PIL 2.881. Pada tahun 2013 jumlah akseptor vasektomi di Kabupaten Toba Samosir mengalami peningkatan sejumlah 65 orang. Hal ini mengalami peningkatan sebesar 120% dan menempatkan Kabupaten Toba Samosir pada posisi kedua di Provinsi Sumatera Utara. Kecamatan Porsea merupakan salah satu kecamatan yang mengalami peningkatan jumlah akseptor KB menurut metode
(27)
IUD 132, MOW 126, MOP 19, Kondom 138, IMP 179, Suntik 612, PIL 355. Untuk MOP di Kecamatan Porsea merupakan nomor 2 terbanyak setelah Kecamatan Balige.
1.2. Perumusan Masalah
Bagaimana perilaku akseptor vasektomi dan dukungan keluarga di wilayah kerja Kecamatan Porsea Kabupaten Toba Samosir?
1.3. Tujuan Penelitian
Mengetahui perilaku peserta akseptor vasektomi dan dukungan keluarga di wilayah Kerja Kecamatan Kecamatan Porsea Kabupaten Toba Samosir.
1.4. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini adalah :
1. Memberikan masukan bagi Badan Pemberdayaan Perempuan Keluarga Berencana Kabupaten Toba Samosir dalam membuat kebijakan yang berkaitan dengan pelayanan KB pria dengan metode vasektomi di Kecamatan Porsea Kabupaten Toba Samosir.
2. Bagi petugas kesehatan dan petugas keluarga berencana dapat meningkatkan pelayanan keluarga berencana di Kecamatan Porsea Kabupaten Toba Samosir sehingga dapat meningkatkan cakupan akseptor KB pria dengan metode vasektomi agar tercapai standar yang diinginkan.
(28)
3. Penelitian ini dapat bermanfaat dalam memperkaya khasanah keilmuan dan pengembangan pengetahuan tentang partisipasi pria dalam keluarga berencana. 4. Sebagai bahan informasi bagi peneliti lain yang ingin melakukan penelitian
(29)
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perilaku
Notoatmodjo (2007) menyatakan bahwa perilaku adalah tindakan atau perbuatan suatu organisme yang dapat diamati bahkan dapat dipelajari. Perilaku ini tidak sama dengan sikap. Sikap adalah suatu kecenderungan untuk mengadakan tindakan terhadap suatu objek, dengan suatu cara yang menyatakan adanya tanda-tanda untuk menyenangi atau tidak menyenangi obyek tersebut. Sikap hanyalah sebagian dari perilaku manusia.
Perilaku manusia sangatlah kompleks dan mempunyai ruang lingkup yang sangat luas, Bloom dalam Notoatmodjo (2007), membagi perilaku ke dalam tiga domain, yaitu 1) kognitif, 2) afektif, dan 3) psikomotor. Untuk memudahkan pengukuran, maka tiga domain ini diukur dari; pengetahuan, sikap dan tindakan/ praktek.
2.1.1. Pengetahuan
Pengetahuan adalah hasil ‘tahu’, dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui pancaindra manusia, yakni: indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa, dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga (Notoatmodjo, 2007).
Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (over behaviour). Karena dari pengalaman dan penelitian ternyata perilaku yang didasarkan oleh pengetahuan akan lebih langgeng
(30)
daripada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan. Penelitian Rogers (1974) mengungkapkan bahwa sebelum orang mengadopsi perilaku baru, dalam diri orang tersebut terjadi proses yang berurutan, yakni (Notoatmodjo, 2007) :
a. Awareness (kesadaran), di mana orang tersebut menyadari dalam arti mengetahui
terlebih dahulu terhadap stimulus (objek).
b. Interest (merasa tertarik) terhadap stimulus atau objek tersebut. Di sini sikap subjek sudah mulai timbul.
c. Evaluation (menimbang-nimbang) terhadap baik dan tidaknya stimulus tersebut
bagi dirinya. Hal ini berarti sikap responden sudah lebih baik lagi.
d. Trial, di mana subjek mulai mencoba melakukan sesuatu sesuai dengan apa yang
dikehendaki oleh stimulus.
e. Adoption, di mana subjek telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan,
kesadaran, dan sikapnya terhadap stimulus.
Namun demikian, dari penelitian selanjutnya Rogers menyimpulkan bahwa perubahan perilaku tidak selalu melewati tahap-tahap tersebut. Apabila penerimaan perilaku baru atau adopsi perilaku melalui proses seperti ini, di mana didasari oleh pengetahuan, kesadaran dan sikap yang positif maka perilaku tersebut akan bersifat langgeng. Sebaliknya apabila perilaku itu tidak didasari oleh pengetahuan dan kesadaran akan tidak berlangsung lama.
Pengetahuan yang dicakup dalam domain kognitif mempunyai 6 tingkat, yakni (Notoatmodjo, 2007):
(31)
1. Tahu (know)
Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall) terhadap suatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Oleh sebab itu, ‘tahu’ ini merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah. Kata kerja untuk mengukur bahwa orang tahu tentang apa yang dipelajari antara lain : menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan, menyatakan, dan sebagainya.
2. Memahami (Comprehension)
Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui, dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar. Orang yang telah paham terhadap objek atau materi harus dapat menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan, dan sebagainya terhadap objek yang dipelajari.
3. Aplikasi (Application)
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi riil (sebenarnya). Aplikasi di sini dapat diartikan aplikasi atau penggunaan hukum-hukum, rumus, metode, prinsip, dan sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain.
4. Analisis (Analysis)
Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek ke dalam komponen-komponen tetapi masih dalam suatu struktur organisasi
(32)
tersebut, dan masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisis dapat diliat dari penggunaan kata-kata kerja: dapat menggambarkan, membedakan, memisahkan, mengelompokkan, dan sebagainya.
5. Sintesis (Synthesis)
Sintesis menunjukkan pada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. Dengan kata lain sintesis itu suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi-formulasi yang ada.
6. Evaluasi (Evaluation)
Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-penilaian itu berdasarkan suatu kriteria yang ditentukan sendiri, atau menggunakan kriteria-kriteria yang telah diterima. Oleh sebab itu, ‘tahu’ ini merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah. Kata kerja untuk mengukur bahwa orang tahu tentang apa yang dipelajari antara lain : menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan, menyatakan, dan sebagainya.
2.1.2. Sikap
Berkowitz dalam Azwar (2000) pernah mendaftarkan lebih dari tiga puluh definisi tentang sikap namun secara garis besarnya dapat dibagi menjadi tiga kelompok pemikiran, yaitu:
1. Kelompok pertama yang diwakili oleh Louis Thurstone (1928), Rensis Likert (1932), Charles Osgood (1975), mengatakan bahwa “sikap adalah suatu bentuk
(33)
evaluasi atau reaksi perasaan, baik perasaan mendukung atau memihak (favorable) maupun perasaan tidak mendukung dan tidak memihak (unfavorable) terhadap objek sikap tertentu”.
2. Kelompok kedua yang diwakili oleh Chave (1928), Bogardus (1931), LaPiere (1934), Mead (1934) dan Girdon Allport (1935), mengatakan bahwa “sikap adalah semacam kesiapan untuk bereaksi terhadap suatu objek dengan cara-cara tertentu, apabila individu dihadapkan pada suatu stimulus yang menghendaki adanya respons”.
3. Kelompok ketiga adalah yang mengatakan bahwa “sikap merupakan konstalasi komponen-komponen kognitif, afektif dan konatif”. Termasuk dalam kelompok ini Secord dan Backman (1964) mengatakan bahwa “sikap adalah sebagai keteraturan tertentu dalam hal perasaan (efeksi), pemikiran (kognisi) dan predisposisi tindakan seseorang terhadap suatu aspek di lingkungan sekitarnya.” Sikap terjadi karena adanya rangsangan sebagai objek sikap yang harus diberi respon, baik responnya positif ataupun negatif, suka atau tidak suka, setuju atau tidak setuju, dan sebagainya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sikap mempunyai dua kemungkinan, yaitu sikap positif dan sikap negatif terhadap suatu objek sikap. Sikap akan menunjukkan apakah seseorang menyetujui, mendukung, memihak (favorable) atau tidak menyetujui, tidak mendukung atau tidak memihak (unfavorable) suatu objek sikap. Bila seseorang mempunyai sikap mendukung objek sikap, berarti mempunyai sikap positif terhadap objek tersebut.
(34)
Sebaliknya jika seseorang tidak mendukung terhadap objek sikap, berarti mempunyai sikap yang arahnya negatif terhadap objek yang bersangkutan.
2.1.3. Tindakan
Tindakan merupakan aturan yang dilakukan, melakukan/mengadakan aturan atau mengatasi sesuatu atau perbuatan. Adanya hubungan yang erat antara sikap dan tindakan didukung oleh pengetahuan. Sikap yang menyatakan bahwa sikap merupakan kecendrungan untuk bertindak dan nampak jadi lebih konsisten, serasi, sesuai dengan sikap. Bila sikap individu sama dengan sikap sekelompok dimana ia berada adalah bagian atau anggotanya (Notoatmodjo, 2007).
Setelah seseorang mengetahui stimulus atau objek kesehatan, kemudian mengadakan penilaian atau pendapat terhadap apa yang diketahui, proses selanjutnya diharapkan dia akan melaksanakan atau mempraktekkan apa yang diketahui atau disikapinnya (dinilai baik). Oleh sebab itu indikator praktek kesehatan ini juga mencakup (Notoatmodjo, 2007).
a. Tindakan sehubungan dengan penyakit
b. Tindakan pemeliharaan dan peningkatan kesehatan c. Tindakan kesehatan lingkungan
2.1.4. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Perilaku
Green dalam Notoatmodjo (2007) menjelaskan berdasarkan penelitian kumulatif mengenai perilaku kesehatan, telah diidentifikasi tiga kelas faktor yang mempunyai potensi dalam mempengaruhi kesehatan. Tiga faktor tersebut adalah faktor-faktor predisposisi (predisposing factors), faktor-faktor yang mendukung
(35)
(enabling factors) dan faktor-faktor yang memperkuat atau mendorong (reinforcing factors). Masing-masing faktor ini mempunyai pengaruh yang berbeda atas perilaku. Model ini dikembangkan untuk keperluan diagnosis, perencanaan dan intervensi pendidikan kesehatan, dan dikenal sebagai kerangka kerja PRECEDE yang merupakan singkatan dari “Predisposing, Reinforcing and Enabling Causes of Educational Diagnosis and Evaluation”.
a. Faktor-faktor predisposisi
Setiap karakteristik konsumen atau komuniti yang memotivasi perilaku yang berkaitan dengan kesehatan. Yang termasuk dalam faktor ini adalah pengetahuan, sikap, keyakinan, nilai dan persepsi berkenaan dengan motivasi seseorang atau kelompok, dapat memudahkan atau merintangi tindakan, faktor sosio demografis juga termasuk umur, jenis kelamin, pendidikan.
b. Faktor-faktor pemungkin
Setiap karakteristik lingkungan yang memudahkan perilaku dan setiap keterampilan atau sumber daya diperlukan untuk melaksanakan perilaku. Tidak adanya karakteristik atau keterampilan tersebut menghambat perilaku kesehatan. Hal ini terwujud dalam bentuk lingkungan fisik, tersedianya fasilitas atau sarana dan prasarana untuk berperilaku, serta keterampilan yang berhubungan dengan kesehatan. Keterampilan sendiri berarti kemampuan seseorang melakukan upaya yang menyangkut perilaku yang diharapkan.
(36)
c. Faktor-faktor penguat
Setiap ganjaran, insentif atau hukuman yang mengikuti atau diperkirakan sebagai akibat dari suatu perilaku kesehatan dan berperan bagi menetap atau lenyapnya perilaku itu. Hal ini terwujud dalam sikap dan perilaku seseorang yang merupakan kelompok referensi dari perilaku masyarakat. Referensi ini dapat berasal dari guru, dosen, famili, tokoh masyarakat, supervisior, majikan, teman sebaya dan lain sebagainya.
Menurut Morgan et. al. sebagimana yang dikutip oleh Sudrajat (1992), pengukuran perilaku dapat dilakukan dengan dua cara yaitu dengan menggunakan checklist dan pengamatan langsung terhadap perilaku. Sedangkan menurut Backstorm dalam Sudrajat (1992), melalui pengamatan langsung dapat dipelajari lebih banyak perilaku seseorang dibandingkan dengan pertanyaan, karena orang tidak selalu menyatakan secara benar apa yang ditanyakan. Metode pertanyaan ini memiliki kelemahan karena responden mungkin memberikan jawaban yang dipengaruhi oleh pikiran karena responden mungkin memberikan jawaban pada pertanyaan dan dipengaruhi oleh pikiran tentang bagaimana orang lain memberikan jawaban pada pertanyaan dan dipengaruhi oleh pikiran tentang bagaimana seharusnya mereka menjawab. Walaupun metode pengamatan langsung merupakan pengukuran yang lebih baik, kemungkinan tidak sesuai dengan yang diinginkan bisa saja terjadi karena pengaruh Hawthorne (Hawthorne Effect) yaitu pengaruh yang timbul dari seseorangyang sedang diamati karena telah mengetahui dirinya sedang dijadikan subjek pengamatan.
(37)
2.2. Sejarah Keluarga Berencana
Gagasan keluarga berencana di Indonesia sebenarnya telah diperkenalkan oleh beberapa tokoh masyarakat sejak tahun 1950, Di Indonesia KB modern mulai dikenal pada tahun 1953. Pada waktu itu sekelompok ahli kesehatan, kebidanan dan tokoh masyarakat telah mulai membantu masyarakat, namun dengan sedikit mungkin publisitas, dengan obat yang ada tentang KB. tetapi baru pada 23 Desember tahun 1957 mulai terbentuk organisasi swasta yang bernama Perkumpulan Keluarga berencana Indonesia (PKBI). adalah pelopor pergerakan KB dan sampai sekarang masih aktif membantu program KB Nasional yang dikoordinir oleh Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) (BKKBN, 2004).
Pada tahun 1970 berdiri BKKBN merupakan lembaga pemerintah yang bertanggung jawab mengenai pelaksanaan program KB di Indonesia. Fungsi BKKBN antara lain adalah sebagai pengkoordinasi, perencana, perumus kebijakan, pengawas, pelaksanaan dan evaluasi. Program KB adalah suatu program yang dimaksudkan untuk membantu para pasangan dan perorangan dalam mencapai tujuan reproduksi, mencegah kehamilan yang tidak diinginkan dan mengurangi insidens kehamilan beresiko tinggi, kesakitan dan kematian, membuat pelayanan yang bermutu, terjangkau, diterima dan mudah diperoleh bagi semua orang yang membutuhkan, meningkatkan mutu nasehat komunikasi, edukasi, konseling dan pelayanan, meningkatkan partisipasi dan tanggung jawab pria dalam praktik KB, dan meningkatkan pemberian Air Susu Ibu (ASI) untuk penjarangan kehamilan (BKKBN, 2006).
(38)
Sejak Konferensi Internasional tentang kependudukan dan pembangunan (International Confrency Populations Development/ICDP) di Kairo 1994, program KB nasional mengalami perubahan paradigma dan nuansa demografis ke nuansa kesehatan reproduksi yang di dalamnya terkandung pengertian bahwa KB adalah suatu program yang dimaksud untuk membantu pasangan mencapai tujuan reproduksinya. Amanat internasional ini tertuang dalam program aksi tentang hak reproduksi dan kesehatan reproduksi paragraf 7.2. yang menyatakan bahwa hak-hak reproduksi adalah bagian dari Hak Azasi Manusia (HAM) yang bersifat universal yang meliputi hak perorangan dan suami istri untuk menentukan secara bebas dan bertanggung jawab tanpa adanya unsur diskriminasi, paksaan dan kekerasan dalam menentukan jumlah, jarak dan waktu melahirkan, mendapatkan derajat kesehatan reproduksi dan kesehatan seksual yang terbaik bagi dirinya dan atau pasangannya, memperoleh informasi dan pelayanan yang diperlukan untuk mewujudkan hak-hak tersebut yang tidak bertentangan dengan agama, norma budaya dan adat istiadat, hukum dan perundang-undangan yang berlaku (BKKBN, 2006).
Secara khusus ICDP paragraf 7.8. menyatakan bahwa perlu dikembangkan program yang inovatif untuk informasi, konseling dan pelayanan kesehatan yang dapat diakses oleh remaja dan pria dewasa. Program-program tersebut seharusnya dapat mendidik dan menyadarkan para laki-laki untuk lebih bertanggung jawab dalam melaksanakan tugas keluarga berencana, tugas-tugas rumah tangga, pengasuhan anak dan juga lebih bertanggung jawab dalam pencegahan Penyakit Menular Seksual (PMS). Dalam BKKBN (2010) dikatakan bahwa amanat internasional ini telah
(39)
diimplementasikan dalam bentuk Rencana Jangka Pembangunan Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2010-2014 yang menetapkan keberhasilan program KB Nasional dalam pemerintahan periode 2010-2014 yang dibebankan kepada BKKBN, yaitu: 1. Laju pertumbuhan penduduk 1,0% pertahun
2. Total Fertility Rate (TFR) 2,1 3. Peserta aktif KB pria 4, 5% 4. Unmed Need 5%
5. Usia kawin pertama perempuan 21 tahun
Pentingnya pria terlibat dalam KB dan kesehatan reproduksi didasarkan bahwa :
1. Pria adalah mitra reproduksi dan seksual, sehingga sangat beralasan apabila pria dan wanita berbagai tanggung jawab dan peran secara seimbang untuk mencapai kepuasan kehidupan seksual dan berbagai beban untuk mencegah penyakit serta komplikasi kesehatan reproduksi.
2. Pria bertanggung jawab secara sosial dan ekonomi termasuk untuk anak-anaknya, sehingga keterlibatan pria dalam keputusan reproduksinya akan membentuk ikatan yang lebih kuat di antara mereka dan keturunannya.
Pria secara nyata terlibat dalam fertilitas dan mereka mempunyai peranan yang penting dalam memutuskan kontrasepsi yang akan dipakainya atau digunakan istrinya, serta dukungan kepada pasangannya terhadap kehidupan reproduksinya.
(40)
2.3. Perkembangan Gerakan Keluarga Berencana Nasional
Sejak lahirnya pemerintah Orde baru pada tahun 1966, yang berorientasi pada pembangunan kesejahteraan rakyat, dan ikut sertanya Presiden Soeharto menanda tangani Deklarasi Kependudukan Dunia pada tahun 1967, maka Keluarga Berencana mulai mendapatkan angin segar dari pemerintah yang belum pernah diperoleh sebelumnya. Hal ini terbukti sejak Pelita I KB secara resmi menjadi bagian utama dari program pembengunan nasional.
Lembaga Keluarga Berencana Nasional yang berstatus lembaga semi pemerintah di dalam proses pembentukannya tidak dapat terlepas dari peranan PKBI Dalam Kongres I PKBI pada tahun 1967, kesimpulan laporan-laporan cabang yang sudah tersebar di hampir seluruh Indonesia menyatakan bahwa pada umumnya gagasan Keluarga Berencana diterima baik oleh masyarakat . Dengan dasar laporan-laporan tersebut kongres menyampaikan himbauan kepada pemerintah agar program Keluarga Berencana segera dijadikan sebagai program pemerintah. Pada tanggal 16 Agustus 1968, di depan sidang Dewan Perwakilan Rakyat Gotong (DPRGR) dalam pidatonya, Presiden Soeharto menyampaikan jiwa Deklarasi Kependudukan Dunia. Meskipun pemerintah memberikan iklim yang menguntungkan tetapi untuk menetapkan keluarga berencana sebagai program nasional, pemerintah sangat berhati-hati dalam menghadapi persoalannya karena masalah ini menyangkut masalah sosial budaya bangsa. Oleh karena itu, sebagai langkah pertama Mentri Kesejahteraan Rakyat DR.K.H. Idham Cholid membentuk suatu panitia ad-hoc yang bertugas
(41)
mempelajari kemungkinan-kemungkinan Keluarga Berencana dijadikan program nasional.
Dalam pertemuan Presiden dengan panitia ad-hoc pada bulan Pebruari 1968, Presiden menyatakan bahwa pemerintah menyetujui gerakan Keluarga Berencana yang diselenggarakan oleh masyarakat dengan bantuan dan bimbingan pemerintah. Sehubungan dengan itu, pada tanggal 7 September 1968 keluarlah Instruksi Presiden Nomor 26 Tahun 1968 kepada Menteri Kesejahteraan Rakyat, yang isinya antara lain sebagai berikut :
1. Membimbing, mengkoordinir serta mengawasi segala aspirasi yang ada di dalam masyarakat di bidang keluarga berencana.
2. Mengusahakan segera terbentuknya suatu badan atau lembaga yang dapat menghimpun segala kegiatan di bidang keluarga berencana yang terdiri dari unsur pemerintah dan masyarakat.
Berdasarkan Instruksi Presiden tersebut, Mentri Kesejahteraan rakyat pada tanggal 11 Oktober 1968 mengeluarkan Surat Keputusan No 35/Kpts/kesra/X/ 1968 sebuah lembaga keluarga berencana Tahun 1974 muncul program-program integral (Beyond Family Planning) dan gagasan tentang f aktif. Selanjutnya BKKBN mempunyai salah satu filosofi yaitu : Menggerakkan peran serta masyarakat dalam Strategy yaitu :
1. Menggerakkan dan memberdayakan seluruh masyarakat dalam
(42)
3. Memperkuat SDM operasional
4. Meningkatkan ketahanan dan kesejahteraa
5. Meningkatkan pembiayaa
Nilai-nilai yang terkandung dalam profesional kompeten, partisipatif, konsisten, organisasi pembelajaran, kreatif/ inovatif. pendekatan desentralisasi, pendekatan kemitraan, pendekatan kemandirian, pendekatan segmentasi sasaran, pendekatan pemenuhan hak (rightbased), pendekatan lintas sector dengan strategi
1. Re-Establishment adalah membangun kembali sendi-sendi pogram sampai ke tingkat lini lapanngan pasca penyerahan kewenangan.
2. Sustainability adalah memantapkan komitme
daerah.
Adapun tujuan dari pelaksanaan KB adalah :
1.
2.
3.
4.
5.
6.
(43)
Tujuan ini dapat dicapai dengan Program KB yang meliputi :
1.
2.
3. Ketahanan dan pemberdaya
4. Penguatan pelembaga
5. Keserasi
6. Pengelolaan SDM aparatur
7. Penyelenggaran pimpinan kenegaraan dan kepemerintahan
8. Peningkatan
Dalam Undang-Undang No. 52 Tahun 2009 dijelaskan bahwa hakikat pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan seluruh masyarakat Indonesia yang mencakup semua dimensi dan aspek kehidupan termasuk perkembangan kependudukan dan pembangunan keluarga untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur.
Sebagai implementasi dari pelaksanaan Hak Asasi Manusia (HAM) yang harus dijunjung tinggi sebagai hak yang secara kodrati melekat pada dan tidak terpisahkan dari penduduk, demi peningkatan martabat kemanusiaan, kesejahteraan, kebahagiaan, dan kecerdasan serta keadilan penduduk saat ini dan generasi yang akan datang, maka kependudukan pada seluruh dimensinya harus menjadi titik sentral pembangunan berkelanjutan agar setiap penduduk dan generasinya mendatang dapat hidup sehat, sejahtera, produktif, dan harmonis dengan lingkungannya serta menjadi
(44)
sumberdaya manusia yang berkualitas bagi pembangunan. Pembangunan harus dilakukan oleh penduduk dan untuk penduduk, dan karenanya perencanaan pembangunan harus didasarkan pada kondisi atau keadaan penduduk dan pembangunan harus dapat dinikmati oleh seluruh penduduk bukan hanya oleh sebagian atau segolongan tertentu.
Perkembangan kependudukan dan pembangunan keluarga harus mendapatkan perhatian khusus dalam kerangka pembangunan nasional yang berkelanjutan. Perkembangan kependudukan dan pembangunan keluarga merupakan bagian integral dari pembangunan budaya, social ekonomi bangsa yang tidak dapat di pisahkan dengan pembangunan sektor lainnya dalam rangka pembangunan manusia dan masyarakat Indonesia sebagai pengamalan Pancasila yaitu meningkatkan kualitas hidup untuk semua penduduk.
Perkembangan penduduk dan pembangunan keluarga pada dasarnya ditujukan untuk menjamin keberlangsungan hidup seluruh manusia tidak lagi hanya berdimensi lokal atau nasional, akan tetapi juga internasional. Perkembangan penduduk dan pembangunan keluarga tidak lagi dipahami secara sempit sebagai usaha untuk mempengaruhi pola dan arah demografi semata, tetapi sasarannya jauh lebih luas, yaitu untuk mencapai kesejahteraan masyarakat baik dalam arti fisik maupun non fisik termasuk spiritual.
Dampak perubahan dinamika kependudukan akan terasa dalam jangka waktu yang lama, sehingga seringkali kepentingannya diabaikan. Luasnya cakupan masalah kependudukan menyebabkan pembangunan kependudukan harus dilakukan secara
(45)
lintas sektor dan lintas bidang. Oleh karenanya dibutuhkan bentuk koordinasi dan pemahaman mengenai konsep perkembangan kependudukan dan pembangunan keluarga secara tepat.
Konteks perkembangan kependudukan dan pembangunan keluarga perlu memperoleh perhatian khusus dalam rangka pembangunan nasional yang berkelanjutan. Penempatan penduduk sebagai titik sentral pembangunan tidak saja merupakan program nasional namun juga komitmen hampir seluruh bangsa di dunia yang tergabung dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa. Untuk melaksanakan perkembangan kependudukan dan pembangunan keluarga diperlukan suatu lembaga yang kuat.
BKKBN bertambah besar jangkauan programnya tidak terbatas hanya tetapi juga Perkembangan BKKBN dimasa sekarang menpunyai Visi BKKBN adalah “Penduduk Tumbuh Seimbang 2015”. Misi BKKBN adalah “Mewujudkan Pembangunan yang Berwawasan Kependudukan dan Mewujudkan Keluarga Kecil Bahagia Sejahtera”. Misi ini dilakukan dengan cara:
1. Penyerasian kebijakan pengendalian penduduk; 2. Penetapan parameter penduduk;
3. Peningkatan penyediaan dan kualtias analisis data dan infromasi;
4. Pengendalian penduduk dalam pembangunan kependudukan dan keluarga berencana serta ;
(46)
5. Mendorong stakeholder dan mitra kerja untuk menyelenggarakan pembangunan keluarga berencana dalam rangka penyiapan kehidupan berkeluarga bagai remaja, pemenuhan hak-hak reproduksi, peningkatan ketahanan dan kesejahteraan keluarga peserta KB.
Melalui misi ini BKKBN berupaya untuk menciptakan penduduk yang berkualitas yang akan mempercepat tercapainya pertumbuhan ekonomi dan tujuan pembangunan.Dan mempunyai tugas pokok yaitu : melaksanakan tugas pemerintahan dibidang peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2.4. Teori Keikutsertaan
Keikutsertaan merupakan suatu bentuk khusus dari interaksi dan komunikasi yang berkaitan dengan pembagian kewenangan, tanggung jawab dan manfaat. Dalam pengertian sehari-hari, keikutsertaan merupakan keikutsertaan atau keterlibatan seseorang (individu atau warga masyarakat) dalam suatu kegiatan tertentu. Faktor-faktor yang mempengaruhi terhadap tumbuh dan berkembangnya keikutsertaan dapat didekati dengan beragam pendekatan disiplin keilmuan. Menurut konsep proses pendidikan, keikutsertaan merupakan bentuk tanggapan atau respon atas rangsangan-rangsangan yang diberikan dalam hal ini tanggapan merupakan fungsi dari manfaat (rewards) yang dapat diharapkan (Berlo, 1961).
Gray dalam Winardi (2007), motivasi merupakan hasil sejumlah proses yang bersifat internal dan eksternal bagi seorang individu, yang menyebabkan timbulnya
(47)
sikap antusiasme dan persistensi dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan tertentu atau ikut berkeikutsertaan. Menurut Atkinson, Hilgard, (1983), adanya pandangan mekanistik yang beranggapan bahwa tindakan yang dilakukan manusia timbul dari adanya kekuatan internal dan eksternal di luar kontrol manusia itu sendiri, Hobbes (abad ke -17) mengemukakan bahwa apapun alasan yang diberikan oleh seseorang atas perilakunya, sebab–sebab terpendam dari semua perilakunya itu adalah adanya kecenderungan untuk mencari kesenangan dan menghindari kesusahan
Teori yang sama menunjukkan adanya hubungan partisipasi dengan motivasi intrinsik dan ektrinsik dimana motivasi dapat diartikan sebagai kekuatan seseorang yang dapat menimbulkan tingkat antusiasmenya dalam melakukan sesuatu kegiatan baik yang bersumber dalam dini individu itu sendiri (motivasi intrinsik) maupun dari luar individu (motivasi ektrinsik) (Desra, 2011).
2.4.1. Keikutsertaan Pria dalam Keluarga Berencana
Keikutsertaan pria didefinisikan sebagai keikutsertaan dalam proses pengambilan keputusan KB, pengetahuan pria tentang KB dan penggunaan kontrasepsi pria. Keterlibatan pria dalam KB diwujudkan melalui perannya berupa dukungan terhadap KB dan penggunaan alat kontrasepsi serta merencanakan jumlah keluarga. Untuk merealisasikan tujuan terciptanya Norma Keluarga Kecil Bahagia Sejahtera. Keikutsertaan pria dalam Keluarga Berencana adalah tanggung jawab pria dalam kesertaan ber-KB, serta berperilaku seksual yang sehat dan aman bagi dirinya, pasangan atau keluarganya. Dari beberapa literatur, dinyatakan bahwa keterlibatan pria dalam program KB dapat terjadi secara langsung atau tidak langsung.
(48)
Penggunaan metode kontrasepsi pria merupakan satu bentuk keikutsertaan pria secara langsung, sedangkan keterlibatan pria secara tidak langsung misalnya pria memiliki sikap yang lebih positif dan membuat keputusan yang lebih baik berdasarkan sikap dan persepsi, serta pengetahuan yang dimilikinya. Menurut BKKBN (2005), bentuk keikutsertaan pria dalam keluarga berencana dapat dilakukan secara langsung maupun tidak langsung, antara lain :
1. Keikutsertaan pria secara langsung adalah sebagai peserta KB Pria menggunakan salah satu cara atau metode pencegahan kehamilan, seperti kontrasepsi kondom, vasektomi (kontap pria), metode senggama terputus dan metode pantang berkala/sistem kalender.
2. Keikutsertaan pria secara tidak langsung adalah: a. Mendukung dalam ber-KB
Apabila disepakati istri yang akan ber-KB peran suami adalah mendukung dan memberikan kebebasan kepada istri untuk menggunakan kontrasepsi atau cara/metode KB. Dukungan tersebut meliputi :
1. Memilih kontrasepsi yang cocok yaitu kontrasepsi yang sesuai dengan keinginan dan kondisi istrinya
2. Membantu istrinya dalam menggunakan kontrasepsi secara benar, seperti mengingatkan saat minum pil KB, dan mengingatkan istri untuk kontrol
3. Membantu mencari pertolongan bila terjadi efek samping maupun komplikasi dari pemakaian alat kontrasepsi.
(49)
4. Mengantarkan istri ke fasilitas pelayanan kesehatan untuk kontrol atau rujukan.
5. Mencari alternatif lain bila kontrasepsi yang digunakan saat ini terbukti tidak memuaskan
6. Membantu menghitung waktu subur, apabila menggunakan metode pantang berkala
7. Menggantikan pemakaian kontrasepsi bila keadaan kesehatan istri tidak memungkinkan.
b. Sebagai Motivator
Selain sebagai peserta KB, suami juga dapat berperan sebagai motivator, yang dapat berperan aktif memberikan motivasi kepada anggota keluarga atau saudaranya yang sudah berkeluarga dan masyarakat disekitarnya untuk menjadi peserta KB, dengan menggunakan salah satu kontrasepsi. Untuk memotivasi orang lain, maka seyogyanya dia sendiri harus sudah menjadi peserta KB, karena keteladanan sangat dibutuhkan untuk menjadi seorang motivator yang baik.
(50)
2.4.2. Faktor-faktor yang Memengaruhi Keikutsertaan Pria dalam Program KB
1. Pengetahuan pria terhadap KB
Pengetahuan seseorang biasanya dipengaruhi dari pengalaman yang berasal dari berbagai macam sumber, misalnya media massa, media elektronik, buku petunjuk, petugas kesehatan, media poster, kerabat dekat dan sebagainya. Pengetahuan ini dapat membentuk keyakinan tertentu sehingga seseorang berperilaku sesuai keyakinan tersebut. Dari studi kualitatif di Jawa Tengah dan Jawa Timur yang dilakukan Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional Tahun 2001 menunjukkan pengetahuan menjadi salah satu faktor rendahnya keikutsertaan pria dalam KB.
2. Tingkat pendidikan
Pengaruh pendidikan pria terhadap penggunaan alat kontrasepsi dalam KB telah dikemukakan oleh Ekawati. Menurutnya pendidikan pria berpengaruh positif terhadap persepsi pria untuk KB.
3. Persepsi
Adanya persepsi bahwa wanita yang menjadi target program KB menjadi salah satu faktor rendahnya keikutsertaan pria dalam KB. Hasil penelitian Saptono (2008) menyimpulkan bahwa suami dengan persepsi positif terhadap alat kontrasepsi pria lebih tinggi pada kelompok suami yang menggunakan alat kontrasepsi pria dari pada kelompok kontrol.
(51)
4. Kualitas pelayanan KB pria
Dari studi kualitatif di Jawa Tengah dan Jawa Timur yang dilakukan Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional Tahun 2001 menunjukkan kualitas pelayanan menjadi salah satu faktor rendahnya keikutsertaan pria dalam KB. 5. Terbatasnya metode kontrasepsi pria
Dari studi kualitatif di Jawa Tengah dan Jawa Timur yang dilakukan Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional Tahun 2001 menunjukkan terbatasnya metode kontrasepsi pria menjadi salah satu faktor rendahnya keikutsertaan pria dalam KB.
6. Dukungan istri terhadap suami untuk KB
Dari hasil penelitian di Sumatera Selatan dan Jawa Barat yang dilakukan Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional Tahun 2001 menunjukkan 66,26% istri tidak setuju suaminya ber KB.
7. Aksesibilitas pelayanan KB pria
Adanya kemudahan dan ketersediaan sarana pelayanan berdampak positif terhadap penggunaan suatu alat kontrasepsi. Menurut suami pelayanan KB pria yang paling disukai adalah dekat dengan rumah atau dekat dari tempat mereka bekerja (48,85%), sebanyak 12,8% menginginkan tempat pelayanan dengan transportasi yang mudah, biaya terjangkau (9,9%), fasilitas lengkap (9,3%), dilayani dengan tenaga ahli yang ramah (9%) dan dapat menjaga privacy (2,2%). Sedangkan tempat memperoleh pelayanan KB pria adalah rumah sakit
(52)
pemerintah 36,1%, Puskesmas 29,1% dan rumah sakit swasta 8,6% (Saptono, 2008).
Belum semua pelayanan kesehatan mampu memberikan pelayanan vasektomi. Hanya 5 – 81 persen pelayanan kesehatan yang menyediakan pelayanan vasektomi dengan rata-rata 41 persen pelayanan kesehatan pemerintah (Wibowo, 1994). Hasil survei di 4 propinsi Sumatera Selatan, Jawa Barat, Kalimantan Barat dan NTT tahun 2002 memperlihatkan bahwa dari 30% pelayanan kesehatan yang menyediakan pelayanan vasektomi, hanya 4% yang melayani vasektomi. Dari sisi provider terlihat bahwa keberadaan dan kesiapan provider pemberi pelayanan secara teknis telah mendukung pelaksanaan vasektomi. Namun secara mental masih ada hambatan, disamping itu mutasi dokter terlatihpun sangat cepat. Terbatasnya akses ke tempat pelayanan disebabkan antara lain oleh citra terhadap tempat pelayanan KB yang dipersiapkan sebagai tempat pelayanan untuk wanita, kurangnya tenaga terlatih untuk vasektomi, kurangnya motivasi provider untuk pelayanan vasektomi, kurangnya dukungan peralatan dan medical suplies untuk vasektomi dan kurang dukungan logistik kondom.
8. Dukungan pengambil keputusan
Tokoh masyarakat dan tokoh agama terhadap upaya peningkatan patisipasi pria. Petugas dan pengelola KB dilapangan umumnya merespon positif dan mendukung pelaksanaan peningkatan keikutsertaan pria dalam KB, namun demikian karena keterbatasan sumber dana, daya dan tenaga program ini masih belum menjadi prioritas utama dengan perkataan lain important but not urgent.
(53)
Masih adanya keragu-raguan dari pihak pengelola, petugas, provider maupun toko agama dan tokoh masyarakat bahkan sebagian dari klien terhadap pelayanan vasektomi. Karena vasektomi sampai saat ini masih menjadi bahan perbincangan dan perdebatan dikalangan tokoh masyarakat dan tokoh agama. Belum optimalnya dukungan pengambil keputusan, tokoh masyarakat dan tokoh agama disebabkan kurangnya advokasi, budaya masyarakat, rendahnya pengetahuan keluarga tentang pentingnya keikutsertaan pria dalam KKG (kesetaran dan keadilan gender) dan kurang mantapnya pelaksanaan mekanisme operasional dalam penggarapan KB pria oleh para pengelola.
2.4.3. Dukungan Sosial Keluarga (Istri)
Penggunaan kontrasepsi merupakan tanggungjawab bersama pria dan wanita sebagai pasangan, sehingga metode kontrasepsi yang dipilih mencerminkan kebutuhan serta keinginan suami dan istri. Dalam penggunaan kontrasepsi pria seperti kondom dan vasektomi, suami mempunyai tanggung jawab utama sementara, jika istri sebagai pengguna kontrasepsi, suami dapat memaikan peranan penting dalam mendukung istri dan menjamin efektifitas pemakaian kontrasepsi. Suami dan istri harus saling mendukung dalam penggunaan metode kontrasepsi karena keluarga brencana, dan kesehatan reproduksi bukan hanya urusan pria atau wanita saja (BKKBN, 2000).
Menurut Prasetyawati (2011) yang mengutip pendapat Friedman (1998), dukungan sosial adalah suatu keadaan, yang bermanfaat bagi individu yang diperoleh
(54)
dari orang lain yang dapat dipercaya sehingga seseorang akan tahu bahwa ada orang lain yang memperhatikan, menghargai dan mencintai.
Dalam semua tahapan, dukungan keluarga menjadikan keluarga mampu berfungsi dengan berbagai kepandaian dan akal sehingga akan meningkatkan kesehatan adaptasi mereka dalam kehidupan.
Jenis dukungan keluarga ada empat menurut Prasetyawati (2011) yang mengutip pendapat Friedman (1998), yakni :
1. Dukungan Instrumental, yaitu keluarga merupakan sumber pertolongan praktis dan kongkrit,
2. Dukungan Informasional,yaitu keluarga berfungsi sebagai sebuah kolektor dan desiminator (penyebar informasi).
3. Dukungan Penilaian ( Appraisal), yaitukeluarga bertindak sebagai sebuah umpan balik, membimbing pemecahan masalah dan sebagai sumber dan validate identitas keluarga
4. Dukungan Emosional, yaitu keluarga sebuah tempat yang aman dan damai untuk istirahat dan pemulihan serta membantu penguasaan terhadap emosi.
Keikutsertaan merupakan suatu bentuk khusus dari interaksi dan komunikasi yang berkaitan dengan pembagian: kewenangan, tanggung jawab dan manfaat. Dalam pengertian sehari-hari, keikutsertaan merupakan keikutsertaan atau keterlibatan seseorang (individu atau warga masyarakat) dalam suatu kegiatan tertentu. Faktor-faktor yang mempengaruhi terhadap tumbuh dan berkembangnya keikutsertaan dapat didekati dengan beragam pendekatan disiplin keilmuan. Menurut konsep proses
(55)
pendidikan, keikutsertaan merupakan bentuk tanggapan atau responses atas rangsangan-rangsangan yang diberikan; yang dalam hal ini, tanggapan merupakan fungsi dari manfaat (rewards) yang dapat diharapkan (Berlo, 1961).
Gray dalam Winardi (2007), motivasi merupakan hasil sejumlah proses yang bersifat internal dan eksternal bagi seorang individu, yang menyebabkan timbulnya sikap antusiasme dan persistensi dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan tertentu atau ikut berkeikutsertaan. Menurut Atkinson, Hilgard, (1983), adanya pandangan mekanistik yang beranggapan bahwa tindakan yang dilakukan manusia timbul dari adanya kekuatan internal dan eksternal di luar kontrol manusia itu sendiri, Hobbes (abad ke -17) mengemukakan bahwa apapun alasan yang diberikan oleh seseorang atas perilakunya, sebab–sebab terpendam dari semua perilakunya itu adalah adanya kecenderungan untuk mencari kesenangan dan menghindari kesusahan
Teori yang sama menunjukkan adanya hubungan partisipasi dengan motivasi intrinsik dan ektrinsik dimana motivasi dapat diartikan sebagai kekuatan seseorang yang dapat menimbulkan tingkat antusiasmenya dalam melakukan sesuatu kegiatan baik yang bersumber dalam dini individu itu sendiri (motivasi intrinsik) maupun dari luar individu (motivasi ektrinsik) (Desra, 2011).
2.5. Filosofi Penerangan dan Motivasi KB
Penerangan dan motivasi keluarga berencana dalam Repelita I terutama ditujukan untuk memberikan penerangan seluas-luasnya kepada masyarakat tentang terdapatnya kemungkinan bagi mereka untuk melaksanakan perencanaan keluarga. Hal
(56)
ini dilakukan baik melalui Penerangan umum, penerangan kelompok, penyuluhan wawan-muka, maupun melalui pendidikan kependudukan.
a. Penerangan umum.
Penerangan yang bersifat umum dilakukan terutama melalui surat-surat kabar, majalah, kantor berita, siaran radio, TVRI, lagu-lagu populer keluarga berencana, pembuatan film cerita dan dokumenter tentang keluarga berencana, penerbitan-penerbitan, spanduk-spanduk, papan bergambar, stempel pos pada surat-surat, perangko keluarga berencana dan lambang keluarga berencana pada mata uang logam.
b. Penerangan kelompok.
Penerangan kelompok terutama dilakukan melalui bantuan yang diberikankepada seminar/raker/pertemuan berbagai kelompok masyarakat serta mengirimkan tenaga-tenaga penerangan untuk melakukan pendekatan terhadap berbagai kelompok khusus masyarakat di daerah-daerah tertentu. Da1am rangka ini telah dilakukan pendekatan terhadap golongan-golongan "berpengaruh" dalam masyarakat yang diharapkan tidak hanya akan menjadi penghubung dan penyebar gagasan keluarga berencana, akan tetapi diharapkan menjadi "orang contoh" dalam pelaksanaan keluarga berencana. Untuk itu selama Repelita I telah dilakukan pendekatan secara khusus terhadap pemimpin-pemimpin masyarakat, alim ulama, organisasi karyawan swasta dan pemerintah, organisasi pemuda, pelajar, cendekiawan, kalangan Angkatan Bersenjata, usahawan dan lain sebagainya.
(57)
c. Penyuluhan wawan-muka
Perhatian yang telah timbul dari kalangan masyarakat terhadap program keluarga berencana segera membutuhkan penggarapan yang lebih bersifat perorangan agar kesadaran yang telah berkembang tersebut dapat tumbuh menjadi tindakan melaksanakan keluarga berencana. Hal ini dilakukan melalui penyuluhan wawan-muka baik berupa pendekatan secara langsung kepada calon akseptor maupun kepada mereka yang telah menjadi akseptor. Dengan demikian diharapkan jumlah akseptor baru terus bertambah dan bersamaan dengan itu kelangsungan akseptor yang telah ada dapat terus dipertahankan. Kegiatan penyuluhan wawan-muka tersebut untuk sebagian besar dilakukan oleh Petugas Lapangan Keluarga Berencana (PLKB). Oleh karena itu selama Repelita I jumlah tenaga PLKB terus ditingkatkan. Dalam tahun 1969/70 dan tahun 1970/71 belum terdapat tenaga PLKB yang terorganisir. Sejak tahun 1971/72 telah tercatat 1.930 orang tenaga PLKB, kemudian dalam tahun 1972/73 terdapat tambahan 3.774 orangdan kemudian dalam tahun 1973/74 tercatat PLKB baru sejumlah 5.969 orang.
d. Pendidikan kependudukan
Pendidikan kependudukan ditujukan untuk mengembangkan pengertian tentang hubungan rasionil antara perkembanganjumlah penduduk (manusia) dan perkembangan sumber-sumber kehidupan yangterdapat di sekitarnya. Kegiatan ini dilakukan baik melalui pendidikan di dalam sekolah maupun pendidikan di luar sekolah. Pelaksanaan kegiatan pendidikan kependudukan secara terorganisir mulai dilaksanakan sejak tahun 1971/1972. Langkah ini dirintis melalui seminar dan loka
(58)
karya untuk mendapatkan pengarahan dan cara pendekatan yang tepat untuk masyarakat Indonesia. Selama masa Repelita I telah dapat diselesaikan penyusunan bahan-bahan pelajaran pendidikan kependudukan dan telah dapat dirumuskan 26 bahan pelajaran dari 26 judul.
2.6. Vasektomi
2.6.1. Definisi Vasektomi
Vasektomi merupakan prosedur klinik untuk menghentikan kapasitas reproduksi pria dengan jalan melakukan oklusi vasa deferensia sehingga jalur transportasi sperma terhambat dan proses fertilisasi penyatuan dengan ovum tidak terjadi (Dyah, 2009). Menurut Handayani (2010) vasektomi adalah suatu metode kontrasepsi operatif minor pada pria yang sangat aman, sederhana dan sangat efektif, memakan waktu operasi yang singkat dan tidak memerlukan anastesi umum.
2.6.2. Jenis Vasektomi
1. Vasektomi Tanpa Pisau (VTP atau No-scalpel Vasectomy) 2. Vasektomi dengan insisi skrotum (tradisional)
3. Vasektomi semi permanen
Vasektomi Tanpa Pisau (VTP) dilakukan dengan hanya dibius lokal pada kulit sebelah pinggir kantong buah zakar setelah meraba lokasi saluran sel sperma atau vas deferens. Lalu, bagian tersebut dibedah beberapa sentimeter untuk menemukan saluran. Saluran sperma lalu diikat pada dua sisi dan dipotong, lalu dimasukkan
(59)
kembali ke dalam kantong zakar. Bekas luka pun dijahit. Proses ini memakan waktu 10 hingga 20 menit untuk kedua sisi buah zakar.
Penelitian yang membandingkan teknik pembedahan vasektomi tradisional dengan vasektomi kauter listrik tanpa pisau bedah menunjukkan bahwa pria mengalami nyeri dan perdarahan yang lebih sedikit dari luka pada metode ini (Black, 2003). Vasektomi Semi Permanen yakni vas deferens yang diikat dan bisa dibuka kembali untuk berfungsi secara normal kembali dan tergantung dengan lama tidaknya pengikatan vas deferen, karena semakin lama vasektomi diikat, maka keberhasilan semakin kecil, sebab vas deferen yang sudah lama tidak dilewati sperma akan menganggap sperma adalah benda asing dan akan menghancurkan benda asing (Hartanto, 2004 ).
2.6.3. Kelebihan Vasektomi
1. Tidak akan mengganggu ereksi, potensi seksual dan produksi hormon.
2. Perlindungan terhadap terjadinya kehamilan sangat tinggi, dapat digunakan seumur hidup.
3. Tidak mengganggu kehidupan seksual suami istri. 4. Lebih aman (keluhan lebih sedikit).
5. Lebih praktis (hanya memerlukan satu kali tindakan). 6. Lebih efektif (tingkat kegagalan sangat kecil)
7. Lebih ekonomis (hanya memerlukan biaya untuk sekali tindakan). 8. Tidak ada mortalitas/kematian.
(60)
10.Tidak ada risiko kesehatan
11.Tidak harus diingat-ingat, tidak harus selalu ada persediaan 12.Sifatnya permanen (Niken, dkk., 2010).
2.6.4. Kekurangan / Kerugian / Efek Samping Vasektomi serta Pengobatan atau Penanganannya
Pada umumnya vasektomi sangat cocok dipakai untuk kontrasepsi, akan tetapi pada beberapa pria dapat timbul masalah baik yang serius maupun yang sederhana, antara lain :
a. Perdarahan
Apabila perdarahan sedikit cukup diobservasi saja tetapi bila perdarahan agak banyak segera dirujuk ke rumah sakit yang memiliki fasilitas lengkap. Setiap ada pembengkakan didaerah scrotum harus dicurigai adanya perdarahan.
b. Hematoma
Biasanya terjadi bila didaerah scrotum diberi beban yang terlalu berat seperti naik sepeda, duduk terlalu lama atau naik kendaraan di jalan yang rusak. Dan terjadi ketika seorang klien tidak memberi cukup waktu bagi dirinya sendiri untuk pulih, hematoma harus diterapi dengan kompres es, analgesia dan istirahat. c. Infeksi
Tanda-tanda peningkatan suhu tubuh atau nyeri atau pembengkakan di sekitar testis dapat menandakan infeksi, yang akan membutuhkan pengobatan antibiotik.
(61)
d. Granuloma sperma
Granuloma sperma dapat menyebabkan nyeri dan pembengkakan lokal, tetapi juga dapat asimtomatik, granuloma terjadi jika sperma bocor ke dalaam jaringan disekitarnya saat vas deferens dieksisi dan dapat membutuhkan eksisi lebih lanjut.
e. Anti bodi sperma
Penyulit jangka panjang yang dapat mengganggu upaya pemulihan fungsi reproduksi.
2.6.5. Indikasi Vasektomi
Pemasangan kontrasepsi vasektomi dapat dilakukan pada pria : 1. Mendapatkan persetujuan istri
2. Pasangan yang tidak lagi ingin menambah jumlah anak. 3. Pasangan yang istrinya sudah sering melahirkan.
4. Harus secara sukarela.
5. Mengetahui akibat-akibat vasektomi. 6. Umur calon tidak kurang dari 30 tahun.
7. Pasangan yang telah gagal dengan kontrasepsi lain.
8. Pria yang akan melakukan MOP harus melakukannya secara sukarela dan menandatangani surat persetujuan.
9. Pasangan suami istri telah mempunyai anak minimal 2 orang dan anak paling kecil harus sudah berumur diatas 2 tahun.
(1)
Zurnali, C., 2004. Pengaruh Motivasi terhadap Perilaku Produktif di PT Telkom Tbk, Tesis Unpad, Bandung.
Dyah, 2009. Pelayanan Keluarga Berencana dan Kontrasepsi. Jakarta. Salemba Medica.
Desra, E. R. 2011. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Partisipasi Pria dalam Vasektomi di Kelurahan Namo Gajah Kecamatan Medan Tuntungan. Program D-IV Pendidik Fakultas Keperawatan USU. Medan
Ekarini, S. M. B., 2008. Analisis faktor Yang Berpengaruh terhadap Partisipasi pria dalam KB di Kecamatan Selo Kabupaten Boyolali, Tesis Undip, Semarang.
Ekayanthi, N., 2005, Persepsi Pria Pasangan Usia Subur Terhadap Partisipasi Pria Dalam Program KB di Kecamatan Tabanan, Kabupaten Tabanan, Provinsi Bali, UGM Yogyakarta
Gerungan, 2004. Psikologi Sosial. Bandung, Refika Aditama.
Green, L., 2000. Health Promotion Planning An Educational and Environmental Approach, Mayfield Publishing Company, USA
Hanafi, 2010. Buku Keluarga Berencana dan Kontrasepsi. Penerbit Pustaka Sinar Harapan Jakarta.
Handayani, 2010. Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi. Penerbit Buku Kedokteran, EGC.
Handoko, 2011. http: // id. Shvoog.com/social – sciences teori- teori motivasi. diakses tanggal 5 Maret 2012
Hartanto, H. 2004. Keluarga Berencana dan Kontrasepsi, Penerbit Pustaka Sinar Harapan Jakarta.
Hasibuan, 2005. www.google.co.id.repository,USU.co.id.Otstream/ 1234567891254/ Chapter % 2011, diakses tanggal 1 Maret 2014
Hastono, 2006. Metodologi dan Teknik Menyusun Tesis. Penerbit Alfabeta. Bandung Herlinawati. 2004. Pengaruh Komunikasi, Informasi, Edukasi dan Kualitas Pelayanan
Kontrasepsi Terhadap Drop Out Penggunaan Alat Kontrasepsi di Desa Setupatok. Tesis Diponegoro University
(2)
Iman, S. 2008. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Partisipasi Pria Dalam Keluarga Berencana Di Kecamatan Jetis Kabupaten Bnatul Tahun 2008. Tesis Universitas Diponegoro. Semarang
Kusumaningrum, R. 2009. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pemilihan Jenis Kntrasepsi yang Digunakan Pada Pasangan Usia Subur. Skripsi Undip, Semarang
Litbangkes, 2008. Beberapa Faktor yang Berhubungan Dengan Partisipasi Pria Sebagai Peserta KB di Kelurahan Tembilahan Kota Pekanbaru. www. litbangkes.ac.id. diakses tanggal 26 Maret 2012
Lumastari, 2008. Jurnal Analisis Keikutsertaan Pria dalam ber KB . static.schoolrack.com / fles / 100398 / 398551 / volume 2. Nomor 4. diakses tanggal 20 Maret 2012
Maharyani, W.H; Handayani, S., 2010. Hubungan Karakteristik Suami dengan Kikutsertaan Suami Menjadi Akseptor Keluarga Berencana di Wilayah Desa Karang Duwur Kecamatan Petanahan Kabupaten Kebumen Jawa Tengah. Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta
Mar’at, 1982, Sikap Manusia, Perubahan Serta Pengukurannya, Ghalia Indonesia, Jakarta
Meilani, Setiyawati, dkk, 2010. Pelayanan Keluarga Berencana. Penerbit Fitramaya. Yogyakarta
Meliasari D., 2012, Pengaruh Factor Personal, Social, Dan Situasional Terhadap Kelangsungan Penggunaan Alat Kontrasepsi Dalam Rahim (AKDR) Di Wilayah Kerja Puskesmas Marelan. Tesis FKM USU, Medan
Niken, dkk. 2010. Pelayanan Keluarga Berencana, Jilid 1. Yogyakarta. Fitramaya. Notoatmodjo, 2005. Metodologi Penelitian Kesehatan, Edisi Revisi, Penerbit Rineka
Cipta
---, 2007. Promosi Kesehatan & Ilmu Perilaku. Rineka Cipta. Jakarta
Purwoko. 2000. Penerimaan Vasektomi dan Sterilisasi Tuba. Tesis Fakultas Kedokteran Undip. Semarang.
(3)
Rahmat.2009, http://pebatan. Blogspot. com/2010/11/teori motivasi. diakses tanggal 15 Januari 2012
Ratmina. 2011, Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Penggunaan Kontrasepsi Vasektomi Pada Pria PUS Di Kabupaten Deli Serdang, Tesis USU
Robin, 2006. Andriewongso.com /aw – community / taman-motivasi. diakses tanggal 23 Maret 2012
Saifudin, 2006. Buku Panduan Praktis Pelayanan Kontrasepsi Edisi-2, Jakarta. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
Sakhnan, R, 2001, Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Keikutsertaan PUS dalam Program KB pada Suku Talang Mamak di Desa Seberida Kabupaten Indragiri Hulu, Propinsi Riau, Tesis FKM UI
Saptono, 2008. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Partisipasi Pria dalam KB di Kecamatan Jetis Bantul, http://eprints.undip.ac.id. diakses tanggal 12 Januari 2012
Satyavada, A., and Adamchak, D.J. Determinants of Current Use of Contraception and Children Ever Born in Nepal. Social Biology. 2000.
Siagian, 2009. Teori Motivasi Dua Faktor.
1607,wordpress.com/psikologi. diakses tanggal 24 Pebruari 2014
Sondang, 2002. http : // www. Teori-teori Motivasi. Rahmat.2009, http://pebatan. Blogspot.com/2010/11/teori motivasi, diakses tanggal 15 Januari 2012 Sonny, Harry B. Hamadi, 2011. Kilas Balik KB 2011 http://www.bkkbn 2011.
Rahmat.2009, http/ pebatan. Blogspot.com/2010/11/teori motivasi. diakses tanggal 18 Januari 2014
Sulistyo, 2009. Program Keluarga Berencana Nasional Pasca-Otonomi Daerah Tahun 2009. Blogspot.com 2012 / 03 / Program Kependudukan dan KB. diakses tanggal 14 Maret 2014
Suprihastuti, dkk. 2000. Analisis Data Sekunder SDKI 97 Pengambilan Penggunaan Alkon Pria di Indonesia. D.I. Yogyakarta.
Suratun, dkk. 2008. Pelayanan Keluarga Berencana dan Pelayanan Kontrasepsi, Jilid 1 hal 112. Jakarta. KDT.
(4)
Survey, Demografi dan Kesehatan Indonesia. 2007. Masih Terbatas Pria yang Mau Ber-KB,http/:/gemapria.bkkbn.go.id,//artikele.detail.php. Diakses 22 Maret 2014
Tatarini, J. P., 2008, Faktor yang Mempengaruhi Pemakaian Alat kontrasepsi pada Isteri PUS di Kecamatan Rambah Samo, Kabupaten Rokan Hulu. Tesis FKM USU
Winardi. J. 2007. Motivasi dan Pemotivasian. Jakarta. Raja Gratindu Persada.
Wibowo, 2004. Pelayanan Vasektomi Belum Merata diakses tanggal 23 Maret 2012.
Widodo, A., dkk, 2004, Pengetahuandan Sikap Pasangan Suazi Istri Mengenai Masalah KesehatanReproduksiPerempuan Hubungannya dengan Partisipasi Pria dalam KB, Sains Kesehatan, UGM Yogyakarta
Wijayanti, 2004. Titik. Studi Kualitatif Alasan Akseptor Laki-Laki tidak Memilih MOP sebagai Kontrasepsi Pilihan di desa Timpik kecamatan Susukan kabupaten Semarang. Program Studi D IV Kebidanan Stikes NgudiWaluyo. Ungaran.
(5)
PEDOMAN WAWANCARA
“PERILAKU AKSEPTOR VASEKTOMI DAN DUKUNGAN KELUARGA DI WILAYAH KERJA KECAMATAN PORSEA KABUPATEN
TOBA SAMOSIR”
Identitas Informan
Nama :………..
Umur :………..
Pekerjaan :……….
Jumlah Anak :……….
Pertanyaan
I. Pengetahuan Informan
1. Menurut Bapak, apakah yang dimaksud dengan KB pria? Probing :
- Jenis KB Pria
- Cara menggunakannya
- Dimana tempat pelaksanaanya
2. Menurut Bapak, apakah yang dimaksud dengan vasektomi? Probing :
- Jenis vasektomi
- Syarat menjadi akseptor vasektomi
3. Menurut Bapak, Bagaimana mekanisme kerja vasektomi? 4. Menurut Bapak, Apakah kelebihan dan kekurangan vasektomi? 5. Menurut Bapak, Apakah dampak resiko pelaksanaan vasektomi?
6. Menurut Bapak, Apakah setelah vasektomi dapat dilakukan usaha untuk mengembalikan kesuburan pria?
(6)
Probing : - Caranya
- Bagaimana prosedurnya
II. Sikap Informan
1. Bagaimana tanggapan Bapak dengan keikutsertaan suami dalam KB? 2. Bagaimana tanggapan Bapak dengan suami yang melakukan vasektomi? 3. Bagaimana tanggapan Bapak dengan hubungan vasektomi dengn hubungan
seksual?
4. Bagaimana tanggapan Bapak dengan hubungan vasektomi dengan keturunan? 5. Bagaimana tanggapan Bapak dengan suami yang melakukan vasektomi tanpa
dukungan istri?
III. Dukungan Keluarga
1. Apakah keluarga/istri Bapak memberikan informasi kepada Bapak tentang vasektomi?
Probing :
- Informasi apa yang diberikan
2. Apakah keluarga/istri Bapak menganjurkan Bapak untuk melakukan vasektomi?
3. Apakah keluarga/istri Bapak menemani bapak saat melakukan vasektomi? 4. Bagaimana sikap keluarga/istri Bapak setelah Bapak melakukan vasektomi?
IV. Pelaksanaan Vasektomi
1. Sejak kapan Bapak menjadi akseptor vasektomi? 2. Mengapa Bapak mau menjadi akseptor vasektomi