Hasil Penelitian HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

pertanyaan untuk wawancara, pengumpulan data, dan analisis data yang dilakukan sendiri oleh peneliti. Untuk dapat mengetahui sejauh mana informasi yang diberikan oleh informan penelitian, peneliti menggunakan beberapa tahap: 1. Pertama menyusun draf pertanyaan wawancara berdasarkan dari unsur- unsur kredibilitas yang akan ditanyakan pada narasumber atau informan. 2. Kedua, melakukan wawancara dengan objek penelitian yaitu penderita bipolar disorder dan juga orang-orang terdekatnya selaku pendamping terapi. Selain itu juga peneliti melakukan observasi partisipasi secara langsung terhadap terapi pendampingan psikososial yang dilakukan. 3. Ketiga melakukan dokumentasi langsung dilapangan untuk melengkapi data-data yang berhubungan dengan penelitian 4. Keempat, memindahkan data penelitian yang berbentuk daftar dari semua pertanyaan yang diajukan kepada narasumber atau informan. 5. Kelima, menganalisis hasil data wawancara yang telah dilakukan. Agar pembahasan lebih sistematis dan terarah maka peneliti membagi ke dalam 2 pembahasan, yaitu: 1. Deskripsi Objek Penelitian dan Hasil Penelitian 2. Pembahasan Hasil Penelitian

4.1 Hasil Penelitian

Dalam hasil penelitian ini, peneliti mendeskripsikan masing-masing objek penelitian yang berjumlah lima orang secara terpisah. Penggambaran secara terpisah akan mempermudah pemaparan realita serta fenomena yang didapatkan di lapangan secara khusus dan akan ditarik ke dalam pembahasan untuk dianalisa Universitas Sumatera Utara secara umum. Adapun poin-poin deskripsi yang akan dinarasikan adalah profil objek penelitian, latar belakang atau riwayat bipolar disorder objek penelitian, keberfungsian sosial objek penelitian, risiko atau upaya bunuh diri objek penelitian, hubungan sosial objek penelitian, upaya peningkatan keberfungsian sosial oleh pendamping melalui terapi psikososial, upaya penurunan risiko bunuh diri oleh pendamping melalui terapi psikososial, hasil-hasil terapi pendampingan psikososial, serta faktor-faktor pendukung dan penghambat terapi pendampingan psikososial. 4.1.1 Deskripsi Objek Penelitian 1 4.1.1.1 Profil Desy Widjaja Desy Widjaja adalah seorang mahasiswi yang saat ini masih duduk di semester enam di Fakultas Ilmu Budaya salah satu perguruan tinggi negeri paling bergengsi di Sumatera Utara. Gadis keturunan Tionghoa kelahiran tahun 1992 ini tinggal bersama kedua orangtuanya serta seorang adik perempuan yang berusia dua tahun di bawahnya. Desy adalah mahasiswi yang sangat modis dan cantik, badannya bisa dikatakan cukup berisi namun terlihat sepadan dengan postur tubuhnya yang cukup tinggi. Cukup ideal. Namun dia mengaku bahwa dulu dia sangat gemuk dan itulah salah satu faktor pemicu gangguan yang dideritanya. Dilihat dari cara bicaranya, Desy merupakan anak yang sangat ramah dan periang. Raut wajahnya selalu penuh dengan ekspresi senyum. Menurutnya, Universitas Sumatera Utara senyum adalah sebuah budaya yang harus tetap dijaga di dalam keluarganya. Terbukti, seluruh keluarganya memiliki ekspresi kehangatan yang sama saat peneliti melakukan observasi langsung dan wawancara bersama mereka. Desy memang memiliki keluarga yang bahagia. Baginya keluarga merupakan harta paling berharga di dalam hidupnya setelah Tuhan. Kemampuan bicaranya yang cepat dan menyenangkan merupakan ciri khasnya sebagai seorang penyiar salah satu radio anak muda di Kota Medan. Selain menjadi penyiar radio, kesibukan Desy saat ini adalah menjadi penyanyi rohani di gerejanya. Di waktu senggang, gadis yang bercita-cita menjadi seorang penyanyi ini gemar menciptakan lagu. Wawancara dan observasi yang dilakukan pada Desy dan keluarga dilakukan selama tiga hari, mulai tanggal 27 hingga 29 April 2013.

4.1.1.2 Riwayat Bipolar Disorder

Bila bertemu dengan Desy secara langsung, mungkin kita tidak akan percaya terhadap kenyataan bahwa dia mengidap gangguan kesehatan mental yang dinamakan Bipolar Disorder. Gangguan kesehatan mental yang sempat membuat hidupnya kacau balau dan masih dia perjuangkan hingga saat ini. Senyum dari wajahnya dan energi kehangatan dari dirinya yang selalu menjadi alat baginya untuk tetap berjuang hingga saat ini. Saya didiagnosa mengidap gangguan bipolar saat berusia 17 tahun. Bulan Maret tahun 2008. Mama saya yang khawatir melihat kondisi saya yang mengurung diri selama berhari-hari membuatnya terpaksa membawa saya ke psikiater atas rekomendasi dari sahabat mama yang adalah seorang psikolog. Saya meronta-ronta dan berteriak-teriak menolak ajakan mama. Saat itu saya menangis tetapi tidak tahu menangis karena apa. Akhirnya saya mau juga dibawa ke psikiater. Universitas Sumatera Utara Di hari pertama saya masih diam dan asal menjawab pertanyaan saja. Lalu keesokan harinya saya dibawa lagi ke psikiater tersebut dan akhirnya saya mau berbicara. Setidaknya saya bisa menjawab pertanyaan- pertanyaan dari psikiater walaupun saya menjawab sambil menangis. Orang tua dan adik saya ikut ditanyai setelah itu hingga pada akhirnya saya mengetahui bahwa saya mengidap penyakit bipolar disorder ini. Desy yang tinggal di dalam keluarga yang bahagia sempat merasa aneh dengan dirinya yang bisa depresi secara tiba-tiba. Dia merasa bahwa tinggal di keluarga yang bahagia harusnya juga memberikan perasaan bahagia. Setelah ditilik ke belakang ternyata dia memiliki sebuah faktor pemicu stres dan beban pikiran yang cukup kuat saat dia duduk di bangku sekolah dasar hingga sekolah menengah atas. Faktor pemicu tersebut adalah lingkungan pergaulan di sekolahnya. Dia sering ditindas secara verbal berkenaan dengan kondisi fisiknya saat masih kecil. Waktu duduk di bangku sekolah dasar saya itu gemuk sekali. Teman-teman di kelas saya selalu memanggil saya Gacin atau Gajah Cina. Itu berlangsung selama enam tahun. Saya diajarkan untuk selalu tersenyum oleh orang tua saya, oleh karena itulah saya tidak pernah marah. Tapi sebenarnya saya begitu sedih. Rasanya sakit, saya ingin marah tapi tetap saya pendam saja. Saya takut sekali tidak punya teman. Biarlah saya diolok-olok terus yang penting saya punya teman. Desy tidak pernah menceritakan masalah ini pada keluarganya. Dia takut bila melihat orang tuanya bersedih dan juga marah. Diana, Ibu Desy yang berusia 46 tahun mengatakan bahwa dia dan suaminya baru tahu masalah ini saat Desy melakukan sesi konseling dengan psikiater. Akhirnya mereka mengetahui masalah yang selama bertahun-tahun di sembunyikan secara diam-diam oleh Desy. Semenjak kelas tiga SD, Desy tiba-tiba aneh. Dia hanya makan sedikit, dan tidak mau membawa bekal makanan lagi ke sekolah. Alasannya dia bisa makan di warung sekolah. Saat makan malam juga dia hanya makan setengah piring dan itu terjadi hingga dia beranjak remaja. Bila ditanyai dan dimarahi soal makan maka dia akan protes dengan tidak Universitas Sumatera Utara makan sama sekali. Kami menyadari keanehan awal disini namun tidak terlalu mempermasalahkannya karena kami tetap memberi suplemen makanan untuk dia. Yuliana, adik Desy juga menyadari keanehan kakaknya saat duduk di bangku sekolah menengah pertama SMP. Setiap selesai makan, Desy selalu terlihat pergi ke kamar mandi dan memuntahkannya kembali. Itu adalah bulimia. Yuliana juga melihat penurunan berat badan kakaknya yang cukup dratis dan sangat khawatir dengan kondisinya yang sering terlihat letih namun tetap berusaha untuk semangat. Setiap kali bertanya tentang tindakan yang dilakukan kakaknya, Desy selalu memberikan ancaman untuk tidak makan. Sejak saat itu Yuliana hanya bisa diam namun tetap berusaha untuk mencari tahu akar masalah yang dialami kakak kesayangannya. Di sela-sela wawancara, Desy menambahkan, Ya, memang benar. Saya mengalami bulimia atau memuntahkan kembali makanan yang sudah saya makan dan eating disorder atau gangguan makan. Saya terobsesi untuk menjadi kurus dan ingin membuang jauh-jauh label gajah cina itu. Jujur, sebenarnya saya sangat tersiksa, tapi saya terus berpikiran harus kurus. Itulah pencapaian saya. Saya benar-benar merasa punya beban hidup yang sangat berat dan sulit mengkomunikasikannya dengan orang lain. Rudy Widjaja, ayah Desy mengatakan bahwa semasa kecilnya Desy justru tumbuh berkembang menjadi anak yang sangat luar biasa. Berbakat, punya talenta dan penuh dengan prestasi. Dia selalu tampil dalam pelayanan gereja sebagai penyanyi solo maupun paduan suara, memiliki banyak piala dari kontes bernyanyi, jago teater, dan bisa menciptakan lagu. Selain itu prestasi akademiknya juga sangat baik. Dari SD sampai dengan SMP dia tidak pernah lepas dari urutan tiga besar di kelasnya. Oleh karena itu, Rudy tidak pernah merasa ada masalah Universitas Sumatera Utara besar bagi anaknya kecuali masalah makan dan emosinya yang tiba-tiba meledak dan meluap-luap ketika disinggung mengenai kebiasaan makannya.

4.1.1.3 Keberfungsian Sosial

Perilaku yang sangat menggangu keberfungsian sosial Desy sangat terlihat jelas ketika sudah memasuki usia remaja, saat duduk di bangku kelas tiga SMP. Diakui oleh Desy saat itu adalah masa-masa kelam dalam hidupnya. Selain mengalami bulimia dan eating disorder dia mulai merasakan bahwa dia putus asa atau depresi. Penyebabnya adalah karena seorang teman sekelasnya yang dia sukai dan kagumi secara diam-diam mengatakan bahwa dia gendut dan harus diet di depan teman-temannya. Candaan itu ditelannya secara pahit. Tiba-tiba dia frustasi namun tetap mengkovernya dengan senyum khasnya di hadapan orang-orang sekitarnya, termasuk keluarganya. Merasa tidak kuat Desy pun mulai mengisolasi dirinya. Dia pernah berpura-pura sakit selama empat hari dan tidak bersekolah. Dia mengurung diri di kamar dan hanya keluar kamar untuk makan malam. Kalau pun berkumpul bersama keluarga dia lebih banyak diam dan pura-pura sibuk membaca buku atau majalah. Menurut keluarganya, saat itu senyumnya hilang. Mereka seperti kehilangan satu semangat jiwa dalam keluarga ini. Desy pun mulai jarang terlibat pada pelayanan remaja pemuda di gerejanya. Setiap diajak untuk latihan bersama maka dia akan menjawab sedang sakit atau mengeluh tidak enak badan. Padahal biasanya Desy sangat bersemangat sekali untuk mengikuti kegiatan ini. Begitu pula dengan ekstrakurikuler paduan suara di sekolahnya, dia sampai tidak ikut bertanding dalam sebuah lomba Universitas Sumatera Utara padahal dia adalah vokalis utama. Karena masalah itu dia semakin dijauhi oleh teman-temannya. Yohana Damanik salah satu teman Desy saat SMP yang juga satu SMA dengannya mengatakan, Desy itu dulu memang ramah dan periang. Saking baiknya, dia selalu jadi bahan ejekan teman-teman di sekolah. Tapi dia tidak marah. Dia selalu tampil baik tapi tidak pernah mau menunjukkan kelemahannya. Dia bisa bergaul dengan siapa saja tapi sebenarnya dia tidak pernah benar- benar punya teman dekat dan sedikit yang tahu soal kehidupan dia. Makanya dia selalu diganggu karena penuh misteri. Dia menutupi banyak hal dan tidak pernah curhat dengan siapapun. Selain tidak menekuni hobi dan aktivitas yang diminatinya, Desy pun mulai melalaikan aktivitasnya di rumah. Dia lupa mengerjakan jadwal kebersihan harian yang biasa dibagi tugas bersama adiknya, dia lalai mengerjakan tugas-tugas sekolah, dia bolos bimbingan belajar untuk kelulusan, dia mulai malas belajar dan lebih banyak tidur-tiduran sambil menonton televisi di kamar dan sedikit berkomunikasi dengan orang tuanya. Diana bercerita, Saat itu saya benar-benar takut. Saya khawatir, lalu menelepon seorang sahabat yang adalah seorang psikolog dan membawa pendeta muda datang ke rumah untuk mengobrol dengan anak saya. Namun anehnya, sebelum mereka datang tiba-tiba sepulang sekolah anak saya itu tiba-tiba kembali ceria seperti biasanya. Dia pulang dengan wajah ramah, pipi saya dicium seperti biasa. Dia lalu ikut membantu saya memasak sambil bernyanyi-nyanyi. Beberapa hari kemudian dia langsung mendaftarkan diri pada kontes menyanyi daerah dan mendapatkan juara pertama. Dia menciptakan sebuah lagu saat ayahnya ulang tahun dan membuatkan baju yang indah untuk adiknya. Semangat belajarnya pun sudah kembali. Dia begitu giat belajar hingga terpilih menjadi lulusan dengan nilai terbaik di sekolahnya dan bisa masuk ke sekolah negeri unggulan di kota Medan. Saya bahagia sekali namun tetap saja ada yang aneh. Universitas Sumatera Utara

4.1.1.4 Risiko Bunuh Diri

Desy pernah mencoba melakukan upaya bunuh diri sebanyak dua kali. Pertama kali adalah saat berusia 14 tahun sebelum didiagnosa gangguan bipolar dan yang kedua adalah saat kelas tiga SMA setelah didiagnosa. Pengidap gangguan bipolar ketika sedang dalam episode depresi cenderung akan merasa sangat kesepian, putus asa dan memiliki perasaan bersalah yang sangat kuat. Mereka akan merasa sangat tidak layak hidup dan memiliki pemikiran kuat untuk menghilang dari kehidupan ini dengan memiliki rencana bunuh diri tanpa pikir panjang. Hal tersebut pula yang dialami oleh Desy. Saya ingat betul, setelah obsesi saya akan kurus itu muncul dan orang yang saya sukai meledek saya, hidup saya rasanya tidak berharga. Saya sempat pergi ke warung internet untuk mencari cara-cara bunuh diri yang tidak menyakitkan. Saya lihat banyak cara, tapi saya akhirnya memilih untuk memotong urat nadi saja. Malamnya saya melakukan cutting atau menyilet-nyilet beberapa bagian dari tubuh saya seperti di lengan atas dan paha. Saya belum berani untuk melakukannya di pergelangan tangan. Entah kenapa setiap saya melihat darah yang keluar walaupun sakit namun saya menikmatinya dan merasa lega. Saya menjadi tenang. Saya berpikir kalau darah saya mengalir terus seperti ini saya akan meninggal dengan tenang. Tapi nyatanya ketika bangun pagi saya masih hidup. Hal itu tetap saya lakukan hingga SMA. Namun keluarga saya sampai saat itu tidak pernah tahu sama sekali. Saya diam. Saya takut. Upaya bunuh diri yang Desy lakukan berikutnya adalah saat dia duduk di bangku SMA. Saat itu dia masih di sekolah di ruang OSIS, tiba-tiba dia merasa sedikit kejang di tangan dan merasakan perasaan resah gelisah yang sangat kuat. Desy kaget, karena merasa setelah melakukan pengobatan kondisinya membaik namun tiba-tiba kambuh lagi. Saat itu dia tidak membawa obat anti depresan karena dirasa tidak memerlukan obat lagi. Desy mengatakan saat itu dia langsung bergegas pulang ke rumahnya, Universitas Sumatera Utara mencari obat-obatan di laci namun tidak ada. Dia pun lantas mengurung diri di kamar, mengambil semua jenis obat-obatan yang ada dan meminumnya tanpa pikir panjang lalu kembali melakukan cutting pada tubuhnya, kali ini di pergelangan tangan. Tiba-tiba dia merasa perutnya terbakar dan dia pingsan. Saksi saat itu adalah Diana, ibunya yang berkata, Saat itu saya heran, Desy pulang begitu cepat dari sekolah. Dia langsung masuk kamar dan tidak keluar kamar hingga sore. Saya mengetuk pintu namun dikunci dari dalam. Saya mengintip kamarnya dari jendela luar dan berteriak histeris ketika melihat dia sudah terkapar di lantai dengan tangan yang berdarah.

4.1.1.5 Hubungan Sosial

Hubungan sosial penderita gangguan bipolar dengan orang-orang di sekitarnya tentu akan sangat terganggu. Ketika dalam keadaan manik atau mania atau perasaan gembira yang berlebihan, Desy akan memiliki energi yang sangat berlebihan dengan ide-ide tanpa batas. Diakuinya, dia pernah tiba-tiba berkaraoke tengah malam di kamarnya saat tengah malam karena tidak bisa tidur. Dia juga pernah menjadi ketua panitia dalam dua kegiatan sekolah yang berbeda di waktu yang bersamaan. Yohana, temannya, bercerita, Yang lebih ekstrim adalah dia pernah tiba-tiba membawakan teman-teman satu kelas nasi kotak sebagai tanda pertemanan. Bagi kami itu aneh sekali. Dia juga jadi sangat pintar berolahraga dan mengatur perilaku semua teman-temannya. Dia juga tiba-tiba masuk klub pencinta alam dan memiliki hobi baru yaitu panjat tebing. Pernah juga dalam satu kesempatan dia membuatkan kami gambar karikatur yang diberikan pada teman sekelasnya satu per satu. Hal ini membuat banyak teman menjauh karena merasa sesuatu yang aneh dan tiba-tiba. Universitas Sumatera Utara Ketika masuk tahap depresi kondisi Desy bahkan lebih parah. Dia benar- benar sudah tidak mengetahui fungsi dan perannya lagi. Dia akan menjauhi teman-temannya dan merasa tidak butuh bergaul dengan siapapun. Hobinya adalah mengurung diri di kamar dan berdiam diri. Terkadang dia menangis sendiri dan merasa gelisah. Setiap tidur terkadang dia terbangun tanpa alasan yang jelas dengan kondisi menangis. Hubungan dengan adiknya yang paling dekat pun jadi sedikit merenggang seperti yang dituturkan Yuliana, Kalau sedang depresi dia akan sangat tertutup. Dia tidak mau diajak berbicara, bahkan mengangkat telepon pun tidak. Dia seperti tidak punya harapan hidup. Kalaupun berkumpul dengan keluarga dia akan lebih banyak murung. Tugas-tugas sekolah tidak dikerjakan, padahal dia tergolong anak pintar yang rajin. Dia tidak mau membantu saya mengerjakan tugas sekolah lagi. Bahkan ketika ditawari es buah yang sangat dia sukai, dia sama sekali tidak mau meminumnya. Ketika diajak untuk cerita dia cenderung akan marah-marah, mengomel, bahkan pernah sampai melemparkan barang-barang yang ada di rumah. Menurut beberapa teman dia juga sampai pernah memukul beberapa teman pria di kelasnya dan bertengkar.

4.1.1.6 Terapi Psikososial untuk Peningkatan Keberfungsian Sosial

Untuk memulihkan kondisi Desy, sesuai dengan saran dokter, keluarga pun melakukan farmakoterapi atau bantuan medis dengan obat-obatan yang harus diminum secara teratur dengan kadar yang tepat. Jenis obat-obatan yang diminum Desy adalah obat anti depresan, anti psikotik dan penstabil suasana hati. Contoh obat yang kerap diminum Desy adalah Seroquel. Terapi dengan obat-obatan dirasakan cukup efektif bagi perawatan gangguan bipolar Desy untuk mengurangi atau mencegah kekambuhan episode. Namun keluarga juga melakukan cara lain yang lebih personal yaitu terapi Universitas Sumatera Utara pendampingan psikososial. Terapi yang juga melibatkan orang-orang terdekat Desy yang dalam kasus ini yakni keluarga inti dan seorang teman dekat Desy yaitu Yohana. Terapi pendampingan psikososial yang pertama dilakukan setelah melakukan konseling adalah dengan menjadi sahabat penderita. Penderita gangguan bipolar harus diyakinkan bahwa mereka tidak hidup sendirian. Menunjukkan kepedulian kita akan meningkatan optimisme penderita. Psikoedukasi bagi keluarga dan penderita juga termasuk dalam terapi ini untuk mengetahui langkah tercepat apa yang bisa dilakukan terhadap penderita gangguan ketika terlihat gejala-gejala kekambuhan episode depresi atau mania. Ketika mulai memasuki gejala depresi atau mania terkadang Desy tidak menyadari dan dibutuhkan kepekaan orang-orang terdekatnya untuk menolong. Bila terlihat gejala-gejala mania maka Yuliana akan mengajak kakaknya untuk berolahraga seperti tenis, lari, basket, bersepeda atau berenang. Hal ini dilakukan agar energi yang berlebihan yang akan keluar dari Desy bisa diluapkan secara positif dan tidak mengganggu banyak orang. Selain itu, hal ini dilakukan agar badannya bisa sedikit relaksasi dan saat malam bisa sedikit tenang. Saya juga berusaha untuk mencegah Desy berbelanja, karena pada saat mania dia akan sangat boros hingga seluruh uangnya habis. Selain itu nafsu makannya akan bertambah banyak dan dia akan wisata kuliner sepanjang hari. Saya juga akan menelepon Kakak Yohana, teman dekatnya untuk mengajaknya beraktifitas secara positif dan mengingatkan Desy bahwa saat itu dia sedang dalam kondisi mania. Dia harus diingatkan. Setelah mengikuti sesi psikoedukasi, Yohana mulai mengerti kondisi Desy dan mulai membantu teman dekatnya. Universitas Sumatera Utara Ketika gejala manianya mulai timbul, saya berusaha menjadi teman ceritanya. Saya berusaha mengajak dia terlibat aktif dalam kegiatan yang menyenangkan dan melibatkan banyak orang karena akibatnya akan cukup fatal. Desy akan bertindak ceroboh karena sulit mengambil keputusan. Di saat-saat seperti itu saya akan tetap berusaha mengingatkan dia bahwa dia sedang dalam kondisi mania dan saya siap dimintai pendapat untuk setiap keputusan yang akan dia ambil. Sementara itu orang tua Desy juga akan bertindak cepat bila melihat gejala depresi pada anaknya. Selain memberikan obat, setiap malam kami melakukan doa bersama dan saat teduh saat pagi hari. Diana akan memeluk Desy dan mengatakan bahwa Desy tidak sendirian dan akan baik-baik saja. Karena Desy sangat jago memainkan musik maka keluarganya menyediakan gitar dan piano di ruang tengah keluarga. Sebagai ibunya, saya sangat khawatir saat Desy memasuki tahap depresi. Dia terlihat begitu letih dan selalu tidur. Oleh karena itu, kami biasanya menyarankan dia untuk memainkan musik ketika gejala depresinya muncul. Dan, puji Tuhan ekspresi sedihnya bisa tersalurkan secara positif dan dia mampu melahirkan beberapa karya lagu. Satu lagi, jangan biarkan dia sendirian saat episode depresinya datang. Dia akan saya suruh tidur di kamar saya atau adiknya dengan tidak mematikan lampu. Jangan berikan suasana gelap karena perasaannya akan semakin suram. Memberi kehangatan dan kasih sayang bagi si penderita akan meringankan gejala depresi yang ada, ungkap Rudy. Saat fase depresi atau manianya timbul, saya biasanya akan mengajak dia untuk hunting foto menelusuri kota di sore hari atau malam hari. Entah kenapa, dia selalu bisa mengambil foto dengan bagus saat itu. Ini adalah teknik terapi untuk menyalurkan emosi yang ada di dalam diri Desy. Kami usahakan juga untuk selalu berkumpul bersama, saling bercerita, menonton hiburan yang lucu hingga memasak bersama. Puji Tuhan, terapi pendampingan seperti ini perlahan bisa memperbaiki kondisi gangguan bipolar Desy dan dia mampu mengatasi masalahnya dengan baik. Dia pun mampu memerankan peran dan fungsinya dengan baik di tengah masyarakat atau lingkungannya. Universitas Sumatera Utara

4.1.1.7 Terapi Psikososial untuk Penurunan Risiko Bunuh Diri

Salah satu ancaman yang paling besar bagi penderita gangguan bipolar adalah menghabisi dirinya sendiri atau bunuh diri. Risiko ini tumbuh kuat dalam diri seorang penderita bipolar baik pada episode depresi maupun mania. Desy sendiri merasa bahwa bunuh diri sempat dia pikir sebagai langkah cepat untuk mengatasi rasa sakit dan pahit yang dirasakan dan dipendamnya sejak lama. Saya akhirnya melakukan terapi keluarga dan saya diyakinkan untuk menerima diri saya apa adanya. Tidak peduli saya gemuk atau jelek, bagaimanapun keadaan saya, keluarga saya tetap menerima saya apa adanya. Mereka mencintai saya sepenuhnya. Seperti Tuhan mencintai saya tanpa syarat. Oleh karena itu saat terapi pendampingan pertama saya pun diyakinkan untuk menerima diri saya, menghargai diri saya dan mulai menghentikan perilaku buruk bulimia saya. Saya juga berhenti untuk menyakiti diri saya sendiri dengan menyilet-nyilet tubuh saya. Ketika saya sadar atau disadarkan akan gejala depresi saya akan langsung mendatangi orang yang saya percaya untuk menghindari hal-hal negatif yang kemungkinan besar akan saya lakukan tanpa logika yang sehat. Diana juga mengatakan bahwa teknik penerimaan konsep diri cukup efektif bagi Desy. Dukungan semangat dan doa juga cukup penting untuk selalu diberikan. Selain itu mereka juga membuatkan jurnal harian yang akan ditulisi Desy untuk mengontrol perasaannya saat depresi atau mania. Di dalamnya Desy bebas untuk mengekspresikan perasaannya yang meluap. Ini dinamakan teknik koping. Sebisa mungkin Desy juga menghindari stres dengan melakukan manajemen diri. Keluarga dan teman Desy sebagai pendamping akan memantau kedisiplinan diri Desy. Seorang bipolar seperti saya harus mampu memanajemen diri dengan baik. Disiplin adalah kuncinya. Karena salah satu penyebab gangguan bipolar adalah gangguan hormonal atau zat kimiawi di dalam Universitas Sumatera Utara otak yang tidak seimbang maka menjaga kesehatan juga dirasakan cukup penting. Saya dibantu oleh keluarga dan teman saya mulai mengontrol pola makan, pola tidur, manajemen stres hingga olahraga. Diusahakan saya untuk selalu tidur cukup setiap harinya delapan jam per hari, makan teratur dengan pola sehat dan gizi berimbang, minum teh hijau, rajin olahraga setiap hari, serta ikut klub yoga untuk relaksasi pikiran. Saya yang dulu selalu menelan mentah-mentah setiap kritikan atau ejekan kini mampu menetralisirnya dengan berpikiran positif bahwa tidak ada manusia yang sempurna di hidup ini. Selain itu, saya juga membuat mading motivasi di dinding kamar saya yang berisikan gambar-gambar harapan maupun cita-cita yang ingin saya raih ke depannya. Jadi, ketika tiba-tiba saya jatuh depresi dan ingin bangkit saya bisa melihat dinding kamar saya yang penuh inspirasi dan berusaha mengatakan pada diri saya bahwa hidup saya berharga. Sampai sekarang saya masih terus berjuang untuk hal ini. Semangat

4.1.1.8 Hasil Terapi Pendampingan Psikososial

Sudah kurang lebih tiga tahun Desy menjalani terapi pendampingan psikososial ini. Tahun pertama dirasakan cukup berat karena keluarga dan beberapa teman Desy masih belajar bagaimana cara menjadi pendamping yang baik. Namun ternyata berkat kesabaran dan rasa kasih sayang yang besar terhadap Desy membuat semuanya berjalan dengan baik. Desy dengan penuh semangat menceritakan bahwa ada kekuatan baru yang tumbuh di dalam dirinya ketika melakukan banyak sesi terapi bersama keluarganya. Walaupun sudah dua kali relaps dan masuk rumah sakit, dirinya merasa bahwa dia tidak berjuang sendirian. Ada kekuatan dari orang-orang yang mencintainya. Saat ini Desy mampu menjalani hidup normal seperti biasanya. Peneliti bahkan bisa melihat banyak piala dan piagam penghargaan atas namanya di dalam rumahnya. Aktivitasnya sebagai mahasiswa pun dilakukan dengan baik. Indeks prestasi akademiknya selalu dia atas 3,5. Bahkan Desy pun mendapatkan beasiswa Universitas Sumatera Utara dari perguruan tingginya. Aktivitasnya sebagai seorang penyiar radio pun dia lakoni dengan penuh semangat dan menginspirasi. Memang, saya sempat mengalami kekambuhan beberapa kali. Namun lebih mudah diatasi karena bantuan terapi ini. Saya juga menjadi lebih terbuka, optimis, dan berpikiran postitif. Bagaimanapun jangan sampai saya dikendalikan oleh bipolar ini namun saya harus mampu mengendalikan penyakit ini. Saya juga harus bisa mendisiplikan diri, menghindari stres, jangan terlalu serius menjalani hidup, santai dan refreshing itu perlu. Miliki tujuan hidup dan cintailah orang-orang yang mencintaimu dan selalu berikan semangat bagi orang lain. Bipolar ini hayalah sebagian kecil dari hidup saya dari sebegitu besar hidup saya yang begitu berharga dan menyenangkan. Saya yakin bisa sembuh.

4.1.1.9 Faktor Pendukung dan Penghambat Terapi Pendampingan Psikososial

Rudy Widjaja sebagai seorang kepala keluarga mengatakan bahwa faktor penghambat adalah waktu keluarga yang terbatas untuk mendampingi Desy. Dia bekerja di sebuah perusahaan swasta di bidang perkebunan yang membuatnya sering pergi ke luar kota. Istrinya juga harus menjaga usaha dagang yang terletak di samping rumah mereka. Yuliana, sebagai adik juga memiliki cukup kesibukan di kampusnya sebagai seorang pelayan persekutuan mahasiswa kristen. Namun mereka memanfaatkan teknologi yang ada. Setelah melakukan psikoedukasi, Desy mengetahui gejala-gejala bipolarnya. Ketika gejala muncul dia akan langsung mengirimkan pesan singkat atau sms pada keluarganya, lalu keluarganya akan menjadi teman cerita dan memberikan dukungan semangat. Setidaknya Desy tidak dibiarkan sendiri. Universitas Sumatera Utara Faktor pendukung yang sangat dominan dalam perawatan bipolar Desy adalah pada kehangatan keluarga. Cinta dan kasih sayang. Keluarga Widajaja ini sangat indah, mereka peduli satu sama lain, perbedaan pendapat memang ada namun tidak membuat mereka berselisih dan beradu argumen. Saling berbagi cerita dan saling mendoakan peneliti lihat sebagai sebuah kebiasaan baik di keluarga yang hangat ini, bukan hanya sebatas terapi namun bagian dari tradisi keluarga Widjaja. Selain itu hobi keluarga dalam bermusik dan fotografi sangat mendukung proses pendampingan. Fasilitas yang tersedia pun cukup baik untuk digunakan sebagai teknik koping dalam penyaluran energi dan emosi Desy. 4.1.2 Deskripsi Objek Penelitian 2 4.1.2.1 Profil CG Girsang Pertama kali peneliti bertemu dengannya pada sore hari di sebuah rumah sakit di Kota Medan. Dia adalah seorang dokter muda berusia 28 tahun berbadan tegap dengan kulit sawo matang. Wajahnya tampan namun karakternya terlihat cukup keras dan tegas. Tatapan matanya cukup tajam di balik kacamata tipisnya dengan suara serak yang berat namun berwibawa. Siapa yang tahu bahwa lulusan Fakultas Kedokteran salah satu perguruan tinggi negeri di Medan ini memiliki riwayat gangguan mental, namun dia membuktikan bahwa dia mampu berhasil. Gustaf, nama sengaja disamarkan, merupakan anak tunggal dari sebuah keluarga berkecukupan yang terdiri atas ayah yang merupakan seorang tentara dan ibu yang berprofesi sebagai seorang profesor muda di salah satu perguruan tinggi Universitas Sumatera Utara swasta di Kota Medan. Terlahir di keluarga berpendidikan membuatnya mampu untuk bersekolah di sekolah swasta katholik terbaik di kota Medan dari SD hingga SMP. Dengan kemampuan akademisnya yang baik dia pun mampu menembus salah satu national boarding school atau sekolah semi militer terbaik yang terkenal sebagai sekolah bergengsi dengan lulusan-lulusan unggulan di Indonesia yang berlokasi di Magelang, Jawa Tengah. Ayahnya sangat berharap dia menjadi seorang anggota militer dan memaksanya masuk ke sekolah favorit tingkat nasional tersebut. Sebagai anak tunggal, bukan sifat manja yang diajarkan oleh kedua orangtuanya. Namun kedisiplinan tingkat tinggi. Diakuinya, seringkali bila lalai mengerjakan sesuatu maka tidak hanya hukuman verbal yang dia terima namun juga hukuman fisik berupa pukulan sapu, tamparan, cubitan, hingga dipecut dengan menggunakan ikat pinggang. Saya diajarkan dengan didikan yang mengagungkan kesempurnaan. Perfeksionis. Saya dilatih olahraga fisik secara paksa sejak kecil oleh bapak saya agar menjadi orang yang kuat. Saya dipaksa untuk makan banyak setiap harinya oleh mama saya agar bertumbuh menjadi orang yang besar. Dan saya juga dipaksa untuk belajar rajin agar selalu mendapatkan peringkat pertama di kelas. Setiap saya mau main, saya dilarang. Akhirnya saya malah kabur lewat pintu belakang. Tapi saya selalu dapat ditemukan bapak dan dia pukul saya di depan teman-teman saya. Gustaf terlihat sedih saat menceritakan masa lalunya. Matanya terlihat berkaca-kaca. Dia mengaku begitu kesepian saat kecil dan selalu merasa cemas saat orang tuanya ada di rumah. Pertengkaran ibu dan ayahnya selalu membuat dia mengantuk-antukan kepalanya ke tembok dinding kamarnya hingga beberapa kali berdarah namun tindakan itu selalu dia sembunyikan dari kedua orang tuanya. Pun Universitas Sumatera Utara Gustaf mengaku jujur bahwa dia sempat membenci kedua orang tuanya dan sangat senang bila orang tuanya tidak ada di rumah. Wawancara dan observasi pada Gustaf dan pendamping dilakukan selama dua hari pada tanggal 1 dan 2 Mei 2013.

4.1.2.2 Riwayat Bipolar Disorder

Walaupun didiagnosa mengalami manik depresif yang kemudian dikenal sebagai bipolar disorder pada tanggal 8 Desember 2002, Gustaf mengatakan bahwa gejalanya sudah timbul sejak masa remajanya. Gejala-gejala itu timbul sangat kuat ketika dia berada jauh dari keluarganya saat bersekolah di SMAN unggulan semi militer di Magelang. Awalnya dia sangat senang karena akhirnya dia merasa bebas dari cengkeraman kedua orangtuanya. Itulah masa paling membahagiakan yang pernah dia rasakan sseumur hidupnya. Kehidupan barunya pun dimulai. Sebagai seorang siswa perantauan baginya tidak sulit untuk mendisiplinkan diri karena sudah dididik sejak kecil dengan cukup keras oleh orang tuanya. Baginya didikan di sekolahnya tidak lebih kejam dari didikan orang tuanya. Gustaf sangat menikmati kehidupan di asramanya. Disinilah gejala maniknya mulai muncul. Sebagai seorang pemuda batak berwajah tampan tidak heran bila banyak siswa perempuan yang menyukainya di sekolah. Dengan kemampuan akademisnya yang cemerlang dan kemampuan olahraganya yang hebat dengan mudah dia menjadi populer. Masuk kelas unggulan dan menjadi kapten tim basket di sekolahnya. Cap playboy pun dia dapatkan. Namun itu tidak mengurangi kharismanya. Dia memiliki banyak teman Universitas Sumatera Utara wanita dan itu dianggapnya sebagai sebuah kesenangan. Gustaf mengakui bahwa dia sempat terjebak dalam aktivitas seks bebas bersama seorang mantan pacarnya saat sekolah dulu. Memasuki pertengahan tahun ketiga, dia sempat bertengkar hebat bersama seorang teman sekamarnya masalah pembagian kelompok tim basket. Emosinya meledak-ledak. Dia selalu merasa paling hebat dan tidak pernah mau kalah. Tanpa kontrol dia meninju dan memukul temannya. Teman-teman yang melerai mereka ikut dipukuli satu per satu. Anehnya, walaupun akhirnya harus dihukum oleh pihak yayasan sekolah dan dipindahkan kamar, Gustaf tidak seperti punya masalah. Dia malah tertawa puas ketika temannya dibawa ke rumah sakit. Setelah saya dipisahkan kamar sendiri, saya mulai merasa kesepian lagi. Saya sering merasa cemas lalu pergi keluar kamar untuk bermain basket. Namun tertangkap petugas keamanan. Di kamar saya sering mengantuk-antukan kepala lagi hingga berdarah. Ketika ditanya kenapa luka, saya menjawab karena terpeleset di lapangan basket. Pacar saya saya putuskan satu per satu. Mereka yang menjadi sumber kesenangan saya sekarang berasa tidak berarti apa-apa. Mereka menangis setelah pulang sekolah namun saya tidak peduli. Cuek.

4.1.2.3 Keberfungsian Sosial

Depresi yang dialami oleh Gustaf ditandai dengan gejala perasaan kesepian dan cemas yang berlebihan yang dia rasakan dengan diikuti tindakan aktif mengantuk-antukan kepala di tembok hingga berdarah. Depresi seperti ini persis dialami ketika masa kecilnya. Semenjak kasus pertengkarannya dengan teman sekamarnya, Gustaf pun mulai sering murung. Tiba-tiba saja dia mengundurkan diri dari klub basket. Dia jadi lebih sering tidur dibandingkan belajar. Daftar hukuman yang diterimanya Universitas Sumatera Utara semakin menggunung karena dia selalu terlambat mengikuti pelajaran di kelas. Peringkat kelasnya menurun drastis dari peringkat pertama menjadi urutan dua puluh. Teman-temannya merasa heran, khususnya mantan pacarnya. Mantan pacar saya itu menangis dan menanyakan kondisi keadaan saya di kamar suatu hari. Saya hanya diam, tapi saya beranikan mencium dia dan terjadilah hubungan yang seharusnya tidak terjadi itu. Itu sudah terjadi berulang kali. Tapi entah kenapa saya menikmatinya dan meminta mengulanginya lalu berjanji akan menceritakan masalah yang sebenarnya kalau dia mau melakukan hal itu lagi. Tapi dia malah menangis terus lalu menampar saya dan mulai menjauhi saya. Begitulah. Gustaf sendiri tidak tahu tentang apa yang terjadi di dalam dirinya sendiri, dia kadang tidur terlalu lama bahkan terlalu sedikit. Begitu pula dengan makan, dia sering dihukum karena tidak menghabisi makanannya. Dia seperti kehilangan motivasi, tidak memiliki harapan, dan kharismanya seperti menghilang begitu saja.

4.1.2.4 Risiko Bunuh Diri

Diakui Gustaf bahwa tindakan mengantuk-antukan kepala yang kerap dia lakukan merupakan aktivitasnya untuk membunuh dirinya. Itu sudah sering dia lakukan. Namun yang paling ektrim adalah saat kegiatan bakti sosial membersihkan desa. Itulah kesempatan baginya untuk bisa keluar dari asrama. Diam-diam dia membeli minuman keras beralkohol dalam bentuk kaleng di salah satu kedai. Lalu sore harinya, ketika sudah sampai kamar dia mengeluarkan beragam jenis obat-obatan yang dia curi dari ruang kesehatan lalu dia campurkan berpuluh-puluh pil dan kapsul obat itu ke dalam kaleng berisi minuman alkohol berkarbonasi dan meminumnya. Universitas Sumatera Utara Sebelumnya, Gustaf sudah menulis sebuah surat yang ditujukan kepada kedua orang tuanya. Semacam surat wasiat. Dia pun ditemukan sudah dalam keadaan terkapar di kamarnya dengan hidung mengeluarkan darah dan wajah pucat oleh salah satu temannya yang akan menjemputnya makan malam. Gustaf langsung dibawa ke rumah sakit sehingga nyawanya dapat diselamatkan dengan cepat.

4.1.2.5 Hubungan Sosial

Saat dalam kondisi manik saya merasa seperti seorang pahlawan, punya banyak penggemar. Saya angkuh sekali dan selalu meremehkan orang lain. Di dalam pikiran saya selalu muncul pemikiran kalau sayalah orang paling hebat di sekolah ini. Yang lain itu di bawah saya. Karena itulah banyak yang mungkin kurang menyukai saya dan mulai bertengkar dengan saya. Saya tetap cuek karena saya tetap punya banyak idola. Ekspresi wajah Gustaf sempat bersemangat dihiasi dengan senyum yang memperlihatkan deretan giginya yang rapi namun tiba-tiba berubah menjadi muram ketika menceritakan episode depresi yang dialaminya. Saat mengalami episode depresi yang saya belum tahu bahwa itu depresi, saya mulai sering menarik diri dari pergaulan. Selesai kelas, biasanya saya langsung bermain basket namun saya memilih buru-buru pulang dan tidur. Setelah bangun saya selalu merasa sedih dan mengantuk- antukan kepala hingga berdarah. Hubungan saya dengan guru memburuk, saya sering melawan dan marah-marah tidak jelas. Saya merasa penggemar saya semua menghilang. Melupakan saya. Saya merasa hidup sendiri. Nilai-nilai saya jatuh. Saya yang biasa diandalkan menjadi pemimpin kelompok saat itu mulai tidak dihiraukan. Bahkan tidak ada yang mau memasukkan saya ke dalam kelompok mereka.

4.1.2.6 Terapi Psikososial untuk Peningkatan Keberfungsian Sosial

Akhirnya, Gustaf bisa lulus dari sekolah tersebut walaupun bukan dengan nilai cemerlang seperti yang sebelumnya dia ukir. Dia lulus dengan nilai rata-rata Universitas Sumatera Utara saja. Melihat hal ini, orang tuanya menjemputnya pulang ke Medan dengan marah-marah dan Gustaf semakin cemas akan siksaan fisik yang akan dihadapinya. Dia melanjutkan bimbingan belajar di Kota Medan. Dia mulai berani melawan kedua orangtuanya dan bersikeras tidak mau masuk akademi militer dan ingin menjadi dokter saja. Setelah mengalami kekerasan fisik dan melihat kekerasan hati anaknya, akhirnya orang tuanya setuju dengan pilihan Gustaf untuk mengambil jurusan kedokteran. Tapi usahanya sepertinya belum maksimal, dia gagal lulus ujian masuk fakultas kedokteran. Emelda sang Ibu yang peneliti wawancara via skype karena sedang berada di Jakarta menceritakan kondisi anaknya dengan sedih. Setelah pengumuman kelulusan itu, dia lebih sering keluar rumah. Main entah kemana. Pulang langsung ke kamar. Tidur. Sekali-kali saya lihat dia sedang mengantuk-antukan kepalanya, saya pun kaget dan marah- marah. Tapi dia langsung dorong saya dan usir saya dari kamar. Dia tidak pernah seperti itu sebelumnya. Tiap bapaknya pulang dia juga sering bertengkar dengan bapaknya. Sudah berani dia melawan dengan fisik pula bahkan mengancam bunuh diri dengan bawa-bawa pisau. Untunglah bapaknya bisa mengendalikan marahnya. Waktu itu saya menangis dan menyadarinya sepertinya anak saya sedang depresi dan itu karena saya. Setelah itu, Emelda berinisiatif menitipkan Gustaf di rumah kakak perempuannya, Evelin, di Bogor. Kebetulan dia bekerja sebagai seorang psikiater. Disana akhirnya diketahuilah bahwa Gustaf mengalami gangguan bipolar. Saat itu usianya adalah 19 tahun. Terapi medikal dan terapi kognitif pun dijalankan di bawah asuhan Evelin. Gustaf akhirnya mengetahui penyakit gangguan mentalnya setelah melakukan konseling dan psikoedukasi. Gustaf diajarkan teknik koping sebagai penyaluran Universitas Sumatera Utara emosi. Gustaf memilih basket. Sambil melakukan aktivitas bimbingan belajar, Gustaf masuk dalam salah stau tim basket di kompleksnya bersama dua orang sepupunya Anton dan Daniel yang juga ikut memantau dan melakukan pendampingan terhadap Gustaf. Secara kebetulan di rumah mama tuanya itu tersedia ruangan musik milik anaknya, Gustaf pun berusaha menyalurkannya dengan belajar drum pada sepupunya, Anton. Saat gejala mania atau depresinya muncul dia lalu akan berkespresi menggebuk drum untuk pelampiasan emosi. Teknik koping yang saya pakai cukup bermanfaat, sebelum saya melakukan hal-hal aneh, saya sudah meluapkannya terlebih dahulu ke dalam olahraga dan juga drum. Obat-obatan penstabil mood dan anti depresan juga harus saya konsumsi sehingga saya bisa melakukan kegiatan sehari-hari saya dengan lancar. Selain itu, saya juga punya mood journal atau mood chart untuk diisi setiap harinya dengan rutin untuk melihat perkembangan saya. Dan yang terpenting adalah dukungan keluarga baru saya bersama mama tua Evelin dan kedua sepupu saya yang memberikan perhatian dan pendampingan yang cukup sehingga saya mampu bertahan untuk tidak mengantuk-antukan kepala dan mengurung diri lagi.

4.1.2.7 Terapi Psikososial untuk Penurunan Risiko Bunuh Diri

Gustaf mengatakan bahwa sangat sulit untuk mengatakan kondisi dan meminta bantuan orang lain terhadap perasaan sedih dan putus asa yang datang secara tiba-tiba dan tidak diketahui alasannya. Itulah penyebabnya melakukan tindakan bunuh diri. Mencari jalan singkat yang sebenarnya salah dan tidak layak untuk dilakukan. Pemikiran bunuh diri selalu datang kala episode depresi menyerang, bahkan hingga saat ini. Namun kali ini tidak diikuti oleh tindakan atau upaya nyata bunuh dirinya. Itu yang diungkapkan Gustaf. Seorang bipolar harus Universitas Sumatera Utara memiliki orang yang bisa mereka percaya dan mempercayai mereka. Oleh karena itu Gustaf memlih, Debora, calon teman hidupnya. Mereka sama-sama berprofesi sebagai dokter. Debora dua tahun lebih muda dari Gustaf. Terapi pendampingan psikososial yang dilakukan oleh Debora adalah dengan menjadi sahabat atau pendamping yang setia bagi Gustaf. Aku menerima Bang Gustaf apa adanya. Aku biasa melakukan olahraga bareng dia seperti basket dan tenis. Kami punya satu jurnal atau buku harian yang sama, itu adalah salah satu teknik koping pendampingan ini. Jadi aku tahu apa yang dia rasakan dan dia juga mengetahui apa yang aku rasakan. Dia tidak merasa sendiri. Selain itu aku sering ajak dia menjadi relawan atau mengunjungi panti asuhan atau panti jompo untuk menanamkan sifat afeksi. Karena sesungguhnya ketika kita sedang menolong orang lain kita sedang menolong diri kita sendiri. Debora juga menyediakan alat rekam elektronik untuk Gustaf. Jadi, ketika Gustaf butuh cerita dan dia sedang tidak bisa diganggu maka Gustaf akan merekam suaranya dan menceritakan apa yang ada di dalam pikirannya. Debora juga sering mengajak Gustaf ikut ke dalam pertemuan-pertemuan komunitas skizofrenia yang memiliki gangguan mental. Debora berharap dengan cara ini maka Gustaf akan termotivasi dan semakin menghargai hidupnya.

4.1.2.8 Hasil Terapi Pendampingan Psikososial

Setelah dilakukan terapi pendampingan psikososial yang sifatnya mengarah pada afeksi dan penanaman mentalitas positif oleh Keluarga Evelin, Gustaf pun semakin bisa mengendalikan dirinya. Dia memiliki penyemangat baru dan semangat baru. Teknik koping dan pendampingan membuatnya bisa melampiaskan emosi terpendamnya secara positif. Bila keinginan untuk mengantuk-antukan kepala hingga berdarah kembali muncul maka dia akan Universitas Sumatera Utara mencari lapangan basket dan bermain basket atau menggebuk-gebukan drum dan memainkan musik bersama kedua sepupunya. Dia bisa melalui hidupnya dengan normal dibantu dengan obat-obatan dan bisa lulus di fakultas kedokteran yang dia idamkan dan memiliki cita-cita mulia untuk menolong orang lain sebagai dokter. Begitu pula bila episode depresinya muncul dan dia berpikiran untuk mati, dia akan langsung melakukan teknik koping dengan menulis jurnal harian yang dimilikinya bersama Debora dan merekan suaranya dalam sebuah alat rekam elektronik. Lalu berbagi beban bersama Debora. Teknik itu membuatnya bisa menjalani kehidupan dengan lebih baik saat ini.

4.1.2.9 Faktor Pendukung dan Penghambat Terapi Pendampingan Psikososial

Gustaf hanya memiliki sedikit teman dan itulah yang menyulitkan dirinya untuk mencari pendamping terapi yang mau membantunya. Tapi untungnya Debora bersedia dan menerima Gustaf. Orang tua adalah penghambat emosi utama bagi Gustaf karena tiap memikirkan mereka emosinya akan sangat tersulut luar biasa. Namun untungnya psikiater dan Debora sebagai pendampingnya bisa memberikan afeksi dan dukungan. Gustaf sudah mengampuni kedua orang tuanya. Beban pikiran dan stres yang menjadi pemicu bipolarnya sudah sedikit menghilang. Kali ini dia memiliki harapan untuk hidup lebih baik dengan memanajemen diri, pikiran dan spiritualitas dengan baik. Universitas Sumatera Utara 4.1.3 Deskripsi Objek Penelitian 3 4.1.3.1 Profil Adolf Oliver Simanjuntak Pada hari pertama, peneliti awalnya hanya bertemu dengan ibu dari Adolf, Ike Maha. Dikatakan Ike, Adolf masih segan bertemu dengan orang yang baru dikenalnya apalagi bagi orang yang ingin mengetahui masalah gangguan bipolar yang dideritanya. Satu hari peneliti peneliti tidak dapat waktu wawancara dengan Adolf hanya mampu mengobservasi dan mewawancarai keluarganya saja. Selama proses observasi, peneliti diizinkan menginap di rumah Keluarga Simanjuntak tersebut yang terletak di sebuah perumahan yang cukup elit di Kota Medan. Peneliti sengaja meminta satu kamar dengan Adolf untuk mempermudah interaksi komunikasi. Adolf tidak menolak dan mengizinkan. Adolf saat ini sedang duduk di bangku kelas XII di salah satu sekolah negeri favorit di Kota Medan. Dia baru saja menyelesaikan Ujian Nasional saat peneliti melakukan observasi. Remaja manis dan lembut kelahiran 1996 ini memang sangat pendiam namun cukup ramah. Aktivitas hariannya adalah belajar untuk persiapan masuk perguruan tinggi negeri dan juga persiapan tes masuk sekolah tinggi di luar negeri yakni Singapura. Kamarnya penuh dengan poster-poster animasi dari Jepang. Tumpukan komik berjajar di meja belajarnya dengan rapi begitu pula dengan koleksi film- film Jepang dan mandarin yang dia miliki di rak khusus. Adolf adalah seorang otaku yakni sebuah sebutan bagi penggemar animasi atau manga dari Jepang. Selain itu banyak juga gambar-gambar atau komik strip hasil karyanya sendiri yang dia tempel di dinding kamarnya. Begitu artistik. Kamar yang sangat menyenangkan. Universitas Sumatera Utara Adolf adalah anak bungsu dari tiga bersaudara. Kakak tertuanya sudah menikah dan menetap di Jakarta sementara kakak keduanya sedang menempuh perkuliahan di Australia. Namun saat ini, di rumahnya sedang tinggal sepupunya yang bernama Theo. Theo adalah mahasiswa semester akhir yang sedang menyelesaikan skripsinya di fakultas ekonomi salah satu perguruan tinggi negeri di kota Medan. Berikut testimoni Theo tentang Adolf. Aku sudah tinggal dengan Adolf selama kurang lebih tujuh tahun sejak aku duduk di bangku SMA. Dia sudah seperti adik kandungku sendiri, bahkan aku lebih akrab dengan dia dibanding dengan adik kandungku sendiri di Batam. Adolf orangnya baik dan lembut. Tapi memang sangat pendiam. Kita jarang sekali bisa menebak kondisinya. Aku juga dulu sangat sulit mendekatinya. Aku cerewet sementara dia pendiam. Aku lebih banyak bicara dan dia lebih banyak mendengar. Adolf itu pendengar yang baik dan sangat mudah disukai oleh orang lain. Diakui Adolf, empat tahun terakhir mereka sudah cukup akrab dan Theo adalah satu-satunya teman berbagi cerita Adolf mengingat Ibunya sangat sibuk mengurusi perusahaannya yang bergerak di bidang asuransi dan ayahnya sudah cerai dengan ibunya saat Adolf berusia baru dua bulan. Saat ini Theo adalah pendamping tunggal, selain dokter, yang memiliki peran besar dalam proses pemulihan bipolar Adolf. Proses penelitian melalui metode wawancara dan observasi terhadap Adolf dan pendamping dilakukan selama tiga hari, 3-5 Mei 2013.

4.1.3.2 Riwayat Bipolar Disorder

Adolf baru saja didiagnosis mengidap gangguan bipolar pada bulan 15 Januari tahun 2013, dua hari setelah hari ulang tahunnya yang ke-17. Dia didiagnosis mengidap gangguan ini setelah dirawat inap masuk rumah sakit akibat Universitas Sumatera Utara upaya bunuh dirinya dengan mencoba menabrakan dirinya di tengah jalan protokol Kota Medan. Beruntung dia hanya terserempet dan mengalami luka ringan. Namun tindakannya yang disengaja ini membuatnya harus memeriksakan diri lebih mendalam. Dari buku harian dan jurnal online blog yang ditulis serta gambar- gambar yang dibuat Adolf, Theo menemukan gejala-gejala yang menjelaskan kondisi depresi serta mania sepupu kesayangannya itu. Tulisan-tulisannya selalu berisi kalimat-kalimat kekecewaan, rasa putus asa yang mendalam hingga puisi- puisi yang bertemakan tentang kematian. Semua kalimatnya menunjukkan rasa gelisah dan kecemasan yang begitu mendalam. Peneliti juga diizinkan untuk membaca beberapa buku hariannya dan mendapati perasaan-perasaan Adolf yang bergejolak seperti luapan amarah, emosi sedih yang berlebihan serta keinginan untuk mati dan dilahirkan kembali dengan sosok yang berbeda. Perasaan-perasaan serta emosi terpendam Adolf tidak hanya terlihat dari tulisannya namun juga dari gambar-gambarnya yang dia buat. Gambar tentang kematian serta bunuh diri serta ilustrasi-ilustrasi menyeramkan penuh darah. Namun ada yang unik, dalam beberapa kejadian hidupnya kita bisa merasakan perasaan sangat bahagia dan berbunga-bunga yang luar biasa dari Adolf. Tulisan-tulisannya menggambarkan betapa bahagia dan beruntungnya dia hidup di dunia ini. Gambar-gambarnya pun melukiskan sesosok pahlawan bernamakan dirinya yang menjadi penyelamat dunia dan dia terlihat sedang menebarkan cinta kepada setiap manusia. Sangat kontras sekali. Universitas Sumatera Utara Pada malam ketiga setelah peneliti menginap di kamar Adolf dan selesai membaca buku hariannya, akhirnya Adolf pun mau bercerita dan berharap kisahnya bisa membantu pengidap bipolar lainnya. Dia mulai menceritakan kisahnya dengan tampak masih malu-malu. Aku sendiri kurang tahu aku kenapa, tiba-tiba saja aku sering mengalami perasaan putus asa yang datangnya secara tiba-tiba padahal aku tidak memiliki masalah apa-apa. Hidupku baik-baik saja. Aku memang pendiam tapi aku cukup merasa bahagia. Aku juga seringkali merasa sangat khawatir dan kosong. Rasanya ingin mati saja. Seram sekali. Aku meluapkannya dengan menulis serta menggambar. Aku malu bercerita dengan Ibu, kakak atau abang sepupuku, Theo. Aku takut dibilang gila makanya aku diam saja. Tapi kadang-kadang ketika bangun tidur aku merasa sangat damai, tenang, dan hidupku serasa indah. Pikiran ingin matiku sekejap hilang begitu saja. Aku sangat mencintai kehidupan. Itu terus berlangsung sejak aku SMP sampai SMA. Puncaknya setelah aku merayakan ulang tahun kecil-kecilan di rumah. Aku sorenya pergi berjalan-jalan dengan Theo. Aku sedih sekali dan rasanya menyakitkan. Aku meminta Theo menghentikan motornya lalu aku tiba-tiba lari ke tengah jalan mencoba untuk menabrakan diri. Adolf setelah itu dibawa ke rumah sakit dan berteriak-teriak meracau ingin mati dan menangis. Kemudian dia dibawa ke bangsal psikiatri diberi obat penenang. Setelah keluarga dan Adolf melakukan konseling dengan dokter akhirnya diketahui bahwa gangguan bipolar Adolf adalah pengaruh biologis genetis dari ayahnya yang memiliki riwayat serupa yaitu manik depresif.

4.1.3.3 Keberfungsian Sosial

Ike mengakui dengan perasaan bersalah kalau dirinya kurang memantau kondisi anaknya yang selama ini dirasa baik-baik saja. Ike terlalu sibuk dengan pekerjaannya di luar. Satu-satunya orang yang dengan sangat jelas melihat gangguan keberfungsian sosial yang dialami oleh Adolf adalah Theo. Universitas Sumatera Utara Diceritakan Theo bahwa Adolf memang pendiam namun dalam beberapa kesempatan dia akan terlihat sangat cerewet atau aktif sekali. Dia akan terus menggambar dari pagi hingga malam sampai tidak masuk sekolah hanya karena ingin menyelesaikan gambar komiknya. Namun dalam beberapa kesempatan Adolf sering terlihat sangat letih seperti kehilangan energi dan tidak tersenyum. Dia benar-benar pendiam total tanpa ekspresi. Theo juga beberapa kali mendapati rokok dan minuman keras di kamar Adolf. Ketika ditegur mengenai hal itu, Adolf hanya diam lalu pergi ke luar rumah dan pulang tengah malam. Bahkan pihak sekolah pernah suatu hari menelepon ke rumah Adolf untuk mengabari bahwa sudah dua minggu Adolf tidak masuk sekolah, padahal setiap pagi Theo mengantarkan Adolf pergi ke sekolah. Kalau sedang dalam kondisi gelap seperti itu biasanya aku mencoba mencari penenang seperti rokok dan minuman beralkohol. Masuk sekolah hanya membuatku tambah pusing dan ingin marah-marah, jadi aku cukup menghabiskan waktu dengan bermain game online. Aku rasa itu cukup membuatku tenang dan bisa menjauhkanku dari pikiran- pikiran mengerikan seperti ingin mati.

4.1.3.4 Risiko Bunuh Diri

Pikiran-pikiran bunuh diri sudah cukup sering dimiliki oleh Adolf namun upayanya baru dilakukan sekali. Itu pun karena dia sudah benar-benar muak dengan kondisi dirinya yang aneh. Namun dikatakan oleh Adolf bahwa tindakannya itu tidak dia rencanakan secara matang, dia hanya mengambil inisiatif yang tiba-tiba saja. Dia merasa begitu lelah dan memilih meminta tolong dengan cara melakukan upaya bunuh diri. Universitas Sumatera Utara Tiba-tiba di tengah wawancara Adolf berbisik lemah, Sebenarnya saya tidak benar-benar ingin mati, saya hanya ingin meminta tolong.

4.1.3.5 Hubungan Sosial

Adolf memang tidak memiliki banyak teman dan jarang sekali mengobrol atau berbagi cerita dengan orang lain. Namun dia sangat ramah dan selalu menolong orang lain dengan tulus. Senyum yang selalu mengembang di wajahnya sudah merupakan bentuk interaksi sederhana yang dia lakukan dengan orang lain. Namun menurut pengamatan Theo, saat memasuki episode mania ataupun depresi, Adolf akan sangat menikmati kesendiriannya baik dengan perasaan bahagianya ataupun dengan perasaan sedihnya. Dia yang selalu berbagi cerita dengan Adolf sama sekali tidak mau bercerita apa-apa sama sekali. Terkadang dia lupa tugas sekolahnya dan terkadang terlalu banyak makan bahkan tidak makan dan keluar kamar sama sekali. Dia tampak menjauhi orang-orang di sekitarnya dan menikmati kesendiriannya. Kondisi menyendirinya yang paling parah adalah dua minggu lamanya.

4.1.3.6 Terapi Psikososial untuk Peningkatan Keberfungsian Sosial

Atas saran dari dokter yang menangani Adolf untuk pertama kali, Adolf diberikan obat-obatan yang digunakan untuk menanggulangi gejala dan mencegah kekambuhan seperti benzodiazepines, trileptal hingga abilify. Namun, Theo juga bertugas menjadi pemantau atau pendamping tunggal bagi terapi psikososial yang dilakukan Adolf. Universitas Sumatera Utara Untuk meningkatkan keberfungsian sosialnya kala episode mania, Theo mengajak Adolf untuk melakukan sosialisasi dengan komunitas penderita bipolar yang sama di Kota Medan. Hal ini agar Adolf merasa memiliki teman-teman seperjuangan yang memiliki masalah gangguan yang sama. Selain itu teknik penyaluran emosi positif atau teknik koping juga dilakukan oleh Adolf dengan bergabung bersama grup mural atau lukis dinding. Jadi, ketika energinya sedang meluap maka penyaluran seni ini cukup efektif untuk menstabilkan emosi atau perasaan Adolf. Ketika terlihat gejala-gejala episode depresi muncul pada Adolf maka Theo akan berusaha memberi nasehat pada Adolf, memberikan dukungan dan motivasi serta mengingatkan Adolf dengan tulus untuk terus berjuang. Theo juga akan mengajak Adolf untuk berolahraga seperti berlari dan melakukan refleksi malam sambil menggambar perasaan di atas kertas putih.

4.1.3.7 Terapi Psikososial untuk Penurunan Risiko Bunuh Diri

Untuk menurunkan risiko bunuh diri pada diri Adolf, sebagai pendamping, Theo tetap setia menjadi sahabat dengar, sahabat cerita dan sahabat rohaninya. Adolf diajak untuk bergabung di persekutuan pemuda gereja agar dia semakin dekat dengan Sang Pencipta dan semakin menghargai kehidupan. Theo juga kerap menyemangati Adolf dengan membuat gambar-gambar atau impian masa depan yang ingin mereka capai. Gambar-gambar itu seringkali dibuat dalam bentuk poster dan juga komik lalu ditempelkan di dinding. Terapi mendengarkan musik juga menjadi salah satu cara yang digunakan Adolf. Karena Adolf sangat menyukai musik Jepang dan cukup mengerti bahasa Jepang, maka Universitas Sumatera Utara mereka berdua memilih lagu-lagu Jepang yang memiliki makna positif dan penuh semangat. Sehingga ketika gejala-gejala depresi atau pikiran-pikiran bunuh diri muncul, Adolf hanya perlu memutar musik dari ponsel ataupun pemutar musik agar tetap bisa memandang positif dan menstabilkan kekacauan perasaan yang ada.

4.1.3.8 Hasil Terapi Pendampingan Psikososial

Setelah kurang lebih empat bulan diterapkan, hasil dari terapi pendampingan psikososial ini dirasakan cukup efektif. Sebagai contoh, setelah bergabung dan bertemu dengan kelompok sesama penderita bipolar Adolf semakin paham dengan apa yang sesungguhnya terjadi dengan dirinya. Kemampuan komunikasinya semakin meningkat. Pun begitu dengan rasa percaya dirinya. Adolf juga sudah memiliki teman cerita baru sesama bipolar melalui media online. Hal ini cukup membantu Adolf untuk menolong dirinya sendiri bila gejala-gejala episode bipolar datang menghantuinya. Adolf juga sudah semakin mampu mendisiplinkan dirinya dengan pemantauan Theo selaku pendamping. Pikiran-pikiran bunuh diri pun sudah mulai berkurang. Saat gejala depresi mulai muncul dia langsung melakukan teknik koping dengan menggambar hal-hal yang positif dan penuh warna sambil mendengarkan musik-musik Jepang penuh irama semangat. Bila itu tidak cukup membantu, Adolf akan mencoba menyibukkan diri dengan berolahraga mengajak Theo. Universitas Sumatera Utara

4.1.3.9 Faktor Pendukung dan Penghambat Terapi Pendampingan Psikososial

Hobi Adolf pada menggambar dan menulis serta mendengarkan musik sejak awal cukup mempermudah Adolf untuk melakukan teknik koping dalam terapi ini. Dia tidak perlu menyesuaikan diri lagi dengan hal-hal baru. Dia hanya cukup diarahkan untuk mengarahkan ekspresi dan peluapan emosinya ke arah yang positif. Adolf juga tidak memiliki masalah traumatis atau beban pikiran yang mendalam dalam sejarah hidupnya. Gangguan bipolar yang dideritanya murni karena masalah ketidakseimbangan hormon atau zat kimiawi di dalam otak. Pengaturan pola tidur dan menjaga pola makan bergizi, sehat dan seimbang menjadi salah satu hal yang tetap Adolf jaga untuk menjaga kesehatannya. Faktor penghambat adalah sedikitnya teman dekat yang dimiliki oleh Adolf. Namun lambat laun melalui komunitas sesama penderita gangguan bipolar dan komunitas mural, dia mulai memiliki teman berbagi yang baru walaupun membutuhkan proses adaptasi yang lebih lama. 4.1.4 Deskripsi Objek Penelitian 4 4.1.4.1 Profil Christina Siregar Kris, begitu biasa Christina Siregar dipanggil, adalah seorang wanita berusia 40 tahun kelahiran 1973 yang merupakan seorang ibu dari tiga orang anak laki-laki bernama Alex, Ricky dan Thomas yang berusia 16 tahun, 15 tahun, dan 12 tahun. Dia memiliki seorang suami bernama Franky Hulu yang bekerja sebagai Universitas Sumatera Utara seorang pegawai negeri sipil. Pekerjaannya adalah sebagai seorang pegawai bank swasta di Kota Medan namun karena gangguan bipolar yang dideritanya dia beralih profesi membuka usaha katering di rumahnya lima tahun lalu. Kris adalah seorang wanita pekerja keras dan sangat cerewet namun sangat sayang akan keluarganya. Ketiga putra serta suaminya sangat mencintai dia. Hal itu terlihat dari kekompakan keluarga mereka ketika peneliti datang berkunjung selama tiga hari untuk melakukan wawancara dan observasi. Namun siapa yang menyangka bahwa tiga orang di antara mereka ternyata didiagnosis mengidap gangguan bipolar. Wawancara dan observasi terhadap Christina dan pendamping dilakukan selama dua hari, tanggal 7 dan 8 Mei 2013.

4.1.4.2 Riwayat Bipolar Disorder

Kris didiagnosa oleh dokter mengidap penyakit bipolar disorder pada tanggal 19 April 2003 ketika dia berusia 30 tahun. Dia mulai mengalami depresi setelah melahirkan anak ketiganya, Thomas. Pada riwayat hidupnya Kris yang tampak sangat periang ini ternyata memang memiliki riwayat stres yang cukup pelik. Pada saat usianya masih 12 tahun dia harus menerima kenyataan bahwa ibunya harus meninggal dunia karena penyakit kanker otak. Dua tahun setelahnya ayahnya ditangkap oleh polisi dan dipenjara karena terlibat kasus peredaran narkoba. Begitu pula dengan kakak laki-laki satu-satunya yang harus menikah muda karena kasus pemerkosaan di tahun yang sama dengan penangkapan ayahnya. Hidup di tengah keluarga yang penuh masalah secara tidak langsung mempengaruhi gangguan mental Kris. Universitas Sumatera Utara Beruntung dia tetap bertahan dan berjuang untuk hidup mandiri dengan berjualan membantu tantenya. Tetapi diakuinya sejak masalah-masalah keluarganya itu hadir dia selalu merasa tidak aman dan selalu merasakan ketakutan dan kesepian. Saya tidak pernah tahu kalau masalah saya ini akan mempengaruhi anak-anak saya, karena setelah diperiksa kedua anak tertua saya menderita gangguan mental yang sama yaitu gangguan bipolar pada tahun 2010. Saya sangat terpukul dan merasa terpukul karenanya. Suami saya juga sangat sedih namun tetap berjuang untuk keluarga saya

4.1.4.3 Keberfungsian Sosial

Tidak pernah ada yang menyangka bahwa tiga dari lima anggota keluarga Hulu ini mengalami gangguan bipolar. Kris misalnya, masa kecilnya yang kelam membuat dia harus menelan kepahitan dan mengalami pseudoseizure yaitu kejang tubuh karena emosi jiwa yang tidak dikeluarkan atau dipendam pada usia 14 tahun. Pseudoseizure ini juga dialami oleh kedua anaknya, Alex dan Ricky. Episode mania adalah episode yang cukup sering menghinggapi Kris. Saat-saat seperti itu dia akan sangat sulit untuk mengontrol dirinya saat berbelanja. Kris pernah menghabiskan seluruh uangnya hanya untuk berbelanja. Hal itu dikarenakan sulit baginya untuk berpikir panjang karena memiliki ide-ide yang datang begitu cepat. Franky sebagai kepala keluarga akhirnya sempat hampir menceraikan Kris karena tindakan istrinya itu yang sangat boros dan royal namun niat itu diurungkan dan dia mengambil alih pengelolaan keuangan. Ditambahkan Franky, pekerjaan Kris di bank pun menjadi terbengkalai karena dia seringkali mengambil keputusan-keputusan besar yang berisiko dan tergesa-gesa yang akhirnya akan merugikan nasabah, perusahaan dan kantornya. Sehingga Franky sering Universitas Sumatera Utara direpotkan karena masalah ini. Salah satu masalah keputusan berisikonya adalah memberi pinjaman tidak sesuai prosedur dan seringkali menganggap uang bank seperti uangnya sendiri. Akhirnya diputuskanlah agar Kris segera untuk mengundurkan diri untuk menghindari masalah yang lebih besar lagi. Kris juga menmbahkan bahwa ketika manianya datang dia akan cenderung hiperaktif, hobi berjalan-jalan tanpa tujuan dan kenal waktu, sangat sulit fokus untuk orang lainsehingga menelantarkan kebutuhan anak-anaknya. Hanya fokus pada kesenangan diri sendiri. Mengalir seperti air saja, katanya. Dia sering lupa tugas memasak karena terlalu menikmati kegiatannya berbelanja. Saat episode depresi, seperti kebanyakan penderita bipolar lainnya dia akan cenderung menarik diri dari lingkungan sosial termasuk anak-anaknya, memiliki gairah seksual yang rendah dengan suaminya, mengalami kelelahan kronis, sulit berkonsentrasi dan fokus serta sering bertindak gegabah ketika membersihkan rumah, memasak atau mengurus anak. Hal ini membuat hubungannya dengan suami memburuk.

4.1.4.4 Risiko Bunuh Diri

Dalam kesedihan yang sangat mendalam, Kris pernah hampir menabrakan mobil yang ditumpanginya bersama kedua anaknya ke dinding pembatas sebuah pagar pembatas jalan. Itu tidak hanya dilakukan selama satu kali namun hingga dua kali. Pemikiran-pemikiran seperti itu muncul ketika Kris mengalami kebuntuan dan mencoba untuk menenangkan dirinya dengan cara-cara yang sangat ektrim. Setiap kali gagal menabrakan diri sendiri mobilnya, Kris sering menangis sambil Universitas Sumatera Utara memeluk anak-anaknya sambil meminta maaf. Kris masih ingat tahun kejadiannya adalah tahun 2000 dan 2001. Saat dalam kondisi mania dia pernah beberapa kali mengendarai kendaraan dengan kecepatan sangat tinggi dan berharap akan bisa cepat masuk surga. Pemikiran yang cenderung irasional namun sering terbersit di pikirannya dan dia lakukan. Akibatnya, Kris sempat beberapa kali berurusan dengan polisi pada tahun 2001, 2002 dan 2005.

4.1.4.5 Hubungan Sosial

Hubungan yang memburuk dengan orang-orang terdekatnya adalah salah satu ciri khas penderita gangguan bipolar. Dalam kasus ini, hubungan Kris dengan Fanky adalah hubungan yang paling rusak. Tindakan-tindakan gegabah dan menimbulkan banyak risiko membuat Franky mulai tidak mempercayai Kris. Begitu pula Kris, dia mulai tidak peduli dengan anak-anaknya yang masih butuh diperhatikan apalagi dua di antaranya ternyata mengalami gangguan yang sama. Hubungan dengan orang-orang di luar rumah pun ikut terganggu, Kris jadi sering lupa membayar uang listrik, air, iuaran kebersihan, hingga arisan rumah tangga kompleks. Hal-hal ini pada akhirnya menimbulkan masalah-masalah baru bagi keluarga Hulu. Keluarga menjadi bahan cibiran para tetangga karena Kris selalu lalai menjalankan peran sebagai perwakilan ibu wilayah dan sering menghindari tetangga-tetangganya. Universitas Sumatera Utara

4.1.4.6 Terapi Psikososial untuk Peningkatan Keberfungsian Sosial

Setelah didiagnosa, Franky pun mengerti tentang gangguan bipolar yang dialami oleh istri dan kemudian anak-anaknya. Psikoedukasi dia lakukan terhadap istrinya untuk pemahaman penyakit yang diderita istrinya. Franky juga berusaha untuk membantu Kris melakukan farmakoterapi secara teratur dengan seroquel dan obat anti psikotik. Untuk terapi psikososial Franky mencoba melakukan teknik koping dengan mengajak Kris untuk berkebun, juga bersama anak-anaknya. Hal ini dilakukan agar kebersamaan bersifat afeksi bisa lebih terjalin sekaligus menjadi sarana untuk menyalurkan energi istrinya dengan cara yang positif. Manajemen gangguan juga Franky lakukan untuk menghindari tindakan ekstrim yang akan dilakukan istrinya. Franky terus mengingatkan tugas, peran serta tanggung jawab istrinya sebagai istri dan ibu bagi anaknya secara lembut. Franky juga selalu siap sedia saat dibutuhkan istrinya untuk membantu memahami perasaan jiwanya. Jurnal harian juga diusahakan diisi oleh istrinya untuk pemantauan dan konseling. Agar lebih menarik mereka sekeluarga memiliki waktu khusus di malam hari untuk mengisi jurnal harian masing-masing dan saling membacanya bergantian. Hal yang sangat menarik untuk sebuah terapi pendampingan psikososial.

4.1.4.7 Terapi Psikososial untuk Penurunan Risiko Bunuh Diri

Menyadari bahwa istrinya sudah beberapa kali hampir menabrakan mobil yang dikendarai istrinya untuk melakukan bunuh diri membuat Franky takut membiarkan istrinya menyetir sendiri. Oleh karena itu, dia tidak membiarkan Universitas Sumatera Utara istrinya untuk membawa mobil sendiri untuk menghindari risiko yang bisa saja terjadi. Saya cukup sadar bahwa istri saya dan bahkan anak-anak saya sudah cukup menderita dengan gangguan bipolar yang mereka derita. Saya terus berusaha untuk menjadi suami dan ayah yang baik dengan tetap memberikan cinta dan kasih sayang yang tulus kepada mereka dengan dukungan dan semangat. Saya terus akan mengingatkan bahwa saya mencintai dan menyayangi mereka sepenuh hati. Keluarga adalah alasan saya untuk berjuang hidup dan bekerja. Saya selalu menyediakan waktu untuk mereka, melakukan kegiatan wisata bersama, rutin melakukan lari pagi bersama dan rutin melakukan sharing malam untuk belajar menerima keadaan yang ada dan tetap berjuang dengan segala kondisi yang ada. Salah satu hal yang juga kerap dilakukan oleh Kris adalah hipnoterapi. Biayanya memang cukup mahal, namun Franky tidak mempermasalahan hal itu. Baginya kesembuhan istri dan anak-anaknya adalah yang terutama untuk saat ini. Karena masalah gangguan bipolar memiliki kaitan yang erat dengan gangguan serotonin pada otak yang bisa menyebabkan depresi berlebihan maka Franky melakukan program masak sehat bersama keluarganya tiap akhir pekan. Mereka membuat beraneka macam masakan yang bisa meningkatkan kadar serotonin dan membuat kondisi mereka membaik seperti kue pisang cokelat, kue pisang keju, susu cokelat soda, sup protein dan beragam makanan yang mempu meningkatkan serotonin. Beberapa jenis makanan yang mereka masak juga akan mereka bagikan kepada tetangga secara langsung untuk kembali merekatkan hubungan Kris dengan tetangga.

4.1.4.8 Hasil Terapi Pendampingan Psikososial

Jurnal harian yang mereka buat secara bersama serta tekning koping berkebun cukup membuat kondisi keluarga mereka dalam keadaan yang baik. Kris Universitas Sumatera Utara sudah bisa mengurangi kecerobohannya dalam mengurus keluarga dan keuangan. Dia semakin menyadari bahwa dia memiliki keluarga yang harus dia jaga. Anak- anak dan istrinya tidak diterlantarkan lagi. Kris sudah mulai bisa memanajemen diri dan mengontrol dirinya dengan baik sebagai seorang Ibu dan suami yang harus di urus. Walau Kris sudah tidak diizinkan untuk membawa mobil sendiri namun hal ini tidak membuat dia marah pada suaminya. Perlindungan dan dukungan dari suaminya dia rasa sudah lebih dari cukup untuk membantunya bertahan. Dia juga rutin melakukan hipnoterapi dan konseling dengan dokter spesialis kejiwaannya untuk memantau perkembangannya. Pikiran-pikiran irasionalnya ulai berkurang. Kris menyadari hal yang sangat penting dalam terapi ini, ketika dia sungguh-sungguh mencintai orang-orang di sekitarnya, menebar kasih bagi orang- orang di sekelilingnya maka sesungguhnya dia sedang memberikan obat bagi pemulihan dirinya sendiri. Menyadari hal tersebut dia semakin menghargai cinta dan kasih sayang orang-orang di sekitarnya serta lebih menghargai kehidupan. Hal ini dibuktikan dengan keterlibatannya dengan kegiatan gotong royong dan bakti sosial di wilayah tempat tinggalnya.

4.1.4.9 Faktor Pendukung dan Penghambat Terapi Pendampingan Psikososial

Faktor penghambat dalam kasus ini adalah yang paling berpengaruh dalam kasus ini. Masalahnya adalah pendamping tunggal yakni, Franky. Sementara yang harus didampingi adalah tiga orang. Anak-anaknya berpotensi mengalami gejala lebih besar lagi mengingat kondisi Kris yang sering mereka lihat. Universitas Sumatera Utara Karena berada dalam keluarga yang sederhana dan seringkali harus menggantu biaya kerugian yang disebabkan oleh Kris, maka masalah keuangan atau finansial cukup menjadi penghambat mengingat biaya terapi perawatan dan obat-obatan yang tidak murah. Franky berjuang keras untuk ini namun dia mengatakan bahwa itu sudah tugas dia untuk memberikan cinta bagi keluarga. Saya tidak hanya mendampingi tiga orang tapi saya menampingi satu keluarga. Keluarga saya tercinta dan itu sudah merupakan tanggung jawab saya. 4.1.5 Deskripsi Objek Penelitian 5 4.1.5.1 Profil Yudha Pradana Yudha adalah seorang mahasiswa jurusan pendidikan ekonomi semester dua di salah satu perguruan tinggi negeri Kota Medan. Pribadinya terlihat ramah dan penampilannya selalu terlihat rapi. Walau masih muda namun kedewasaan tampak begitu kuat muncul dari sosok pribadi kelahiran tahun 1994 asal Batam ini. Saat ini Yudha tinggal di kontrakan belakang kampusnya bersama dua orang kakak sepupunya yang juga sedang menempuh perkuliahan. Peneliti disambut begitu ramah dan berkesempatan mengikuti aktivitasnya selama tiga hari. Dia termasuk anak yang rajin di kampusnya dan aktif di sebuah organisasi mahasiswa Islam. Yudha terlahir dari keluarga yang kurang harmonis di Kota Palembang. Ayah dan ibunya kerap bertengkar dan alkoholik. Peran orang tua benar-benar minim dirasakannya. Beruntung dia memiliki seorang kakak laki-laki yang Universitas Sumatera Utara berbeda usia lima tahun dengannya. Namanya adalah Fikri. Saat ini Fikri sedang melakukan magang kerja di Jepang. Yudha begitu mengagumi kakaknya yang tanpa dia sadari menjadi salah satu pemicu gangguan bipolar yang dideritanya kelak. Penelitian berupa wawancara dan observasi secara langsung dan menggunakan media terhadap Yudha dan pendamping dilakukan selama tiga hari, dari mulai tanggal 9 sampai 11 Mei 2013.

4.1.5.2 Riwayat Bipolar Disorder

Rasa kesepian dan ketakutan selalu menghantui Yudha sejak kecil. Kehangatan dan kasih sayang dari orang tua sama sekali tidak dia dapatkan. Kakak laki-lakinya, Fikri, yang merupakan seorang atlet junior cabang atletik di kotanya jarang berada di rumah dan baru pulang pada sore hari. Di sela-sela kesibukannya, Fikri selalu menyempatkan diri menanyakan kabar Yudha dan membelikan makan siang serta makan malam untuk Yudha. Peran orang tua sudah tergantikan oleh Fikri. Sejak kecil, aku selalu merasa takut kalau di rumah. Aku juga takut kalau bertemu orang tua padahal mereka sendiri bertingkah laku seakan-akan kami, anak-anaknya, tidak ada. Waktu SD tiap malam aku selalu bermimpi buruk, mengigau dan mengompol di celana. Tiap mengigau Bang Fikri yang berada di sebelah kamarku biasanya selalu terbangun dan membantu aku mengganti celana dan mengelap badanku dengan handuk hangat. Hal itu menjadi terbiasa dan aku sangat menikmati hal itu. Aneh memang. Yudha juga menceritakan bahwa suatu malam pada saat dia duduk di bangku kelas enam SD, saat usianya berusia 12 tahun, dia seakan-akan mendengar suara-suara yang berbisik. Yudha begitu takut, dia pun menangis lalu langsung Universitas Sumatera Utara mendatangi Fikri. Fikri terbangun lalu membawa Yudha untuk masuk kamar dan membantu menenangkan adik satu-satunya tersebut. Itu adalah ketakutanku yang paling besar, karena aku begitu cemas. Aku lalu meminta untuk tidur bersama Bang Fikri. Dan untuk pertama kalinya saat Bang Fikri mendekapku aku merasakan kehangatan yang sesungguhnya dari seorang manusia yang belum pernah aku dapatkan sebelumnya. Aku merasa tenang. Kehangatan dari seorang ayah yang tidak pernah aku dapatkan akhirnya aku dapatkan dari sosok abangku sendiri. Sejak saat itu aku tidak pernah bermimpi buruk lagi. Tapi ada yang aneh, aku terkadang menjadi suka marah-marah sama dia kalau dia pulang terlalu malam. Setiap dia terlihat bermain dengan teman-teman wanitanya, aku juga jadi sering merasa tidak suka. Seperti cemburu. Ya, aku tahu Bang Fikri memang menarik secara fisik dan dia atlet. Wajarlah kalau dia populer. Tapi aku merasakan sesuatu yang tidak wajar karena sepertinya aku mencintai abangku sendiri. Dididik dengan ajaran agama yang taat di sekolahnya yang merupakan sekolah Islam terpadu, membuat Yudha membuat sangat merasa bersalah dengan perasaan yang timbul di dalam dirinya. Dia memiliki pikiran bahwa dia tidak normal. Karena malu dan merasa tidak layak hidup beberapa kali dia mencoba kabur dari rumah, beberapa kali mencoba cutting atau bunuh diri dengan cara menyayat urat nadi dan juga mulai mengkonsumsi minuman keras atau alkohol dan rokok untuk menenangkan diri. Yudha didiagnosa mengidap gangguan bipolar pada 3 Mei 2009. Orang yang membantu Yudha untuk memeriksakan dirinya ke dokter spesialis kejiwaan adalah Fikri.

4.1.5.3 Keberfungsian Sosial

Dilanda traumatis kondisi keluarganya membuat Yudha sangat sulit untuk percaya orang lain. Hubungannya tidak baik dengan teman-temannya di sekolah. Diakuinya, dia selalu memasang sikap bermusuhan dengan orang lain. Sikap Universitas Sumatera Utara waspada dan sikap curiga yang berlebihan. Dia memiliki sebuah pemikiran bahwa semua orang memusuhinya dan semua orang ingin menyakitinya. Satu-satunya orang yang dia percayai adalah Fikri. Tetapi dia juga memiliki pemikiran bahwa dirinya cemburu dengan teman-teman wanitanya Fikri sehingga membuat dia sangat merasa bersalah. Di dalam pikirannya selalu muncul bahwa bila Fikri mengetahui kekagumam tersembunyi Yudha padanya, maka Fikri akan meninggalkan Yudha dan dia akan sendiri. Pikiran-pikiran itu yang kerap menghantui Yudha. Karena merasa selalu cemas, Yudha mulai mengisolasi diri, seringkali dia mengalami kesulitan tidur hingga tidak tidur berhari-hari serta mulai mengkonsumsi rokok dan alkohol yang dirasa dapat membantunya untuk tenang. Bila kondisinya cukup baik atau hipomania, Yudha akan sangat aktif berorganisasi dan sangat rajin. Cara bicaranya cenderung akan menjadi sangat cepat. Dia pun akan sangat sulit tertidur dan bisa melakukan aktifitas di tengah malam selama berhari-hari tanpa tidur. Saat dikonfirmasi via media sosial skype, Fikri, menceritakan kondisi Yudha. Yudha pernah mencoba kabur dari rumah sebanyak dua kali. Pertama adalah saat dia berusia 5 tahun. Waktu itu orang tua kami bertengkar hebat dan aku sedang tidak ada di rumah. Yudha pergi dan tidak pulang selama dua hari. Aku cemas hingga tidak bisa ikut pertandingan. Orang tua kami tidak menyadari hal itu dan aku melaporkan ke polisi. Dua hari kemudian Yudha ditemukan sedang ada di pasar kota. Yang kedua, adalah saat berusia 15 tahun. Dia menulis surat untukku yang mengatakan kalau dia tidak layak menjadi adikku. Seperti depresi. Dia menghilang lagi. Aku terus mencarinya dan menemukannya sedang berada di sebuah mesjid dekat SMPnya dulu. Setelah itu aku mencoba membawa dia ke dokter dan dia didiagnosa mengidap bipolar. Universitas Sumatera Utara

4.1.5.4 Risiko Bunuh Diri

Fikri kembali menceritakan bahwa seringkali Yudha terlihat sudah menyayat pergelangan tangannya dengan pisau dapur. Hal itu membuat Fikri ketakutan. Terkadang dia menemukan puluhan botol alkohol di kamarnya padahal dia masih muda. Karena hal itu seringkali dia harus dibawa ke rumah sakit. Karena kondisi adiknya, Fikri pun mengurangi jadwal latihan dan lebih sering menemani Yudha di rumahnya.

4.1.5.5 Hubungan Sosial

Hubungan sosial Yudha dengan orang-orang sekitarnya terlihat cukup buruk, khususnya pada orang tuanya. Komunikasi hampir mendekati skala nol. Bila ada keperluan keuangan atau hal-hal tertentu, Fikri yang biasanya akan menjadi perantara. Perasaan takut, cemas, mudah curiga dan tidak percaya dengan orang lain membuat Yudha sulit memiliki teman. Namun hal tersebut tidak membuat Yudha untuk tidak aktif beraktifitas dan melakukan aktifitasnya sehari- hari. Saat dalam kondisi hipomania atau bersemangat yang tidak terlalu ekstrim hubungannya dengan orang lain cukup baik, tidak menebarkan aura permusuhan namun tetap saja dia sangat kesulitan untuk bisa bergaul akrab dengan orang- orang di sekitarnya.

4.1.5.6 Terapi Psikososial untuk Peningkatan Keberfungsian Sosial

CBT atau Cognitive Behaviour Therapy dilakukan Fikri dan Yudha untuk memantau perkembangan kondisi perasaan, energi, pikiran, dan tingkah laku Yudha. Sebagai pemantau, Fikri selalu menasehatkan dan mengingatkan. Teknik Universitas Sumatera Utara pengungkapan dan penerimaan diri juga dilakukan oleh Yudha, dia menceritakan setiap beban hatinya secara jujur pada Fikri. Dengan bijaksana Fikri mendengarkan dan mencoba membantu pemulihan Yudha. Aku tidak menganggap adikku aneh. Itu adalah hal yang sangat wajar baginya untuk cemburu. Manusiawi. Dia hanya merasakan kesepian dan ketakutan. Tugas akulah untuk membantunya. Ketika masih berada di Palembang, Fikri juga sering mengantarkan Yudha untuk konseling dengan dokter dan disiplin mengkonsumsi obat-obatan seperti Trihexyphnidyl, Clozaril dan Haloperidol. Namun itu hanya dilakukan selama setahun, setelahnya pengaturan pola makan, pola tidur dan manajemen emosilah yang lebih mereka pakai. Untuk meningkatkan kepercayaan dirinya, Fikri juga mengajak Yudha untuk bergabung dengan support group bagi penderita depresi. Disana, Yudha belajar banyak cara teknik koping seperti membaca buku, menulis cerita hingga mendengarkan musik. Pengaturan pola tidur dan aktivitas harian juga sangat diperlukan oleh Yudha, untuk menjaga kestabilan perasaan.

4.1.5.7 Terapi Psikososial untuk Penurunan Risiko Bunuh Diri

Rasa kesepian, rasa bersalah yang kuat dan ketakutan yang besar adalah faktor pemicu Yudha melakukan upaya bunuh diri. Untuk itu dibutuhkan seseorang yang mau mendukung dan mengerti Yudha. Dialah Fikri. Karena Fikri sering jarang ada di rumah, Yudha mulai memelihara hewan peliharan seperti kucing dan ikan hias akuarium sebagai pengganti penyaluran Universitas Sumatera Utara afeksinya. Sebisa mungkin dia menghindari stres dengan aktivitas harian positif yakni mendisiplinkan diri untuk sholat, mengaji dan beramal. Dia juga mulai membuka komunitas bernama Stay Strong di kampusnya dan terlibat aktif di dalamnya. Ini merupakan support group bagi para remaja maupun pemuda broken home dan depresi atau ketergantungan narkoba. Ide ini awalnya digagas oleh Fikri yang selalu mendukungnya via online dari Jepang. Jarak bukanlah pembatas bagi mereka berdua untuk berkomunikasi. Yudha merasa, ketika dirinya menolong orang lain rasa puas dan bahagia yang timbul dalam dirinya membuat perasaannya menjadi tenang dan damai. Kedua kakak sepupu Yudha yang sekarang tinggal bersamanya menjadi pengganti pendamping yang biasanya dilakukan oleh Fikri.

4.1.5.8 Hasil Terapi Pendampingan Psikososial

Terapi yang sudah dijalankan kurang lebih selama empat tahun oleh Yudha menunjukkan hasil yang positif. Yudha sudah mulai bisa mengungkapkan dan menerima dirinya sendiri atas dukungan dan penerimaan Fikri. Konsep harga dirinya sudah membaik. Kecemasan, kesepian dan rasa takut yang berlebihan sudah mulai berkurang. Dia sudah mulai bisa bersosialisasi dengan orang lain, tidak takut memiliki teman dalam komunitasnya dan mampu berbagi afeksi. Hal ini dapat dilihat dalam keterlibatannya dalam komunitas dukungan yang dibentuknya dan organisasi kemahasiswaan Islam. Terapi dengan memelihara hewan peliharaan juga dirasa efektif baginya untuk berbagi afeksi. Aktivitas rutin berkaitan dengan aktivitas rohani juga Universitas Sumatera Utara membuatnya mampu untuk terus bertahan, berjuang dan mampu hidup secara normal.

4.1.5.9 Faktor Pendukung dan Penghambat Terapi Pendampingan Psikososial

Faktor traumatis yang cukup kuat yang berasal dari keluarganya membuat hal itu menjadi sebuah hambatan bagi Yudha untuk melakukan terapi pendampingan psikososial ini. Sangat sulit awalnya bagi Yudha untuk menerima keberadaan orang lain di sekitarnya saat menjalanai terapi pendampingan ini. Namun dukungan yang kuat serta penerimaan yang tulus akan kondisi atau keadaan Yudha oleh orang terdekatnya yaitu Fikri mempermudah proses ini. Kepercayaan, dukungan, serta keterbukaan menjadi awal yang baik untuk mendukung proses pemulihan.

4.2 Pembahasan