Seiring berkembangnya zaman, manusia dituntut untuk selalu bersifat produktif di segala bidang. Pekerjaan membuat manusia lupa waktu. Masalah dan
masalah mereka geluti setiap hari dengan harapan mendapatkan hasil yang maksimal. Terkadang manusia melakukan segala cara untuk mencapai suatu
tujuan tanpa mempedulikan akibat yang ditimbulkan. Mereka hanya mementingkan pemenuhan kebutuhan jasmani saja sehingga kebutuhan rohani
terabaikan. Itulah yang membuat seseorang sangat rawan terserang gangguan kesehatan mental seperti stres dan depresi.
Depresi inilah yang sangat berbahaya karena orang yang menderita depresi akan sulit berfungsi secara sosial dan berisiko tinggi untuk mengakhiri hidupnya
atau bunuh diri. Menurut Hervita Diatri, psikiater komunitas Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dan Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, 80 faktor
penyebab bunuh diri di Indonesia bahkan di dunia adalah depresi Julianto dalam Kompas Health, 2012.
Bila dicermati, dalam tiga tahun terakhir ada hal yang cukup membuat miris, menyangkut jumlah orang yang melakukan tindakan mengakhiri hidup atau
bunuh diri. Ketika mencari data dari pemberitaan sebuah koran selama tahun
2012, ada 80 berita tentang bunuh diri di Indonesia, dengan 83 korban. Isinya
beragam. Ada polisi mencabut nyawanya sendiri pasca menembak temannya, ada yang terjun bebas dari ketinggian, ada yang meracuni dirinya sendiri, menabrakan
dirinya sendiri di jalan tol hingga kasus dosen menggantung dirinya sendiri. Itu baru dari satu koran. Sebuah laporan menyebutkan di Indonesia ada
112 kasus bunuh diri pada tahun 2003 dan Badan Kesehatan Dunia atau World
Health Organization WHO menyebutkan pada tahun yang sama ada satu juta
Universitas Sumatera Utara
orang melakukan bunuh diri, atau 1 orang setiap 40 detik. Bunuh diri juga
merupakan salah satu penyebab utama kematian pada usia 14-34 tahun, di luar kecelakaan Adi dalam Klinik Psikis, 2008.
Pemimpin Uni Soviet, Joseph Stalin, pernah menyatakan bahwa kematian satu-dua orang boleh jadi adalah tragedi, tetapi ratusan, ribuan, apalagi jutaan
orang akan menjadi statistik belaka. Tetapi bagaimana jika diprediksi setiap hari ada 150 orang bunuh diri karena depresi di Indonesia? Pun diprediksi dalam
setahun jumlah orang bunuh diri di Indonesia mencapai 50.000 orang Julianto dalam Kompas Health, 2012. Hal ini seakan menyiratkan kegentingan bagi
kesehatan jiwa di Indonesia. Tahun 2005, Benedetto Saraceno, Direktur Departemen Kesehatan Mental
dan Penyalahgunaan Substansi WHO, menyatakan, kematian rata-rata karena bunuh diri di Indonesia adalah 24 kematian per 100.000 penduduk. Jika penduduk
Indonesia 220 juta jiwa, diperoleh angka 50.000 kasus kematian akibat bunuh diri. Data ini pernah diungkapkan A Prajitno, Guru Besar Emeritus Psikiatri
Universitas Trisakti, dalam Simposium Nasional Bunuh Diri, di Surabaya, April 2009. Data itu, menurutnya, terlalu tinggi untuk Indonesia. Angkanya begitu
tinggi karena ada depresi massal di Aceh pasca tsunami pada akhir tahun 2004. Data pun berkembang. Laporan WHO di tahun 2010 menyebutkan, angka
bunuh diri di Indonesia sudah mencapai 1,6 hingga 1,8 per 100.000 jiwa Kementerian Komunikasi dan Informasi, 2010. Walaupun angka ini masih lebih
sedikit dari negara Jepang yang mencapai 24,4 per 100.000 jiwa namun angka ini tetap mengkhawatirkan. Pemerintahan Indonesia diminta melakukan investasi
pada sektor SDM dan finansial untuk melakukan upaya pencegahan aksi bunuh
Universitas Sumatera Utara
diri. Badan itu juga memperkirakan pada 2020 angka bunuh diri secara global menjadi 2,4 per 100.000 jiwa dibandingkan 1,8 per 100.000 jiwa pada 1998
Priscillia dalam Jaring News, 2012. Hampir 90 individu yang yang melakukan bunuh diri dan usaha bunuh
diri mempunyai kemungkinan mengalami gangguan mental Jamison., NIMH.,
dalam Hoeksema, 2001. Gangguan mental yang paling sering dialami oleh orang yang melakukan bunuh diri adalah depresi Wulsin, Valliant Wells, dalam
Hoeksema, 2011. Paling kurang, 15 individu dengan depresi, sukses melakukan bunuh diri Mental Health Net, 2012. Banyak teori yang menjelaskan
tentang depresi, dan semua sepakat keadaan depresi merupakan indikasi terjadinya bunuh diri Keliat, 2005:18.
Sering kali diagnosis psikiatri baru muncul setelah seorang individu melakukan bunuh diri. Analisis tingkah laku, suasana hati, dan pikiran individu
yang melakukan bunuh diri didasarkan atas laporan dari keluarga dan teman- teman inidividu tersebut serta tulisan atau catatan-catatan individual. Dari data
yang ada, 40 individu yang melakukan percobaan bunuh diri, 53 persen diantaranya didiagnosa mengalami gangguan depresi Petronis., dkk, dalam
Hoeksema, 2001. Studi yang dilakukan kepada anak-anak dan remaja menunjukkan jika
depresi meningkatkan risiko untuk bunuh diri. Goodwin dan Jamison dalam Hoeksema, 2001 mengatakan jika setengah dari individu dengan gangguan
bipolar melakukan percobaan bunuh diri, dan kemungkinan satu dari lima sukses melakukan bunuh diri. Gangguan psikologis yang lain yang meningkatkan risiko
untuk bunuh diri dan usaha bunuh diri adalah alkoholik dan penyalahgunaan
Universitas Sumatera Utara
narkoba Statham, dalam Hoeksema, 2001. Semua bentuk gangguan psikologis atau gangguan mental berpotensi menjadi faktor risiko perilaku bunuh diri.
Data terakhir dari Kementerian Kesehatan RI untuk wilayah Jakarta saja, angka kematian akibat bunuh diri karena depresi mencapai 160 orang per tahun.
Veronica dalam Nirmala Magazine, 2011. Meskipun banyak faktor penyebab depresi ditengarai sebagai penyebabnya, seperti kesulitan ekonomi, masalah keluarga,
juga rasa putus asa, penelitian yang dilakukan oleh Dr. Ghanshyam Pandey beserta timnya dari University of Illinois, Chicago, menemukan bahwa 9 dari 17 remaja yang
meninggal akibat bunuh diri memiliki sejarah gangguan mental. Salah satu gangguan mental yang bisa membawa seseorang menuju pada keputusan bunuh diri adalah
Bipolar Disorder Veronica dalam Nirmala Magazine, 2011.
Itulah salah satu bentuk gangguan kesehatan mental berjenis gangguan afektif yang sekarang
sedang mengancam dunia termasuk Indonesia namun belum dikenali secara umum.
Di Kota Medan, angka upaya bunuh diri karena masalah gangguan mental bisa dibilang cukup tinggi. Salah satunya seperti data yang didapat di RSUD Dr.
Pirngadi Kota Medan. Selama tahun 2006 hingga 2011 tercatat 116 kasus percobaan bunuh diri dengan metode penggunaan racun yang cukup mendominasi
intensional self poisoning. Adapun rincian kasus percobaan bunuh dirinya per tahun adalah sebanyak
37 kasus pada tahun 2006, 16 kasus pada tahun 2007, 23 kasus pada tahun 2008, 20 kasus pada tahun 2009, 10 kasus pada tahun 2010, dan 10 kasus pada tahun
2011 Pardede, 2012:3. Menurut hasil penelitian Pardede pada tahun 2012 didapati bahwa 69
kasus percobaan bunuh diri dilakukan oleh golongan usia produktif yaitu 15-29
Universitas Sumatera Utara
tahun dengan jumlah 80 kasus. Dapat disimpulkan bahwa kelompok usia dewasa muda sangat rentan akan depresi. Didapati pula bahwa proporsi tertinggi pelaku
percobaan bunuh diri sebesar 62,9 adalah orang-orang yang memiliki gangguan psikosa atau didiagnosa memiliki gangguan kesehatan mental seperti depresi
berat, gangguan kecemasan dan yang paling mendominasi hampir keseluruhannya adalah gangguan bipolar atau bipolar disorder Pardede, 2012:8.
Bipolar disorder adalah jenis penyakit psikologi, ditandai dengan perubahan mood alam perasaan yang sangat ekstrim, yaitu berupa depresi dan
mania. Pengambilan istilah bipolar disorder mengacu pada suasana hati penderitanya yang dapat berganti secara tiba-tiba antara dua kutub bipolar yang
berlawanan yaitu kebahagiaan mania dan kesedihan depresi yang ekstrim Sipayung, 2010:55.
Setiap orang pada umumnya pernah mengalami suasana hati yang baik mood high dan suasana hati yang buruk mood low. Akan tetapi, seseorang
yang menderita bipolar disorder memiliki mood swings yang ekstrim yaitu pola perasaan yang mudah berubah secara drastis. Suatu ketika, seorang pengidap
bipolar disorder bisa merasa sangat antusias dan bersemangat mania. Namun, ketika mood-nya berubah buruk, ia bisa sangat depresi, pesimis, putus asa, bahkan
sampai mempunyai keinginan untuk bunuh diri Cheney, 2009:12. Gangguan jiwa bipolar saat ini sudah menjangkiti sekitar 10 hingga 12
persen remaja di luar negeri. Di beberapa kota di Indonesia juga mulai dilaporkan penderita berusia remaja. Risiko kematian terus membayangi penderita bipolar
dan itu lebih karena mereka mengambil jalan pintas. Hampir semua penderita bipolar disorder mempunyai pikiran tentang bunuh diri dan 30 diantaranya
Universitas Sumatera Utara
berusaha untuk merealisasikan niat tersebut dengan berbagai cara Sipayung, 2010:51.
Penderita penyakit ini cenderung mengalami faktor pemicu munculnya penyakit yang melibatkan hubungan antar perseorangan atau peristiwa-peristiwa
pencapaian tujuan reward dalam hidup. Contoh dari hubungan perseorangan antara lain jatuh cinta, putus cinta, dan kematian sahabat. Sedangkan peristiwa
pencapaian tujuan antara lain kegagalan untuk lulus sekolah dan dipecat dari pekerjaan. Selain itu, seorang penderita bipolar disorder yang gejalanya mulai
muncul saat masa ramaja kemungkinan besar mempunyai riwayat masa kecil yang kurang menyenangkan seperti mengalami banyak kegelisahan atau depresi. Selain
penyebab diatas, alkohol, obat-obatan, dan penyakit lain yang diderita juga dapat memicu munculnya bipolar disorder Institut Nasional Kesehatan Mental
Amerika Serikat, 2012. Bipolar disorder bukanlah penyakit depresi biasa. Komplikasi penyakit
gangguan kesehatan mental ini cukup kompleks dan sangat menggangu keberfungsian sosial seseorang seperti, masalah kecanduan alkohol atau
ketergantungan narkoba, masalah hukum, masalah keuangan, permasalahan hubungan sosial, tindakan solasi dan hidup menyendiri, kualitas inerja buruk di
sekolah atau di tempat kerja, sering bolos kerja atau sekolah hingga yang paling fatal adalah tindakan bunuh diri WHO, 2013.
Penyakit ini diperkirakan telah mempengaruhi lebih dari lima juta orang di Amerika. 3-5 orang dari setiap 100 orang dewasa dipastikan mengidap bipolar
disorder. Hal ini sama-sama terjadi pada laki-laki dan perempuan dengan tingkat risiko yang sama. Pada umumnya, gangguan afektif ini ditemukan di seluruh
Universitas Sumatera Utara
budaya dan kelompok ras, tetapi ras Amerika dan Afrikalah yang paling dominan mengidap bipolar disorder dibandingkan ras-ras lain di dunia Mental Health
Atlas WHO, 2011. Bipolar disorder mulai terlihat pada masa remaja dan terus berlangsung
sepanjang hidup. Pada awalnya, penyakit ini sering tidak diakui oleh para penderitanya karena hanya dianggap sebagai depresi biasa. Oleh karena itu,
diagnosis sejak dini sangatlah penting agar penyakit ini bisa ditindaklanjuti dengan tepat dan tidak membahayakan si penderita maupun orang-orang di
sekitarnya. Bipolar disorder dapat mempengaruhi kehidupan seseorang, seperti kemampuan di berbagai bidang, gangguan besar bagi kesehatan, hubungan sosial,
dan gaya hidup seseorang. Oleh sebab itu, penyakit ini memerlukan penanganan secara serius agar penderitanya dapat menjalani hidup dengan normal Total
Kesehatan Anda, 2013. Berdasarkan Institut Nasional Kesehatan Mental Amerika Serikat USA
Governments National Institute of Mental Health atau NIMH, bipolar disorder tidak hanya disebabkan oleh faktor tunggal saja, melainkan dari banyak faktor
yang secara bersama-sama memicu terbentuknya penyakit ini. Oleh karena banyaknya faktor yang terlibat, bipolar disorder juga disebut dengan penyakit
multifaktor. Di antaranya adalah faktor genetik dan lingkungan. Faktor lingkungan termasuk lingkungan sosial inilah yang juga memiliki pengaruh cukup
besar. Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan di Amerika Serikat, jumlah
anak-anak dan remaja yang menderita penyakit ini meningkat sebesar 40 dari tahun 1994-2003 dan diprediksi akan terus meningkat setiap tahunnya. Data
Universitas Sumatera Utara
menunjukkan bahwa para dokter telah lebih tegas menetapkan diagnosis untuk anak-anak. Penelitian ini juga menghitung jumlah orang yang mengunjungi
psikiater meningkat dari 20.000 pasien per tahun pada tahun 1994 menjadi 800.000 pasien per tahun pada tahun 2003. Peningkatan angka ini setara dengan
1 populasi penduduk dibawah 20 tahun Lieberman, 2009:45. Peningkatan anak-anak dan remaja yang menderita bipolar disorder
menimbulkan banyak perdebatan oleh berbagai pihak mengenai perlu tidaknya anak-anak dan remaja mendapatkan perawatan. Hal ini dikarenakan obat-obatan
yang digunakan dalam perawatan bipolar disorder mengandung banyak efek samping yang membahayakan hidup penderita seperti penyakit jantung, diabetes,
lever, gagal ginjal, dan kematian. Salah satu bentuk penyembuhan utama pada penderita bipolar disorder
adalah dengan terapi obat-obatan atau farmakoterapi. Obat yang digunakan adalah obat-obatan antidepresan serta obat-obatan penstabil mood. Namun banyak kasus
yang menyatakan bahwa pengaruh obat-obatan tersebut bila tidak dikontrol dan teratur dikonsumsi justru akan menyebabkan efek samping seperti semakin
parahnya tingkat depresi ataupun mania. Bahkan pengkonsumsian berlebihan dapat mengakibatkan ketergantungan obat-obatan tersebut yang justru akan
menimbulkan masalah baru bagi si penderita Mental Health WHO, 2012. Para peneliti merasa bahwa farmakoterapi saja tidak cukup. Dibutuhkan
terapi lain yang lebih dekat dan intim dengan penderita gangguan kesehatan mental bipolar disorder. Terapi itu adalah terapi pendampingan psikososial.
Gangguan bipolar disorder ini sangat bermain ada alam perasaan manusia. Perasaan sangat bahagia atau perasaan sangat bersedih. Efektifnya, alam perasaan
Universitas Sumatera Utara
akan lebih mudah dimasuki dengan alam perasaan. Bantuan dengan dukungan dan perhatian dari orang-orang sekitar korban dirasa akan lebih efektif untuk
meningkatkan keberfungsian sosial dan menurunkan risiko bagi penderita bunuh diri .
Robert Firestone dalam buku Suicide and the Inner Voice menulis bahwa
mereka yang mempunyai kecenderungan kuat untuk bunuh diri, banyak yang
lingkungan terkecilnya tidak memberi rasa aman, lingkungan keluarga yang menolak, tidak hangat, sehingga anak yang dibesarkan di dalamnya merasakan
kebingungan dalam menghadapi kehidupan sehari-hari. Atas dasar itulah penderita membutuhkan isi untuk kekosongannya seperti rasa aman, penerimaan,
kehangatan, agar tidak terjadi kebingungan. Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan, maka penulis
merasa tertarik untuk meneliti dan melakukan Identifikasi Peningkatan Keberfungsian Sosial dan Penurunan Risiko Bunuh Diri bagi Penderita Gangguan
Kesehatan Mental Bipolar Disorder di Kota Medan Melalui Terapi Pendampingan Psikososial.
1.2 Fokus Penelitian