Pembahasan HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

membuatnya mampu untuk terus bertahan, berjuang dan mampu hidup secara normal.

4.1.5.9 Faktor Pendukung dan Penghambat Terapi Pendampingan Psikososial

Faktor traumatis yang cukup kuat yang berasal dari keluarganya membuat hal itu menjadi sebuah hambatan bagi Yudha untuk melakukan terapi pendampingan psikososial ini. Sangat sulit awalnya bagi Yudha untuk menerima keberadaan orang lain di sekitarnya saat menjalanai terapi pendampingan ini. Namun dukungan yang kuat serta penerimaan yang tulus akan kondisi atau keadaan Yudha oleh orang terdekatnya yaitu Fikri mempermudah proses ini. Kepercayaan, dukungan, serta keterbukaan menjadi awal yang baik untuk mendukung proses pemulihan.

4.2 Pembahasan

Pada bagian ini peneliti akan mencoba mengeneralisasikan hasil wawancara serta observasi terhadap lima objek penelitian yang mengidap gangguan bipolar dengan para pendamping terapi pendampingan psikososial mereka. Temuan-temuan yang dididapatkan oleh peneliti kemudian akan diverifikasi ke dalam Focus Group Discussion FGD Komunitas Peduli Skizoprenia Simpul Kota Medan yang dilaksanankan pada hari Sabtu, 11 Mei 2013 di Pendopo Rumah Makan Warung Nenek Kota Medan. Untuk mempermudah analisis data, peneliti membuat tabel untuk mendeskripsikan kasus objek penelitian secara padat dan singkat. Universitas Sumatera Utara Tabel 4.1 Identifikasi Data Kasus Objek Penelitian 1 Riwayat Penderita Bipolar Disorder Nama : DESY WIDJAJA Usia : 21 Tahun Pekerjaan : Mahasiswi, Penyanyi, Penyiar Radio Tanggal Diagnosa : 18 Maret 2008 usia 17 tahun Tanda Gejala Awal : - Sedikit makan dan kehilangan gairah hidup pada usia 9 tahun, bulimia, eating disorder, fatigue, emosi meledak, dan irritable 15 tahun Faktor Penyebab : Verbal bullying, pemendaman emosi, stres dan beban pikiran terfokus, patah hati. Pendamping Terapi : Keluarga Ayah, Ibu dan Adik Perempuan Seorang teman dekat Kutub Episode Depresi - Mania + Keberfungsian Sosial 1. Memiliki persepsi dan pemikiran yang tidak realistik bila gemuk tidak memiliki teman 2. Eating disorder 3. Isolasi diri menurung diri 4. Sulit berkomunikasi dengan orang lain 5. Memiliki konsep harga diri yang rendah 6. Keluar dari aktivitas yang disenanginya 7. Melalaikan tugas-tugas di rumah dan sekolah 1. Aktif, berbakat dan berprestasi bernyanyi, teater dan mencipta lagu 2. Sangat ramah, gemar menolong, murah senyum dan bersahabat 3. Jago akting cover feeling 4. Kreatifitas meningkat 5. Kecerdasan intelektualitas meningkat 6. Gemar melakukan hal-hal ekstrim panjat tebing Risiko Bunuh 1. Kehilangan semangat atau Universitas Sumatera Utara Diri gairah hidup 2. Tertutup 3. Putus asa 4. Cutting 14 tahun 5. Menyayat-nyayat bagian tubuh bila depresi 6. Meminum obat-obatan hingga over dosis dan cutting 16 tahun - Hubungan Sosial 1. Emosi yang meledak- ledak terhadap orang lain keluarga 2. Dijauhi oleh teman- temannya 3. Menghindari banyak orang 4. Menutup diri 5. Bolos sekolah 6. Merasa sepi di tengah keramaian loneliness 7. Bertengkar dengan teman sekelas 1. Loveable 2. Penuh kasih sayang dan semangat hidup 3. Bersahabat friendship affection 4. Mengganggu orang lain 5. Menjadi otoriter Terapi Psikososial untuk Keberfungsian Sosial 1. Psikoedukasi 2. Sahabat dengar dan sahabat cerita 3. Motivasi dukungan 4. Doa bersama dan devotioning 5. Terapi musik 6. Terapi afeksi 7. Fotografi 8. Aktivitas bersama keluarga hiburan lucu, memasak 1. Psikoedukasi 2. Olahraga tenis, lari basket, sepeda, atau berenang 3. Pemberian nasehat dan pengontrolan tindakan berisiko berisiko oleh pendamping 4. Fotografi Terapi Psikososial 1. Terapi Keluarga 1. Pemberi nasehat dan Universitas Sumatera Utara untuk Penurunan Risiko Bunuh Diri 2. Jurnal harian 3. Manajemen stres 4. Mading motivasi sahabat kontrol 2. Jurnal harian 3. Self management, self control 4. Olahraga: yoga Hasil Terapi Pendampingan Psikososial 1. Sudah memiliki konsep harga diri yang baik 2. Tidak memiliki gangguan makan dan bulimia 3. Tidak mengisolasi diri lagi 4. Bisa mengerjakan tugas- tugas dan aktivitas harian dengan baik 1. Bisa mengontrol diri atas energi semangat yang berlebihan 2. Meraih prestasi akademis dan non akademis dengan normal Faktor Pendukung Terapi Pendampingan 1. Keluarga inti mendukung penuh 2. Kehangatan keluarga 3. Teknologi 1. Ada teman dekat yang mau mendampingi 2. Fasilitas teknik koping kamera dan alat musik Faktor Penghambat Terapi Pendampingan Waktu keluarga yang terbatas untuk mendampingi Kontroling Tabel 4.2 Identifikasi Data Kasus Objek Penelitian 2 Riwayat Nama : CG GIRSANG GUSTAF Universitas Sumatera Utara Penderita Bipolar Disorder Usia : 28 Tahun Pekerjaan : Dokter Tanggal Diagnosa : 8 Desember 2002 18 tahun Tanda Gejala Awal : anxietas kecemasan, loneliness kesepian, kegemaran mengantuk-antukan kepala hingga berdarah Faktor Penyebab : kekerasan fisik dan non fisik semasa kecil, tuntutan kesempurnaan dari orang tua Pendamping Terapi : Evelin mama tuabibi, Debora kekasih Anton dan Daniel sepupu Kutub Episode Depresi - Mania + Keberfungsian Sosial 1. Sering murung dan hipersomnia 2. Tidak disiplin dan melalaikan tugas dan kewajiban nilai memburuk 3. Mengurung diri 4. Kehilangan motivasi hidup 5. Menarik diri dari pergaulan 1. Sering mencari keributan atau bertengkar 2. Arogansi tingkat tinggi 3. Pikiran yang tidak realistik menganggap diri sangat hebat dan merasa sebagai pahlawan Risiko Bunuh Diri 1. Mengantuk-antukan kepala ke tembok hingga berdarah SD-SMA 2. Over dosis obat-obatan dicampur minuman keras 17 tahun 3. Mengancam bunuh diri dengan menggunakan pisau 18 tahun - Hubungan Sosial 1. Tidak berkomunikasi dengan orang tua 1. Playboy memiliki banyak pacar atau Universitas Sumatera Utara kebencian 2. Mengisolasi diri 3. Memutuskan hubungan dengan kekasihnya 4. Cuek apatis 5. Sering melawan guru dan marah-marah tidak jelas 6. Takut ditinggalkan penggemar 7. Melawan orang tua kekasih 2. Aktivitas seks bebas 3. Hobi bertengkar 4. Emosi meledak- meledak 5. Dikucilkan oleh teman-teman di sekolah 6. Sering meremehkan orang lain 7. Banyak penggemar digemari wanita Terapi Psikososial untuk Keberfungsian Sosial 1. Psikoedukasi 2. Mood journal 3. Drumming 4. Support family 5. Mengikuti support group 1. Psikoedukasi 2. Olahraga Basket 3. Drumming 4. Family Control Terapi Psikososial untuk Penurunan Risiko Bunuh Diri 1. Jurnal atau buku harian bersama 2. Menjadi relawan kemanusiaan 3. Voice record 4. Aktif dalam support group 5. Penanaman mental positif 6. Terapi afeksi Aktif dalam support group Hasil Terapi Pendampingan Psikososial 1. Memiliki semangat dan gairah hidup yang baru 2. Pelampiasan emosi secara positif melalui drumming tidak melukai diri lagi 3. Memiliki tujuan hidup yang baik 4. Tidak pernah mengurung diri lagi 5. Memaafkan orang tua 1. Mampu mengendalikan dirinya 2. Pelampiasan energi positif melalui olahraga basket 3. Berhasil berkonsentrasi belajar dengan baik dan masuk fakultas kedokteran 4. Mampu Universitas Sumatera Utara 6. Mampu memanajemen diri dengan baik memanajemen emosi dengan baik Faktor Pendukung Terapi Pendampingan 1. Evelin pendamping adalah seorang psikiater 2. Pendamping Debora kekasih juga berprofesi sebagai dokter Kedua sepupu mudah mengontrol karena tergabung dalam tim basket yang sama Faktor Penghambat Terapi Pendampingan Penderita sedikit memiliki teman Tabel 4.3 Identifikasi Data Kasus Objek Penelitian 3 Riwayat Penderita Bipolar Disorder Nama : ADOLF OLIVER SIMANJUNTAK Usia : 17 Tahun Pekerjaan : Pelajar Tanggal Diagnosa : 15 Januari 2013 17 tahun Tanda Gejala Awal : Perasaan putus asa dan kosong tiba-tiba yang dilanjut perasaan bahagia yang berlebihan, elevated mood sejak SMP-SMA Faktor Penyebab : Biologis genetik, riwayat bipolar dari ayah Pendamping Terapi : Theo Kakak sepupu Kutub Episode Depresi - Mania + Keberfungsian Sosial 1. Sangat pendiam pasif 2. Kelelahan atau kehilangan energi 3. Bolos sekolah 4. Mengkonsumsi rokok dan minuman keras 5. Pulang tengah malam 1. Sangat cerewet atau talkactive 2. Autism otaku 3. Bolos sekolah 4. Sangat ramah, selalu tersenyum 5. Suka menolong orang Universitas Sumatera Utara 6. Gangguan makan lain Risiko Bunuh Diri Menabrakan diri ke tengah jalan besar 13 Januari 2013, 17 tahun Hubungan Sosial 1. Pasif 2. Pendiam 3. Tidak memiliki minat bersosialisasi 4. Terkadang pusing dan marah-marah 1. Aktif namun autis 2. Sangat ramah 3. Game freak Terapi Psikososial untuk Keberfungsian Sosial 1. Sahabat nasehat 2. Dukungan dan motivasi 3. Olahraga lari 4. Refleksi malam 1. Sosialisasi dengan komunitas penderita bipolar di Kota Medan 2. Bergabung dengan grup mural atau lukis dinding Terapi Psikososial untuk Penurunan Risiko Bunuh Diri 1. Refleksi malam 2. Sahabat dengar, sahabat cerita dan sahabat rohani 3. Aktif persekutuan pemuda gereja 4. Membuat gambar impian masa depan 5. Terapi musik Jepang Pengontrolan dengan sharing bersama komunitas penderita bipolar di Kota Medan Hasil Terapi Pendampingan Psikososial 1. Adolf jadi mengerti tentang penyakit yang dideritanya 2. Kemampuan komunikasinya meningkat 3. Rasa percaya diri meningkat 4. Memiliki teman baru sesama penderita bipolar 5. Pikiran-pikiran bunuh diri mulai berkurang 6. Semakin bergairah 1. Semakin bisa mengontrol diri dan mendisiplinkan diri 2. Pengaturan pola tidur dan pola makan secara teratur Universitas Sumatera Utara menjalani hidup Faktor Pendukung Terapi Pendampingan Hobi awal menggambar, menulis, serta mendengarkan musik yang cocok untuk teknik koping Komunitas mural art Faktor Penghambat Terapi Pendampingan Teman yang dimiliki Adolf sangat sedikit Tabel 4.4 Identifikasi Data Kasus Objek Penelitian 4 Riwayat Penderita Bipolar Disorder Nama : CHRISTINA SIREGAR Usia : 40 Tahun Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga, mantan pegawai bank Tanggal Diagnosa : 19 April 2003 30 tahun Tanda Gejala Awal : Paranoid dan loneliness 12 tahun Pseudoseizure 14 tahun Faktor Penyebab : Traumatis keluarga Ibu meninggal karena kanker otak 12 tahun Ayah dipenjara karena kasus narkoba 14tahun Kakak terlibat kasus pemerkosaan 14 tahun Pendamping Terapi : Franky Hulu Suami Kutub Episode Depresi - Mania + Universitas Sumatera Utara Keberfungsian Sosial 1. Menarik diri dari lingkungan sosial termasuk keluarga 2. Memiliki gairah seksual yang rendah 3. Mengalami kelelahan kronis fatigue 4. Sulit berkonsentrasi dan ceroboh 5. Saat kecil sering merasa ketakutan dan kesepian 1. Kesulitan mengontrol keuangan 2. Boros dan royal 3. Sulit berkonsentrasi dan berpikir panjang 4. Pekerjaan di kantor dan rumah terbengkalai 5. Hiperaktif 6. Hobi jalan-jalan tanpa tujuan dan kenal waktu 7. Sulit fokus Risiko Bunuh Diri Menabrakan mobil yang dikendarainya tahun 2000 dan 2001, saat berusia 28 dan 29 tahun Mengendarai kendaraan dengan kecepatan sangat tinggi agar bisa cepat masuk surga 2001, 2002 dan 2005: saat berusia 29, 30 dan 33 tahun, Waham. Hubungan Sosial 1. Tidak berfungsi sebagai istri dan ibu 2. Menjauh dari suami dan anak 3. Hubungan memburuk suami tidak mempercayainya 4. Menjadi cibiran warga sekitar 1. Hampir diceraikan oleh suami 2. Mengundurkan diri dari kantor 3. Membuat masalah yang merugikan kantor 4. Cuek terhadap anak- anak atau keluarga Terapi Psikososial untuk Keberfungsian Sosial 1. Psikoedukasi 2. Terapi keluarga afeksi 3. Berkebun atau gardening 1. Psikoedukasi 2. Masak bersama, berbagi ke tetangga Terapi Psikososial untuk 1. Terapi afeksi 2. Jurnal harian 1. Manajemen gangguan 2. Tidak diizinkan Universitas Sumatera Utara Penurunan Risiko Bunuh Diri 3. Terapi keluarga sharing malam 4. Hipnoterapi membawa kendaraan sendiri 3. Wisata bersama 4. Lari pagi bersama 5. Hipnoterapi Hasil Terapi Pendampingan Psikososial 1. Kris tidak ceroboh lagi 2. Mulai dapat bersosialisasi dengan tetangga 3. Berfungsi secara baik sebagai ibu dan istri 1. Mulai baik dalam pengelolaan keuangan dan mengurus keluarga 2. Pikiran-pikiran irasional mulai berkurang Faktor Pendukung Terapi Pendampingan Cinta dan kasih sayang yang tulus dari suami Faktor Penghambat Terapi Pendampingan Pendamping tunggal suami yang harus mengurusi tiga anggota keluarga pengidap bipolar 1. Dua anak laki-laki tertuanya mengidap gangguan bipolar yang sama 2. Biaya terapi yang mahal di tengah keluarga yang sederhana Tabel 4.5 Identifikasi Data Kasus Objek Penelitian 5 Riwayat Penderita Bipolar Disorder Nama : YUDHA PRADANA Usia : 19 Tahun Pekerjaan : Mahasiswa Tanggal Diagnosa : 3 Mei 2009 15 Tahun Tanda Gejala Awal: Loneliness, ketakutan pada orang tua SD Universitas Sumatera Utara Halusinasi suara atau delusi 12 tahun Faktor Penyebab : Kecemasan, less affection, traumatis keluarga, Perasaan bersalah yang kuat karena kekaguman Pendamping Terapi : Fikri kakak laki-laki Kutub Episode Depresi - Mania + Keberfungsian Sosial 1. Perasaan bersalah yang kuat 2. Konsep harga diri yang rendah 3. Cemburu berlebihan 4. Merasa tidak layak untuk hidup 5. Kabur dari rumah 5 tahun dan 15 tahun 6. Menunjukkan sikap bermusuhan dengan orang lain 7. Berpikir orang lain jahat 8. Insomnia atau Hipersomnia 1. Hipomania, aktif berorganisasi 2. Bicara sangat cepat 3. Rajin 4. Insomnia, aktif pada malam hari Risiko Bunuh Diri 1. Cutting, menyayat urat nadi SMP 2. Alkoholik berlebihan SMA Hubungan Sosial 1. Memasang sikap bermusuhan dengan orang lain 2. Selalu waspada dan curiga dengan orang lain 3. Mengisolasi diri 4. Tidak berkomunikasi sama sekali dengan orang tua 1. Tidak menebarkan aura permusuhan dengan orang lain 2. Tetap kesulitan mendapatkan teman Terapi Psikososial untuk Keberfungsian Sosial 1. Cognitive Behaviour Therapy CBT 2. Teknik pengungkapan dan penerimaan diri 1. Pengaturan pola makan, pola tidur dan manajemen emosi Universitas Sumatera Utara 3. Support group 4. Membaca buku, menulis cerita dan mendengarkan musik 2. Pengaturan aktifitas harian 3. Membuka komunitas support group Terapi Psikososial untuk Penurunan Risiko Bunuh Diri 1. Afeksi 2. Pet therapy atau terapi hewan peliharaan 3. Aktivitas rohani dan ibadah 1. Manajemen stres 2. Membuka komunitas Stay Strong Hasil Terapi Pendampingan Psikososial 1. Yudha mampu mengungkapkan dan menerima kondisi dirinya 2. Konsep diri yang baik 3. Anxietas, loneliness, dan paranoid berkurang 4. Mulai memiliki teman 1. Aktif dalam komunitas Stay Strong 2. Mulai mampu bersosialisasi dengan baik Faktor Pendukung Terapi Pendampingan 1. Afeksi tulus 2. Kepercayaan, dukungan, dan keterbukaan Komunitas pendukung Faktor Penghambat Terapi Pendampingan Traumatis keluarga yang berat

4.2.1 Riwayat Penderita

Bipolar Disorder Berdasarkan hasil wawancara dan observasi, peneliti mendapati bahwa objek penelitian didiagnosa mengidap gangguan bipolar pada usia remaja. Berkisar pada umur 15 hingga 18 tahun. Namun tanda-tanda awal atau gejala Universitas Sumatera Utara sudah muncul sejak masa kanak-kanak menuju remaja. Masa-masa peralihan. Childhood - Adolescent. Tanda-tanda gejala yang paling umum muncul adalah anxietas kecemasan, loneliness perasaan kesepian, hopeless perasaan kehilangan harapan atau putus asa, paranoid perasaan takut, emptyness perasaan hampa atau kosong, dan fatigue keletihan yang berlebihan. Semua itu adalah tanda- tanda awal dari episode depresi. Episode depresi inilah yang sering kali menjadi episode awal dari penyakit gangguan mental bipolar disorder. Faktor penyebab yang paling dominan menyumbang gangguan kesehatan mental yang diderita oleh pengidap gangguan bipolar adalah keluarga atau lingkungan sosial. 4 dari 5 memiliki traumatis khusus akan masa kecilnya yang bersumber dari keluarga atau lingkungan sosial. Masalah-masalah itu seperti hidup di tengah anggota keluarga yang memiliki masalah kriminal atau memiliki penyakit kronis hingga akhirnya meninggal. Melihat atau bahkan menjadi korban kekerasan secara fisik atau non fisik verbal dan non verbal semasa kecil juga menjadi penyumbang gangguan psikis yang cukup kuat. Less affection atau kekurangan kasih sayang dan perhatian dari keluarga khususnya dari orang tua pun menjadi sumber trauma yang kuat apalagi ditambah dengan pemendaman emosi yang berlarut-larut. Hasil analisis yang didapat sesuai dengan teori Robert Firestone dalam buku Suicide and The Inner Voice yang mengatakan bahwa traumatis yang mengganggu secara psikologis pada masa kanak-kanak akan mengganggu kepribadiannya kelak ketika beranjak dewasa. Mereka sangat rentan untuk memiliki konsep diri dan kehidupan yang rendah 2007:23. Universitas Sumatera Utara Hanya satu individu yang faktor penyebabnya adalah masalah biologis atau genetik yang diturunkan. Mayoritas pendamping yang hadir dalam FGD sepakat bahwa rasa ketidakamanan dan ketakutan di masa kecil yang tidak terselesaikan itulah penyebab gangguan psikis utama namun mereka juga tetap sepakat bahwa faktor biologis berupa genetik tetap menjadi faktor penentu seseorang mengidap penyakit bipolar. Seperti yang dikatakan Umar, salah seorang peserta FGD. Mungkin saja kita tidak menyadari bahwa ada anggota keluarga yang sebenarnya memiliki gangguan serupa namun tidak tampak atau tidak terdeteksi.

4.2.2 Keberfungsian Sosial

Para penderita gangguan bipolar akan sangat sulit untuk berfungsi sosial ketika episode depresi muncul dibandingkan saat episode mania. Salah satu tanda gejala yang paling sering timbul dan menjadi ciri utama adalah isolasi diri dimana penderita akan menarik diri dari pergaulan atau lingkungan sosial. Gejala lainnya yang sangat mudah terlihat adalah kondisi penderita yang seringkali terlihat murung, pendiam dan tertutup. Individu tersebut akan sangat sulit berinteraksi dan mengkomunikasikan suatu hal dengan orang-orang di sekitarnya, termasuk keluarga. Fatigue atau kelelahan kronis juga menjadi ciri penderita gangguan bipolar yang membuat mereka sulit menjalankan peran dan fungsi sosialnya. Secara fisik, kelelahan yang dialami oleh penderita diakibatkan oleh beban pikiran yang ditanggung serta kondisi hipersomnia atau masalah tidur terlalu lama yang diidap. Akibatnya penderita akan sangat sulit berkonsentrasi, sulit Universitas Sumatera Utara mengambil keputusan dengan jernih sehingga melalaikan tugas-tugas dari aktivitas harian yang harusnya dikerjakan. 2 dari 5 individu yang diteliti merasa bahwa rumah tidaklah aman sehingga membuat mereka kabur dari rumah atau banyak menghabiskan waktu di luar rumah. 2 dari 5 individu juga mengalami kompleksitas lain yaitu berupa gangguan makan sehingga munculnya keluhan- keluhan fisik lainnya sangatlah memungkinkan bagi penderita. Salah satu hal paling mendasar lainnya adalah, penderita akan kehilangan minat dari hobi atau kesenangannya. Rasa cinta juga akan sangat minim dirasakan dan dibagikan. Penderita cenderung akan sangat fokus pada dirinya dan mempertanyakan tentang masalah di dalam dirinya. Pada episode mania, kondisi penderita akan tampak baik. Keberfungsian sosial mereka terlihat normal. Individu akan sangat aktif, kreatif dan produktif dalam bidangnya masing-masing. Di balik keramahan dan sikap bersahabatnya, kehadiran individu dianggap sangat mengganggu orang lain. Hal itu dapat dilihat dari beberapa kasus pertengkaran atau perkelahian penderita dengan orang-orang di sekitarnya karena kesulitan mengontrol emosi dan energi yang berlebihan. Waham atau pemikiran-pemikiran yang tidak realistis seperti merasa dirinya pahlawan atau orang paling hebat sering muncul pada penderita bipolar. 3 dari 5 individu mengalaminya. Karena waham yang mereka ekspresikan inilah orang lain akan menilai mereka gila. Hal ini serupa dengan penjelasan dari Badan Kesehatan Dunia atau WHO yang memaparkan pada deskripsi bipolar bahwa orang dengan gangguan bipolar akan sulit mengendalikan dirinya sendiri terhadap energi-energi maupun perasaan yang ada. Mereka akan terlihat mudah teriritasi atau tersinggung dan mungkin Universitas Sumatera Utara mempunyai kepercayaan-kepercayaan yang tidak realistik tentang kekuatan dan kemampuan mereka sendiri WHO, 2013. Agung, salah satu pendamping yang mengikuti FGD mengatakan bahwa kondisi mania bila dikelola dengan baik dan mendapatkan pendampingan yang bijak akan sangat membantu penderita mencapai tingkat optimal dalam dirinya. Energi positif dalam diri penderita akan sangat membantu keberfungsian sosial lebih efektif, bermakna dan menghasilkan.

4.2.3 Risiko Bunuh Diri

Upaya singkat menyelesaikan masalah hidup dengan membunuh diri sendiri akan sangat tinggi dilakukan ketika individu memasuki episode depresi. Kelima individu yang diteliti semuanya pernah melakukan upaya bunuh diri ini. Penderita usia remaja sangat rentan melakukan tindakan ini. Terbukti, 4 dari 5 individu yang diteliti sudah melakukan tindakan percobaan bunuh diri pada rentang usia 14 hingga 17 tahun. Usia tersebut sesuai dengan karakteristik usia yang diteliti oleh Christivani Pardede dimana 69 pelaku bunuh diri di Kota Medan pada tahun 2006-2011 berusia produktif yaitu dimulai dari kisaran usia 15 tahun hingga 29 tahun. Percobaan bunuh diri pertama kali rentan dilakukan kelompok usia remaja hingga dewasa muda dengan 62,9 di antaranya mengidap gangguan bipolar disorder Pardede, 2012:8. Cara yang paling sering dilakukan adalah cutting, memotong atau menyayat bagian tubuh hingga mati lemas kehabisan darah. 3 dari 5 individu yang diteliti melakukan ini. Cara ini dianggap mudah karena alat untuk proses eksekusi Universitas Sumatera Utara seperti silet atau pisau sangat mudah ditemukan. Meminum obat-obatan secara berlebihan juga menjadi pilihan untuk mengakhiri hidup. 3 dari 5 individu melakukannya. Cara lain yang digunakan adalah menabrakan diri dari dalam maupun luar mobil. 2 dari 5 individu melakukannya. Hanya 1 individu yang melakukan usaha bunuh diri pada saat episode mania. Hal itu diiringi dengan proses waham yang menjangkitinya. Bisa dikatakan episode mania bisa menyebabkan penderita melakukan tindakan ekstrim yang membahayakan dirinya namun tidak banyak yang berpikir untuk mengakhiri hidupnya saat episode ini. Hampir semua individu sebelum melakukan usaha bunuh diri pernah mencoba menenangkan diri dengan mengkonsumsi rokok dan minuman keras beralkohol serta menyakiti diri sendiri seperti menyilet-nyilet bagian tubuh dan mengantuk-antukan kepala hingga berdarah. Hal ini diamini oleh Yakub, seorang bipolar yang mengikuti FGD. Rokok dan minuman keras awalnya hanya untuk menenangkan diri. Kami hanya ingin tenang dan tidak sadar kalau itu tindakan bodoh. Kami hanya ingin mencari jalan singkat. Bila ditelisik dengan mengunakan alasan-alasan bunuh diri yang digunakan oleh Emile Durkheim, maka dari empat alasan yang ada, hanya ada dua alasan yang dijadikan faktor upaya bunuh diri penderita gangguan bipolar. Pertama adalah faktor kekacauan hidup. Namun, kekacauan hidup yang ada dalam pemikiran penderita. Mereka berpikir bahwa hidup sudah benar-benar kacau untuk ditinggali dan kehidupannya hanya akan menjadi beban bagi orang lain, maka mereka mengambil jalan pintas berupa bunuh diri. Universitas Sumatera Utara Ketika seorang penderita gangguan bipolar merasa kacau karena menjadi beban bagi orang lain, maka jenis upaya bunuh diri yang dilakukannya menurut teori Durkheim adalah bunuh diri jenis altruistis. Alasan kedua adalah keluarga. Alasan ini cukup kuat dimasukkan sebagai alasan bunuh diri penderita gangguan bipolar. Durkheim mengatakan bahwa semakin kecil jumlah anggota keluarga maka semakin kecil pula keinginan untuk tetap hidup. Terbukti, 4 dari 5 objek penelitian berada di dalam keluarga yang berjumlah sangat sedikit dan tidak lengkap sejak kecil. Hal ini cukup berpengaruh bagi perkembangan emosi, psikologis dan sosial mereka sehingga risiko bunuh diri cukup tinggi bagi mereka.

4.2.4 Hubungan Sosial

Hasil penelitian menunjukkan bahwa seluruh penderita gangguan bipolar memiliki hubungan sosial yang buruk pada episode depresi. Hal ini dibuktikan dari sikap penderita yang menjauhi dan menghindari orang-orang di sekitarnya serta melakukan isolasi diri. Individu sangat kesulitan dalam melakukan aktivitas rutin hariannya dan sulit berkomunikasi maupun berinteraksi dengan orang lain. Hal ini disebabkan karena individu cenderung mudah marah dengan emosi yang meledak-ledak karena adanya gangguan pada emosi dan perasaan. Penderita gangguan bipolar pada episode depresi sangat sensitif dan mudah teriritasi secara emosi atau perasaan. Peneliti juga menemukan fakta bahwa hampir semua penderita gangguan bipolar yang diteliti tidak banyak memiliki teman dekat. Episode mania yang dimiliki adalah kesempatan baik bagi mereka untuk bisa membina hubungan baik Universitas Sumatera Utara dengan lingkungan sosialnya. Tetapi ironinya, pengaruh euforia atau ekspresi perasaan bahagia luar biasa yang berlebihan sering mengganggu orang lain sehingga seringkali individu dijauhi oleh mereka. Hal ini terjadi karena luapan energi maupun emosi yang dimiliki tidak mampu dikontrol dengan baik. Penderita pada episode mania cenderung aktif, penuh energi, kreatif dan produktif. Bila dikelola dengan baik maka akan sangat menguntungkan penderita. 3 dari 5 individu yang diteliti justru akan sangat autis, memiliki arogansi tinggi dan memiliki waham sebagai manusia paling hebat yang dinilai tidak menyenangkan oleh lingkungan sosialnya. Ibu Dewi yang anaknya adalah seorang penderita gangguan bipolar yang episode manianya lebih sering timbul dibandingkan episode depresi mengatakan, Untuk itulah dibutuhkan terapi pendampingan psikososial ini, agar kita bisa merubah kegilaan mereka menjadi kejeniusan tingkat tinggi.

4.2.5 Terapi Psikososial untuk Peningkatan Keberfungsian Sosial

Setelah diteliti dan peneliti identifikasi, berikut ini adalah cara-cara yang cukup efektif untuk meningkatkan keberfungsian sosial pada penderita gangguan kesehatan mental bipolar disorder melalui terapi pendampingan psikososial. Tabel 4.6 Identifikasi Model-Model Terapi Pendampingan Psikososial untuk Peningkatan Keberfungsian Sosial No Episode Depresi Episode Mania 1. Psikoedukasi Psikoedukasi 2. CBT Mood Journal CBT Mood Journal Universitas Sumatera Utara 3. Terapi Afeksi Berbasis Keluarga Sahabat Nasehat dan Sahabat Kontrol 4. Teknik Koping personal Teknik Koping Bersama 5. Teknik Koping Bersama Manajemen DiriPribadi 6. Tenik Spiritual Olahraga 7. Support Group Support Group Langkah awal yang disepakati oleh para pendamping untuk meningkatkan keberfungsian sosial penderita gangguan bipolar melalui terapi psikososial adalah dengan melakukan psikoedukasi. Psikoedukasi adalah mengajari penderita gangguan bipolar dan para pendamping tentang penyakit ini serta perawatannya. Perawatan ini membantu penderita maupun pendamping mengenali tanda-tanda dari kekambuhan sehingga mereka dapat mencari perawatan awal, sebelum episode sepenuhnya terjadi. Psikoedukasi ini membantu menolong penderita dan pendamping untuk mengerti dan menerima kondisi diri. Cognitive Behavioral Therapy CBT atau Terapi Perilaku Kognitif dilakukan oleh para pendamping untuk membantu penderita gangguan bipolar untuk merubah pola-pola dan kelakuan-kelakuan pemikiran yang membahayakan atau negatif. Terapi ini dilakukan dengan cara mengisi mood journal yang akan diperiksa secara berkala, sehingga penderita dan atau pendamping akan mudah melakukan antisipasi atas pencegahan kekambuhan. Jenis terapi lainnya yang juga dilakukan oleh pendamping adalah Terapi Afeksi Berbasis Keluarga. Terapi ini dilakukan oleh seluruh pendamping walaupun tidak harus oleh keluarga inti. Terapi ini mirip dengan Family Focused Universitas Sumatera Utara Therapy yang membantu meningkatkan strategi-strategi penanganan keluarga seperti mengenali episode-episode baru penderita bipolar yang merupakan salah satu anggota keluarga. Family Focused Therapy berfokus untuk memperbaiki komunikasi dan penyelesaian persoalan. Perbedaan antara Family Focused Therapy dan Terapi Afeksi Berbasis Keluarga adalah pade proses afeksi. Afeksi dalam artian pemberian cinta dan kasih sayang adalah hal yang penting. Pemberian dukungan, perhatian, dan motivasi yang tulus diakui penderita dan pendamping membantu memperbaiki kondisi penderita dan menumbuhkan rasa percaya terhadap orang lain untuk mempermudah proses interaksi dan komunikasi. Peneliti juga mengidentifikasikan refleksi malam ke dalam Terapi Afeksi Berbasis Keluarga. Beberapa keluarga individu yang diteliti menjadikan refleksi malam sebagai bagian dari terapi pendampingan psikososial ini. Refleksi malam bukan bertujuan untuk mengevaluasi diri dalam suasana yang kelam namun bertujuan untuk menciptakan kebersamaan dan kehangatan keluarga. Melalui refleksi malam penderita akan merasakan dukungan serta perhatian yang nyata dari orang-orang yang ada di sekitarnya. Teknik koping atau teknik pengalihan dan penyaluran energi atau emosi secara positif juga masih menjadi cara yang ampuh untuk mengendalikan gangguan bipolar yang dialami penderita. Seluruh individu yang diteliti menggunakan teknik ini sebagai pengendali perasaannya agar tetap mampu berfungsi sosial. Beberapa cara dari teknik koping yang biasa dilakukan individu bisa diambil dari hobi atau kesenangannya seperti membaca, menulis, menggambar, mendengarkan musik, drumming, dan lainnya. Universitas Sumatera Utara Adela, salah seorang peserta FGD yang juga seorang pendamping dari kakaknya juga mengatakan bahwa teknik koping yang dilakukan haruslah dengan cara-cara yang membutuhkan fokus namun tetap membuat kondisi penderita bipolar rileks atau tenang. Membaca, menulis, menggambar, dan mendengarkan musik dirasakannya cukup efektif. Selain teknik koping personal melakukan teknik koping secara bersama pendamping juga dinilai sangat efektif untuk meningkatkan keberfungsian sosial penderita. Teknik koping yang dilakukan seperti gardening atau berkebun, fotografi, bermain musik hingga olahraga bersama. Teknik ini tidak hanya berhasil membuat fokus energi dan emosi penderita menjadi terarah positif namun juga meningkatkan sosialisasi penderita dengan orang-orang di sekitarnya. Teknik spiritual masuk ke dalam salah satu terapi pendampingan psikososial yang cukup efektif. Melalui terapi ini, penderita akan mampu meminimalisir gejala-gejala menuju episode depresi. Cara-cara yang dilakukan adalah dengan aktivitas-aktivitas rohani seperti doa bersama, saat teduh atau deviotioning, ibadah, beramal hingga menjadi relawan. Cara-cara ini ampuh untuk meningkatkan keberfungsian sosial dan spiritual agar mampu mengendalikan diri. Support group perlu dilakukan terutama untuk mencegah kekambuhan episode depresi dan mania. Grup dukungan ini didapatkan dari komunitas peduli skizoprenia dimana terdiri atas sesama penderita bipolar beserta dengan para pendampingnya. Grup dukungan ini membuat penderita bisa berbagi dengan lepas dan mampu memberi serta menerima afeksi sesama penderita serta mengurangi rasa kesepian dan keterpurukan yang mendera mereka. Universitas Sumatera Utara Terapi pendampingan psikososial untuk meningkatkan keberfungsian sosial penderita gangguan bipolar tidak hanya diberikan pada saat penderita berada pada episode depresi. Pada episode mania mereka pun sangat butuh terapi pendampingan seperti psikoedukasi dan teknik koping bersama. Teknik koping dengan cara memasak bersama lalu berbagi dengan tetangga atau masyarakat sekitar merupakan salah satu cara yang dilakukan salah seorang objek penilitian. Cara ini mampu memulihkan keberfungsian sosialnya yang sempat rusak. Bagi penderita gangguan bipolar, episode mania membuatnya sulit untuk mengendalikan energi yang melupa. Berolahraga juga menjadi salah satu cara efektif untuk mengendalikan mania. Contoh olahraga yang dilakukan oleh objek yang diteliti antara lain, tenis, lari, bola basket, bersepeda, dan berenang. Hal ini lebih baik dilakukan bersama pendamping selaku sahabat nasehat dan sahabat kontrol yang mengerti kondisi penderita dan akan cepat mengingatkan penderita bila melakukan hal-hal di luar kendali hingga mereka mampu mengendalikan emosi dan energinya sendiri dengan mandiri. 5 dari 5 penderita menjadikan kedisiplinan sebagai salah satu kunci pemulihan. Hal tersebut dibuktikan dengan melakukan manajemen diri melalui pengaturan pola makan, pola waktu tidur reguler yang cukup, pengaturan waktu untuk aktivitas harian, hingga manajemen stres dan emosi.

4.2.6 Terapi Psikososial untuk Penurunan Risiko Bunuh Diri

Upaya bunuh diri adalah salah satu dampak paling mengerikan dari gangguan bipolar. Terbukti semua individu yang diteliti pernah memiliki pikiran bunuh diri dan melakukan upaya bunuh diri dengan berbagai cara. Universitas Sumatera Utara Jenis bunuh diri yang seringkali muncul bagi penderita gangguan bipolar dalam penelitian ini bila mengacu pada teori Durkheim adalah bunuh diri jenis egoistis, altruistis, anomik, dan fatalistis. Dimana jenis egoistis ketika individu tersebut merasa tidak menjadi bagian dari suatu kelompok masyarakat. Mereka merasa begitu terasingkan dan hidup sendiri. Hal ini yang sering dialami oleh objek penelitian walaupun mereka berada dalam keramaian sekalipun. Jenis bunuh diri lain yang tampak adalah jenis altruistik anomik dimana objek penelitian seperti merasa memiliki beban atau bahkan menjadi beban yang sangat kuat sejak masa kecilnya, bisa karena faktor traumatis, keluarga, kekecewaan atau faktor lingkungan sosal. Hal ini semakin diperparah dengan ketidakmampuan mereka untuk mengontrol situasi sekitar. Lemah akan kontrol norma dan nilai yang ada di dalam masyarakat. 5 dari 5 objek penelitian mengalami itu. Sehingga risiko bunuh diri tampak begitu tinggi bagi mereka. Jenis bunuh diri yang terakhir adalah bunuh diri fatalistik yang muncul karena objek penelitiaan sudah merasa lelah dan memiliki rasa putus asa yang begitu kuat seakan-akan sudah tidak memiliki harapan lagi untuk melangkah maju. Terapi pendampingan psikososial yang peneliti teliti dimaksudkan untuk melakukan identifikasi atau melihat cara-cara efektif untuk menurunkan risiko- risiko bunuh diri tersebut yang mungkin dilakukan oleh penderita. Tabel berikut ini akan menjelaskan temuan peneliti akan cara-cara efektif yang dikelola oleh pendamping dan penderita yang diteliti. Universitas Sumatera Utara Tabel 4.7 Identifikasi Model-Model Terapi Pendampingan Psikososial untuk Penurunan Risiko Bunuh Diri No Episode Depresi Episode Mania 1. Terapi Afeksi Berbasis Keluarga Manajemen DiriPribadi 2. Pet Therapy Terapi Hewan Peliharaan Support Group 3. Teknik Spiritual Teknik Koping Bersama 4. Jurnal Harian Bersama Hipnoterapi 5. Manajemen DiriPribadi Sahabat Nasehat dan Sahabat Kontrol 6. Hipnoterapi Refreshing 7. Kreasi Motivasi 8. Terapi Musik 9. Manajemen Impian 10. Teknik Koping 11. Support Group Terapi Afeksi Berbasis Keluarga tidak hanya digunakan untuk meningkatkan keberfungsian sosial penderita gangguan bipolar namun juga untuk menurunkan risiko bunuh diri yang muncul pada episode depresi. Sharing atau saling berbagi cerita dan perasaan dilakukan dalam terapi ini. Refleksi malam berisi dukungan dan perhatian mampu menghindari penderita untuk berpikir dan bertindak berisiko. Terapi afeksi juga mampu menanamkan mental positif serta memperbaiki konsep harga diri yang rendah sehingga penderita lebih mampu Universitas Sumatera Utara menghargai dirinya dan menghindari upaya bunuh diri. Penanaman rasa cinta dan kasih sayang yang tulus dari pendamping terhadap penderita sangat membantu proses penurunan risiko bunuh diri penderita gangguan bipolar. Peneliti mendapati bahwa hampir semua objek penelitian tidak memiliki banyak teman dan mengandalkan keluarga atau kerabat dekat sebagai pendamping terapi. Karena masalah keterbatasan waktu akan pendampingan maka pet therapy atau terapi hewan peliharaan menjadi satu solusi untuk menemani kesendirian penderita serta agar penderita mampu memberikan dan membentuk sifat afeksinya melalui hewan yang dipeliharanya. Hewan peliharaan yang bisa dijadikan sahabat terapi seharusnya adalah hewan yang setia dan bisa diajak bermain dan atau berkomunikasi seperti anjing atau kucing. Salah seorang individu yang diteliti memilih kucing dan ikan hias sebagai sahabat terapi melalui pet therapy. Teknik spiritual melalui aktivitas rohani serta manajemen diri yang didalamnya termasuk manajemen stres dirasa cukup penting untuk dilakukan. Jurnal harian bersama pun cukup efektif. Jurnal ini berupa sebuah buku yang tidak hanya diisi oleh penderita saja untuk memantau perkembangannya namun juga diisi oleh orang-orang terdekat penderita yang dipercayainya, dalam hal ini contohnya adalah keluarga atau pendamping terapi. Melalui jurnal harian bersama ini secara tidak langsung penderita sudah berbagi afeksi, tidak merasa terasingkan dan sendiri, serta mengalami peningkatan keterbukaan dan berkomunikasi secara tidak langsung. 1 dari 5 objek penelitian melakukan hipnoterapi. Hipnoterapi dilakukan ketika sangat sulit menembus batas afeksi dalam keluarga. Teknik ini juga digunakan untuk lebih mengetahui perasaan terdalam penderita yang terkadang Universitas Sumatera Utara masih ditutupi. Hipnoterapi juga berguna untuk penanaman mental dan pemikiran positif penderita gangguan. Kreasi motivasi menjadi salah satu cara yang dipakai oleh 2 dari 5 objek penelitian. Dengan memanfaatkan hobi mereka maka dibuatlah gambar motivasi, lagu motivasi, serta majalah dinding motivasi sebagai bagian dari kreasi mereka untuk menyemangati diri mereka sendiri. Hasil kreasi penderita yang didengarkan atau dilihat setiap hari mampu menambah semangat dan harapan penderita untuk tetap bertahan berjuang atas gangguan kesehatan mental yang dideritanya. Terapi musik dipisahkan dari teknik koping secara personal. Terapi musik yang diterapkan disini adalah terapi mendengarkan lagu-lagu positif penambah harapan hidup. Ketika tampak gejala episode depresi, maka penderita bisa langsung mendengarkan musik berlirik positif yang sudah dipersiapkan sebelumnya. Selain itu terapi musik dapat juga dilakukan dengan memainkan musik dan menyanyikan lirik yang bernuansa penyemangat dan positif. Dalam terapi ini sangatlah dihindari musik dengan jenis musik yang dramatis dengan lirik yang gelap penuh traumatis dan putus asa karena akan membawa perasaan penderita semakin tenggelam menuju depresi. Terapi musik ini diakui Handoko Mukti dalam FGD. Musik itu sangat mudah menyerap masuk ke dalam seseorang. Musik dapat merubah perasaan sesorang dengan cepat dan untuk itulah terapi musik yang positif baik untuk dilakukan. Manajemen impian juga merupakan salah satu bagian dari terapi pendampingan psikososial yang peneliti temukan. Manajemen impian dibuat oleh penderita didampingi oleh pendamping akan melakukan dialog berupa visi masa Universitas Sumatera Utara depan, tentang impian, harapan, atau cita-cita yang ingin dicapai oleh penderita di masa depan serta mencari potensi yang ada di dalam diri penderita. Pendamping berfungsi sebagai pendukung manajemen impian penderita. Ketika penderita sudah mendapatkan tujuan hidup yang ingin dicapai maka ditentukanlah cara-cara atau langkah-langkah yang harus dilakukan guna pencapaian impian tersebut. Tujuan manajemen impian ini adalah agar penderita gangguan bipolar kembali mempunyai semangat dan gairah hidup serta tidak terfokus pada penyakit atau masalahnya melainkan pada masa depannya. Pada episode mania terapi yang dilakukan terhadap penderita adalah manajemen diri atau pribadi, support group, teknik koping bersama untuk mengendalikan perasaan bahagia yang berlebihan agar tidak melakukan tindakan yang berisiko, hipnoterapi, sahabat nasehat dan sahabat kontrol, serta melakukan refreshing atau relaksasi.

4.2.7 Hasil Terapi Pendampingan Psikososial

Berdasarkan hasil penelitian melalui wawancara dan observasi dapat diambil kesimpulan bahwa terapi pendampingan psikososial yang dilakukan dengan berbagai cara yang sudah diidentifikasi tersebut memberikan hasil yang positif. Berikut merupakan tabel yang berisi hasil-hasil dari terapi pendampingan psikososial yang diteliti. Tabel 4.8 Hasil-Hasil Terapi Pendampingan Psikososial Hasil untuk Peningkatan Keberfungsian Sosial Hasil untuk Penurunan Risiko Bunuh Diri 1. Individu mampu kembali 1. Individu tidak memiliki pikiran- Universitas Sumatera Utara menjalankan peran, kewajiban dan tanggung jawabnya dengan baik pikiran untuk bunuh diri 2. Individu memahami dengan baik penyakit, gejala-gejala, tindakan pencegahan serta perawatan penyakitnya 2. Individu tidak melakukan upaya bunuh diri 3. Individu memiliki konsep harga diri yang baik 3. Individu tidak melakukan upaya penenangan emosi destruktif dengan minum minuman keras, merokok, dan menyakiti atau melukai bagian tubuh 4. Individu mampu bersosialisasi baik dengan lingkungannya 4. Individu mampu mengelola emosi dan memanajemen diri dengan baik 5. Individu mampu mengelola emosi dan memanajemen diri dengan baik 5. Individu memiliki gairah dan semangat hidup kembali 6. Individu melakukan aktivitas harian serta minatnya dengan normal 6. Individu memiliki tujuan hidup 7. Individu tidak melakukan isolasi diri dengan menghindari lingkungan sosial 7. Individu mampu melampiaskan emosi dan energi secara positif 8. Individu berhasil menambah teman 8. Anxietas, loneliness, paranoid, hopeless, emptyness, dan fatigue berkurang. 9. Individu mulai terlibat aktif dalam komunitas-komunitas hobi atau dukungan 9. Individu mampu berpikir jernih dan berkonsentrasi baik Universitas Sumatera Utara Berdasarkan tabel di atas kita dapat melihat bahwa terapi pendampingan psikososial ini mampu meningkatkan keberfungsian sosial serta menurunkan risiko bunuh diri bagi para penderita gangguan bipolar disorder. Ketika seorang penderita sudah mampu menjalankan peran dan fungsinya dengan baik di tengah masyarakat, hal tersebut sudah cukup menjadi indikator keberfungsian sosialnya. Saat individu sudah tidak memiliki pemikiran-pemikiran untuk mengakhiri nyawanya sendiri dan tidak atau menjauhi upaya bunuh diri itu sudah menjadi indikator yang kuat dalam penurunan risiko bunuh diri seorang penderita gangguan mental bipolar disorder.

4.2.8 Faktor Pendukung dan Penghambat Terapi Pendampingan Psikososial

Proses terapi pendampingan psikososial ini tidaklah tanpa hambatan. Masalah finansial karena harga obat-obatan yang cukup mahal serta media teknik koping yang membutuhkan pengeluaran menjadi salah satu faktor penghambat terkhusus bagi keluarga menengah ke bawah. Waktu keluarga yang sangat terbatas karena memiliki aktivitas pekerjaan dan sekolah pun menjadi faktor penghambat pendampingan. Begitu pula dengan kondisi traumatis yang cukup kuat sejak kecil yang butuh waktu lama untuk pulih dengan teknik pengungkapan, penerimaan diri dan pengampunan. Faktor penghambat lain yang ditemukan oleh peneliti adalah objek penelitian memiliki teman yang sangat sedikit sehingga pendamping harus dilakukan secara tunggal oleh pendamping tunggal. Bagi pendamping tunggal Universitas Sumatera Utara tentu saja hal ini adalah hal yang cukup berat namun karena ada rasa cinta dan kasih sayang tulus membuat pendampingan tidak terlalu berat. Adanya rasa kepercayaan, dukungan dan keterbukaan antara penderita gangguan dan pendamping merupakan salah satu faktor pendukung yang cukup kuat dalam proses terapi psikososial ini. Kehangatan keluarga dan pendamping yang mengerti dengan cukup jelas gejala dan gangguan penderita juga menjadi poin pendukung. Adanya fasilitas teknik koping dan teknologi yang mendukung membuat terapi ini dapat berjalan baik. Ditambah lagi dengan eksistensi komunitas pendukung sesama penderita gangguan bipolar seperti Komunitas Peduli Skizofrenia Indonesia yang memfasilitasi penderita dan pendamping untuk saling berbagi dan mendukung satu sama lain.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN