profesi lainnya. Dimana, ada prinsip to help people to help themselves yang masih diutamakan dalam praktik pekerjaan sosial, membantu para penyandang
masalah kesejahteraan sosial dapat kembali berfungsi secara sosial.
2.3 Bunuh Diri
2.3.1 Definisi Bunuh Diri
Secara umum, bunuh diri berasal dari bahasa Latin “suicidium”, dengan “sui” yang berarti sendiri dan “cidium” yang berarti pembunuhan. Schneidman
mendefinisikan bunuh diri sebagai sebuah perilaku pemusnahan secara sadar yang ditujukan pada diri sendiri oleh seorang individu yang memandang bunuh diri
sebagai solusi terbaik dari sebuah isu. Dia mendeskripsikan bahwa keadaan mental individu yang cenderung melakukan bunuh diri telah mengalami rasa sakit
psikologis dan perasaan frustasi yang bertahan lama sehingga individu melihat bunuh diri sebagai satu-satunya penyelesaian untuk masalah yang dihadapi yang
bisa menghentikan rasa sakit yang dirasakan dalam Maris dkk., 2000.
Dari aliran eksistensial, Baechler mengatakan bahwa bunuh diri mencakup semua perilaku yang mencari penyelesaian atas suatu masalah eksistensial dengan
melakukan percobaan terhadap hidup subjek dalam Maris dkk., 2000. Menurut Corr, Nabe, dan Corr 2003, agar sebuah kematian bisa disebut bunuh diri, maka
harus disertai adanya intensi untuk mati. Meskipun demikian, intensi bukanlah hal yang mudah ditentukan, karena intensi sangat variatif dan bisa mendahului,
misalnya untuk mendapatkan perhatian, membalas dendam ,mengakhiri sesuatu yang dipersepsikan sebagai penderitaan, atau mengakhiri hidup.
Universitas Sumatera Utara
Menurut Maris, Berman, Silverman, dan Bongar 2000, bunuh diri
memiliki 4 pengertian, antara lain:
1. Bunuh diri adalah membunuh diri sendiri secara intensional
2. Bunuh diri dilakukan dengan intensi
3. Bunuh diri dilakukan oleh diri sendiri kepada diri sendiri
4. Bunuh diri bisa terjadi secara tidak langsung aktif atau tidak langsung
pasif, misalnya dengan tidak meminum obat yang menentukan kelangsungan hidup atau secara sengaja berada di rel kereta api.
Berdasarkan beberapa definisi di atas, dapat dikatakan bahwa bunuh diri secara umum adalah perilaku membunuh diri sendiri dengan intensi mati sebagai
penyelesaian atas suatu masalah.
Memiliki sedikit definisi yang berbeda, percobaan bunuh diri dan bunuh diri yang berhasil dilakukan memiliki hubungan yang kompleks Maris
dkk.,2000. Hal tersebut dikarenakan adanya interaksi dan komorbid antara etiologi kedua perilaku tersebut. Di samping itu, kebanyakan pelaku bunuh diri
melakukan beberapa percobaan bunuh diri sebelum akhirnya berhasil bunuh diri.
Beck dalam Salkovskis, 1998 mendefinisikan percobaan bunuh diri sebagai sebuah situasi dimana seseorang telah melakukan sebuah perilaku yang
sebenarnya atau kelihatannya mengancam hidup dengan intensi menghabisi hidupnya, atau memperlihatkan intensi demikian, tetapi belum berakibat pada
kematian. Dengan demikian, yang dimaksud dengan percobaan bunuh diri adalah upaya untuk membunuh diri sendiri dengan intensi mati tetapi belum berakibat
pada kematian.
Universitas Sumatera Utara
2.3.2 Metode Bunuh Diri
Richman menyatakan ada dua fungsi dari metode bunuh diri dalam Maris dkk., 2000. Fungsi pertama adalah sebagai sebuah cara untuk melaksanakan
intensi mati. Sedangkan pada fungsi yang kedua, Richman percaya bahwa metode memiliki makna khusus atau simbolisasi dari individu.
Secara umum, metode bunuh diri terdiri dari 6 kategori utama yaitu: 1.
Obat memakan padatan, cairan, gas, atau uap 2.
Menggantung diri mencekik dan menyesakkan nafas 3.
Senjata api dan peledak 4.
Menenggelamkan diri 5.
Melompat 6.
Memotong menyayat dan menusuk
2.3.3 Faktor Penyebab Bunuh Diri
Bunuh diri bukanlah merupakan satu hal tetapi terdiri dari banyak fenomena yang tumpang tindih. Oleh sebab itu, tidak ada satupun kasus bunuh
diri yang memiliki etiologi yang sama Maris dkk.,2000. Schneidman menyebut bunuh diri sebagai hasil dari “psychache”. Psychache merupakan rasa sakit dan
derita yang tidak tertahankan dalam jiwa dan pikiran. Rasa sakit tersebut pada dasarnya berasal dari jiwa seseorang ketika merasakan secara berlebih rasa malu,
rasa bersalah, penghinaan, kesepian, ketakutan, kemarahan, kesedihan karena menua, atau berada dalam keadaan sekarat dalam Maris dkk., 2000. Di samping
itu, Mann dari bidang psikiatri mengatakan penyebab bunuh diri berada di otak,
Universitas Sumatera Utara
akibat kurangnya tingkat 5-HIAA, reseptor post-sinapsis, dan pertanda biologis lainnya dalam Maris dkk., 2000.
Tidak ada faktor tunggal pada kasus bunuh diri, setiap faktor yang ada saling berinteraksi. Namun demikian, tidak berarti bahwa seorang individu yang
melakukan bunuh diri memiliki semua karakteristik di bawah ini. Berikut beberapa faktor penyebab bunuh diri yang didasarkan pada kasus bunuh diri yang
berbeda-beda tetapi memiliki efek interaksi di antaranya Maris, dalam Maris dkk.,2000; Meichenbaum, 2008:
1. Major-depressive illness, affective disorder
2. Penyalahgunaan obat-obatan sebanyak 50 korban percobaan bunuh
memiliki level alkohol dalam darah yang positif 3.
Memiliki pikiran bunuh diri, berbicara dan mempersiapkan bunuh diri 4.
Sejarah percobaan bunuh diri 5.
Sejarah bunuh diri dalam keluarga 6.
Isolasi, hidup sendiri, kehilangan dukungan, penolakan 7.
Hopelessness dan cognitive rigidity 8.
Stresor atau kejadian hidup yang negatif masalah pekerjaan, pernikahan, seksual, patologi keluarga, konflik interpersonal,
kehilangan, berhubungan dengan kelompok teman yang suicidal 9.
Kemarahan, agresi, dan impulsivitas 10.
Rendahnya tingkat 5-HIAA 11.
Key symptoms anhedonia, impulsivitas, kecemasan panik, insomnia global, halusinasi perintah
Universitas Sumatera Utara
12. Suicidality frekuensi, intensitas, durasi, rencana dan perilaku
persiapan bunuh diri 13.
Akses pada media untuk melukai diri sendiri 14.
Penyakit fisik dan komplikasinya 15.
Repetisi dan komorbid antara faktor-faktor di atas
2.3.4 Penjelasan Bunuh
Diri
Penjelasan-penjelasan dari perspektif yang berbeda berikut hendaknya dipandang sebagai satu kesatuan dalam memahami perilaku bunuh diri yang
kompleks. 1. Penjelasan Psikologis
Leenars dalam Corr, Nabe, Corr, 2003 mengidentifikasi tiga bentuk penjelasan psikologis mengenai bunuh diri. Penjelasan yang pertama didasarkan
pada Freud yang menyatakan bahwa “suicide is murder turned around 180 degrees”, dimana dia mengaitkan antara bunuh diri dengan kehilangan seseorang
atau objek yang diinginkan. Secara psikologis, individu yang berisiko melakukan bunuh diri mengidentifikasi dirinya dengan orang yang hilang tersebut. Dia
merasa marah terhadap objek kasih sayang ini dan berharap untuk menghukum atau bahkan membunuh orang yang hilang tersebut. Meskipun individu
mengidentifikasi dirinya dengan objek kasih sayang, perasaan marah dan harapan untuk menghukum juga ditujukan pada diri. Oleh karena itu, perilaku destruktif
diri terjadi. Penjelasan kedua memandang masalah bunuh diri pada dasarnya adalah
masalah kognitif. Pada pandangan ini, depresi merupakan faktor kontribusi yang
Universitas Sumatera Utara
sangat besar, yang khususnya diasosiasikan dengan hopelessness. Fokus pandangan ini terletak pada penilaian negatif yang dilakukan oleh suicidal person
terhadap diri, situasi sekarang, dunia, dan masa depan. Sejalan dengan penilaian ini, pikiran yang rusak muncul. Pikiran ini seringkali otomatis, tidak disadari, dan
dicirikan oleh sejumlah kesalahan yang mungkin. Beberapa diantaranya begitu menyeluruh sehingga membentuk distorsi-distorsi kognitif.
Beck dalam Pervine, 2005 memperkenalkan model kognitif depresi yang menekankan bahwa seseorang yang depresi secara sistematis salah menilai
pengalaman sekarang dan masa lalunya. Model ini terdiri dari 3 pandangan negatif mengenai diri, dunia, dan masa depan. Dia memandang dirinya tidak
berharga dan tidak berguna, memandang dunia menuntut terlalu banyak darinya, dan memandang masa depan itu suram. Ketika skema kognitif yang disfungsional
automatic thoughts ini diaktifkan oleh kejadian hidup yang menekan, individu berisiko melakukan bunuh diri.
Penjelasan ketiga menyatakan bahwa perilaku bunuh diri itu dipelajari. Teori ini berpendapat bahwa sebagai seorang anak, individu suicidal belajar untuk
tidak mengekspresikan agresi yang mengarah keluar dan sebaliknya membalikkan agresi tersebut menuju pada dirinya sendiri. Di samping itu, sebagai akibat dari
reinforcement negatif, individu tersebut menjadi depresi. Depresi dan kaitannya dengan perilaku bunuh diri atau mengancam hidup lainnya bisa dilihat sebagai
reinforcer positif, karena menurut pandangan ini individu dipandang tidak dapat bersosialisasi dengan baik dan belum mempelajari penilai budaya terhadap hidup
dan mati.
Universitas Sumatera Utara
Sebagai tambahan, Jamison dalam Corr, Nabe, Corr, 2003 mengemukakan bahwa psikopatologi adalah elemen paling umum pada perilaku
bunuh diri. Dia percaya bahwa sakit mental memainkan suatu peranan penting pada perilaku bunuh diri. Beberapa kondisi psikopatologis yang difokuskannya
adalah bipolar disorder atau mood disorder, schizophrenia, borderline dan antisocial personality disorder, alkoholik, dan penyalahgunaan obat-obatan.
2. Penjelasan Biologis Banyak penelitian telah dilakukan untuk menemukan penjelasan biologis
yang tepat untuk perilaku bunuh diri. Beberapa peneliti percaya bahwa ada gangguan pada level serotonin di otak, dimana serotonin diasosiasikan dengan
perilaku agresif dan kecemasan. Penelitian lain mengatakan bahwa perilaku bunuh diri merupakan bawaan lahir, dimana orang yang suicidal mempunyai keluarga
yang juga menunjukkan kecenderungan yang sama. Walaupun demikian, hingga saat ini belum ada faktor biologis yang ditemukan berhubungan secara langsung
dengan perilaku bunuh diri. 3. Penjelasan Sosiologis
Penjelasan yang terbaik datang dari sosiolog Durkheim yang memandang perilaku bunuh diri sebagai hasil dari hubungan individu dengan masyarakatnya,
yang menekankan apakah individu terintegrasi dan teratur atau tidak dengan masyarakatnya. Berdasarkan hubungan tersebut, Durkheim dalam Corr, Nabe,
Corr, 2003 membagi bunuh diri menjadi 4 tipe yaitu Egoistic Suicide, Altruistic Suicide,
Anomic Suicide, dan Fatalistic Suicide.
Universitas Sumatera Utara
2.3.5 Teori Bunuh Diri Emile Durkheim
Emile Durkheim merupakan tokoh sosiologi klasik yang terkenal dengan teori bunuh dirinya. Dalam bukunya “SUICIDE” Emile mengemukakan dengan
jelas bahwa yang menjadi penyebab bunuh diri adalah pengaruh dari integrasi sosial. Teori ini muncul karena Emile melihat didalam lingkungannya terdapat
orang-orang yang melakukan bunuh diri. Yang kemudian menjadikan Emile tertarik untuk melakukan penelitian di berbagai negara mengenai hal ini. Peristiwa
bunuh diri merupakan kenyataan-kenyataan sosial tersendiri yang karena itu dapat dijadikan sarana penelitian dengan menghubngkannya terhadap struktur sosial dan
derajat integrasi sosial dari suatu kehidupan.
2.3.5.1 Alasan dan Jenis Bunuh Diri
Terdapat empat alasan orang bunuh diri menurut Durkheim 2007:17, yaitu:
a Karena alasan agama
Dalam penelitiannya, Durkheim mengungkapkan perbedaaan angka bunuh diri dalam penganut ajaran Katolik dan Protestan. Penganut agama
Protestan cenderung lebih besar angka bunuh dirinya dibandingkan dengan penganut agama Katolik. Perbedaan ini dikarenakan adanya perbedaan
kebebasan yang diberiakn oleh kedua agama tersebut kepada penganutnya. Penganut agama Protestan memperoleh kebebasan yang jauh lebih besar
untuk mencari sendiri hakekat ajaran-ajaran kitab suci, sedangkan pada agama Katolik tafsir agama ditentukan oleh pemuka Gereja. Akibatnya
kepercayaan bersama dari penganut Protestan berkurang sehingga
Universitas Sumatera Utara
menimbulkan keadaan dimana penganut agama Protestan tidak lagi menganut ajarantafsir yang sama. Integrasi yang rendah inilah yang
menjadi penyebab laju bunuh diri dari penganut ajaran ini lebih besar daripada penganut ajaran agama Katolik.
b Karena alasan keluarga
Semakin kecil jumlah anggota dari suatu keluarga, maka akan semakin kecil pula keinginan untuk terus hidup. Kesatuan sosial yang semakin
besar, semakin besar mengikat orang-orang kepada kegiatan sosial di antara anggota-anggota kesatuan tersebut. Kesatuan keluarga yang lebih
besar biasanya lebih akan terintegrasi. c
Karena alasan politik Durkheim disini mengungkapkan perbedaan angka bunuh diri antara
masyarakat militer dengan masyarakat sipil. Dalam keadaan damai angka bunuh diri pada masyarakat militer cenderung lebih besar daipada
masyarakat sipil. Dan sebaliknya, dalam situasi perang masyarakat militer angka bunuh dirinya rendah. Didalam situasi perang masyarakat militer
lebih terintegrasi dengan baik dengan disipilin yang keras dibandingkan saat keadaan damai di dalam situasi ini golongan militer cenderung
disiplinnya menurun sehingga integrasinya menjadi lemah. d Karena alasan kekacauan hidup anomie
Bunuh diri dengan alasan ini dikarenakan bahwa orang tidak lagi mempunyai pegangan dalam hidupnya. Norma atau aturan yang ada sudah
tidak lagi sesuai dengan tuntutan jaman yang ada.
Universitas Sumatera Utara
Sedangkan jenis-jenis bunuh diri menurut Durkheim adalah: a. Bunuh diri Egoistic
Adalah suatu tindak bunuh diri yang dilakukan seseorang karena merasa kepentingannya sendiri lebih besar daripada kepentingan kesatuan sosialnya.
Seseorang yang tidak mampu memenuhi peranan yang diharapkan role expectation di dalam role performance perananan dalam kehidupan sehari-hari,
maka orang tersebut akan frustasi dan melakukan bunuh diri. b. Bunuh diri Anomic
Bunuh diri yang terjadi ketika kekuatan regulasi masyarakat terganggu dimana terjadi ketidakjelasan norma-norma yang mengatur cara berpikir,
bertindak dan merasa para anggota masyarakat, gangguan itu mungkin membuat individu merasa tidak puas karena lemahnya kontrol terhadap nafsu mereka, yang
akan bebas berkeliaran dalam ras yang tidak akan pernah puas terhadap kesenangan. Menurut Durkheim, suatu keadaan anomik dapat dilihat dari
indikator ekonomi maupun domestik. Analisa statistik Durkheim memperlihatkan bahwa krisis ekonomi membuat orang kehilangan arah. Dalam keadaan seperti ini,
ungkap Durkheim mereka harus beradaptasi dengan kondisi yang menimpa mereka, kondisi yang sangat menyiksa; mereka membayangkan penderitaan
karena serba berkekurangan bahkan sebelum mereka mencoba kehidupan ini. Pertumbuhan kemakmuran yang mendadak dalam masyarakat juga memiliki
dampak serupa terhadap peningkatan angka bunuh diri dalam masyarakat. Pertumbuhan ekonomi yang mendadak membuat tatanan moral sekonyong-
Universitas Sumatera Utara
konyong runtuh, sementara tatanan moral yang baru belum cukup rampung untuk menggantikan tatanan moral sebelumnya.
c. Bunuh diri Altruistic Orang melakukan bunuh diri karena merasa dirinya sebagai beban dalam
masyarakat. Contohnya adalah seorang istri yang melakukan bunuh diri yang telah ditinggal mati oleh suaminya. Serta juga bunuh diri yang dilakukan oleh orang
Jepang “hara kiri”, yaitu bunuh diri yang dilakukan oleh anggota militer demi membela negaranya.
d. Bunuh diri Fatalisme Adalah bunuh diri yang dilakukan karena rasa putus asa. Tidak ada lagi
semangat untuk melanjutkan hidup.
2.3.5.2 Teori Struktural Fungsional dan Studi Bunuh Diri
Teori struktural fungsional adalah teori yang menjelaskan tentang bagaimana sebuah struktur dalam suatu negara dapat mempengaruhi individu dan
masyarakat dalam berbagai aspek. Teori struktural fungsional dalam studi Emile Durkheim tentang Bunuh Diri Suicide. Bunuh diri adalah suatu fakta sosial yang
terjdi dalam masyarakat yang penyebabnya dikarenakan sebuah struktur yang terjadi dalam suatu negara, yang kemudian dampaknya terjadi kepada masyarakat
ataupun individu.
Kenyataan dari fakta sosial itu sendiri adalah bahwa gejala sosial yang terjadi secara nyata dan riil dan dipengaruhi oleh kesadaran individu serta
Universitas Sumatera Utara
perilakunya yang berbeda dari karakteristik psikologi, biologis ataupun karakteristik yang lain. Karakteristik fakta sosial menurut Durkheim adalah,
pertama bahwa setiap tindakan atau gejala sosial individu dipengaruhi oleh faktor eksternal. Seperti norma – norma dan peraturan – peraturan bahwa individu selalu
dalam situasi yang sama selalu melakukan dan mematuhi aturan dan norma – norma yang ada, hal itu terbukti semua tindakan dan aktivitas individu selalu
dipengaruhi oleh faktor – faktor eksternal diluar kesadaran manusia. Kedua, bahwa fakta sosial itu bersifat memaksa, hal tersebut dapat dilihat
jika individu dalam melaksanakan aturan yang berlaku selalu terdapat paksaan dalam dirinya. Paksaan tersebut dapat menjadi sesuatu yang biasa, jika proses
yang dilakukan individu berhasil alhasil, semua aturan yang ada telah menjadi sesuatu yang biasa tanpa adanya paksaan.
Ketiga, bahwa fakta sosial bersifat umum dan menyeluruh. Hal tersebut dapat diartikan fakta sosial bukan milik individu melainkan milik masyarakat luas
dan fakta sosial bersifat kolektif Samuel, 2010:25.
Menurut Durkheim, fakta sosial adalah seluruh cara bertindak, baku maupun tidak yang dilakukan individu karena adanya paksaan eksternal dan fakta
sosial adalah seluruh tindakan masyarakat yang secara umum dilakukan tanpa manifestasi dari individu. Durkheim membedakan fakta soaial menjadi dua yaitu
fakta sosial material dan fakta sosial nonmaterial. Fakta sosial material adalah gaya arsitektur, bentuk teknologi, bentuk perundangan yang mudah dipahami,
karena dapat diamati secara langsung. Fakta sosial material sering mengekspresikan kekuatan moral yang lebih besar dan kuat yang berada dalam
Universitas Sumatera Utara
luar individu bersifat memaksa, hal itu disebut fakta sosial nonmaterial. Fakta sosial nonmaterial dipandang penting oleh Durkheim, karena fakta ini
mengandung batasan – batasan tertentu, ia ada dalam pikiran individu. Semua ketentuan manusia bukan hanyan berasal dari pikiran individu semata, melainkan
dari interaksi manusia itu sendiri. Pada level lain fakta sosial material yang berupa struktur misal birokrasi, yang bercampur dengan komponen morfologis
kepadatan penduduk dalam lingkungan dan jalur komunikasi mereka, fakta
sosial nonmaterialnya adalah norma birokrasi.
Fakta sosial nonmaterial sesuatu yang sangat penting dalam studi Durkheim, maka dengan ini akan mempertengahkan jenis – jenis fakta sosial
nonmaterial yaitu moralitas, kesadaran kolektif, representasi kolektif dan aliran sosial. Moralitas, dalam mempelajari moralitas yang harus diperhatikan terdiri
dari dua aspek. Pertama, moralitas adalah fakta sosial yang dipengaruhi oleh faktor – faktor eksternal yang dapat dipelajari secara empiris bukan secara
fisiologis karena moralitas dapat dilihat bentuknya secara keseluruhan namun
moralitas harus dipelajari secara empiris.
Moralitas sangat erat hubungannya dengan struktur sosial. Kedua, moralitas adalah sesuatu yang diidentifikasi dengan masyarakat. Masyarakat tidak
mungkin tidak bermoral, namun bisa jadi masyarakat itu kehilangan kekuatan moralnya jika ia menganggap kepentingan – kepentingan kolektif bersan
menjadi kepentingan individu belaka. Selama moralitas itu adala fakta sosial, moralitas dapat memaksa masyarakat atau individu untuk mematuhi kepentingan
bersama.
Universitas Sumatera Utara
Kesadaran kolektif, menurut Durkheim definisi kesadaran kolektif adalah seluruh kepercayaan bersama orang kebanyakan dalam masyarakat yang akan
menimbulkan sebuah sistem yang tetap dan memiliki kehidupan sendiri bersifat umum. Durkheim memandang kesadran kolektif tidak dapat dipisahkan dengan
kehidupan masyarakat secara keseluruhan melalui kepercayaan dan sistem bersama. Durkheim menilai bahwa kesadaran kolektif tidak dapat telepas dari
fakta sosial dan Durkheim pun tidak memungkiri kalau kesadaran kolektif dapat terwujud melalui kesadaran – kesadaran individu Samuel, 2010:37.
Representatif kolektif, karena kesadaran kolektif memiliki sesuatu yang luas dan tidak memiliki bentuk yang tetap dan hanya bisa dipelajari dengam
melalui fakta sosial material, maka Durkeim pun memilih sesuatu yang lebih spesifik dalam karya – karyanya. Contoh dari representatif kolektif adalah simbol
agama, mitos dan lgenda populer. Semua itu adalah cara – cara masyarakat merefleksikan dirinya dan mempresentasikan kepercayaan, norma, dan nilai
kolektif dan mendorong kita untuk menyesuaikan diri dengan klaim kolektif. Representasi kolektif tidak dapat ditimbulkan oleh kesadaran – kesadran individu,
karena reperesentatif kolektif berhubungan langsung dengan simbol material. Aliran sosial, sebagian besar faktas sosial Durkheim selalu di hubungakan
dengan organisasi soial. Tetapi fakta sosial tudk dapat menghadirkan bentuk yang jelas, karena fakta sosial tidak dapat timbul melalui kesadaran - kesadaran
individu. Aliran atau arus sosial dapat dicontohkan dengan, luapan emosi, perasaan, amarah, semangat dan rasa kasihan. Kita dapat diseret oleh arus sosial ia
memiliki kekuatan untuk memaksa kita, meski kita baru menyadari ketika kita
bergulat dengan perasaan bersama kita.
Universitas Sumatera Utara
Bunuh diri sebagai fakta sosial, dimana Durkheim mendefinisikan bunuh diri adalah sebagai penyebeb kematian sesorang baik secara langsung maupun
tidak langsung, oleh tindakan positif ataupun negatif yang pelakunya sadar jika perbuatannya dapat menimbulkan kematian dalam dirinya. Studi tentang bunuh
diri ini sebelumnya didasarkan pada dua penyebab, yaitu gangguan psikologis,
gangguan biologis dan ekologis kosmis.
Bunuh diri karena gangguan psikologis ada empat jenis pertama, maniacal suicide yaitu bunuh diri didasarkan adanya halusinasi baik dalam rangka melawan
maupun menuruti halusinasi tersebut, kedua melancholy suicide yaitu dimana pelaku dalam keadaan depresi berat dan kesedihan yang meluap – luap, ketiga
obsessive suicide yaitu bunuh diri atas dasar obsesi atau keinginan sendiri untuk membunuh dirinya sendiri, meskipun tindakan bunuh diri tidak didasari oleh
motivasi tertentu yang masuk akal, keempat impulsive suicide yaitu bunuh diri didasarkan pada dorongan impulsif Samuel, 2010:67.
Durkheim menafsirkan bahwa bunuh diri tidak selamanya karena adanya gangguan psikologis, karena tidak dapat dipertanggungjwabkan, data yang
dikumpulkan bersifat terbatas sehingga kesimpulan yang ditarik tidak menciptakan suatu kesimpulan yang terperinci secara spesifik. Berdasarkan data
statistik Durkheim terlihat adanya hubungan antara kasus bunuh diri dan ciri- ciri sosial pelakunya. Ciri tersebut adalah agama, jenis kelamin, asal negara, dan usia.
Dari abad ke abad bunuh diri semakin menimbulkan keraguan, singkatnya bunuh diri tidak sekedar atas gangguan psikologis. Durkheim juga tidak menyetujui jika
bunuh diri karena adanya faktor biologis. Yang menjadi dasar dari faktor biologis tersebut adalah ras dan asal – usul keturunan, kaena tidak adanya definisi yang
Universitas Sumatera Utara
jelas terhadap penjelasan ras itu sendiri. Durkheim menyebutkan bahwa adanya
faktor non – biologis yang dapat mempengaruhi faktor bunuh diri.
Hasil tafsir ekologis atau kosmis adalah bahwa bunuh diri dapat dipengaruhi karena suhu dan tekanan udara dalam suatu daerah. Berdasarkan data
statistik Durkheim tidak adanya pengaruh bunuh diri dengan pengaruh iklim, suhu dan kelembaban udara. Durkheim menjelaskan tingkat bunuh diri dalam musim
panas bukan karena cuaca yang panas itu hanya sebuah kondisi geografis dari alam, tetapi hal tersebut dikarenakan oleh tingkat aktivitas di musim panas lebih
padat dari pada di musim dingin. Intinya kondisi cuaca tidak dapat mempengaruhi bunuh diri, tetapi terdapat kondisi sosial yang mempengaruhinya. Apa yang
membedakan pandangan Durkheim bukan semata – mata karena faktor dari individu. Bunuh diri merupakan gejala sosial dalam masyarakat, bunuh diri
merupakan sebuah fakta sosial yang tidak dapat direduksi menjadi fakta sosial
lannya, karena sudah memiliki karakteristik dan dasar – dasar sendiri.
Bunuh diri sebagai fakta sosial dapat dilihat jika kita dapat mencermati jenis – jenis bunuh diri dan hubungannya dengan dua jenis fakta sosial utamanya,
integrasi dan regulasi. Integrasi merujuk kepada kuat tidaknya keterikatan masyarakat, sedangkan regulasi merujuk kepada tingkat paksaan eksternal yang
dirasakan individu. Jika adanya integrasi yang meningkat, dikelompokkan menjadi bunuh diri alturuistis, jika integrasi menurun dikelompokkan menjadi
bunuh diri egeoistis. Sedangkan bunuh diri fatalistis berkaitan dengan regulasi yang tinggi, dan jika regulasi rendah maka hal itu berkaitan dengan bunuh diri
anomik.
Universitas Sumatera Utara
Bunuh diri Egoistis adalah bunuh diri dimana kelompok tidak dapat berinteraksi dengan baik. Lemahnya integrasi menimbulkan anggapan individu
bukan bagian dari masyarakat dan sebaliknya masyarakat bukan bagian dari individu. Menurut Durkheim bagian paling baik dari manusia adalah adanya
moralitas, nilai dan tujuan yang berasal dari masyarakat, dengan hal itu manusia dapat melampaui keterpurukan dan kekecewaan. Tanpa adanya hal itu, besar
kemungkinn akan terjadi tindakan bunuh diri karena depresi dan frustasi.
Bunuh diri Altruistis terjadi karena adanya integrasi yang kuat yang terjadi dalam suatu kelompok. Misalnya seseorang yang melakukan bunuh diri karena
terlalu tunduk terhadap ketuanya, contohnya kasus pembunuhan massal yang dilakukan oleh pengikit pendeta Jim Jones di Jonestwon, Guyana pada tahun
1978. Kasus para teroris pada saat bom bali 11 September 2001, mereka menanggap bunuh diri itu dapat dikatakan mati syahid untuk membela agamanya.
Durkheim pun meyimpulkan bahwa semakin lemahnya integrasi akan menimbulkan bunuh diri egoistis, dan semakin tingginya integrasi akan
menimbulkan bunuh diri altruistis.
Bunuh diri Anomik terjadi karena adanya gangguan regulasi yang terjadi di dalam masyarakat. Dimana masyarakat tidak dapat menahan nafsunya untuk
memenuhi kebutuhan yang belum mencapai kepuasan atau lemahnya kontrol dalam diri manusia terhadap nafsunya. Angka bunuh diri anomik dapat tejadi dari
karena adanya gangguan positif maupun negatif. Kedua macam gangguan tersebut menimbulkan otoritas dri masyarakat kepada invidu.
Situasi seperti ini menimbulkan tidak berlakunya norma lama, dan belum timbulnya norma baru
dalam masyarakat sehingga timbul rasa ketercerabutan dan hilangnya norma –
Universitas Sumatera Utara
norma yang mengikat. Kasus seperti ini dapat dijumpai pada kasus depresi ekonomi. Peningkatan bunuh diri selama periode deregulasi kehidupan sosial,
Durkheim melihat tentang pengaruh merusak dari nafsu individu yang tidak terbatas dan terbebas dari pengaruh eksternal. Hal tersebut dapat menimbulkan
tindakan dekstruktif tiada batas, termasuk membunuh diri sendiri.
Bunuh diri fatalistis terjadi pada saat regulasi meningkat. Contoh dari bunuh diri ini adalah bunuh diri budak yang terus ditindas oleh sebuah struktur
yang membatasi setiap tindakannya. Bunuh diri ini tidak banyak di bahas dalam
studi Durkheim tentang bunuh diri.
Hubungan teori struktural fungsional dengan studi bunuh diri sebagai fakta sosial adalah bahwa sebuah struktur yang dibangun masyarakat berdasarkan atas
kesadaran individu yang dipengaruhi faktor eksternal bersifat memaksa dan bersifat menyeluruh untuk masyarakat atau bersifat kolektif yang berfungsi untuk
mengatur dan memaksa individu. Teori struktural fungsional berdasarkan atas fakta sosial masuk dalam ranah fakta sosial nonmaterial dan studi bunuh dirinya
cenderung kepada bunuh diri Fatalistis dan bunuh diri anomik.
2.3.6 Pikiran Bunuh Diri
Pikiran bunuh diri adalah pikiran untuk membunuh diri sendiri tanpa melakukan bunuh diri secara eksplisit. Sedangkan suicide ideators adalah orang
yang memikirkan atau membentuk intensi untuk bunuh diri yang bervariasi
Universitas Sumatera Utara
derajat keseriusannya tetapi tidak melakukan percobaan bunuh diri secara eksplisit atau bunuh diri Maris dkk.,2000. Pikiran bunuh diri bervariasi mulai dari yang
non-spesifik “Hidup ini tidak berarti”, yang spesifik “Saya berharap saya mati”, pikiran dengan intensi “Saya akan membunuh diri saya”, sampai pikiran
yang berisi rencana “Saya akan membunuh diri saya sendiri dengan pistol”. Pikiran bunuh diri paling sering diasosiasikan dengan gangguan depresi
Maris dkk., 2000. De Catanzaro dalam Maris dkk., 2000 menemukan bahwa antara 67 hingga 84 pikiran bunuh diri bisa dijelaskan dengan masalah
hubungan sosial dan hubungan dengan lawan jenis, terutama yang berkaitan dengan loneliness dan perasaan membebani keluarga. Adapun dua motivasi yang
paling sering muncul dalam pikiran bunuh diri adalah untuk melarikan diri dari masalah dalam kehidupan dan untuk membalas dendam pada orang lain Maris,
dalam Maris dkk., 2000.
Intensi merupakan komponen yang penting dalam pikiran bunuh diri sekaligus merupakan konsep dalam bunuh diri yang paling susah diukur Maris
dkk., 2000. Jobes, Berman, dan Josselman telah mendaftar beberapa kriteria agar intensi bunuh diri dapat diukur. Beberapa kriteria tersebut adalah pernyataan
verbal yang eksplisit, percobaan bunuh diri yang pernah dilakukan, persiapan untuk mati, hopelessness, dan lain sebagainya dalam Maris dkk., 2000.
2.4 Kesehatan Mental