b. Melancarkan perkembangan masyarakat dalam berbagai hal Negara sebagai
perangsang, stimulator c.
Menyesuaikan berbagai aktivitas Negara sebagai kordinator d.
Memperuntukkan dam membagi berbagai materi Negara sebagai pembagi, alokator
Tujuan-tujuan yang demikian itu, tentu saja merupakan tujuan antara guna untuk memcapai tujuan akhir. Untuk bangsa dan Negara Indonesia, tujuan
kebijaksanaan itu adalah : a.
Memajukan kesejahteraan umum b.
Mencerdaskan kehidupan bangsa c.
Ikut melaksanakan ketertiban dunia Sedangkan untuk tujuan akhirnya goal adalah : masyarakat yang adil dan
makmur berdasarkan pancasila dan UUD 1945
2.2.6. Evaluasi Kebijakan
Menurut Winarno 2004 : 165, evaluasi kebijakan adalah kegiatan yang bertujuan untuk menilai mannfaat suatu kebijakan.
Menurut Jones dalam Tangkilisan 2003 : 25, mengatakan bahwa evaluasi kebijakan adalah peninjauan ulang untuk mendapatkan perbaikan dari dampak yang
tidak diinginkan. Menurut Moshoed 2004 : 91, mengatakan bahwa evaluasi kebijakan adalah
suatu proses untuk menilai seberapa jauh suatu kebijakan publik dapat membuahkan hasil.
Dengan disimpulkan dari pengertian-pengertian diatas bahwa evaluasi kebijakan adalah kegiatan yang bertujuan untuk menilai apakah siatu kebijakan
berhasil mencapai tujuanya dan seberapa besar dampak yang ditimbulkan akibat implementasi kebijakan tersebut.
Didalam evaluasi kebijakan terdapat beberapa tipe evaluasi, salah satunya seperti yang dikemukakan heath dalam Tangkilisan 2003 : 27, membedakan tipe
evaluasi kebijakan publik atas 3 tiga tipe yaitu: 1.
Tipe Evaluasi Proses Dimana evalusai ini dilakukan, dan perhatiannya pada peryataan bagaimana
program dilaksanakan. 2.
Tipe Evaluasi Dampak Dimana evaluasi ini dilakukan untuk menjawab pertayaan mengenai apa yang
telah dicapai program. 3.
Tipe Evaluasi Strategi Dimana evaluasi ini bertujuan untuk mencari jawaban atas pertayaan
bagaimana program dapat dilaksanakan secara efektif, untuk memecahkan persoalan-persoalan masyarakat dibanding dengan program-program lain yang
ditunjukkan pada masalah yang sama sesuai dengan topik mengenai kebijakan publik.
2.2.7. Pengertian Implementasi Kebijakan Publik
Implementasi menurut Hartono dalam Alisjahbana 2004:45, adalah proses yang memungkinkan tujuan-tujuan ataupun sasaran-sasaran kebijakan Negara
diwujudkan sebagai “outcome” hasil akhir kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah.
Mazmanian dan Sabatier dalam Wahab 2002:65, menyatakan bahwa implementasi yaitu memahami apa yang senyatanya terjadi sesudah suatu program
dinyatakan berlaku atau dirumuskan merupakan fokus perhatian pada suatu kebijakan.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa implementasi adalah proses yang sesungguhnya tidak hanya menyangkut perilaku badan-badan administratif yang
bertanggung jawab untuk melaksanakan program dan yang langsung atau tidak langsung dapat mempengaruhi perilaku dari semua pihak yang terlibat.
Adapun implementasi kebijakan menurut Islamy 2004:28, dapat diartikan sebagai suatu upaya untuk memahami “ apa yang senyatanya ada dan terjadi”
sesudah suatu program yang dirumuskan, yaitu peristiwa-peristiwa dan kegiatan- kegiatan yang terjadi setelah proses pengesahan kebijakan publik, baik itu
menyangkut peristiwa-peristiwa. Menurut Subakti dalam Alisjahbana 2004:28, berdasarkan pada suatu
kebijakan terlaksana, terdapat 5 lima tahap implementasi kebijakan, yaitu : 1.
Menyediakan sumber daya bagi pelaksanaan kebijakan 2.
Melaksanakan interprestasi dan penjabaran kebijakan dalam bentuk peraturan pelaksanaan dan petunjuk pelaksanaan
3. Menyusun perencanaan sejumlah langkah kegiatan pelaksanaan menurut waktu,
tempat, situasi dan anggaran
4. Pengorganisasian secara rutin atas personil, anggaran dan sasaran materiil
lainnya 5.
memberikan manfaat kepada individu dan masyarakat Sedangkan menurut Wibawa dan Koryati, Hidayat dalam Tangkilisan
2004:10, mengatakan bahwa implementasi kebijakan yaitu pengejawantahan keputusan mengenai kebijakan yang mendasar, biasanya tertuang dalam suatu
undang-undang, namun juga dapat berbentuk instruksi-instruksi eksekutif yang penting atau keputusan perundangan.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa implementasi adalah proses yang sesungguhnya tidak hanya menyangkut perilaku badan-badan administratif yang
bertanggung jawab untuk melaksanakan program yang langsung atau tidak langsung dapat mempengaruhi perilaku dari semua pihak yang terlibat.
2.2.7.1. Model-Model Implementasi Kebijakan
Dalam implementasi kebijakan ada beberapa bentuk model implementasi yang dikenal., model ini berguna untuk menyederhanakan sesuatu bentuk dan
memudahkan dalam pelaksanaan kebijakan. Hogwood dan Gunn dalam Wahab 2004 : 71 mengemukakan model “Top
Down Approach”. Menurut Hogwood dan Gunn, untuk dapat mengimplementasikan kebijakan secaara sempurna perfect implementation ada
10 sepuluh persyaratan, yaitu : 1.
Kondisi ekternal yang dihadapi oleh badaninstansi pelaksana tidak akan menimbulkan gangguan kenkdala yang serius.
2. Untuk pelaksanaan program tersedia waktu dan sumber-sumber yang cukup
memadai. 3.
Perpaduan sumber-sumber yang diperlukan benar-benar tersedia. 4.
Kebijaksanaan yang akan diimplementasikan didasari oleh suatu hubungan kualitas yang andal.
5. Hubungan kualitas bersifat langsung dan hanya sedikit rantai penghubungnya.
6. Hubungan saling ketergantungan harus kecil.
7. Pemahaman yang mendalam dan kesepakatan terhadap tujuan.
8. Tugas-tugas diperinci dan ditempatkan dalam urutan yang tepat.
9. Komunikasi dan kordinasi yang sempurna.
10. Pihak-pihak yang memiliki kekuasaan dapat menuntut dan mendapatkan
kepatuhan yang sempurna. Variable-variabel kebijaksanaan bersangkut paut dengan tujuan-tujuan yang
telah digariskan dan sumber-sumber yang tersedia. Pusat perhatian pada badan- badan pelaksana meliputi organisasi formal maupun informal sedangkan
komunikasi antar organisasi terkait beserta kegiatam-kegiatan pelaksananya mencakup antar hubungan didalam lingkungan sistem politik dan dengan
kelompok-kelompok sasaran. Akhirnya pusat perhatian pada sikap para pelaksana mengatarkan kita pada telaah mengenai orientasi dari mereka yang
mengoperasionalkan program di lapangan.
2.2.7.2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Implementasi Kebijakan
Menurut Islamy 2004 : 107, menjelaskan bahwa kebijaksanaan akan menjadi efektif bila dilaksanakan dan mempunyai dampak positif bagi anggota-anggota
masyarakat. Dengan kata lain, tindakan atau perbuatan manusia yang menjadi anggota masyarakat itu bersesuaian dengan apa yang diinginkan oleh pemerintah
dan Negara. Dengan demikian kalau mereka tidak bertindakberbuat sesuai dengan keinginan pemerintah Negara itu, maka kebijaksanaan Negara menjadi tidak
efektif. Kebijaksanaan apapun sebenarnya mengadung resiko untuk gagal, Hogwood
dan Gunn dalam Wahab 2004 : 61 telah membagi pengertian kegagalan kebijaksanaan policy failure dalam 2 dua kategori, yaitu : non implementation
tidak terimplementasi dan unsuccessful implementation implementasi tidak berhasil.
Tidak terimplementasi mengadung arti bahwa suatu kebijaksanaan tidak dilaksanakan sesuai dengan rencana, mungkin karena pihak-pihak yang terlibat
didalam pelaksanaanya tidak mau berkerjasama, atau mereka telah sepenuhnya menguasai permasalahan, sehingga implementasi yang efektif sulit tercapai.
Implementasi yang tidak berhasil biasanya terjadi manakala suatu kebijaksanaan tertentu telah dilaksanakan sesuai dengan rencana, namun mengingat
kondisi ekternal teryata tidak mengutungkan semisal tiba-tiba terjadi peristiwa pergantian kekuasaan, bencana alam dan sebagainya. Kebijaksanaan tersebut tidak
berhasil dalam mewujudkan dampak atau hasil akhir yang dikehendaki.
Menurut Hood dalam Wahab 2004 : 77, bahwa guna mencapai implementasi yang sempurna barangkali diperlakukan suatu sistem satuan administrasi tunggal
unitary administrative sistem seperti halnya satuan tentara yang besar yang hanya memiliki satuan tanpa kompartementalisasi atau konflik dudalamnya.
2.2.7.3. Keberhasilan Implementasi Kebijakan
Menurut Rippley dan Franklin dalam Tangkilisan 2003 : 21, menyatakan keberhasilan implementasi kebijakan program dan ditinjau dari 3 tiga faktor, yaitu
: 1.
Perspektif kepatuhan yang mengukur implementasi kebutuhan aparatur pelaksana;
2. Keberhasilan implementasi diukur dari kelancara rutinitas dan tiadanya
persoalan; 3.
Implementasi yang berhasil maengarah pada kinerja yang memuaskan semua pihak terutama kelompok penerima manfaat yang diharapkan.
2.2.8. Penataan PKL Pedagang Kaki Lima 1. Kebijakan dan Penataan
Kebijakan berarti serangkaian keputusan yang sifatnya mendasar untuk dipergunakan sebagai landasan bertindak dalam usaha mencapai tujuan yang telah
ditetapkan sebelumnya. Kebijakan menurut Perda No. 17 Tahun 2003 mengatur tentang kawasan, lokasi
pedagang, waktu berjualan, jenis barang dagangan dan alat peraga yang digunakan untuk berdagang. Lokasi pedagang kaki lima menurut Perda No. 17 Tahun 2003
tentang penataan dan pemberdayaan PKL adalah tempat untuk menjalankan usaha PKL yang ditetapkan oleh Pemerintah Daerah yang berada di lahan fasilitas umum
yang dikuasai oleh Pemda. Sesuai dengan Perda No. 17 Tahun 2003 tentang penataan dan pemberdayaan
PKL, bahwa kegiatan pedagang kaki lima merupakan usaha perdagangan sektor informal yang perlu diberdayakan guna menunjang pertumbuhan perekonomian
masyarakat. Sehingga perlu dilakukan penataan dan pemberdayaan pedagang kaki lima sesuai yang diatur pada pasal 3 yang meliputi waktu kegiatan usaha PKL,
mengatur jumlah PKL, menetapkan jenis barang yang diperdagangkan dan mengatur alat peraga PKL.
Penataan dalam kamus besar Bahasa Indonesia 2001:1147, adalah sebagai pola tata perencanaan yang terorganisir untuk sebuah kota dalam membangun
misalnya jalan, taman, tempat usaha dan tempat tinggal agar kota tampak apik, nyaman, indah belingkungan sehat, dan terarah pada masa depan.
Dengan demikian penataan juga mengandung makna sebagai pembaharuan yaitu melakukan usaha untuk membuat sesuatu menjadi lebih sesuai atau cocok
dengan kebutuhan, menjadi lebih baik dan menjadi lebih bermanfaat.
2. Penataan Pedagang Kaki Lima
Dalam Perda No. 17 Tahun 2003 kebijakan penataan telah diatur pada pasal 2 ayat 3 dimana penetapan, pemindahan dan penghapusan lokasi PKL diatur dengan
memperhatikan kepentingan sosial, ekonomi, ketertiban dan kebersihan lingkungan sekitarnya, dalam Perda tersebut juga disebutkan penataan PKL yang dilakukan
oleh Pemerintah Kota Surabaya mengarah kepada terciptanya suasana kota yang lebih tertib, rapi, indah dan nyaman. Agar keberadaannya tidak mengganggu
kenyamanan kota maka dalam menangani PKL perlu dicari solusi yang baik dan bijaksana, karena penertiban tanpa memberi jalan keluar dengan memberi tempat
yang memenuhi syarat, sama saja akan mematikan tumbuhnya ekonomi kerakyatan.
Penataan menurut Supriyanto 1996:121, merupakan serangkaian kegiatan dalam rangka melaksanakan koordinasi , integrasi dan sinkronisasi pembangunan
fisik kota, kawasan atau desa berdasarkan rencana tata ruang yang ada sehingga tercapai efisiensi dalam pemanfaatan sumber dana, tenaga dan lahan atau ruang,
dan atau juga dapat meningkatkan produktifitas, pemerataan dan perluasan kesempatan kerja, peningkatan kondisi sosial ekonomi, pelestarian budaya dan
sejarah serta perbaikan lingkungan hidup. Dalam Perda No, 17 Tahun 2003 pasal 2 dijelaskan bahwa :
1. Kegiatan usaha Pedagang Kaki Lima dapat dilakukan di daerah;
2. Kepala Daerah berwenang untuk menetapkan, memindahkan dan menghapus
lokasi PKL; 3.
Penetapan, pemindahan dan penghapusan lokasi PKL sebagaimana dimaksud pada ayat 2, diatur dengan memperhatikan kepentingan sosial, ekonomi,
ketertiban dan kebersihan lingkungan sekitarnya; 4.
Kepala derah berwenang melarang penggunaan lahan fasilitas umum tertentu untuk tempat usaha PKL;
5. Setiap orang dilarang melakukan transaksi perdagangan dengan PKL pada
fasilitas umum yang dilarang digunakan untuk tempat usaha. Selain itu Perda No. 17 Tahun 2003 pasal 3 juga menjelaskan bahwa Kepala daerah
berwenang : 1.
menetapkan dan mengatur waktu kegiatan usaha PKL; 2.
menetapkan dan mengatur jumlah PKL pada setiap lokasi PKL; 3.
menetapkan jenis barang yang diperdagangkan; 4.
mengatur alat peraga PKL.
3. Langkah Kebijakan Penataan
Menurut Simanjuntak Prisma No. 3, 1985:51, aktivitas program kebijakan penataan PKL dapat dikelompokkan ke dalam 2 pendekatan, yaitu :
1. mendorong sektor yang ada menjadi formal, PKL diorientasikan nantinya dapat
mendirikan toko yang permanen tentunya didirikan pada tempat yang memang khusus untuk menampung pedagang formal. Misalnya pasar pusat perbelanjaan
modern dan dalam jangka waktu tertentu diharapkan usaha PKL menjadi lebih maju dan bersedia serta mampu untuk pindah ke pasar atau toko sesuai dengan
jenis barang dagangannya. 2.
dilakukan relokasi, yaitu penempatan PKL di lokasi baru yang dianggap penting karena PKL sering dianggap menimbulkan kerugian sosial dan
kemacetan jalan. Namun penempatan ini perlu dipertimbangkan faktor konsumen dan kemampuan penyesuaian lokasi baru tersebut. Di satu pihak
perlu diperlakukan yang manusiawi oleh para petugas, akan tetapi di pihak lain yang tidak kalah penting adalah konsistensi pengaturan yang perlu diterapkan.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa aktivitas-aktivitas program kebijakan penataan PKL dapat dilakukan dengan mendorong sektor informal
menjadi formal, meningkatkan kemampuan dalam usaha sektor informal, serta menyediakan lokasi baru bagi para PKL.
2.2.9. Sektor Informal