4.1.3 Pendidikan Informal
Pendidikan informal adalah jalur pendidikan keluarga dan lingkungan yang berbentuk kegiatan belajar secara mandiri. Hasil pendidikan informal diakui sama
dengan pendidikan formal dan nonformal setelah peserta didik lulus ujian sesuai dengan standar nasional pendidikan.
Pendidikan informal diperoleh setiap manusia di dalam proses kehidupannya masing-masing. Seperti halnya yang dialami oleh tokoh Amat di
dalam cerita. Amat belajar mebaca Al-Qur’an dari ibunya di atas Pincalang. Kegiatan belajar tersebut dilakukan oleh Amat secara mandiri di dalam
keluarganya. Kegiatan belajar secara mandiri yang tergolong dalam kategori
pendidikan informal dapat dilihat dalam kutipan berikut:
”Sejak berusia lima tahun, Amat ikut dengan ayahnya mengelilingi lautan buas dan ganas. Di atas Pincalang itu dia dilahirkan ibunya, begitu juga
dua adiknya. Di atas Pincalang itu dia belajar mengaji. Belajar shalat dari ibunya, juga dari ustadz yang diundang naik ke atas Pincalang bila mereka
bersandar di pelabuhan kecil atau di kampung-kampung di pantai.” Hal. 21
Mengelilingi lautan luas hampir di sepanjang usianya dilakukan oleh tokoh Amat dalam kutipan di atas. Pendidikan informal yang dilakukan beliau
dalam cerita seperti yang tergambar di atas adalah belajar mengaji, belajar solat, dan dari ustad yang diundang ke Pincalang. Dari hal tersebut Amat pasti
memperoleh pembelajaran mengenai bagaimana bersikap, memiliki keterampilan dan mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari sehingga pendidikan yang
Universitas Sumatera Utara
bersifat informal tersebut mampu mempengaruhi pola kehidupan, serta memberi nilai bagi personalnya.
”Ayah amat mengajarkan bagaimana cara memakai kukuran kaki itu. Amat dan dua orang suruhannya, Sangkot dan Lokot, mempelajarinya
dengan cepat. Bahkan mereka seperti mendapatkan mainan baru dan berlomba-lomba minta bergantian. Mereka juga diperingatkan agar
berhati-hati. Harus kuat memegang tempurung kelapa, jangan sampai meleset karena bisa mengenai tangan dan terluka.” Hal. 103
Kukuran kaki merupakan alat untuk memegukur kelapa dengan cara
tradisional. Cara kerja alat ini tergolong sangat klasik, akan tetapi untuk mempergunakannya juga harus melalui proses belajar. Pembelajaran mengenai
bagaimana menggunakan kukuran kaki tersebut diajarkan ayah Amat kepada dua orang tokoh lainnya dalam cerita yaitu Sangkot dan Lokot.
Universitas Sumatera Utara
4.2 Nilai-Nilai Pendidikan dalam Novel Pincalang Karya Idris Pasaribu 4.2.1 Nilai Pedidikan Lingkungan
Nilai pendidikan lingkungan adalah segala sesuatu yang mendidik manusia di dalam masyarakat yang berkonteks pada lingkungan hidup. Pendidikan
lingkungan diharapakan dapat mewujudkan kesadaran bagi komponen masyarakat untuk selalu dan terus menerus menjaga dan melestarikan lingkungan tempat
mereka melangsungkan kehidupan. Novel Pincalang karya Idris Pasaribu mengusung nilai-nilai yang dapat
dijadikan pembelajaran bagi kehidupan masyarakat. Berkenaan dengan lingkungan hidup, orang-orang perahu yang digambarakan Idris Pasaribu di dalam
novelnya adalah orang-orang yang senantiasa berjuang untuk mempertahankan keasrian lingkungan hidup serta biota laut sebagai sumber kehidupan mereka.
Nilai pendidikan yang berkenaan dengan lingkungan terlihat dari kutipan berikut:
” Amat berdo’a semoga Buyung tidak melihat fatamorgana di tengah laut.
Fatamorgana selalu terjadi di laut lepas. Mata sering tertipu, walau laut tak pernah mau menipu. Laut selalu jujur. Tidak seperti hutan. Di dalam
hutan, bahaya selalu mengancam diam-diam. Tiba-tiba harimau atau beruang sudah datang menerkam atau ular mematuk secara senbunyi-
sembunyi.
Laut? Tidak Laut selalu memberikan aba-aba lebih dahulu sebelum memulai aksinya.
Awan menggumpal dan angin mendesau terlebih dahulu. Manusia saja yang selalu salah mengerti. Memperkirakan angin kencang akan datang
dalam dua jam kemudian, ternyata dalam setengah jam angin sudah menderu-deru.” Hal. 10
Kutipan di atas mengungkapkan tentang sikap laut yang jujur. Laut mengandung filosofi kehidupan yang dapat dijadikan bahan perenungan dan
pembelajaran bagi masyarakat. Sikap jujur tentunya harus dimiliki oleh setiap
Universitas Sumatera Utara
individu demi kelancaran proses kehidupan. Sikap jujur dapat membuat seseorang menjadi sangat dihargai di dalam masyarakat.
”Hanya manusia laut yang berpengalaman yang mengerti apa keinginan laut. Keinginan alam lepas. Hal. 10
Pengalaman memiliki peran yang sangat penting dalam mendidik manusia menjadi lebih dewasa. Pengalaman adalah media pembelajaran yang cukup efektif
bagi masyrakat dalam menjalani kehidupan ”Amat belajar menaik-turunkan layar. Belajar mengemudi. Belajar
merasakan angin, dan belajar mencium bau karang dari haluan, lambung, dan buritan. Amat pernah mendengar orang-orang berceloteh di warung-
warung jika mereka merapat di pantai saat menjual kopra atau ikan asin atau arang. Kata mereka, para nakhoda kapal besar berlayar di atas peta,
bukan di atas laut. Kapalnya berlayar di atas laut, tapi nakhodanya berlayar di atas peta. Pilot pesawat terbang di atas peta, hanya pesawatnya yang
terbang di udara. Bagaimana dengan Pincalang yang tidak memiliki kompas, peta, dan alat navigasi lainnya ? dia berlayar dengan tanda-tanda
alam yang diberikan Tuhan. Hal. 21
Kutipan di atas mengandung nilai pendidikan bahwa alam memiliki petunjuk yang dibutuhkan oleh manusia dalam menjalani aktifitasnya. Melalui
tanda-tanda yang diberikan alam manusia mampu mengarungi samudera. Tanda- tanda alam tersebut menjadi penunjuk jalan bagi manusia yang berlayar di
samudera. Untuk mampu mengenali tanda-tanda yang dimunculkan alam manusia harus mampu memikirkan dan memahami gejala alam tersebut sehingga dapat
dimanfaatkan untuk kepentingan kehidupan seperti pada kehidupan orang-orang perahu yang menjadikan tanda-tanda alam yang diberikan Tuhan sebagi peta
petunjuk arah pelayaran. ”Amat memutuskan untuk menyelam ke dasar laut dan dilihatnya
perputaran arus yang deras dibawahnya. Karang-karang yang kokoh tak berwarna hijau lagi. Dia ingat apa yang dikatakan oleh ayahnya,”kalau
Universitas Sumatera Utara
warna hijau meilit karang, itu adalah makanan ikan. Jika lumut-lumut berwarna hijau itu hilang, harus ditanam lagi.” Hal. 30
Kutipan di atas mengajarkan kepada manusia untuk mencintai lingkungan
hidup, menanami kembali tumbuhan yang telah habis demi kelestariannya. Ke- lestarian tumbuhan di lingkungan hidup tentunya akan sangat berdampak pada
kelangsungan hidup manusia. Sumber daya alam dalam ruang lingkup yang lebih besar haruslah selalu dijaga dari kepunahan agar dapat memenuhi kebutuhan
hidup manusia dalam jangka panjang. Lingkungan hidup yang lestari tentunya akan menjanjikan kehidupan yang lebih baik bagi masyarakat sekitarnya.
”Amat segera pulang ke Pincalangnya bersama Maryam yang sedang menyusui si Buyung. Harapan mereka besok pagi cerah dan mereka bisa
berlayar dengan tenang. Amat sangat yakin besok cuaca bersahabat. Dalam pelayaran malam, bintang-bintang itu menjadi petunjuk jalan.
Menjadi navigasi dan navigasi apakah angin akan datang atau hujan akan deras dan sebagainya. Bintang, bulan, dan langit menjadi tumpuan harapan.
Jika siang, petunjuk bisa dilihat dari awan atau angin. Semuanya tergantung kejelian. Pelajaran yang tak pernah diajari di bangku sekolah.
Hal. 94
Kutipan di atas menggambarkan kejelian orang-orang perahu dalam mempelajari alam. Lingkungan tempat mereka berada dan melangsungkan
kehidupan dijadikannya sebagai tempat belajar yang akan memberi pengetahuan mereka tentang banyak hal terutama mengenai ciptaan Tuhan yang menyimpan
banyak rahasia. Dengan kejeliannya memahami lingkungan, orang-orang perahu mampu memeroleh sesuatu yang tidak akan pernah mereka peroleh dari bangku
sekolah. Itulah pemebelajaran yang mereka peroleh langsung dari alam. Alam adalah guru bagi manusia.
Universitas Sumatera Utara
4.2.2 Nilai Pendidikan Keluarga