Proses Pendidikan dan Pelatihan Tenaga Relawan di Mitra

132

BAB IV PENDIDIKAN DAN PELATIHAN TENAGA RELAWAN DI MITRA

CITRA REMAJA MCR PERKUMPULAN KELUARGA BERENCANA INDONESIA PKBI PROPINSI JAWA BARAT Dalam bagian berikut akan dikemukakan data yang diperoleh melalui wawancara mendalam dengan menggunakan pedoman wawancara baik kepada tenaga relawan maupun pengurus staf Mitra Citra Remaja MCR Bandung, berkenaan dengan pendidikan dan pelatihan tenaga relawan di lembaga tersebut. Data terbagi menjadi 2 dua bagian, yaitu proses pendidikan dan pelatihan tenaga relawan, dan manfaat pendidikan dan pelatihan tersebut. Selain data primer yang diperoleh melalui wawancara langsung dengan tenaga relawan dan pengurus, juga diperoleh data sekunder lainnya yang diperoleh dari dokumentasi lembaga, dan catatan-catatan lainnya.

A. Proses Pendidikan dan Pelatihan Tenaga Relawan di Mitra

Citra Remaja MCR Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia PKBI Propinsi Jawa Barat A.1. Informasi Pertama Relawan Mengenal MCR-PKBI Sebagian dari mereka diajak oleh teman mereka yang sebelumnya telah terlebih dahulu aktif menjadi tenaga relawan atau pengurus staf 133 di MCR. Teman atau sahabat, nampaknya merupakan informan penting mengenalkan calon tenaga relawan dengan lembaga yang akan dimasukinya. Sebagaimana diungkapkan oleh salah seorang tenaga relawan yang telah menjadi tenaga relawan selama 3 tiga tahun, yang mengungkapkan: “Dari teman……, saat itu di MCR masih membutuhkan tenaga relawan jadi ketika datang langsung ditawarkan dan kemudian ikut serta. Dulu di Divisi Peer Education” Doni, Feburari 2000. Pernyataan sama juga diungkapkan oleh relawan lainnya, seorang mahasiswa perguruan tinggi negeri yang menjadi tenaga relawan selama 3 tiga tahun di MCR; walau awalnya tidak tahu sama sekali mengenai lembaga ini, yang ia nyatakan sebagai berikut: “teman kuliah… Pertamanya jujur saja saya tidak tertarik, cuma karena diajakin saja. Tetapi setelah mengikuti beberapa bulan, yang membuat saya tertarik, jarang- jarangkan ada lembaga yang khusus memperhatikan terhadap permasalahan remaja, gitu lho…” Tania, Februari, 2000 Selain teman yang pertama kali memberikan informasi awal. Juga terdapat relawan yang memperoleh informasi mengenai lembaga tersebut melalui media tertulis, atau media-media lainnya. Atau juga berbagai informasi awal yang diterima oleh calon tenaga relawan, makin diperkuat dan dilengkapi informasi mengenai lembaga ini melalui teman mereka atau mereka mencari tahu sendiri mengenai keberadaan lembaga tersebut. Sebagaimana juga diungkapkan oleh salah seorang staf yang sebelumnya juga menjadi relawan; 134 “Tahu dari teman kampus….kemudian mencari tahu sendiri. Karena Eva senang komunikasi, Eva pingin mendalami komunikasi dan pas Eva di MCR, Eva di tempatkan di bagian divisi IEC information, Education, communication juga merangkap Humas hubungan masyarakat, jadi … bisa lebih mengembangkan diri, jadi MCR itu ngasih fasilitas … buat mengembangkan diri.”Eva, Januari 2000 Selain dari informasi teman, informasi mengenai MCR-PKBI Jawa Barat juga diperoleh melalui pamflet yang ditempel di majalah dinding di kampus mereka. Walau begitu mereka awalnya belum mengetahui dengan utuh mengenai organisasi dan kegiatannya. Sebagaimana diungkapakn oleh salah seorang relawan lainnya, bahwa : “lewat pamflet di kampus, ada rekrutmen. Pertama kali masuk teh saya blank … oh ternyata begini MCR itu mengenai kesehatan reproduksi. Saat itu pamfletnya mengenai rekrutment tentang pengembangan media di MCR. Dan dulu saya tidak tahu ini organisasi apa, untung ya bagus. Nah mengenai pengembangan media itu sesuai dengan ilmu saya di ilmu komunikasi” Rais, Februari 2000 Salah seorang relawan, mengungkapkan ketidaktahuannya mengenai MCR saat pertama kali mendengar atau membaca tentang lembaga tersebut. Kemudian mereka mendaftafkan diri, karena pada lembaga tersebut dibutuhkan tenaga relawan yang sesuai dengan bidang ilmu mereka di kampus.; Saat membaca leaflet, saya tidak tahu apa itu MCR, tetapi aku melihat dibutuhkan tenaga relawan yang itu sesuai dengan bidang ilmuku di FISIP dan kebetulan 135 juga ada teman yang udah aktif duluan di lembaga ini. Dari situ aku mencoba daftar. Sambil mengisi waktu luang dengan kegiatan Rizky, Februari 2000 Terdapat keraguan di awal mereka mengenal MCR, namun dorongan ingin mencoba dan menerapkan pengetahuan yang mereka peroleh di perkuliahan mendorong mereka untuk mendaftar menjadi relawan di MCR. Adapula relawan yang mengenal kegiatan MCR, karena mengikuti kegiatan seminar mengenai “Seks dan Narkoba” yang diselenggarakan oleh MCR. Tidak lama dari kegiatan tersebut kemudian ada pengumuman tentang rekrutmen untuk menjadi relawan MCR. Artinya ia mengenal MCR melalui kegiatan yang diselenggarakan oleh MCR yang menurutnya menarik, sehingga ketika ada tawaran untuk menjadi relawan di lembaga tersebut ia pun memasukinya. Informasi awal yang mereka peroleh juga berkaitan dengan motivasi mereka untuk terlibat di lembaga MCR. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa informasi awal mengenai lembaga MCR amat penting bagi para calon relawan, sebab bukan tidak mungkin informasi yang diterima tersebut makin memperkuat mereka untuk turut terlibat dalam kegiatan di lembaga MCR. Informasi awal yang diperoleh melalui teman dan media cetak atau tulis, juga didukung oleh motivasi lainnya antara ingin menerapkan ilmu dan pegetahuan yang diperoleh di bangku kuliah. 136 A.2. Jenis Pendidikan dan Pelatihan yang Diselenggarakan MCR-PKBI Jawa Barat Jenis pelatihan yang dikembangkan oleh MCR-PKBI adalah terdiri dari berbagai modul pelatihan dengan mengembangkan pendekatan ‘andragogi’ dalam penyampaian materinya. Adanya jenis- jenis dan materi pelatihan yang diselenggarakan didasarkan pada sejumlah kebutuhan antara lain: a beragamnya latar belakang relawan, baik jenis pendidikan maupun tingkat pendidikan mereka atau pun pengalaman aktifitas organisasi para relawan; b tingginya tingkat ‘turn over’ keluar-masuk relawan setiap tahunnya sehingga perlu upaya untuk mempertahankan sumber daya yang ada melalui pelatihan; dan c agar tercapai pemahaman dan persepsi yang sama dari para relawan terhadap tugas dan tanggung jawab mereka di MCR-PKBI Jawa Barat. Berdasarkan Panduan Pengelolaan Youth Center, jenis- jenis pelatihan berdasarkan materi yang diberikan antara lain: 1. Ke-PKBI-an atau Ke-LSM-an kerelawanan 2. Konsep proyek 3. Konsep peer educator 4. Kesehatan reproduksi 5. Dasar-dasar konseling dan kode etik 6. Komunikasi interpersonal 7. Manajemen konseling 8. Teknik KIE komunikasi, informasi dan edukasi 9. POA plan of action 137 Sebagaimana dikemukakan oleh staf MCR mengenai jenis pelatihan atau jenis materi yang disampaikan, yaitu “Mengenai materi yaitu modul 10 untuk pelatihan dasar MCR, kemudian skills khusus yang diberikan di masing- masing divisi. Untuk modul 10 relawan atau staf MCR itu sendiri mampu. Tetapi apabila perlu pelatihan lain yang tidak ada, maka MCR mendatangkan dari luar seperti masalah pendampingn ODHA, drugs, aids dll. Nara sumber yang lebih khusus mengundang dari luar.” Fandi, Januari 2000 Dalam pelaksanaannya jenis-jenis pelatihan tersebut mengalami modifikasi yang disesuaikan kebutuhan dan prioritas kegiatan di MCR itu sendiri. Orientasi lembaga diberikan terlebih dahulu, yaitu berbicara tentang ke-PKBI-an sebagai salah satu LSM, kerelawanan, tentang ke- MCR-an. Orientasi kelembagaan tersebut untuk mengenalkan nilai-nilai kelembagaan, sistem kerja MCR dan keterkaitannya dengan Persatuan Keluarga Berencana Indonesia PKBI. Kemudian masuk ke pelatihan dasar yang diingat oleh para relawan dan staf, antara lain: 1 anatomi tubuh manusia, 2 perilaku seksual, 3 proses reproduksi, 4 relasi heteroseksual, 5 resiko kesehatan reproduksi HIV, AIDS, 6 NAPZA narkotika dan zat adiktif lainnya, 7 tumbuh kembang remaja. Seperti dikemukakan oleh salah sorang relawan, bahwa pelatihan yang diperoleh terdiri dari: Pelatihan dasar KRR, pelatihan Siskespro Manajemen Informasi Sistem pengayaan Narkoba, Event Organizer, Medis KTD. Pengayaan lebih dikhususkan untuk relawan 138 tetapi tidak menutup kemungkinan staf ikut serta. Luki, Februari 2000 Sedangkan relawan lainnya menyatakan bahwa jenis pelatihan yang mereka peroleh antara lain, “Pelatihan KRR, pelatihan komputer, pelatihan event organizer, pelatihan sablon” Lani, Februari 2000. Setiap relawan mengemukakan jenis pelatihan secara berbeda. Seperti juga yang dikemukakan oleh relawan lainnya, mengenai jenis pelatihan yang pernah diikutinya, antara lain “…ada pelatihan tentang kespro, terus ada pelatihan fasilitator, mulai dari tehnik KIE-nya kaya gimana, kita juga dapat pelatihan-pelatihan yang menunjang untuk kegiatan. Pelatihan kespro itu materinya banyak, mulai dari : Tumbuh Kembang Remaja, Kesehatan Reproduksi, HIV AIDS terus segala macem dan kita sebut itu sebagai pelatihan Kespro. Kemudian materi bagaimana menjadi fasilitator yang baik, terus juga pelatihan-pelatihan tambahan, misalnya Even Organizer, terus Menulis, Komputer…” Dian, Januari 2000 Dian sudah cukup lama menjadi relawan sejak tahun 1998, sehingga dapat memberikan informasi secara lebih mendetail mengenai jenis pelatihan yang pernah ia ikuti dan ketahui. Salah seorang staf menyatakan bahwa pelatihan yang diadakan selama ini disesuaikan dengan kebutuhan, yaitu sesuai dengan pengetahuan dan keterampilan yang dubutuhkan oleh para relawan dalam melaksanakan kegiatan pelayanannya; seperti dinyatakannya, bahwa “Selama ini pelatihan diadakan sesuai kebutuhan, cuma yang pasti kalau awal-awal rekrutmen, kita pasti 139 mengadakan pelatihan Kespro dan pelatihan fasilitator pasti selalu ada pas masuk, karena mereka pasti butuh bekal, paling untuk pengayaan jadi pelatihan tambahan. Pelatihan pengayaan itu dilakukan didivisi masing-masing.” Afie, Januari 2000 Sedangkan untuk keterampilannya mereka dibekali teknik konseling, teknik fasilitator, manajemen waktu, youth friendly service, teknik menulis, komputer. Pelatihan kesehatan reproduksi remaja KRR, pelatihan komputer, pelatihan event organizer, pelatihan sablon, manajemen sistem kesehatan reproduksi, pengayaan narkoba. Mengenai bagaimana waktu pelatihan dan cara pelaksanaannya, salah sorang staf mengemukakan, bahwa “Waktu pelatihannya teratur, materinya sudah ada, prosesnya seperti biasalah Pelatihan kita ngasih ceramah, memberi materi kemudian ada prakteknya secara langsung. Trus materi misalnya tentang teknik fasilitator, bagaimana cara ceramah yang baik, bagaimana menyampaikan materi entar dikasih tau teorinya seperti apa, jadi ada role playing.” Rita, Januari 2000 Di luar pelatihan dasar yang semua tenaga relawan peroleh, terdapat pula jenis-jenis pelatihan lain yang diusulkan oleh masing- masing divisi kepada Senior Coordinator. Jenis pelatihan ini dapat saja muncul dari salah satu divisi, namun pesertanya terbuka bagi divisi lain. Contohnya: pelatihan Event Organizer yang diusulkan oleh divisi IEC, dimana pembicaranya berasal dari Radio Ardan Bandung, dan pesertanya berasal dari setiap divisi yang ada baik relawan maupun staf. 140 Sedangkan dalam divisi masing-masing di MCR selalu diadakan pengayaan enrichment mengenai topik tertentu yang terkait dengan jenis penanganan yang akan ditangani oleh divisi tersebut. Jenis pelatihan ini diadakan secara berkala paling minimal 2 bulan sekali. Pembicaranya bisa berasal dari relawan yang ada, atau kalau tidak tersedia di MCR sendiri, maka mendatangkan dari luar di luar MCR PKBI. Apabila diperhatikan jenis pelatihan yang diselenggarakan oleh Mitra Citra Remaja MCR, dapat dikelompokkan ke dalam empat jenis: 1 Pelatihan dasar kesehatan reproduksi remaja KRR, 2 Pelatihan lanjutan pendalaman, 3 pelatihan pengayaan enrichment; dan 4 Pelatihan khusus. Pelatihan dasar KRR adalah pelatihan yang diikuti oleh setiap tenaga relawan. Sedangkan pelatihan lanjutan adalah pelatihan yang diadakan oleh divisi masing-masing, dan kegiatan tersebut dikenal dengan pengayaan enrichment. Dan yang terakhir adalah jenis pelatihan khusus, yang diadakan karena kebutuhan khusus. Kebutuhan khusus tersebut dimungkinkan merupakan usulan dari masing-masing divisi untuk selanjutnya diagendakan oleh pihak Senior Coordinator bersama staf. Biasanya materi dan pemateri tersebut berasal dari pihak luar, artinya bukan dari dalam lingkungan MCR atau PKBI sendiri. Contohnya, pelatihan mengenai event organizer yang dibawakan oleh Radio Ardan Bandung. Alasannya adalah Radio Ardan Bandung memiliki pengalaman yang cukup banyak dalam menyelenggarakan kegiatan-kegiatan tertentu. Manfaat yang ingin diperoleh dari pelatihan ‘event organizer’ tersebut adalah para 141 relawan MCR diharapkan mampu menyelenggarakan kegiatan-kegiatan serupa yang akan dimanfaatkan untuk kegiatan KIE kesehatan reproduksi remaja, atau persoalan-persoalan remaja lainnya. Mengenai waktu pelaksanaan, jenis pelatihan dasar hanya diselenggarakan 1 satu kali selama setahun, yaitu saat penerimaan relawan. Sedangkan pelatihan yang diadakan masing-masing divisi dilakukan secara berkala, misalkan dalam divisi konseling selalu mengadakan pelatihan pengayaan mengenai topik tertentu dalam satu bulan sekali. Untuk pelatihan jenis khusus, maka pelatihan didakan secara insidental, tergantung kebutuhannya. Jenis pendidikan dan pelatihan yang diadakan oleh MCR adalah berhubungan dengan jenis materi yang dibutuhkan oleh para relawan. Beberapa relawan mengemukakan, bahwa setelah mengikuti pendidikan dan pelatihan di MCR dengan materi yang ada; kemudian mereka pun berharap akan adanya materi lain. Mereka mengemukakan mengenai kebutuhan pengetahuan dan keterampilan yang dapat dilakukan melalui pelatihan tertentu pula, dapat diadakan. Selain materi-materi pokok mengenai kesehatan reproduksi remaja KRR. Jenis pelatihan yang diinginkan adalah jenis pelatihan penunjang yang sedikit banyak akan menunjang pelaksanaan pekerjaan pokok mereka. Sebagaimana diungkapkan oleh seorang staf yang menyatakan: Management diri, maksudnya bagaimana kita memenej diri, karena banyak juga fenomena yang ada di management diri dan management waktu, yang pasti soalnya banyak juga yang terjadi di relawan atau staff-nya kurang mampu memenej diri dan waktu, contohnya seperti saya, saya 142 aktif di sini tapi kuliah berantakan. Karena kurang terampilnya kita dalam memenej diri sendiri dan waktu juga, jadi lebih untuk keterampilan diri pribadi dalam menyikapi atau di dalam melaksanakan kegiatan di MCR ini.” Sinta, Januari 2000 Sebenarnya kebutuhan tersebut mungkin bukan merupakan kebutuhan dari seluruh tenaga relawan atau mungkin juga staf MCR itu sendiri. Namun, faktanya banyak para relawan keasyikan dalam berbagai kegiatan di MCR, sementara dia harus menyelesaikan perkuliahannya. Sehingga ada beberapa relawan dan juga staf yang lambat untuk menyelesaikan studinya di perguruan tinggi. Pada divisi-divisi juga muncul keinginan-keinginan untuk mengadakan pelatihan khusus, seperti kebutuhan akan pelatihan mengenai desain komunikasi visual DKV dan pelatihan tentang hardware secara benar. Kebutuhan tersebut muncul karena divisi berhubungan dengan media, dan bagaimana media tersebut mencapai target. Salah seorang staf mengungkapkan bahwa, “Sebenarnya selain pelatihan dasar itu, di dalamnya ada pelatihan manajemen proyek, pelatihan manajemen. Kita udah dapet tentang pelatihan manajemennya, tetapi apa yang harus dilakukan, dan bagaimana mengkoordinasikan. Ini yang mendesak diperlukan, karena MCR tidak bisa diselenggarakan dengan cara yang biasa-biasa saja, tetapi juga harus pintar-pintar juga memenejnya” Winda, Februari 2000 Pada divisi lain kebutuhan serupa yang disesuaikan dengan kegiatan di divisi tersebut, misalkan untuk divis IEC information, education communication untuk menyelenggarakan kegiatan 143 pelatihan membuat media, seperti pamflet, leaflet, spanduk dan lain- lain; sehingga mereka dapat mengadakan sendiri pembuatan media tersebut. Seperti dikemukakan oleh seorang relawan, yaitu “Materi apa yang seharusnya ada dalam diklat, sebenarnya sudah semuanya mencakup. Yang kurang adalah manajerial skillnya, keterampilan yang khusus seperti teknik persuasif, baru pada pelatihan untuk pelayanan saja, selalu sih ujung- ujungnya uang. Diklat yang seharusnya ada di MCR, materinya diperbanyak, dipecah-pecah; manajemen skill, design buat poster; poster, booklet, leaflet, buletin.” Lani, Februari 2000 Namun pernyataan tersebut berbeda dengan pernyataan salah seorang staf yang juga pernah menjadi relawan, dari divisi konseling, bahwa: “…sesungguhnya pelatihan yang ada di MCR sudah cukup banyak, tetapi persoalannya bukan pada harus ditambah jenis pelatihan yang sudah ada. Persoalannya adalah pada bagaimana mengkoordinasikan berbagai divisi yang ada pelatihan, karena MCR tidak bisa diselenggarakan dengan cara yang biasa-biasa saja.” Nindi, Januari 2000 Dari pernyataan tersebut sebenarnya muncul tuntutan agar penyelenggaraan kegiatan pelayanan yang ada di MCR dapat dikelola secara baik. Dengan pernyataan ini nampak kebutuhan akan pelatihan tentang bagaimana memenej organisasi pelayanan sosial dengan baik, bagaimana mengelola program-program yang ada di MCR ini. Tuntutan tersebut adalah wajar mengingat penyelenggaraan kegiatan pelayanan oleh MCR cukup banyak dan perlu ditangani secara serius, serta secara profesional. 144 A.3. Tujuan Pendidikan dan Pelatihan Relawan Tujuan yang ingin dicapai dari pelatihan antara lain menambah wawasan dengan mengkaji kasus agar relawan dapat lebih paham dalam menangani kasus. Selain itu juga bertujuan untuk menambah keterampilan relawan dalam memajukan kesehatan reproduksi remaja KRR. Sebagaimana dinyatakan oleh staf MCR, mengenai tujuan pelatihan: “…. untuk membekali relawan dengan pengetahuan dasar KRR Kesehatan Reproduksi Remaja dan organisasi, soalnya relawan sendiri entarnya bertugas untuk memberikan informasi tentang pendidikan sex kepada remaja, otomatis relawan tersebut must dibekali dengan pengetahuannya itu, jangan sampai ketika mereka memberikan informasi, merekanya sendiri belum tahu tentang materi tersebut. Selain itu juga untuk memberikan keterampilan kepada relawan, khususnya cara berbicara di depan umum dan tehnik konseling untuk divisi konseling.” Fandi, Januari 2000 Sedangkan dari relawan mengungkapkan bahwa “tujuan pelatihan adalah menambah pengetahuan, keterampilan yang tujuannya untuk memajukan MCR” Luki, Januari 2000. Nampaknya ia lebih melihat tujuan pendidikan dan pelatihan dalam kerangka kepentingan kelembagaan. Lain halnya dengan pernyataan seorang relawan lainnya mengenai tujuan pelatihan, yaitu: ”Pelatihan dasar ditujukan agar kami lebih mengetahui mengenai kesehatan reproduksi. Hal lain, tujuan dari pelatihan ini agar kami mampu memandu diskusi, atau 145 melakukan konseling, atau mampu memfasilitasi kegiatan.” Rais, Februari 2000 Menurutnya, tujuan dari pelatihan, khususnya pelatihan dasar adalah agar relawan tahu dan mampu melakukan kegiatan-kegiatan yang ada di MCR, baik melakukan konseling, memandu diskusi atau memfasilitasi kegiatan. Dalam pernyataan tersebut tercakup aspek kognisi dan konasi. Demikian pula seorang staf yang menyatakan, tujuan pelatihan tersebut untuk “menambah wawasan, studi kasus, dan lain sebagainya, relawan dapat lebih paham dalam menangani suatu kasus dengan adanya pendidikan dan pelatihan” Sinta, Januari 2000. Dalam pendapat ini tercakup komponen pengetahuan kognisi, sikap afeksi dan keterampilan konasi dari tujuan pendidikan dan pelatihan yang diperoleh oleh relawan. Sedangkan relawan lainnya menyatakan bahwa tujuan pelatihan adalah “mempersiapkan relawan untuk terjun ke lapangan berkegiatan di MCR”. Pendapat tersebut lebih melihat tujuan pendidikan dan pelatihan secara paktis, yaitu kesiapan mereka di lapangan. Tujuan pendidikan dan pelatihan di MCR tidak lain adalah ingin memperoleh sumber daya relawan yang berkualitas, sehingga mereka akan siap dan mampu menjalan kegiatan-kegiatan yang ada di lembaga tersebut. Sebagaimana diungkapkan oleh seorang staf, bahwa tujuan yang dicapai adalah “ingin memperoleh sumber daya manusia yang 146 berkualitas, untuk regenerasi. Indikatornya, adalah kita tidak akan mengandalkan 1-2 orang lagi tetapi banyak orang yang mampu, artinya relawan baru mampu melakukan tugas-tugasnya sebagai relawan” Afie, Januari 2000. Dari pendapat tersebut, nampak bahwa tujuan pendidikan dan pelatihan tidak semata penambahan pengetahuan dan keterampilan saja, melainkan berhubungan dengan regenerasi relawan di masa yang akan datang. Sedangkan seorang staf konseling mengungkapkan awal dari perlunya pendidikan dan pelatihan menurutnya, “bahwa awalnya kita butuh orang-orang yang mengetahui kesehatan reproduksi remaja, akan lucu kalau organisasi yang bergerak di bidang kesehatan reproduksi tetapi orang- orangnya tidak mengetahui mengenai kesehatan reproduksi, nggak kenal remaja itu apa?, pokoknya mengetahui tentang pengetahuan dasar. Kalau mengenai keterampilan-keterampilan khusus itu dipergunakan untuk mengadakan kegiatan-kegiatan tertentu.” Nindi, Januari 2000 Pernyataan Nindi ini berkaitan dengan bidang garapan lembaga MCR itu sendiri yang bergerak dalam kegiatan kesehatan reproduksi remaja. Oleh karena itu dibutuhkan orang-orang yang tahu mengenai kesehatan reproduksi remaja, persoalan remaja, dan juga dibutuhkan orang-orang yang terampil dalam kegiatan-kegiatan pelayanan kesehatan reproduksi remaja. Apakah kegiatan konseling, penyuluhan, pelayanan kesehatan, memfasilitasi kegiatan dan seterusnya. 147 Senior Coordinator MCR, menyatakan bahwa tujuan dari pelatihan yang diadakan adalah “…untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan si relawan. Indikatornya dapat dilihat dari hasil pre dan post tes. Sedangkan untuk keterampilan lebih pada kemampuan. Bentuk evaluasi bisa secara tertulis dan lisan. Hasilnya dibuat secara tertulis dalam laporan, komentar maupun hasil tes. Pada need assessment masing-masing divisi memerlukan training apa.” Winda, Februari 2000 Peningkatan pengetahuan dan keterampilan relawan tersebut, secara umum memiliki pemahaman yang tidak jauh berbeda mengenai kelembagaan dan organisasi MCR itu sendiri. Sedangkan secara khususnya berkaitan dengan kebutuhan dari masing-masing divisi yang ada di MCR. A.4. Fasilitator Pendidikan dan Pelatihan Penyampai materi dalam kegiatan pelatihan yang diselenggarakan oleh Mitra Citra Remaja MCR diutamakan berasal dari MCR sendiri, baik relawan atau staf yang ahli dalam bidangnya. Kebanyakan untuk materi-materi yang berkenaan dengan kesehatan reproduksi remaja KRR maka narasumber seringkali berasal dari dalam lingkungan sendiri MCR PKBI. Sebagaimana dikemukakan oleh seorang staf bahwa “Pemateri dalam diklat itu, ada yang dari em- ce-er, relawan senior, koordinator divisi; sedangkan untuk pengayaan itu tergatung pada jenis materinya” Afie, Januari 2000 148 Sedangkan untuk tema-tema di luar bidang KRR, seperti materi EO event organizer, maka meminta orang yang ahli dalam bidangnya. Sebagaimana diungkapkan oleh seorang relawan, bahwa “…diutamakan orang dalamrelawan MCR yang punya skill seperti Medis ada dokter, Multimedia ada yang biasa menangani hardware. Walaupun relawan tetapi tidak menjadi masalah. Jika ada yang kurang misalnya pendidikan dan pelatihan EO Event Organizer-red maka memanggil nara sumber dari luar. Nara sumber tergantung pada materi pendidikan dan pelatihan. Luki, Januari 2000 Para nara sumber berasal dari lembaga-lembaga di luar MCR, seperti Radio Ardan Bandung; yayasan-yayasan yang bergerak dalam penanganan AIDS, ‘drugs’ dll; serta instansi pemerintah. Kebutuhan nara sumber yang berasal dari luar MCR-PKBI dengan membawakan materi khusus tersebut, berkaitan dengan temuan kasus remaja yang dijumpai, atau kebutuhan relawan akan materi tersebut. Demikian pula yang diungkapkan oleh staf lainnya, bahwa berkenaan dengan siapa yang menjadi narasumber atau fasilitator kegiatan pelatihan “Buat materi pas pelatihan Pelatihan Materi Dasar fasilitatornya ada dari lembaga maupun pihak luar yang compentent dalam pemberian materi tersebut. Contohnya, buat materi anatomi dan fungsi di kita juga ada divisi YC Youth Clinic . Di YC sendiri ada divisi konseling dan divisi medisnya, jadi yang kita jadikan fasilitator dokter yang ada di MCR divisi medis—YC. Sedangkan untuk tehnik konseling kita memanggil psikolog dari luar tidak cuma orang-orang di MCR saja yang memberikan materi but too pihak luar yang lebih menguasai or berprofesi di bidang itu. Rita, Januari 2000 149 Penentuan fasilitator atau pemberi materi pelatihan selalu diupayakan orang yang benar-benar ahli dalam bidangnya, serta telah diakui kemampuannya dalam penyampaian materi atau memfasilitasi materinya. Keahlian para fasilitator dalam membawakan materinya tersebut akan terlihat dalam gaya dan metode, serta media yang dipergunakan dalam penyampaian materi tersebut. Para fasilitator pun tidak sembarangan dipilih, sebagaimana dinyatakan oleh salah seorang staf MCR bahwa: “Pelatihan disini merupakan pelatihan inti, jadi si fasilitator yang memberikan materi pun otomatis dipilih yang benar-benar menguasai materi tersebut, ‘gak yang setengah-setengah, misal tentang materi Anatomi dan Fungsi, otomatis mereka harus menjelaskan tentang fungsi organ tubuh yang ada, jadi kita panggil dokter. Contoh lain misal tentang materi heteroseksual dan tumbuh kembang remaja, kita pakai fasilitator yang have background from psychology. Hal tersebut berpengaruh terhadap penerimaan materi oleh relawan” Sinta, Januari 2000 Mengenai gaya fasilitator yang diperlukan, sejumlah mengemukakan pendapat yang hampir senada, yaitu “…adalah orang menguasai akan bidang keahliannya, yang santai, lugas, tidak terlalu kaku dalam penyampaian materinya, bisa humor, mampu melihat suasana, dan mampu menghangatkan suasana pelatihan, artinya tahu situasi audiences-nya; sehingga peserta tidak bosan”. Rais, Februari 2000 Selain cara penyampaian materi yang tidak kaku, bisa humor, dan mampu menguasai suasana pelatihan. Nampaknya itulah gaya 150 fasilitator yang disukai oleh para peserta pelatihan. Gaya fasilitator yang tidak membosankan dan mampu memanfaatkan metode yang tepat, baik dengan role play atau games lainnya, amat disukai oleh para peserta pelatihan. Sebagaimana dikemukakan oleh relawan mengenai gaya fasilitator “…yang paham, lebih ahli, yang interaktif dengan peserta, bisa melihat suasana, bisa menarikmenghangatkan suasana” Lani, Januari 2000. Hal lain yang juga diungkapkan oleh relawan mengenai fasilitator, yaitu “Fasilitator adalah, dia yang tahu dan bisa baca situasi audiens-nya, pesertanya gak jadi boring, bisa humor untuk penyemangat dan ahli dibidangnya” Eky, Februari 2000. Mengenai fasilitator, lebih jauh diungkapkan oleh senior coordinator bahwa : Kemampuan penguasaan materi. Nara sumber yang didatangkan sudah bisa menguasai materi competent dan capable. Dari relawan sendiri, jika lembaga memberikan kepercayaan untuk menjadi nara sumber dilihat dulu kemampuan dari relawan tersebut, apa dia bisa menyampaikannya atau tidak, soalnya ada yang memiliki kemampuan tetapi tidak bisa dalam penyampaiannya. Gaya fasilitator dalam penyampaian materi. Ketika seseorang sudah memiliki kemampuan dia akan lebih percaya diri untuk menyampaikannya. Nara sumber sudah cukup, bisa dan mampu menyampaikannya, bukan berarti tidak baik, cukup. Fasilitator yang diperlukan dalam pendidikan dan pelatihan. Harus menguasai materi, penyampaiannya dengan melihat audience siapa. Performance-nya, santai, lugas, tidak terlalu kaku. Winda, Januari 2000 151 Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut, maka fasilitator memiliki peran penting dalam membina suasana, dan mempermudah penyampaian materi yang dibawakannya. Terdapat banyak kesamaan pendapat dari apa yang diungkapkan oleh para relawan dan staf mengenai fasilitator. Baik berkaitan dengan kemampuan fasilitator ataupun mengenai cara mereka dalam menyampaikan materinya. Namun dari setiap jenis materi pengetahuan dan keterampilan yang disampaikan dalam pendidikan dan pelatihan relawan MCR-PKBI Bandung, tidak semua relawan memiliki kemampuan atau gaya seperti itu. A.5. Metode Pendidikan dan Pelatihan Relawan di MCR Kemampuan fasilitator dalam membawakan materi, juga terkait dengan penggunaan metode dan teknik yang dipergunakan dalam pendidikan dan pelatihan di MCR-PKBI Bandung. Berkenaan dengan metode dan teknik pembelajaran yang dibawakan oleh fasilitator, seorang staf mengemukakan, bahwa “Cara penyampaian, teknik atau metode sharing, FGD. Praktek setelah pendidikan dan pelatihan tersebut kecuali untuk Pelatihan Komputer. Tapi hal tersebut tergantung tema. Kemampuan penguasaan materi sudah baik, karena diambil sebagai nara sumber karena pertimbangan sudah mampukompeten. Mengenai gaya Fasilitator dalam penyampaian materi baik, sudah baik sesuai dengan kemampuannya.” Sinta, Januari 2000 152 Sedangkan seorang relawan mengemukakan mengenai cara- cara penyampaian materi yang yang sebagain besar mempergunakan teknik ceramah dan selanjutnya diikuti dengan teknik diskusi yang dipergunakan dalam pendidikan dan pelatihan di MCR, yaitu: ” ….ya sebagian besar ceramah, kemudian dilanjutkan dengan diskusi mengenai materi yang telah disampaikan, kelihatan untuk mencek kita ngerti atau tidak. Terkadang juga para fasilitator menggunakan permainan, tetapi tidak semuanya… ya pokoknya campur-campurlah” Rizwan, Februari 2000 Pendapat lainnya yang dikemukakan oleh relawan mengenai cara penyampaian materi atau metode yang mempergunakan metode permainan game dalam penyampaian materinya. Pemanfaatan metode atau teknik permainan ini nampaknya disukai oleh peserta, seperti diungkapnya, bahwa: “hampir semua materi disampaikan dengan menggunakan metode ceramah awalnya trus biasanya ada tanya jawab, ya.. sharing pengalaman atau diskusi gitu, tetapi juga ada materi-materi yang disampaikan dengan memanfaatkan teknik game atau permainan peran… aduh asyik juga tuh jadi gak ngantuk. Trus kita jadi makin ngerti, walau hanya melalui permainan, tapi kita ngerasain..” Lani, Februari 2000 Mengenai pemanfaatan game dalam penyampaian materi nampaknya amat bermanfaat dalam menghantarkan materi yang dibawakan oleh masing-masing fasilitator. Sehingga suatu materi lebih mudah diterima oleh para peserta pelatihan. Mengenai jenis permainan 153 yang dipergunakan antara lain jaring laba-laba, dan simulasi konseling, seperti diungkapkan oleh relawan, bahwa: “Game yang dipakai, game yang digunakan sebagai media untuk memberikan pemahaman tentang kespro, jaring laba- laba. Simulasi untuk konseling, semua materi lebih sering menggunakan games, khususnya berkaitan dengan kespro remaja. Alya, Februari 2000 Suasana yang hangat di dalam proses pembelajaran, berarti fasilitator harus mampu secara tepat memanfaatkan ice breaking pemecah suasana sebagai salah satu teknik membina suasana interaktif antara fasilitator dengan peserta didik. Selanjutnya teknik tersebut dipadukan oleh fasilitator dengan teknik-teknik lainnya, namun pemaduan teknik tersebut tergantung pada fasilitatornya itu sendiri, seperti juga diungkapkan oleh seorang staf, bahwa: “Cara penyampaiannya, campur-campur, tergantung fasilitator yang ngasih, maksudnya tiap fasilitator punya metode sendiri-sendiri dalam memberikan materi but yang udah-udah cara penyampaian fasilitator di MCR mereka cukup enak, gak hanya memberikan ceramah satu arah saja but juga dua arah or brainstroming, terus biasanya ada metode role playing-nya juga, ada diskusi kelompok, jadi gak melulu dia yang ngomong, ada games nya juga ….. games lebih ke ice breaking. Fandi, Januari 2000 Pemanfaatan teknik dan metode pendidikan dan pelatihan itu pun dipadukan dengan pemanfaatan alat bantu, media dan sarana lain yang dipergunakan oleh fasilitator dalam pelatihan tersebut, sebagaimana juga diungkapkan oleh senior coordinator, bahwa:. 154 “alat bantu media kita banyak menggunakan transparansi sama slide dan film. Misal film tentang pendidikan seks … kita melihat film itu kemudian kita bahas, itu salah satu metodenya.” Winda, Februari 2000 Pemanfaatan permainan dan simulasi amat penting dalam kegiatan pendidikan dan pelatihan juga dipakai pada materi-materi tertentu apalagi jika dipadukan dengan berbagai alat bantu media. Dengan memanfaatkan simulasi dan game diharapkan peserta pelatihan akan lebih memahami dan merasakan pengalaman tersendiri, sehingga pemahaman terhadap materi lebih mudah diterima. Namun begitu hal itupun amat tergantung dari kemampuan dari fasilitator dalam membawakan materinya. Fasilitator yang mampu memadukan permainan, alat bantu dan ketepatan dengan materi yang dibawakanya, akan sangat membantu dalam penyampaian materi. Terkadang dalam suatu sesi pelatihan ada beberapa fasilitator pelatihan yang hanya menunggui relawannya bekerja secara kelompok. Seharusnya ia banyak terlibat dan turut membantu relawan memfasilitasi dalam mengerjakan tugas-tugas yang diberikan dalam pelatihan tersebut. Dalam pelatihan di MCR biasanya memanfaatkan media kelompok untuk berdiskusi, dan peran fasilitator tidak hanya sebagai observer saja, belum menstimulai diskusi supaya lebih hidup. Fungsi fasilitator seharusnya secara cerdik mengamati jalannya proses diskusi, jangan sampai diskusi menjadi membosankan, sehingga materi 155 pelatihan menjadi sulit untuk dipahami. Seorang staf mengungkapkan mengenai kemampuan fasilitator, yaitu “Cara penyampaian, pertama penyampaian materi kemudian diskusi secara mendalam. Cara ceramah dipakai. Tetapi kalau pemateri dari luar tergantung gimana cara mereka. Cuman kita sudah kasih batasan mengenai tujuan atau kebutuhan kita tentang materi apa yang ingin dicapai. Mereka akan memilih cara apa yang akan dipakai untuk menyampaikan materi tersebut.” Afie, Januari 2000 Batasan mengenai kebutuhan akan materi apa yang perlu disampaikan dalam suatu pelatihan relawan, nampaknya telah dilakukan oleh staf. Hal tersebut dilakukan agar materi yang disampaikannya benar-benar bermanfaat bagi pelaksanaan tugas relawan dalam melakukan pelayanan. Pendapat lain mengenai metode yang dipergunakan oleh fasilitator dalam penyampaian materinya dikemukakan oleh relawan, bahwa: “rata-rata kemampuan mereka cukup baik. mereka memanfaatkan sistem diskusi dan sharing dengan kami para peserta pelatihan, trus ya saling berbagai pengalaman atau pendapat. Dan aku paling suka kalau si fasilitator yang nyantai, bodor, yang lucu; pokoknya jangan terlalu banyak ceramah, bosan tuh. Kayaknya kalau cara penyampaiannya tidak terlalu serius, trus dibarengi dengan humor, materi yang disampaikan jadi lebih mudah dipahami” Eky, Februari 2000 Penggunaan metode dan media yang dipergunakan dalam penyampaian pada masing-masing materi akan terkait dengan jenis 156 materi yang akan disampaikan oleh fasilitator. Berbagai cara yang digunakan dalam pelatihan ini, seperti dikemukakan oleh, “Beberapa metode atau teknik dipakai antara lain brain storming curah pendapat, role play, simulasi, games, bahas kasus, dan juga pemanfaatan ice breaker untuk mencairkan suasana atau kekakuan. Masing-masing fasilitator memiliki metode sendiri dalam memberikan materi”. Koko, Februari 2000 Selanjutnya ia menambahkan, bahwa “…aku tahu sedikit tentang teknik-teknik itu karena pernah mengikuti kegiatan yang menggunakan teknik-teknik seperti itu”. Hal lain yang diungkapkan oleh staf, berkaitan dengan metode yang dipergunakan oleh para fasilitator dalam membawakan materinya, bahwa Pemateri dalam memberikan materinya mudah saja, karena mereka menggunakan bahasa yang tidak formal, dan banyak diskusi. Mereka umumnya orang-orang yang tahu mengenai bidangnya. Misalnya tentang kesehatan reproduksi itu dari dokter, tumbuh kembang remaja dari psikologi, tentang komunikasi dari Fikom. Afie, Januari 2000 Bahasa yang tidak formal, artinya bahasa yang pergaulan yang biasa dipergunakan oleh para remaja, sehingga memudahkan penghantaran materi yang dibawakan. Sedangkan seorang relawan melihat metode diskusi, khususnya diskusi kelompok, terkadang terdapat fasilitator hanya menunggui saja, tanpa turut terlibat dalam kegiatan mereka. Seperti diungkapkannya, 157 “Metode diskusi kelompok itu bagus untuk memperdalam materi, tetapi seharusnya si fasilitator terlibat membantu memfasilitasi proses diskusi kelompok. Kan kami terkadang, ada yang ingin ditanyakan. Jadi fasilitator yang cocok dalam diklat adalah yang bisa lebih terlibat bersama dengan relawan tidak hanya melihat saja tuh. Tania, Februari 2000 Keterlibatan fasilitator dalam kegiatan bersama dengan peserta pelatihan dalam rangka menyampaikan materinya amat diharapkan oleh peserta. Hal ini akan membantu peserta dalam memahami materi yang disampaikan atau dibawakan oleh fasilitator. Sebab fungsi utama fasilitator adalah memotivasi peserta untuk mau secara aktif mengikuti jalannya pendidikan dan pelatihan yang dijalaninya. A.6. Waktu Pendidikan dan Pelatihan Mengenai waktu penyelenggaraan dan pelaksanaan kegiatan pelatihan bagi relawan di MCR, diperoleh data yang cukup beragam. Sebab kegiatan pelatihan ini amat terkait pula dengan sumber dana, ketersediaan waktu peserta dan fasilitator dan kegiatan proyek di MCR. Namun begitu kegiatan pelatihan itu sendiri dapat disesuaikan, namun tetap berkesinambungan. Sebagaimana dikemukakan oleh SC bahwa “lama diklat yang hanya 5 hari sudah dianggap cukup, tetapi yang terpenting berkesinambungan menyesuaikan dengan waktu” winda, Februari 2000. 158 Secara lebih mendetail seorang relawan mengungkapkan mengenai waktu pelatihan, yaitu: “2 hari untuk pelatihan KRR 1 hari dari jam 8 sampai jam ½ 5 break 2 kali ½ jam dibagi tiap sesion, beda materi, dan beda nara sumber. Untuk pengayaan waktunya berkala, untuk teknik fasilitator 2 minggu 1 kali dan pengayaan lainnya 1 bulan 1 kali. Yang mengadakan pengayaan adalah Divisi Pelayanan Kesehatan Reproduksi.” Koko, Februari 2000 Sedangkan relawan lainnya berpendapat lain mengenai waktu pendidikan dan pelatihan, yaitu: “Lama diklat yang hanya 5 hari sudah dianggap cukup, tetapi yang terpenting berkesinambungan menyesuaikan dengan waktu.” Lani, Februari 2000 Lebih jauh relawan lainnya mengusulkan, mengenai waktu dan tempat pelaksanaan diklat, yaitu “lama waktu pendidikan dan pelatihan sebaiknya. 3 hari tapi diluar dari jam 9 pagi hingga jam 9 malam. Sebaiknya lebih santai, rileks, kalau mau sampai malam kalau kemasannya benar dengan ritme yang berbeda lebih enak. ….Tempat sebaiknya tidak di ruangan, dalam camping bisa dimasukan team building, outbound.” Koko, Februari 2000 Waktu pelaksanaan pendidikan dan pelatihan juga berkaitan dengan tema atau materi, sebagaimana dikemukakan oleh seorang staf, bahwa “…kadang tergantung tema, waktunya 3 hari dan paling lama 1 minggu, serta pengayaan hitungan jam minimal 1 159 jam. Lamanya disesuaikan dengan tema karena seperti KRR temanya banyak maka waktu yang diperlukannya juga cukup lama 3 hari. Pelatihan dilihat dari fungsinya, tergantung materi dan prosesnya jadi waktu disesuaikan dengan kebutuhannya.” Sinta, Januari 2000 Pendapat yang hampir sama juga dikemukakan oleh staf lainnya bahwa waktu penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan akan terkadung pada materi yang akan diberikan, sebagaimana ia nyatakan sebagai berikut: “Tergantung materi yang diberikan. Kalau materi yang diberikan sedikit, mungkin dengan 2-3 hari pelatihan udah beres. Kalau materinya banyak dengan waktu seminggu cukup efektif. Kalau hari, biasanya setengah hari, biasanya di mulai sehabis Dzuhur dan selesai Maghrib dari jam satu sampai dengan jam enam sore”. Nindi, Januari 2000 Berikut ini pendapat staf lainnya yang pernah memberikan materi dan komentarnya berkaitan dengan waktu dan faktor lainnya, bahwa: “Biasanya kalau buat materi tentang reproduksi ‘kan panjang tuh tentang penyakit menular seksual dan HIV AIDS itukan butuh waktu yang lamabanyak sekitar 3 jam dalam satu sesi, yang terbagi dalam Ceramah, Role Playing dan Tanya Jawab. mengenai lamanya waktu itu tergantung fasilitator, kalau fasilitatornya enak, ‘ya gak lah Maksudnya kita memberikan materi, metoda yang digunakan disesuaikan. Kalau materinya banyak seperti itu, metodenya kita banyakin misal role playing-nya or games- nya dll. Jadi tergantung fasilitatornya akan bisa menyenangkan atau memboringkan. Kaya materi HIV AIDS materinya sebenernya banyak cuma sebelum materinya di mulai adabikin suatu games namanya “White Fire” kalau gak salah …….” Rita, Januari 2000 160 Selanjutnya mengenai tempat dan anggaran untuk kegiatan pendidikan dan pelatihan bagi relawan, Senior Coordinator MCR mengatakan bahwa: “…selalu diadakan di MCR, kecuali untuk PE. Jika diadakan pendidikan dan pelatihan tempatnya inginnya di luar, kebetulan di tempat baru MCR tidak ada tempat pendidikan dan pelatihan seperti di Haruman, tapi tergantung keuangannya. Jika pun akan ada pendidikan dan pelatihan dalam waktu dekat mungkin tempatnya akan meminjam aula PKBI dulu. Rencananya ingin dibangun dulu tempat pendidikan dan pelatihan di MCR baru tetapi karena baru pindahan jadi belum terpikirkan. Saat ini belum ada rencana pendidikan dan pelatihan. Budget untuk pendidikan dan pelatihan selalu ada yaitu untuk nara sumber, konsumsi, dan ATK. , Winda, Februari 2000 Untuk pelatihan dasar yang dilaksanakan membutuhkan waktu 3-4 hari. Waktu tersebut dianggap belum cukup, namun menurut mereka apabila dikaitkan dengan daya tangkap peserta waktu tersebut dianggap sudah maksimal untuk menerima informasi baru semua. Seperti dikatakannya senior coordinator, bahwa: “….waktu 2 hari untuk materi pelatihan dasar kesehatan reproduksi remaja KRR, 1 hari berikutnya dipergunakan dipergunakan untuk pelatihan lanjutan dengan berbeda sesi, berbeda kelompok, dan berbeda narasumber. Selama 1 satu hari, dari pukul 08.00 WIB hingga 16.30 WIB, yang merupakan pelatihan lanjutan, materinya sudah spesifik per-divisi kegiatan yang ada di MCR. Winda, Februari 2000 161 Namun dalam perkembangannya, jadwal sebagaimana disebutkan terdahulu dapat disesuaikan dengan kesepakatan dengan para relawan, yaitu berkaitan dengan daya tahan peserta. Sebagaimana informasi yang dikemukakan oleh relawan, bahwa “…mengenai waktu pelatihan yang dipergunakan antara 3-4 hari sebenarnya pendek. Tetapi kami sesuaikan dengan daya tahan dari peserta, kejenuhan. Oleh karena itu pelatihan baiknya tidak dilakukan sekaligus, tetapi secara berkala per bulan, atau pertiga bulan. Artinya pengayaan dilakukan dimasing-masing divisi. Rais, Februari 2000 Pendapat yang lain dikemukakan oleh Alya relawan, khususnya berkaitan dengan waktu pengayaan, bahwa “…waktu untuk diklat materi dasar biasanya selama 3 hari, sedangkan untuk materi lainnya bisa seminggu sekali atau sebulan sekali. Untuk pengayaan tergantung dari masing- masing divisi. Dan nampaknya lama waktu dan pengaturan waktunya untuk diklat sudah cukup baik. Demikian pula dengan pendapat yang dikemukakan oleh seorang staf, namun ia mengkaitkannya dengan faktor lain, yaitu penggunaan metode pelatihan itu sendiri yang membuat peserta tidak jenuh mengikuti pelatihan. Waktu yang dibutuhkan untuk diklat antara 3-4 hari. Dan waktu tersebut cukup, sebab kalau terlalu lama akan bosen. Materinya dapat dipadatkan menjadi 3-4 hari. Setiap hari diklat itu selalu ada break, dan agar tidak ngantuk metodenya melalui diskusi. Kalau dulu terlalu banyak diskusi kelompok, jadi bosen. Kalo sekarang lebih bervariasi, sehingga tidak membosankan. Sekarang games sudah diberikan lebih banyak. Afie, Januari 2000 162 Selanjutnya pelatihan diadakan secara berkala, 1 satu bulan sekali, adalah pengayaan berkaitan dengan materi atau kasus tertentu di masing-masing divisi. Pengayaan di masing-masing divisi mengenai waktu dan materinya ditentukan dan disesuaikan dengan kondisi masing-masing. Waktu pengayaan ini minimal 1 satu jam atau paling banyak 4 empat jam. Pendapat lain dikemukan oleh senior coordinator, khususnya berkaitan dengan pelatihan pengayaan, sebagaimana ia ungkapkan: “Kalau untuk yang pelatihan awal relawan, waktunya udah bener atau udah pas, kalau misalnya ngadainnya pas waktu recruitment. Cuma untuk yang pengayaan, kalau kata Winda sih idealnya itu malah 3 tiga bulan sekali saja, soalnya gini, sepanjang kegiatan itu bisa kelihatan hasilnya dalam waktu tiga bulan, entar kalau udah tiga bulan di review kekurangannya, baru kita tahu, kalo diadain tiap bulan itu terlalu singkat, kalau Winda pikir kalau terlalu sering setiap bulan pengayaan malahan jadi boros. Kalau tiga bulan ‘kan kita bisa tahu, kita review entar kita evaluasi kekurangannya apa. Sehingga terlihat dalam pelatihan atau pengayaan apa sih yang perlu atau masih kurang, karena dalam tiga bulan itu waktu yang ideal. Winda, Februari 2000 Mengenai waktu dan lamanya pelatihan di MCR sebenarnya tidak ketentuan baku, walau sebenarnya terdapat pola panduan yang disusun bagi seluruh MCR di Indonesia. Namun demikian, dalam praktiknya disesuaikan dengan kondisi dan situasi dari masing-masing MCR yang bersangkutan, seperti juga yang dilakukan oleh MCR-PKBI 163 Bandung. Pelatihan dasar KRR yang diselenggarakan selama 2-3 hari dari pagi hingga sore tersebut dapat diubah menjadi 1 minggu yang waktunya setengah hari, dari siang hingga sore; atau dilakukan 2 hari Sabtu dan Minggu selama 1 Bulan. Penentuan waktu penyelenggaraan pelatihan tersebut juga dipengaruhi oleh kondisi relawan yang sebagian besar masih kuliah, serta kebutuhan akan pelatihan tersebut, sehingga seringkali dilakukan penyesuaian- penyesuaian. A.7. Sarana-Prasarana Pendidikan dan Pelatihan Relawan Berbagai sarana yang dimiliki oleh MCR untuk penyelenggaraan kegiatan pelatihan sudah cukup lengkap, khususnya berkaitan dengan materi utama yaitu kesehatan reproduksi remaja KRR. Sarana dan peralatan pelatihan yang tersedia di MCR antara lain overhead projector OHP untuk transparansi, flipchart, model peraga anatomi tubuh terbuat dari fiber, slide, film, komputer, kertas plano, dan sound system. Berbagai perlengkapan pelatihan tersebut merupakan keperluan pelatihan untuk kegiatan di dalam ruangan. Sedangkan peralatan untuk kegiatan pelatihan di luar ruangan out door dan out bond, mereka belum memilikinya, walau sebenarnya mereka menginginkan kegiatan pelatihan di luar ruangan. Sebagaimana dikemukakan oleh relawan, bahwa: “OHP untuk transparansi, whiteboard, kertas plano, flipchart, model atau alat peraga dari fiber alat reproduksi, slide, komputer. Alatsarana tergantung tema atau materi 164 yag diberikan. Alat atau sarana tersebut efektif digunakan. Tempat pendidikan dan pelatihan dilakukan di MCR garasi 6x4m, Haruman-red. Selalu dilakukan di MCR kecuali untuk PE insideoutside-red untuk relawan MCR sendiri outbound belum pernah.” Luki, Fberuari 2000 Hal yang hampir sama juga dikemukakan oleh relawan lainnya mengenai sarana dan prasaran latihan, yaitu: “Alat sarana yang digunakan dalam diklat, antara lain OHP, slide projector, kertas plano, metaplan. Selama metode pelatihannya belum berubah maka sarana pelatihan tersebut sudah cukup”. Dari beberapa pendapat relawan tersebut menunjukkan bahwa pihak MCR memiliki berbagai sarana baik media maupun alat yang cukup lengkap dalam penyelenggaraan pelatihan. Dengan demikian pihak MCR dapat secara optimal memanfaatkan berbagai sarana tersebut dalam penyampaian materi pelatihan, khususnya berkaitan dengan kesehatan reproduksi remaja. Sedangkan dari pendapat para staf MCR pun diperoleh informasi yang tidak jauh berbeda dengan apa yang dikemukakan oleh para relawan. Seperti halnya dengan apa yang dikemukakan oleh staf mengenai alat dan sarana pelatihan, bahwa “untuk kegiatan pendidikan dan pelatihan kami memiliki OHP, kertas plano, sound system, slide, flipchart, whiteboard ATK. Media tersebut terpakai secara efektif”. Sebagian dari peralatan tersebut, menurut staf, diperoleh dari PKBI dan sebagian lagi diupayakan atau dibuat oleh pihak MCR sendiri. Sehingga fasilitator tinggal melakukan pelatihan, sebagaimana dikemukakan oleh staf lain bahwa: “Yang menyediakan itu semua 165 adalah pihak lembaga PKBI-MCR. Jadi fasilitator tahu beres saja and tinggal berbicara di depan audiens.” Lebih jauh lagi seorang staf juga menyatakan, bahwa: “alatsarana yang seharusnya ada dalam pendidikan dan pelatihan relawan sudah cukup dari segi alat dan sarana, cuma dari metode pelatihan mungkin kalau yang udah- udah, kita metodenya pemberian materi di dalam ruangan. Pengenlah kita sekali-kali outbond di luar ruangan training di luar or sambil rekreasi, jadi selama ini para relawan dalam melakukanmendapatkan pendidikan dan pelatihan dilakukan di dalam ruangan.” Rita, Januari 2000 Rita lebih melihat bagaimana menggunakan metode pelatihan yang berbeda dengan yang selama ini dipergunakan, yaitu pemberian materi di dalam ruangan. Sedangkan mengenai sarana atau alat dukung pelatihan ia berpendapat sudah cukup. Mengenai telah memadainya alat atau sarana pelatihan yang dipergunakan oleh MCR, pendapat sama juga dikemukakan oleh senior coordinator, bahwa “Selama ini yang ada OHP, slide, terus alat-alat ganti kaya kertas plano soalnya kalau pelatihan butuh hal-hal tersebut. Yang menyediakan panitia PKBI-MCR di MCR. ….Untuk sampai saat ini peralatan yang ada sudah cukup, pake OHP pun udah memadai, kalau mau pakai alat kaya infokus segala macem, kayanya dari segi keuangan infokus barang mahal. Dan kayanya dari si pemateri pun masih jarang yang pakai power point, nenteng-nenteng notebook kemana-mana, jadi sampai sekarang slide dan OHP udah lumayan cukup memadai. Film video, digunakan untuk materi tentang kesehatan reproduksi, cuma ‘gak semua materi harus pakai video ‘kan, 166 emang beberapa materi bagusnya menggunakan video” Winda, Februari 2000 Sedangkan untuk peralatan pelatihan yang tidak tersedia di MCR, mereka akan mengupayakan untuk meminjam ke pihak lain, atau jika mampu mereka akan membuatnya sendiri. Namun apabila menyimak informasi mengenai sarana atau alat-alat yang dipergunakan dalam kegiatan pelatihan, nampaknya cukup lengkap dan memadai. Namun untuk prasarana, yaitu menyangkut ruangan pelatihan atau gedung pihak MCR saat ini mengalami kesulitan. Gedung tempat pelatihan yang biasanya diselenggarakan di MCR, dengan kepindahan kantor MCR ke jalan Sekelimus Utara Soekarno-Hatta, mereka belum memiliki ruang yang representatif untuk kegiatan pelatihan. Sebelumnya di jalan Haruman, mereka dapat memanfaatkan ruang garasi sebagai ruang pelatihan. A.8. Evaluasi Pendidikan dan Pelatihan Relawan Evaluasi terhadap kegiatan pendidikan dan pelatihan merupakan suatu upaya menelaah kegiatan yang telah dan akan dilakukan terhadap proses pelatihan yang dilakukan, kemudian setelah dilakukan perbaikan ke arah yang lebih baik lagi agar memperoleh hasil pendidikan dan pelatihan yang optimal. Namun begitu menurut senior coordinator hingga saat ini belum pernah dilakukan evaluasi secara menyeluruh hasil kegiatan pendidikan dan pelatihan di Mitra Citra 167 Remaja MCR. Evaluasi yang dilakukan adalah evaluasi terhadap masing-masing sesi dalam pelatihan saja. Evaluasi pre-tes dan pos-tes terhadap setiap sesi. Tujuan evaluasi ini adalah untuk mengetahui sejauhmana daya tangkap peserta terhadap materi yang disampaikan, kemampuan fasilitator menyampaikan materi dan kesiapan pelatihan. Jadi evaluasi dengan menggunakan pre-test dan post-test lebih ditujukan kapada materi, yaitu kemampuan peserta memahami materi yang disampaikan. Sebagaimana dinyatakan oleh senior coordinator, bahwa: “…ada pre test, pre test kan untuk mengukur pengetahuan mereka sejauh mana. Nah kalau post test, setelah kita ngasih materi ada peningkatan ‘gak Jadi selama penyelenggaraan kegiatan gak ada evaluasi, jadi acara berlangsung begitu saja, paling entar pas post test akhir, akhir acara baru kita tanyakan mulai dari materi sampai pemateri kepada relawan, pemateri pun entar akan dikasih tahu, pemateri satu misalnya dokter Aida yang menyampaikan materi bla….bla…. bagaimana tanggapan mereka” Winda, Februari 2000 Apabila menelaah evaluasi yang dilakukan selama ini pada masing- masing sesi pelatihan, nampaknya evaluasi yang dilakukan masih berada pada pengetahuan dan keterampilan peserta terhadap materi tertentu. Evaluasi jenis ini dilakukan dengan menguji dasar pengetahuan atau keterampilan peserta saja. Indikator diperlukan untuk dijadikan patokan dalam suatu kegiatan tertentu, demikian pula dengan kegiatan pendidikan dan pelatihan yang telah diadakan oleh Mitra Citra Remaja MCR. Dengan 168 melihat indikator tersebut, maka dapat dilihat apakah kegiatan pendidikan dan pelatihan yang telah diselenggarakan terlaksana dengan baik atau tidak. Untuk selanjutnya indikasi keberhasilan tersebut akan dijadikan bahan untuk evaluasi perbaikan. Berkaitan dengan ada tidaknya evaluasi terhadap kegiatan pendidikan dan pelatihan, hal ini dikemukakan oleh relawan, bahwa Ada evaluasi setiap habis sessionmateri. Bentuk evaluasinya test materi yang disampaikan, tetapi tidak materi keseluruhan tapi per sesi saja. Isinya mengacu pada pre-test sebelumnya, ada kekurangan-kekurangan, dia dapat memperbaikinya. Terlihat minat ketertarikan terhadap materi pendidikan dan pelatihan. Evaluasi sesudah pendidikan dan pelatihan bentuknya evaluasi Post test. Ada yang bisa menjawab per session dibandingkan dengan hasil sesi sebelumnya tetapi secara keseluruhan materi tidak bisa. Keseluruhan ini termasuk didalamnya penilaian terhadap nara sumber, materi, cara penyampaian, metode dan lain-lain Hasil evaluasi. Sebagian besar, secara umum setelah pendidikan dan pelatihan peserta yang keterampilanpengetahuannya dari tidak ada menjadi ada, tidak tahu menjadi tahu Koko, Maret 2000 Indikator keberhasilan pendidikan dan pelatihan dapat dilihat secara jangka pendek dan jangka panjang. Untuk keberhasilan jangka pendek dapat dilihat dari hasil pre-tes dan pos-tes. Sedangkan untuk indikator keberhasilan jangka panjang dapat dilihat kemampuan sikap, kemampuan dan keterampilan mereka dalam kegiatan di masing- masing divisi, sebagaimana harapan yang dinyatakan oleh salah staf yang juga meniti karier sebagai relawan sebelumnya, bahwa 169 “Indikator keberhasilannya adalah … relawan lebih mengetahui mengenai kesehatan reproduksi remaja, lebih berempati dengan remaja-remaja yang bermasalah. Yang jelas manajemen diri makin bagus…. dalam setiap pelatihan selalu ada pre dan post tes pelatihan, yaitu evaluasi sebelum pelatihan untuk pre-test, dan post-test setelah pelatihan. Sehingga dapat diketahui outputnya seperti apa. Dan hasil dari evaluasi itu dimanfaatkan untuk meningkatkan materi dan model pelatihan di masa mendatang.” Rita, Januari 2000 Dengan meningkatnya pengetahuan dan pemahaman relawan mengenai kesehatan reproduksi remaja setelah memperoleh pendidikan dan pelatihan, maka diharapkan terdapat perubahan sikap, kemampuan dan keterampilan yang relevan dengan praktik mereka di kegiatan masing-masing divisi. Namun begitu standar baku atau ukuran yang dipergunakan untuk menilai keberhasilan tersebut hingga saat ini belum ada. Untuk keberhasilan jangka pendek, nampaknya para staf MCR tidak terlalu muluk-muluk, yaitu lebih kearah kognitif saja dulu. Selanjutnya, kemampuan relawan tersebut akan terlihat dalam menjalankan aktifitas kegiatan yang ada di masing-masing divisi. Misalkan untuk divisi IEC, relawan akan dilihat kemampuan mereka dalam memimpin diskusi atau presentasi. Sedangkan divisi Multimedia tidak ada tolok ukur keberhasilan dari pendidikan dan pelatihan, mereka 170 hanya menyampaikan materi saja untuk selanjutnya dikembangkan sendiri oleh relawan. Bahkan staf Multimedia sendiri menyatakan bahwa apabila dilihat dari keseharian pendidikan dan pelatihan di Divisi Mutimedia mungkin kebanyakan gagal, karena walaupun sudah memperoleh materi pelatihan ketika mereka berhadapan dengan komputer, relawan sering mengalami hambatan.

B. Manfaat Pendidikan dan Pelatihan