MANAJEMEN RELAWAN MODEL PENDIDIKAN DAN PELATIHAN TENAGA RELAWAN PADA ORGANISASI PELAYANAN SOSIAL.

(1)

MODEL PENDIDIKAN DAN PELATIHAN

TENAGA RELAWAN PADA ORGANISASI

PELAYANAN SOSIAL

Santoso T. Raharjo

MANAJEMEN


(2)

MANAJEMEN RELAWAN

MODEL PENDIDIKAN DAN PELATIHAN

TENAGA RELAWAN PADA ORGANISASI

PELAYANAN SOSIAL

SANTOSO T. RAHARJO


(3)

ISBN: 978-602-0810-37-9

Judul Buku:

MANAJEMEN RELAWAN

MODEL PENDIDIKAN DAN PELTIHAN TENAGA RELAWAN

PADA ORGANISASI PELAYANAN SOSIAL

@

Santoso T Raharjo

Jl. Raya Bandung – Sumedang km 21 Sumedang

Tlp. (022) 843 88812

Website: lppm.unpad.ac.id

Email: lppm.unpad.ac.id

Bandung 45363

1 Jilid, A5: 14,8 x 21 cm; 243 hlm,

ISBN:

ISBN: 978-602-0810-37-9

9 7 8 - 6 0 2 - 0 8 1 0


(4)

PENGANTAR

Buku ini merupakan hasil karya Tesis penulis yang berjudul “Pendidikan dan Pelatihan Tenaga Relawan dalam Organisasi Sosial, Studi Kasus pada Mitra Citra Remaja (MCR)-Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Jawa Barat, saat menyelesaikan pendidikan Magister Ilmu Kesejahteraan Sosial, Program Pasca Sarjana FISIP Universitas Indonesia. Penulis memandang bahwa persoalan kerelawanan masih sangat relevan saat ini, ditengah situasi mulai memudarnya nilai-nilai kesetiakawanan sosial yang merupakan landasan dari kerelawanan.

Perkembangan organisasi pelayanan sosial dalam masyarakat Indonesia, tidak terlepas dari sifat kesukarelaan anggota masyarakat untuk membantu sesama. Sifat ‘gotong royong’, ‘gugur gunung’, ‘rawe-rawe rantas’ dan nama-nama lain yang berbeda-beda di setiap daerah merupakan wujud dari kepedulian dari sebagian warga masyarakat untuk membantu warga masyarakat lainnya yang mengalami kesusahan. Merekalah yang kemudian dikenal sebagai volunteers (relawan) yang secara sukarela menyumbangkan tenaga, pemikiran dan materinya tanpa mempertimbangkan imbalan. Dalam perkembangan selanjutnya, permasalahan sosial makin beragam, sehingga membutuhkan keahlian dan mekanisme penanganan yang lebih terorganisir.

Relawan sosial sebagai salah satu ujung tombak kegiatan pelayanan sosial menjadi penting untuk diperhatikan, khususnya berkaitan dengan kemampuan dan keterampilan mereka dalam kegiatan pelayanan. Selain itu para relawanlah yang menjadi pelaksana operasional kegiatan di lapangan; merekalah sebenarnya pekerja garis depan dari suatu organisasi pelayanan sosial. Namun demikian pada umumnya para relawan sulit dikendalikan dibandingkan dengan staf, dan terkadang mereka tidak memiliki kebutuhan secara ekonomis atas pekerjaan yang dia lakukan dalam suatu organisasi, sehingga ketika ia merasa tidak nyaman atau tidak betah dia akan pergi begitu saja. Latar belakang relawan yang berbeda baik persepsi dan motivasi yang mereka miliki memerlukan perhatian khusus dari para pengurus organisasi pelayanan sosial.


(5)

Pendidikan dan pelatihan relawan merupakan salah satu upaya pengembangan sumber daya relawan sebagai bagian dari manajemen sumber daya manusia perlu dikaji dan dikembangkan dalam upaya efektivitas pelayanan sosial. Hal yang mendasari secara akademis perlunya kajian ini adalah untuk memperkaya telaah mengenai kerelawanan dan khususnya memperoleh pemahaman secara mendalam mengenai proses pendidikan dan pelatihan yang diselenggarakan.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengembangan sumber daya relawan melalui pendidikan dan pelatihan relawan di Mitra Citra Remaja (MCR) PKBI Jawa Barat. Kemudian secara khusus pula ingin mengetahui mengenai Informasi dan motivasi relawan masuk ke MCR-PKBI, jenis pelatihan, tujuan, fasilitator, metode, waktu, sarana dan prasarana pendidikan dan pelatihan, dan manfaat pendidikan dan pelatihan relawan dalam kegiatan pelayanan di Mitra Citra Remaja Bandung.

Penelitian ini menggunakan tipe penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif dengan mewawancarai 9 (sembilan) orang tenaga relawan dan 6 (enam) orang staf MCR-PKBI Jawa Barat yang diperoleh secara purpossive. Hasil penelitian menunjukkan bahwa informasi teman merupakan informasi pertama sekaligus menjadi daya tarik utama mereka aktif di MCR-PKBI Jawa Barat. Berbagai motivasi lain yang mendorong mereka aktif di lembaga ini adalah mengisi waktu luang, mencari pengalaman, memperoleh keterampilan dan pengetahuan baru, serta teman-teman baru.

Pendidikan dan pelatihan relawan di MCR-PKBI Jawa Barat dilaksanakan berdasarkan pola-pola tertentu yang sudah ada dan dilaksanakan secara berkala. Namun dalam pelaksanaan di lapangan telah dilakukan beberapa modifikasi sesuai dengan kebutuhan dan potensi di lembaga MCR-PKBI Jawa Barat itu sendiri. Jenis pelatihan di MCR dilakukan secara berjenjang, yaitu pelatihan dasar, pelatihan lanjutan, pengayaan di masing-masing divisi dan pelatihan khusus. Tujuan utama dari penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan adalah meningkatkan pengetahuan, sikap dan keterampilan peserta untuk dapat berperan sebagai peer educator dan konselor dalam kesehatan reproduksi remaja.

Gaya fasilitator yang disukai oleh peserta atau relawan selain menguasai akan bidangnya adalah yang santai, lugas, tidak kaku dalam


(6)

penyampaian materinya dan bisa humor. Failitator yang mampu melihat suasana dan mampu menghangatkan suasana pelatihan sehingga peserta tidak bosan. Para fasilitator pelatihan berasal dari dalam yaitu dari MCR PKBI yang kompeten dalam penyampaian materi tertentu. Sedangkan fasilitator yang berasal dari luar adalah mereka yang dikenal dan diketahui ahli dalam bidangnya, baik dari perguruan tinggi atau LSM lain.

Metode dan teknik yang dipergunakan dalam pendidikan dan pelatihan di MCR-PKBI Jawa Barat, antara lain ceramah, diskusi dan tanya jawab (CTJ), juga memanfaatkan permainan peran (role play) dan permainan-permainan (games), simulasi, bahas kasus serta teknik-teknik ice breaking untuk mencairkan suasana. Ketepatan dalam menggunakan berbagai teknik dalam pelatihan juga terkait dengan kamampuan fasilitator dalam menyampaikan materinya.

Waktu penyelenggaraan pelatihan relawan paling tidak satu tahun sekali untuk pelatihan dasar, sedangkan pelatihan lainnya disesuaikan dengan kebutuhan. Sarana dan prasarana pelatihan sebagian besar telah disediakan oleh pihak MCR PKBI sendiri. Untuk mengetahui respon peserta terhadap pelatihan dipergunakan pre-tes dan pos-tes; sedangkan evaluasi menyeluruh mengenai penyelenggaraan pelatihan itu sendiri belum dilakukan.

Rekemondasi berkaitan dengan penyelenggaraan pelatihan di MCR-PKBI Jawa Barat antara lain pencatatan proses penyelenggaraan pelatihan perlu dikembangkan sehingga dapat terlihat efektivitas pelatihan. Perlu kiranya mengadakan pelatihan untuk pelatih (training for trainer) untuk meningkatkan kualitas pelatihan dan serta tersedianya sejumlah pelatih yang berasal MCR-PKBI itu sendiri.

Relawan MCR-PKBI Jawa Barat, walaupun telah memperoleh pendidikan dan pelatihan, kemudian diikat dengan kontrak dan peluang jenjang karier untuk menjadi staf, namun tetap saja tingkat ‘turn-over’-nya tinggi. Sehingga diperlukan perhatian khusus berkaitan dengan upaya pmeliharaan dan pengembangan relawan yang sudah terlatih dengan cara yang lain, misalkan dengan mengembangkan kegiatan kegiatan yang bersifat penguatan keeratan hubungan antar staf dan relawan.

Dari awal hingga akhir penyusunan Tesis ini, penulis telah memperoleh bantuan, dukungan dan bimbingan dari berbagai pihak


(7)

---yang dengan kesabaran dan ketulusan hati ‘mengiringi’ penyusunan karya ini. Sudah sepatutnya rasa terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya penulis haturkan kepada Bapak/Ibu :

1. Yth. Dra. Fitriyah, M.Si., selaku pembimbing yang dengan penerimaan, kesabaran, keterbukaan dan kecermatannya selalu mendorong serta membimbing penulis hingga terselesaikannya Tesis ini.

2. Yth. Isbandi Rukminto Adi, Phd. Ketua Jurusan Ilmu Kesejahteraan Sosial Program Pasca Sarjana Universitas Indonesia yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menyusun dan menyelesaikan Tesis ini.

3. Yth. Bapak / Ibu Staf Pengajar di lingkungan Program Pasca Sarjana Sarjana Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, khususnya di Jurusan Ilmu kesejahteraan Sosial.

4. Rekan-rekan mahasiswa Program Pasca Sarjana Jurusan ilmu kesejahteraan sosial Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, terima kasih atas kebersamaan dan persabatan yang terjalin.

Ucapan terima kasih penulis sampaikan juga untuk kolega-kolega di Jurusan Ilmu Kesejahteraan Sosial FISIP Universitas Padjadjaran; atas dukungan, ‘sindiran’, dan bantuannya untuk terus selalu mengingatkan penulis agar segera menyelesaikan karya tulis ini.

Penulis menyadari sepenuhnya akan keterbatasan melekat pada diri sehingga melahirkan setumpuk kekurangan pada karya kecil ini. Oleh karena itu saran dan kritik untuk perbaikan dan penyempurnaan karya ini akan penulis terima dengan tangan terbuka.

Penulis mempersembahkan karya kecil ini kepada lembaga tempat penulis berkiprah dan mendasari pijakan melangkah di Departemen Kesejahteraan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Padjadjaran, serta untuk para pembaca yang menekuni bidang ilmu Kesejahteraan Sosial --- semoga bermanfaat.

Jatinangor, Agustus 2015 S.T.R


(8)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ……… iii

ABSTRAK ..……… v

DAFTAR ISI ……… viii

DAFTAR TABEL ……… x

DAFTAR BAGAN ………... xi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Pokok Permasaahan ... 11

C. Tujuan ... 12

D. Manfaat... 12

E. Metode Penelitian... 14

F. Sistematika Penulisan... 24

BAB II PROSES PENDIDIKAN DAN PELATIHAN TENAGA RELAWAN PADA ORGANISASI SOSIAL A. Organisasi Sosial ……… 27

A.1. Pengertian Organisasi Sosial ……… 27

A.2. Relawan ……… 40

B. Pengertian Pengembangan, Pendidikan dan Pelatihan Relawan … 48 C. Tahap-Tahap Pendidikan dan Pelatihan Sumber Daya Manusia 58 D. Metode dan Teknik Pelatihan dan Pengembangan Sumber Daya Mnusia ……… 76

D.1. Pengertian Metode dan Teknik ……… 76

D.2. Jenis Metode dan Teknik ………... 78

D.3. Penentuan Jenis-jenis Metode dan Teknik ……… 90

D.4. Penggunaan Teknik Pembelajaran ……… 94

BAB III GAMBARAN UMUM MITRA CITRA REMAJA (MCR)- PERKUMPULAN KELUARGA BERENCANA INDONESIA (PKBI) PROPINSI JAWA BARAT A. Latar Belakang Lembaga ……… 104

B. Visi dan Misi MCR-PKBI Jabar ……… 107

C. Strategi dan Tujuan MCR-PKBI Jabar ……… 109

D. Program Utama dan Bidang Pelayanan Remaja MCR-PKBI Jabar 112 E. Pembagian Kerja di MCR-PKBI Jabar ……… 117


(9)

BAB IV PENDIDIKAN DAN PELATIHAN TENAGA RELAWAN DI MITRA CITRA REMAJA (MCR) PERKUMPULAN KELUARGA BERENCANA

INDONESIA (PKBI) PROPINSI JAWA BARAT 132 A. Proses Pendidikan dan Pelatihan Tenaga relawan di Mitra Citra

Remaja (MCR) Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI)

Propinsi Jawa Barat………. 132

A.1. Informasi Pertama Mengenai MCR-PKBI ……… 132

A.2. Jenis Pendidikan dan Pelatihan yang diselenggarakan MCR-PKBI Jawa Barat ……….. 136

A.3. Tujuan Pendidikan dan Pelatihan Relawan ……… 144

A.4. Fasilitator Pendidikan dan Pelatihan ……… 147

A.5. Metode Pendidikan dan Pelatihan Relawan……… 151

A.6. Waktu Pendidikan dan Pelatihan Relawan ……… 157

A.7. Sarana-Prasarana Pendidikan dan Pelatihan ……… 163

A.8. Evaluasi Pendidikan dan Pelatihan Relawan ……… 166

B. Manfaat Pendidikan dan Pelatihan ……….. 170

BAB V PROSES PENDIDIKAN DAN PELATIHAN TENAGA RELAWAN ... 187

A. Proses Pendidikan dan Pelatihan Tenaga relawan di Mitra Citra Remaja (MCR) Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Propinsi Jawa Barat………. 189

B. Manfaat Pendidikan dan Pelatihan ……… 201

BAB Vi KESIMPULAN DAN REKOMENDASI A. Kesimpulan ……… 210

B. Rekomendasi ……… 221


(10)

DAFTAR TABEL

Tabel 1.1 Jumlah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di Jawa Barat … 2 Tabel 1.2 Jumlah Tenaga Relawan Berdasarkan angka ‘turn over’ 10 Tabel 1.3 Informan Penelitian dan Data yang Dibutuhkan ………. 21 Tabel 2.1 Matrik Tipologi Organisasi Pelayanan Manusia ……… 34 Tabel 2.2 Model-model Pelatihan ……… 80 Tabel 2.3 Keunggulan dan Kelemahan Program Latihan Menurut Lokasi 88 Tabel 2.4 Matrik Proses Pendidikan dan Pelatihan ……….. 101

Tabel 5.1 Ringkasan Hasil Penelitian dan Pembahasan Pendidikan

Dan Pelatihan Tenaga Relawan MCR-PKBI Propinsi Jabar 205


(11)

DAFTAR BAGAN

Bagan 1.1 Model Analisis Interaktif ……… 23

Bagan 2.1. Langkah Pendahuluan dalam Persiapan Program Latihan Dan Pengembangan ……… 59

Bagan 2.2. Langkah Kegiatan Model Pelatihan Partisipatif ……….. 65

Bagan 2.3. Modul Program Latihan ……… 70

Bagan 2.4. Teknik-teknik Latihan dan Pengembangan ……….. 87

Bagan 3.1. Struktur Organisasi MCR-PKBI Jawa Barat sebelum Juni 2001 ……. 115

Bagan 3.2. Struktur Organisasi MCR-PKBI Jawa Barat sejak Juni 2001 ……. 116

Bagan 5.1. Proses Pendidikan dan Pelatihan di Mitra Citra Remaja (MCR)-PKBI Propinsi Jawa Barat ………. 208


(12)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Fenomena munculnya berbagai jenis pelayanan sosial yang diselenggarakan oleh berbagai lembaga pelayanan sosial menunjukkan kecenderungan bergesernya sejumlah aktifitas pelayanan sosial yang secara tradisional diselenggarakan oleh keluarga besar (extended family) ke masyarakat (mekanisme pasar). Kondisi ini nampak pada meningkatnya pendirian organisasi-organisasi sosial yang menyelenggarakan berbagai pelayanan sosial kepada masyarakat. Pergeseran tersebut menimbulkan efek ganda (multiflying effect) terhadap tuntutan profesionalitas penyelenggaraan pelayanan oleh badan-badan sosial (human services organizations).

Perkembangan organisasi pelayanan sosial dalam masyarakat Indonesia, tidak terlepas dari sifat kesukarelaan anggota masyarakat untuk membantu sesama. Sifat ‘gotong royong’, ‘gugur gunung’, ‘rawe-rawe rantas’ dan nama-nama lain yang berbeda-beda di setiap daerah merupakan wujud dari kepedulian dari sebagian warga masyarakat untuk membantu warga masyarakat lainnya yang mengalami kesusahan. Merekalah yang kemudian dikenal sebagai volunteers yang secara sukarela menyumbangkan tenaga, pemikiran dan materinya tanpa mempertimbangkan imbalan. Dalam perkembangan selanjutnya,


(13)

permasalahan sosial makin beragam, sehingga membutuhkan keahlian dan mekanisme penanganan yang lebih terorganisir.

Peningkatan jumlah organisasi sosial yang menyediakan berbagai pelayanan sosial tersebut cukup menggembirakan. Hal ini menunjukkan tingginya tingkat kepedulian masyarakat dalam mengupayakan pelayanan sosial bagi warga masyarakat yang mengalami masalah dan memerlukan bantuan. Jumlah dan perkembangan organisasi swadaya masyarakat dapat dilihat pada tabel 1 berikut:

Tabel 1.1 Jumlah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di Jawa Barat

Tahun Jumlah Perubahan

1995 742 ----

1996 840 98

1997 1517 677

1998 1061 456

1999 1174 113

2000 1256 82

Sumber: Dinas Sosial Propinsi Jawa Barat

Namun situasi kondusif terhadap pertumbuhan dan perkembangan organisasi-organisasi sosial yang bergerak dalam usaha kesejahteraan sosial tersebut pada sisi lain memunculkan persoalan lain yaitu masih minimnya kemampuan keorganisasian dan manajerial yang merupakan keahlian dan keterampilan yang dibutuhkan dalam menyelenggarakan kegiatan pelayanan sosial. Kemampuan/keterampilan manajerial dan keorganisasian merupakan sebagian permasalahan dari sejumlah


(14)

masalah penting yang dihadapi oleh sejumlah organisasi sosial tersebut. Sebagaimana dikemukakan oleh Hasanah dan Herawati (1997: 119) bahwa:

Data yang ada menunjukkan peningkatan jumlah organisasi sosial yang cukup berarti, yakni dari 4.083 buah (1993/1994) menjadi 5.874 buah (SIOS Ditjen Bina Bantuan Sosial). Namun demikian pertambahan ini belum tentu diimbangi dengan peningkatan kualitas, khususnya yang menyangkut pengelolaan organisasi.

Sebagian besar dari organisasi sosial tersebut dikelola secara tradisional, dalam arti bahwa secara struktur serta penyelenggaraannya masih bercirikan tradisional yang didominasi dan dikelola secara ‘kekeluargaan’ dengan dorongan ‘altruistik’. Kondisi budaya tradisional yang nampak tidak hanya pada struktur dan pengelolaannya saja, namun juga masih tertanam secara mentalitet yang kemudian muncul ke dalam perilaku kesehariannya.

Pelayanan sosial yang sebagian orang menyebutnya dengan usaha-usaha kesejahteraan sosial merupakan perwujudan konsep-konsep kesejahteraan sosial dalam memberikan bantuan kepada masyarakat. Kahn, dalam Soetarso (1981:23) dan Wibhawa (1997:67), mendefinisikan pelayanan sosial sebagai berikut:

Pelayanan sosial terdiri dari program-program yang diadakan tanpa mempertimbangkan mekanisme pasar untuk menjamin suatu tingkat dasar dalam penyediaan fasilitas pemenuhan kebutuhan akan kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan untuk meningkatkan


(15)

perorangan untuk melaksanakan fungsi-fungsinya, guna

memperlancar kemampuan menjangkau dan

menggunakan pelayanan-pelayanan serta lembaga-lembaga masyarakat yang mengalami kesulitan dan keterlantaran.

Para pengurus organisasi penyelenggara pelayanan sosial umumnya adalah orang-orang yang dalam mengabdikan dirinya atas dorongan kesukarelaan saja dan belum ditunjang kemampuan manajerial. Sementara itu organisasi pelayanan sosial dihadapkan pada berbagai perubahan sosial disekitarnya yang makin kompleks dan beragam masalah sosial yang harus tidak ditangani dengan hanya berbekal ‘kesukarelaan’ semata, walaupun sampai pada tingkat tertentu kesukarelaan tersebut amat penting.

Kemampuan dan keahlian manajemen organisasi pelayanan tersebut akan menunjang efektifitas pelayanan sosial yang diberikan kepada para ‘pelanggannya’. Sebagaimana dinyatakan oleh Jones dan May(1992:20), sebagai berikut:

The final set of reasons for social workers and welfare workers to develops skills in organizational analysis and practice concern their personal needs as workers. If workers are to be effective in organization, they need to understand and be able to deal with personal stress frequently experienced in organizational life.

Banyak alasan bagi para pekerja sosial dan tenaga kesejahteraan untuk mengembangkan keterampilannya dalam praktik dan analisis keorganisasian berkaitan dengan kebutuhan pribadinya sebagai pekerja. Agar


(16)

pekerja dapat efektif di organisasi, mereka perlu memahami dan mampu berhadapan dengan tekanan personal yang seringkali dialaminya dalam kehidupan berorganisasi.

Dari definisi di atas nampaknya akan sulit bagi seorang pengelola organisasi pelayanan sosial dan termasuk organisasinya untuk mengembangkan karier tenaga relawan dalam organisasi pelayanan sosial jika mereka sendiri tidak dapat mengembangkan keterampilan, baik dalam kemampuan analisis maupun keterampilan praktek sesuai dengan bentuk dan jenis pelayanan sosial yang diberikan kepada kliennya.

Berbicara mengenai sumber daya manusia dalam organisasi pelayanan manusia akan terkait dengan tiga komponen yaitu terdiri dari dewan direksi (board management), staf pelaksana dan para relawan (volunteers). Ketiga komponen sumber daya manusia tersebut bekerja bersama dengan memanfaatkan sumber-sumber yang ada dalam menyelenggarakan pelayanan sosial.

Salah satu dari keberhasilan yang diperoleh dewan dan stafnya yaitu adanya komitmen terhadap suatu proses untuk mengevaluasi permasalahan dan mengembangkan pemecahan masalah secara sistematis untuk berbuat yang lebih baik lagi; serta dengan melibatkan para relawan dalam kegiatan pelayanan.

Relawan sosial sebagai salah salah satu ujung tombak kegiatan pelayanan sosial menjadi penting untuk diperhatikan, khususnya berkaitan dengan kemampuan dan keterampilan mereka dalam


(17)

kegiatan pelayanan. Mengenai definisi kerelawanan, IPPF (International Planned Parenthood Federation), suatu organisasi internasional yang bergerak di bidang keluarga berencana mendefinisikan relawan (volunteer) sebagai orang yang rela memberikan waktu dan kemampuannya untuk kesejahteraan kelompok atau masyarakat tanpa imbalan materi (Munajat, 1996:3)

Upaya pengembangan sumberdaya relawan melalui pendidikan dan pelatihan dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas dan efektifitas pelayanan. Sebagaimana dinyatakan oleh, Weinbach (1994:111) bahwa para relawan biasanya tidak profesional dan mungkin juga secara nilai-nilai dan etik tidak seperti tenaga profesional. Oleh karena itu dalam mengelola tenaga relawan diperlukan perhatian cukup dalam menyeleksi, melatih dan memelihara keberadaan dari para relawan tersebut; yang kesemuanya terkait dengan manajemen relawan.

Apabila dikaitkan dengan keberadaan relawan dalam organisasi sosial, Dunn dalam ‘Encyclopedia of Social Work, Volunteer Management’ (1995: 2483-2490) melihat bahwa para relawan harus dilatih; disupervisi; dicatat; dievaluasi; dan dibimbing, ketika kegiatannya tidak efektif. Berjalannya orientasi dan pelatihan merupakan landasan untuk mempertahankan para relawan secara efektif. Kegiatan-kegiatan tersebut merupakan bagian dari pengembangan sumber daya relawan dalam rangka meningkatkan efektifitas pelayanan relawan.


(18)

Jika diperhatikan, pada akhirnya berbagai kegiatan pelayanan sosial, peranan para relawan dalam kegiatan-kegiatan tertentu begitu penting. Beberapa alasan yang dapat dikemukakan berkenaan dengan posisi peran para relawan dalam organisasi pelayan sosial antara lain, bahwa para relawanlah yang merupakan ujung tombak kegiatan dan yang paling sering melakukan interaksi sosial dengan memberikan pelayanan kepada klien atau para pengguna manfaat jasa pelayanan sosial tersebut. Selain itu para relawanlah yang menjadi pelaksana operasional kegiatan-kegiatan di lapangan; merekalah sebenarnya pemberi pelayanan yang berada di garis depan dari suatu organisasi pelayanan sosial.

Skidmore (1995: 223) menyatakan bahwa para administrator pekerjaan sosial yang berkompeten mengakui bahwa para relawan merupakan sumber penting. Pergerakan para relawan telah menjadi momentum, dan tersedianya pelayanan kesejahteraan sosial dan pelayanan-pelayanan dalam berbagai seting kegiatan.

Di samping banyaknya manfaat yang diperoleh dari kehadiran relawan pada suatu organisasi pelayanan manusia, terdapat pula beberapa hal yang semestinya diwaspadai oleh para manajer atau staf yang membawahi para relawan. Beberapa hal tersebut, bahwa pada umumnya para relawan sulit dikendalikan daripada staf tetap (yang dibayar), dan terkadang mereka tidak memiliki kebutuhan secara ekonomis atas pekerjaan yang dia lakukan dalam suatu organisasi, sehingga ketika ia merasa tidak nyaman atau tidak betah dia akan pergi begitu saja.


(19)

Selanjutnya besarnya jumlah relawan yang terlibat dalam hampir seluruh kegiatan yang diselenggarakan oleh badan pelayanan sosial tidak dapat dibiarkan tanpa dikelola dan kembangkan dengan nyata. Pihak orgnisasi perlu membangun pola atau sistem pengembangan sumber daya relawan yang dapat menunjang efisiensi dan efektifitas pelayanan yang dilakukan.

Kajian mengenai relawan (volunteers) dalam bidang manajemen pelayanan sosial masih sangat minim khususnya di Indonesia. Manajemen relawan sebagai bagian dari manajemen pengembangan sumber daya manusia dalam upaya efektifitas pelayanan sosial merupakan salah satu pengetahuan yang perlu dikuasai oleh para pekerja sosial secara akademis, dengan melihat berbagai sudut pandang teori dan asumsi tertentu mengenai kerelawanan ini. Dengan demikian kajian terhadap bidang ini begitu mendesak untuk dilakukan khususnya dalam ilmu kesejahteraan sosial. Hal yang mendasari secara akademis perlunya kajian ini adalah untuk memperkaya telaah mengenai kerelawanan dan khususnya memperoleh pemahaman secara mendalam mengenai sistem pengembangan sumber daya relawan melalui pendidikan dan pelatihan yang diselenggarakan badan pelayanan sosial tersebut.

Mitra Citra Remaja (MCR) merupakan salah satu badan pelayanan sosial yang didirikan oleh Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) yang bergerak dalam bidang kesehatan reproduksi remaja. Fungsi utama lembaga ini adalah memberikan informasi dan


(20)

pelayanan kesehatan reproduksi remaja dengan kegiatan sebagai berikut:

1. Menyediakan informasi yang lengkap kepada remaja mengenai bagaimana mereka dapat mengenal diri mereka sendiri dan mencegah kehamilan yang tidak diinginkan (KTD), HIV dan AIDS.

2. Mendampingi ibu remaja yang menghadapi resiko tinggi (diatas rata-rata) terhadap kematian ibu.

3. Mempertimbangkan bahwa tingginya angka kehamilan remaja, menjadi ibu muda atau aborsi merefleksikan rendahnya kesempatan mendapatkan pendidikan dan tingkat ekonomi. 4. Memberikan pendidikan kepada remaja laki-laki untuk berbagi

tanggung jawab dalam hal seksualitas dan reproduksi

Sebagian besar kegiatan pelayanan di MCR tersebut dilakukan oleh para relawan yang rata-rata berjumlah 40 orang, sedangkan staf MCR hanya berjumlah 9 orang. Dengan demikian mayoritas sumber daya manusia di MCR adalah para relawan. Oleh karena itu sumber daya relawan yang berkualitas diperlukan dalam rangka mewujudkan kegiatan-kegiatan tersebut. Namun begitu tingkat turn over (keluar masuk) tenaga relawan di MCR-PKBI cukup tinggi. Sehingga setiap tahunnya jumlah tenaga relawan di lembaga tersebut selalu mengalami perubahan. Sebagaimana terlihat pada tabel 1.2 berikut ini.


(21)

Tabel 1.2 Jumlah Tenaga Relawan berdasarkan Angka ‘turn over’ (keluar-masuk)

Keterangan Jumlah Relawan Per-Tahun

1999 2000 2001 2002

Masuk 25 21 18 16

Keluar 16 12 9 18

Tahun

sebelumnya 15 24 33 42

Jumlah 24 33 42 40

Sumber: MCR-PKBI Propinsi Jawa Barat

Dengan beragamnya latar belakang pendidikan para relawan, yang umumnya para mahasiswa, dan sebagian lagi lulusan SLTA dan telah lulus dari perguruan tinggi; maka tuntutan dilakukannya kegiatan pendidikan dan pelatihan bagi para relawan menjadi penting. Selain itu melalui kegiatan pendidikan dan pelatihan diharapkan akan meningkatkan pengetahuan, sikap dan keterampilan relawan untuk dapat berperan sebagai peer educator dan konselor dalam kesehatan reproduksi remaja.

Selanjutnya suatu rancangan pelatihan dan pengembangan relawan organisasi sosial perlu diterapkan pada setiap tahap proses perencanaan keorganisasian. Pelatihan relawan ini diperlukan dalam rangka menjembatani atau menghilangkan perbedaan-perbedaan antara apa yang relawan pahami mengenai suatu tugas, harapannya sendiri terhadap bagaimana mereka melakukan tugas tersebut, dan tingkatan kinerjanya ketika diberi peluang kerja. Program pelatihan


(22)

yang efektif bagi relawan dikembangkan ketika kebutuhan akan tugas dan pekerjaan telah teridentifikasi dengan jelas, serta kebutuhan organisasi dan relawan telah diketahui dan dibawa ke dalam pengembangan program pelatihan.

B. Pokok Permasalahan:

Dalam latar belakang telah diungkapkan bahwa yang mendasari perlunya kegiatan pendidikan dan pelatihan di MCR-PKBI Propinsi Jawa Barat, antara lain adalah beragamnya latar belakang relawan, baik jenis pendidikan maupun tingkat pendidikan mereka atau pun pengalaman aktifitas organisasi para relawan; yang kedua adalah tingginya tingkat ‘turn over’ (keluar-masuk) relawan setiap tahunnya; dan yang ketiga adalah agar tercapai pemahaman dan persepsi yang sama dari para relawan terhadap tugas dan tanggung jawab mereka di MCR-PKBI Jawa Barat.

Masalah utama yang menjadi fokus dalam kajian ini adalah bagaimana proses pendidikan dan pelatihan relawan di Mitra Citra Remaja (MCR) PKBI Jawa Barat, serta manfaat yang diperoleh dari kegiatan tersebut. Dari pokok persoalan tersebut kemudian diuraikan dalam identifikasi pertanyaan sebagai berikut:

B.1. Bagaimana proses pendidikan dan pelatihan tenaga relawan di Mitra Citra Remaja (MCR)-PKBI Propinsi Jawa Barat?

B.2. Apa manfaat yang diperoleh dari pendidikan dan pelatihan tenaga relawan dalam kegiatan pelayanan?


(23)

C. Tujuan

1) Mengetahui dan mempelajari proses pendidikan dan pelatihan relawan yang dilaksanakan di Mitra Citra Remaja (MCR) PKBI Jawa Barat.

2) Mengetahui dan mempelajari manfaat yang diperoleh dari pendidikan dan pelatihan dalam kegiatan pelayanan di Mitra Citra Remaja Bandung.

D. Manfaat

D.1. Manfaat Teoritis

1) Pengembangan keilmuan, yaitu pada bidang ilmu kesejahteraan sosial, khususnya berkenaan dengan pelayanan sosial yang diselenggarakan oleh badan-badan pelayanan sosial.

2) Pengembangan keilmuan manajemen, khususnya berkaitan dengan manajemen sumber daya manusia yang ada pada organisasi pelayanan sosial, yang secara khusus lagi ditujukan pada pengembangan sumber daya relawan melalui pendidikan dan pelatihan tenaga relawan sebagai salah satu komponen sumber daya manusia yang terdapat dalam organisasi tersebut.


(24)

3) Merangsang penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan bidang kesejahteraan sosial dan manajemen relawan, agar diperoleh pemahaman terhadap persoalan manajemen relawan secara menyeluruh dan saling menyempurnakan.

D.2. Manfaat Praktis

1) Bagi para penyelenggara pelayanan sosial, khusus badan-badan pelayanan sosial yang membutuhkan tenaga relawan dalam penyelenggaraan kegiatan pelayanannya; kiranya kajian mengenai kerelawanan akan membantu dan membuka wawasan para pengurus untuk memberdayakan sumber daya yang amat potensial ini dengan baik untuk kelancaran pelayanannya. Dengan mengetahui dan mempelajari proses perekrutan tenaga relawan dalam suatu organisasi pelayanan sosial, maka para praktisi akan merencanakan dengan baik kebutuhan relawan dan jenis kegiatan yang akan melibatkan para tenaga relawan dengan baik.

2) Bagi pelayanan sosial itu sendiri diharapkan dengan berkualitasnya tenaga akan makin memperlancar proses pelayanan sehingga akan memuaskan para penerima bantuan atau pengguna manfaat pelayanan (beneficiaries) tersebut.


(25)

3) Para anggota dewan direksi atau dewan penyantun dan pengurus badan pelayanan sosial, setelah melihat dan memahami bahwa peran relawan begitu penting dalam penyelenggaraan pelayanan sosial, kiranya akan makin menambah penghargaan dan pengakuan mereka terhadap para relawan.

4) Para pengurus organisasi pelayanan sosial dan para pemerhati badan pelayanan sosial dapat mengembangkan berbagai bentuk pendidikan dan pelatihan yang diperlukan bagi para relawan, berkaitan dengan efektifitas dan efisiensi pelayanan yang dilakukan oleh para relawan kepada para pengguna jasa pelayanan organisasi tersebut.

E. Metode Penelitian

E.1. Lokasi dan Waktu Penelitian

a. Lokasi kegiatan penelitian adalah di Kantor Mitra Citra Remaja (MCR) Jl. Haruman No. 17 dan Jl. Sekelimus no 40 Bandung, serta Kantor Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Daerah Jawa Barat. Mitra Citra Remaja (MCR) merupakan lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang bergerak dalam kegiatan pelayanan sosial remaja yang berada dibawah koordinasi Perkumpulan Keluarga Berencana Indoensia (PKBI) Daerah Jawa Barat.


(26)

b. Penelitian ini dilaksanakan selama 6 (enam) bulan yaitu dari Januari 2000 – Juni 2000.

E.2. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah deskriptif, karena penelitian ini memfokuskan pada penggambaran jalannya proses pendidikan dan pelatihan tenaga relawan yang dilakukan oleh Mitra Citra Remaja (MCR). Menurut Irawan (2000;60), penelitian deskriptif adalah penelitian yang bertujuan mendeskripsikan atau menjelaskan sesuatu hal seperti apa adanya. Dalam penelitian digambarkan bagaimana pelaksanaan pendidikan dan pelatihan tenaga relawan yang dilakukan oleh MCR.

Menurut Babbie ( 1995; 85-86 ) penelitian deskriptif bertujuan untuk menggambarkan gejala atau situasi sosial agar memperoleh gambaran yang lebih akurat dari pengamatan yang dilakukan. Secara lengkap Babbie menguraikan sebagai berikut:

“A major purpose of many social scientific studies is to describe situation and events. The researcher observes and then describes what was observed. Because scientific observation is careful and deliberate, however, scientific description are typically more accurate and precise than casual descriptives.”

(Tujuan utama dari studi-studi ilmu sosial adalah untuk menggambarkan keadaan-keadaan dan kejadian-kejadian. Peneliti mengamati lalu kemudian menggambarkan apa yang telah diamati tersebut. Karena penguraian yang ilmiah lebih dilakukan secara sengaja dan cermat, maka


(27)

bagaimanapun juga penguraian yang ilmiah akan lebih tepat dan akurat daripada penguraian yang dilakukan secara sepintas dan tidak sengaja)

Sedangkan Neuman (1997;19-20),mengatakan

“Descriptive research presents a picture of the scientific details a situation, social setting, or relationship. Much of sound research found in scholarly journals or used for making policy decisions is descriptive”

(Penelitian deskriptif menyajikan suatu gambaran ilmiah dari suatu keadaan, latar belakang sosial ataupun hubungan antar sesuatu secara terperinsi. Penelitian sosial yang banyak ditemukan pada jurnal-jurnal pendidikan atau digunakan untuk menyusun suatu kebijakan adalah menggunakan metode deskriptif)

E.3. Pendekatan Penelitian

Pendekatan penelitian yang digunakan adalah pendekatan kualitatif, karena pendekatan ini dipandang lebih relevan digunakan dalam mengamati gejala-gejala sosial dalam suatu organisasi sosial. Kirk dan Miller (1986;9) dalam Moleong (2001;3) menegaskan bahwa penelitian kualitatif sebagai tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung pada pengamatan terhadap manusia dalam kawasannya sendiri dan berhubungan dengan orang-orang tersebut dalam bahasa dan peristilahannya.

Dalam penelitian kualitatif, fokus penelitian sangat erat hubungannya dengan perumusan masalah, dimana masalah penelitian


(28)

dijadikan sebagai acuan dalam menentukan fokus penelitian. Sehingga fokus penelitian dapat berkembang sesuai dengan perkembangan masalah penelitian di lapangan. Hal ini sesuai dengan sifat pendekatan penelitian kualitatif yang lentur, dalam penelitian ini segalanya ditentukan dari hasil akhir pengumpulan data yang mencerminkan keadaan sebenarnya di lapangan dan penelitian ini dituntut lebih banyak turun ke lapangan. Wawancara dengan sejumlah informan di MCR-PKBI diperlukan dan dilakukan berkali-kali untuk memperoleh gambaran seutuhnya mengenai pendidikan dan pelatihan. Dengan sifat dan tujuan yang dicapai dalam penelitian ini, maka tepatlah kiranya pendekatan penelitian kualitatif dipergunakan dalam proses pengumpulan dan pengolahan data.

E.4. Teknik Pengumpulan Data

Untuk memperoleh data yang dibutuhkan dalam penelitian ini, maka dipergunakan teknik pengumpulan data sebagai berikut:

a. Studi Kepustakaan

Suatu proses mengumpulkan data melalui telaah kepustakaan atau dokumentasi (library research). Studi kepustakaan ini bertujuan untuk mempelajari atau memahami dasar pemikiran, pendapat, pandangan pakar dan teori-teori yang relevan dengan persoalan pendidikan dan pelatihan relawan .


(29)

b. Studi Lapangan

Merupakan upaya pngumpulkan data yang berasal dari informasi baik secara lisan maupun tulisan dari sumber-sumber di lapangan. Teknik pengumpulan data ini dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Wawancara mendalam (in-depth interview); wawancara mendalam dalam penelitian ini dilakukan dengan cara bertanya langsung kepada informan dengan tujuan untuk memperoleh respon dan pendapat mengenai masalah yang diteliti. Kemudian jawaban-jawaban dari informan tersebut dikembangkan lebih lanjut selama dan setelah wawancara berlangsung. Sehingga proses wawancara kepada informan dapat dilakukan berkali-kali. Alat yang digunakan dalam wawancara mendalam adalah pedoman wawancara.

2. Pengamatan-Langsung (observasi), yaitu mengamati secara langsung kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh Mitra Citra Remaja dan para relawan dalam melaksanakan kegiatan pendidikan dan pelatihan. Alat yang digunakan dalam pedoman observasi.

3. Dokumentasi, kajian dokumentasi dilakukan untuk memperoleh data yang berhubungan dengan pendidikan dan pelatihan tenaga relawan. Kajian ini dilakukan dengan mempelajari sumber-sumber tertulis seperti buku-buku, laporan-laporan, serta dokumen lainnya yang berhubungan


(30)

dengan materi penelitian. Alat penelitian yang digunakan dalam dokumentasi ini adalah tape recorder (alat rekam).

E.5. Teknik Pemilihan Informan

Teknik pemilihan informan dalam penelitian ini adalah secara purpossive sampling, yakni secara sengaja dipilih peneliti berdasarkan pemikiran yang logis dan sesuai dengan informasi yang dicari dalam tujuan penelitian ini. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Alston dan Bowles (1998;92) sebagai berikut:

“This sampling technique allows us to select the sample for our study for purpose. We may have prior knowledge that indicate that a particular group is important to our study or we select those subjects whom fell are ‘typical’ examples of the issue we wish to study”

(Teknik sampling ini akan menuntun kita untuk memilih sampel sesuai dengan tujuan penelitian. Kita sebelumnya mungkin memiliki pengetahuan untuk mengidentifikasikan kelompok mana yang penting untuk penelitian atau kita memilih subjek-subjek yang kita anggap lebih tepat digunakan untuk penelitian).

Setiap informan yang dipilih akan memiliki unsur-unsur yang berhubungan langsung atau tidak langsung dengan kegiatan


(31)

pendidikan dan pelatihan bagi tenaga relawan. Informan terdiri dari para pengurus MCR dan relawan MCR. Adapun informasi-informasi yang akan diperoleh dari beberapa informan dalam penelitian ini adalah informasi yang berkaitan dengan permasalahan. Adapun informan penelitian ini dibagi menjadi dua kelompok yaitu:

- Staf MCR yang menjadi informan dan yang dimaksud dalam penelitian ini Senior Coordinator seorang, dan para koordinator dari tiga divisi yang ada yaitu 4 orang. Dengan demikian jumlah seluruhnya adalah 6 (enam) orang dengan nama samaran/alias masing-masing, secara rinci sebagai berikut :

1) 1 orang senior coordinator MCR-PKBI, : Winda 2) 1 orang staf finance and secretary : Sinta 3) 1 orang staf/koordinator divisi IEC : Rita 4) 2 orang staf/koordinator divisi Youth clinic : Nindi , Afi 5) 1 orang staf/koordinator divisi Pengembangan : Fandi

- Relawan yang menjadi informan dalam penelitian ini adalah para relawan yang telah mengikuti pelatihan dasar menjadi relawan di MCR dari setiap divisi yang memiliki relawan yaitu divisi IEC dan divisi youth clinic yang berjumlah 9 (sembilan) orang dengan rincian sebagai berikut (nama samaran):

1) 5 orang dari divisi IEC : Rizwan, Eky, Lani, Rais, Dian

2) 4 orang dari divisi youth clinic : Tania, Alya, Koko, Luki Keseluruhan informan yang diwawancarai dalam penelitian ini berjumlah 15 orang yang mewakili 2 kelompok yang diteliti yang


(32)

berhubungan dengan kegiatan pendidikan dan pelatihan tenaga relawan. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 1.3 Informan Penelitian dan Data yang Dibutuhkan

Jenis Data yang Dikumpulkan Informan Jumlah

Latar belakang diadakan pelatihan Jenis pelatihan

Proses penyelenggaraan pelatihan

Pengurus / staf MCR

6 orang

Proses penyelenggaraan pelatihan Manfaat pelatihan

Respon pendidikan dan pelatihan

Relawan 9 orang

E.6. Pengolahan dan Analisa Data

Dalam analisa data dikaitkan dengan pendekatan kualitatif menggunakan model interaktif seperti yang dikemukakan oleh Miles dan Huberman (1992; 15-21), menyatakan bahwa model analisa ini terdiri dari tiga komponen analisis , yaitu:

a. reduksi data b. sajian data, dan c. penarikan kesimpulan

Reduksi data diartikan sebagai proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan dan transformasi data kasar yang muncul dari catatan tertulis lapangan. Informasi yang diperoleh dari lapangan baik berupa hasil wawancara dan pengamatan di MCR-PKBI dipertajam, digolongkan, diarahkan, dibuang yang tidak


(33)

perlu dan kemudian diorganisasi sedemikian rupa sehingga akhirnya dapat ditarik kesimpulan dan diverifikasi secara sederhana dan dapat dijelaskan. Reduksi data dilakukan untuk menyederhanakan data kualitatif dan mentransformasikannya dengan berbagai cara seperti seleksi yang ketat melalui penulisan skrip wawancara lengkap, penggolongan dan kategorisasi hasil wawancara sesuai kategori dan jenis informasi, kemudian meringkas wawancara dalam tabel ringkasan wawancara.

Penyajian data merupakan alur penting yang kedua dari kegiatan analisis. Dalam penelitian ini pembatasan “penyajian data” dilakukan pada kumpulan informasi temuan yang memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan atau pengambilan tindakan. Kegiatan analisis ketiga adalah menarik kesimpulan/ verifikasi, yaitu menarik simpul-simpul penting temuan lapangan.

Dalam proses pengumpulan data, reduksi data sudah dilakukan dan sajian data sampai penyusunan kesimpulan. Artinya berdasarkan data yang ada pada field note (catatan lapangan) maka disusun pemahaman arti dan segala peristiwa melalui reduksi data, diikuti penyusunan data dalam bentuk cerita sistematis sesuai dengan informasi mengenai proses pendidikan dan pelatihan di Mitra Citra Remaja (MCR)-PKBI Jawa Barat. Reduksi data dan penyusunan

sajian data setelah diperoleh unit data berakhir, kemudian ditarik kesimpulan dengan berusaha melakukan verifikasi berdasarkan field note. Apabila pada field note dirasa belum cukup atau tidak didapatkan,


(34)

maka harus mencari kelengkapan data tersebut di lapangan secara khusus.

Pada bagan 1.1. digambarkan secara interaktif pada tiga komponen utama analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini. Hal sesuai dengan gambaran dari Miles dan Huberman (1992; 26)

Bagan 1.1

Model Analisis Interaktif

Pengumpulan data:

Observasi, Wawancara, studi

dikumentasi

Reduksi data:

Pembuatan skrip wawancara, penyederhanaan, penggolongan, dan

kategorisasi Penarikan

Kesimpulan / verifikasi

berdasarkan data temuan

Penyajian data:

temuan-temuan hasil penyeder-hanaan, penggo-longan dan kate-gorisasi dan

ringkasan.

Sumber: pengembangan peneliti berdasarkan bagan dari Miles and Huberman (1993:26)


(35)

F. Sistematika Penulisan

Dalam penulisan tesis ini terdiri dari enam bab, yaitu:

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini merupakan gambaran tentang latar belakang permasalahan, perumusan masalah penelitian, tujuan penelitian dan manfaat penelitian, metode penelitian yang meliputi: jenis penelitian, pendekatan penelitian, teknik pengumpulan data, teknik pemilihan informan, pengolahan data dan analisis data serta sistematika penulisan.

BAB II PROSES PENDIDIKAN DAN PELATIHAN TENAGA RELAWAN

Bab ini menguraikan mengenai pendidikan dan pelatihan pada relawan yang diselenggarakan oleh organisasi sosial dalam beberapa kajian, pertama: organisasi sosial dan relawan; kedua: pengertian pengembangan, pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia; dan ketiga: metode dan teknik pelatihan dan pengembangan sumber daya manusia yang dibagi menjadi lima, yaitu pengertian metode dan teknik, jenis-jenis metode dan teknik, penentuan jenis-jenis metode dan teknik, tahap-tahap pendidikan dan pelatihan, dan penggunaan teknik.


(36)

BAB III GAMBARAM UMUM MITRA CITRA REMAJA (MCR) –

PERKUMPULAN KELUARGA BERENCANA

INDONESIA (PKBI) PROPINSI JAWA BARAT

Bab ini berisi gambaran umum mengenai Mitra Citra Remaja (MCR). Pada bagian ini dipaparkan mengenai secara menyeluruh tentang MCR, yaitu gambaran umum lembaga, visi, misi, strategi, tujuan, program utama, bidang pelayanan, pembagian kerja, dan jenis pendidikan dan pelatihan di MCR-PKBI Jawa Barat.

BAB IV PENDIDIKAN DAN PELATIHAN TENAGA RELAWAN DI MITRA CITRA REMAJA (MCR) – PERKUMPULAN KELUARGA BERENCANA INDONESIA (PKBI) PROPINSI JAWA BARAT

Bab ini berisikan deskripsi hasil temuan penelitian berupa data dan informasi yang dikumpulkan dan proses observasi, wawancara dan studi dokumentasi serta literatur. Data dan informasi tersebut telah direduksi dan diorganisasi berdasarkan tujuan dan permasalahan yang ingin dianalisis dalam penelitian, serta beberapa informasi baru yang merupakan hasil pengembangan dan penelitian di lapangan.


(37)

BAB V PEMBAHASAN

Bagian ini membahas secara teoritis tentang temuan hasil penelitian, yaitu pertama, mengenai latar belakang relawan yang dibagi lagi tentang informasi dan motivasi relawan; kedua tentang pendidikan dan pelatihan relawan yang dibagi lagi, yakni jenis pendidikan dan pelatihan, tujuan pendidikan dan pelatihan, fasilitator pendidikan dan pelatihan, metode pendidikan dan pelatihan, waktu pendidikan dan pelatihan, sarana dan prasarana pendidikan dan pelatihan, dan evaluasi pendidikan dan pelatihan. Ketiga: manfaat pendidikan dan pelatihan terhadap kegiatan pelayanan.

BAB VI KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

Bab ini berisi kesimpulan dan rekomendasi, yaitu berupa simpulan-simpulan yang diangkat dari hasil penelitian dan pembahasannya, dan saran-saran yang dapat direkomendasikan berdasarkan temuan-temuan lapangan.


(38)

BAB II

PROSES PENDIDIKAN DAN PELATIHAN TENAGA RELAWAN PADA ORGANISASI SOSIAL

A. Organisasi Sosial

A.1. Pengertian Organisasi Sosial

Organisasi (baca organisasi sosial) menurut Parsons adalah unit sosial (atau pengelompokkan manusia) yang sengaja dibentuk dan dibentuk kembali dengan penuh pertimbangan dalam rangka mencapai tujuan (Etzioni; 1985:3). Tentunya batasan ini masih umum untuk menjelaskan organisasi sosial atau organisasi pelayanan manusia. Sedangkan Donovan dan Jackson (1991:8) secara lebih rinci mengemukakan batas organsasi yang nampaknya lebih interdisipliner, bahwa:

‘…that organisations are composed of individuals and groups (Who) come together in order to achieve certain goals and objective (Why). They do this by means of differentiated functions that are intended to be rationally co-ordinated and directed (How) through time on a continuous basis (When). For them, the What of an organisation is implied by the ‘who’, ‘why’, ‘how’, and ‘when’.

…bahwa organisasi terdiri dari orang-orang dan kelompok (Siapa) yang bekerja sama dalam rangka mencapai tujuan dan sasaran (Mengapa) tertentu. Mereka melakukannya dengan cara-cara fungsi yang berbeda-beda yang diarahkan dengan koordinasi dan perintah yang rasional (Bagaimana) sesuai dengan waktu yang sinambung (Kapan). Untuk itu, Apa yang


(39)

organisasi lakukan dengan ‘siapa’, ‘mengapa’, ‘bagaimana’, dan ‘kapan’.

Berdasarkan kedua definisi diatas, maka organisasi merupakan unit sosial yang dibangun untuk melakukan sesuatu dengan fungsi dan posisi berbeda, dan disengaja, sadar, rasional, upaya terencana untuk mengkoordinasikan dan mengarahkan aktivitas sehingga melalui seperangkat kegiatan dan hubungan yang teratur menghasilkan sesuatu.

Selanjutnya Donovan dan Jackson (1991:7) mengemukakan definisi mengenai organisasi pelayanan manusia, yaitu “A human service organisation is defined as one in which the prime product is a service that is designed to optimise the welfare of the client”. Artinya organisasi pelayanan manusia didefinisikan sebagai sesuatu yang produk utamanya adalah pelayanan yang dirancang untuk mencapai kesejahteraan klien. Batasan organisasi pelayanan manusia tersebut berkaitan dengan penentuan pengetahuan apa mengenai manajemen efektif dari organisasi lain yang dapat diterapkan dengan tipe organisasi pelayanan sosial ini.

Brown dan Korten (1991:49-50) mengkategorikan organisasi pelayanan manusia dalam sektor ketiga. Ciri khas dari organisasi ini adalah sifat kerelawanannya yang kental, dimana istilah “voluntary” menunjuk pada tindakan-tindakan yang dilakukan oleh pelaku dengan bebas atau secara sukarela, tanpa paksaan. Nilai-nilai inilah yang mendorong mereka untuk memobilisasi kontribusi secara sukarela tenaga, uang, atau jenis lainnya yang merupakan ekspresi akan


(40)

nilai-nilainya tersebut. Mereka juga menyatakan bahwa “dari seluruh energi pembangunan yang hampir terabaikan adalah energi kerelawanan dalam suatu organisasi”. Terdapat karakteristik khusus yang dimiliki oleh energi kerelawanan tersebut sebagimana yang mereka kemukakan, yaitu: pertama, bahwa energi kerelawanan adalah murah, paling tidak secara keuangan dan politik, dan ada dengan kuantitas potensi yang luas. Kedua, energi kerelawanan tersebut tidak mudah dikendalikan oleh mekanisme yang digunakan untuk mengontrol bentuk energi sosial lainnya. Lebih jauh lagi, sulit jika dikatakan tidak mungkin untuk membelinya dan menyimpannya. Dan yang ketiga bahwa energi kerelawanan adalah sesuatu energi yang mungkin dapat meningkatkan kekuatan energinya sendiri (self-reinforcing). Kekuatan energi inilah yang diantaranya tersalurkan melalui mekanisme tertentu dalam organisasi sosial atau organisasi pelayanan manusia. Dari pendapat tersebut dapat dilihat bahwa energi kerelawanan merupakan potensi yang besar dan murah, sehingga amat potensial untuk dikembangkan dan diberdayakan. Namun begitu, jumlah relawan yang besar dan murah, mereka sulit dikendalikan. Energi kerelawanan ini biasanya ada dan tersalurkan melalui organisasi sosial atau organisasi pelayanan sosial.

Dengan melekatkan energi kerelawanan pada organisasi sosial maka adalah penting untuk memahami organisasi sosial bagi pekerjaan sosial dan upaya kesejahteraan sebagaimana proposisi dari Jones dan May (1992:10), bahwa hampir semua pakerja sosial beroperasi dalam seting keorganisasian. Hal tersebut berimplikasi


(41)

bahwa para pekerja sosial dan organsisasi sama-sama saling membutuhkan; sifat upaya pekerjaan sosial dan kesejahteraan akan ditentukan secara signifikan oleh organisasi; para pekerja sosial dan kesejahteraan memiliki kapasitas untuk menentukan dan mempengaruhi organisasi; para pekerja dipahami sebagai anggota organisasi oleh lainnya dalam organisasi, termasuk pengguna jasa; dan organisasi merupakan lokasi strategis untuk berpartisipasi dalam proses pembaruan dan perubahan.

Mengenai sifat pekerjaan Jones dan May (1992:10) menyatakan bahwa pekerjaan sosial dan kesejahteraan adalah berorganisasi sebagaimana juga sebagai pekerjaan profesional. Dengan demikian lahan pekerjaan maka organisasi sosial juga merupakan lahan tersendiri yang perlu dipelajari dan dilatihkan secara khusus pula.

Selanjutnya kedua penulis menyatakan tujuan bahwa pekerjaan sosial dan kesejahteraan berupaya memecahkan masalah dan meningkatkan kapasitas individual, keluarga dan masyarakat, serta menghubungkan sumber-sumber, pelayanan dan peluang-peluang. Hal ini akan berimplikasi pada tiga hal (Jones & May; 1992:10), yaitu:

1. The nature of direct practice is shaped by the organizational context (sifat praktik langsung ditentukan dalam konteks keorganisasian)

2. Direct consumer work involves extensive dealing with organizations. (upaya penanganan langsung pengguna akan melibatkan upaya organisasi secara ekstensif)


(42)

3. The complexities of care and control roles have to be negitiated in organizational settings. (kompleksitas peran pemeliharaan dan kendali harus dinegosiasikan dalam setting organisasi)

Lain halnya dengan tujuan pekerjaan sosial dan kesejahteraan untuk mendukung efektifitas pelaksanaan sistem pelayanan, mengembangkan dan memperbaiki kebijakan sosial, serta mendukung perubahan dan pembangunan sosial. Hal tersebut akan berimplikasi pada; 1) Pemahaman organisasi dibutuhkan bagi para pekerja sosial yang berperan dalam kebijakan, perencanaan, administrasi dan aksi sosial, dan 2) Para pekerja sosial garis depan (front-line workers) membutuhkan keterampilan-keterampilan untuk terlibat dalam proses politik dalam organisasi. (Jones & May; 1992:10).

Organisasi akan ditentukan oleh kehidupan masyarakatnya, dan secara khusus memiliki kelebihan dalam kehidupan orang-orang yang tidak beruntung atau yang memerlukan bantuan. Implikasinya menurut Jones dan May (1992:10-11) adalah 1) Suatu tugas khusus bagi para pekerja untuk mendukung tanggungjawab organisasi terhadap kebutuhan konsumen, dan 2) para pekerja seharusnya memandang perannya untuk bekerja di organisasi didasarkan pada prinsip-prinsip cakupan keadilan sosial, persamaan, hak-hak azasi, dan partisipasi.

Jenis organisasi pelayanan manusia itu sendiri dapat dikategorikan berdasarkan kegiatan (bidang lingkup garapan), jenis penanganan, dan berdasarkan wilayah atau juga berdasarkan


(43)

teknologi yang dipergunakan dalam mengolah “raw material” oleh badan pelayanan sosial. Jika berdasarkan wilayah tentunya ada organisasi pelayanan manusia tingkat daerah, organisasi pelayanan manusia tingkat nasional dan organisasi tingkat internasional. Selanjutnya berdasarkan jenis lingkup dan bidang garapan pelayanan dari organisasi sosial, Friedlander (1980:5-10) mengemukakan beberapa jenis pelayanan sosial yang diusahakan melalui organisasi sosial yaitu:

1. Bantuan sosial (public assistance); 2. Asuransi sosial (social insurance);

3. Pelayanan kesejahteraan keluarga (family welfare services); 4. Pelayanan kesejahteraan anak (Child welfare services);

5. Pelayanan kesehatan dan pengobatan (Health and medical services);

6. Pelayanan kesejahteraan jiwa (Mental hygiene services); 7. Pelayanan koreksional (Correctional services);

8. Pelayanan kesejahteraan pemuda pengisian waktu luang (youth leissure-time services);

9. Pelayanan kesejahteraan bagi veteran (veteran services); 10. Pelayanan ketenagakerjaan (employment services); 11. Pelayanan bidang perumahan (housing services);

12. Pelayanan sosial internasional (international social services) 13. Pelayanan kesejahteraan sosial masyarakat (community social


(44)

Sebagaimana dikemukakan oleh Hasenfeld (1983:4-7) bahwa organisasi pelayanan manusia dapat dilihat berdasarkan ‘materi atau bahan dasar’-nya dan penggunaan teknologi transformasi yang digunakan. Berdasarkan jenis bahan dasarnya yang dilayani yaitu manusia, terdiri dari dua dimensi yaitu manusia yang berfungsi secara normal (normal functioning) dan yang tidak berfungsi secara normal (malfunctioning). Ketidaknormalan atau penyimpangan tersebut dapat dilihat berdasarkan fisik, psikologis dan sosial. Bahan dasar (raw material) manusia dengan kategori yang berfungsi secara normal (normal functioning) dan yang tidak berfungsi secara normal (malfunction) maka dibutuhkan cara-cara, metode dan teknik-teknik yang berbeda dalam memprosesnya.

Berdasarkan hal tersebut Hasenfeld mengemukakan bahwa terdapat tiga jenis teknologi pelayanan yang digunakan oleh organisasi pelayanan, yaitu:

a. Pemrosesan-manusia (people-processing technologies); tujuannya memberikan status atau label sosial tertentu terhadap klien sehingga dapat ditentukan jenis pelayanan apa yang diperlukan selanjutnya.

b. Pemeliharaan-manusia (people-sustaining technologies). Pada jenis ini berupaya untuk mencegah, memelihara dan mempertahankan kesejahteraan klien, tetapi tidak berupaya mengubah secara langsung atribut atau perilaku klien.


(45)

c. Perubahan-manusia (people-changing technologies); teknologi ini adalah untuk merubah atribut atau sikap serta perilaku klien agar dapat meningkatkan kesejahteraannya.

Apabila digambarkan dalam suatu matrik antara kedua dimensi yaitu bahan dasar manusia atau tipe kliennya yang berfungsi normal dan tidak normal, dan penggunaan teknologi dalam pelayanan manusia, maka didapat enam jenis tipologi organisasi pelayanan manusia, sebagai terlihat dalam gambar berikut:

Tabel 2.1.: Matrik Tipologi Organisasi Pelayanan Manusia

Jenis Klien Pemrosesan

Manusia

Pemeliharaan Manusia

Perubahan Manusia

Jenis I Jenis III Jenis V

Fungsional BPS

Badan Akreditasi Jaminan Sosial Rumah Peristirahan Sekolah Umum Pramuka PKBI

Jenis II Jenis IV Jenis VI

Malfunctioning Klinik diagnostik

Pengadilan anak Rumah Perawatan Panti asuhan Rumah sakit Pusat rehabilitasi korban Narkotik Sumber: Hasenfeld, 1983. Human service Organization, hal. 4-7.

Dalam tipologi tersebut maka MCR-PKBI dengan ‘raw material’-nya manusia fungsional dan dengan teknologi perubahan manusia untuk meningkatkan pengetahuan dan pemahaman akan kesehatan reproduksi bagi remaja; dapat dikategorikan dalam tipe kelima.


(46)

Banyaknya jenis pelayanan sosial yang ada dimasyarakat akan sangat tergantung pada ragam permasalahan dan struktur masyarakat itu sendiri dalam menanggapi berbagai masalah yang berkembang. Demikian pula dengan berbagai perspektif mengenai jenis pelayanan sosial akan memperjelas pemahaman proses kegiatan atau penyelenggaraan pelayanan sosial oleh organisasi tersebut. Hal ini sesuai dengan pendapat Hasenfeld (1983:9-10) bahwa “Human services, as a class of organizations, share a unique set of characteristics because they all work with and on people”. Artinya pelayanan manusia, sebagai suatu jenis organisasi terdiri dari seperangkat karakteristik unik karena bekerja bersama dan dengan orang-orang. Selanjutnya dia mengemukakan karakteristik dari organisasi pelayanan sosial atau manusia, sebagai berikut:

1. Fakta bahwa material dasarnya (raw material) adalah terdiri dari orang-orang dengan sejumlah nilai-nilai moral yang mempengaruhi aktifitas organisasi sosial.

2. Tujuan dari organisasi pelayanan manusia adalah samar-samar (vague), berarti-dua (ambiguous), dan bermasalah (problematic).

3. Moral ambigu yang mengitari pelayanan manusia juga menunjukkan organisasi pelayanan sosial bergerak dalam lingkungan bergolak, artinya lingkungan tersebut terdiri dari banyak kepentingan kelompok yang berbeda-beda.

4. Organisasi pelayanan manusia harus beroperasi dengan teknologi yang tidak menentukan dengan tidak


(47)

menyediakan pengetahuan yang lengkap mengenai bagaimana mencapai hasil yang diharapkan.

5. Aktivitas utama dalam organisasi pelayanan manusia terdiri dari hubungan antara staf dan klien. Tidak menutup kemungkinan para staf dalam organisasi sosial lebih banyak terdiri dari para relawan yang harus berhubungan dengan kliennya.

6. Karena keutamaan hubungan staf dan klien, maka posisi dan peran staf lini (staf profesional) secara khusus adalah penting dalam organisasi pelayanan manusia.

7. Organisasi pelayanan manusia miskin pengukuran mengenai efektifitas yang reliabel dan valid, dan mungkin, lebih mampu bertahan terhadap perubahan dan inovasi.

Apabila melihat karakteristik kelima dari ciri organisasi sosial, yaitu aktivitas utama dalam kegiatan pelayanan adalah hubungan antara staf dan klien, maka kepuasan klien dalam berhubungan dengan staf merupakan salah satu indikasi dari kemampuan staf dalam memberikan pelayanan. Ketidakjelasan tujuan, inefektifnya teknologi yang digunakan, dan lemahnya pengukuran yang reliabel dan valid dari organisasi pelayanan sosial juga merupakan kelemahan yang dimiliki oleh organisasi pelayanan manusia.

Pendapat lainnya mengenai karakteristik organisasi pelayanan manusia dikemukakan oleh Martin (1985:2), bahwa :


(48)

1. The purpose of human service organisations is to meet the socially recognised needs of people. (Tujuan organisasi pelayanan manusia adalah memenuhi kebutuhan orang yang diakui secara sosial)

2. Human service organisations are based on values accepted by all or a subtantial part of the society in which they operate. (Organisasi pelayanan manusia didasarkan pada nilai-nilai yang diterima oleh semua atau sebagian penting anggota masyarakat dimana mereka beroperasi)

3. Human service organisations are committed to protecting and promoting the wellbeing both of the direct consumers of their services and of society generally. (Organisasi pelayanan manusia memiliki tanggung jawab untuk melindungi dan mendukung kesejahteraan baik kepada pengguna jasa langsung dan masyarakat pada umumnya)

4. Human service organisations are mandated and resourced by all or a substantial part of the public, through statutory resources or donations, and operate without a profit-making purpose. (Organisasi pelayanan manusia memperoleh kewenangan dan sumber oleh semua atau sebagian penting masyarakat umum, yaitu sumber-sumber dan donasi menurut undang-undang dan bergerak tanpa tujuan mencari keuntungan)

5. Human service organisations are therefore accountable to all or a substantial part of the public as well as to their consumers. (Organisasi pelayanan manusia dengan demikian dapat dipertanggung-jawabkan kepada semua atau sebagian penting masyarakat umum demikian pula kepada para pengguna jasanya)

6. Access to and usage of human services are wholly or predominantly controlled by the providers rather than consumers of services. (Akses dan penggunaan pelayanan manusia secara keseluruhan atau terutama


(49)

dikendalikan oleh penyedia pelayanan daripada penggunanya)

7. Human service organisations provide services that may operate with imprecise methodes. (Organisasi pelayanan manusia menyediakan pelayanan yang mungkin menggunakan metode yang tidak tepat).

8. The outcomes of human services may be uncertain and unpredictable. (Hasil dari pelayanan manusia mungkin tidak pasti atau sulit diprediksi).

9. Human services are generally provided through professional relationship between staff and client within a formal organisational structure. (Pelayanan manusia umumnya disediakan melalui hubungan profesional antara staf dan klien dalam suatu struktur organisasi formal).

Karakteristik yang dikemukakan oleh Martin melengkapi karakteristik organisasi pelayanan manusia yang telah dikemukan oleh Hasenfeld sebelumnya. Terdapat beberapa kesamaan pandangan antara Martin dan Hasenfeld mengenai karakteristik tersebut, misalnya mengenai ketidaktepatan metode atau teknologi yang dipergunakan, hasil dari pelayanan manusia yang sulit ditentukan juga berkaitan dengan lemahnya pengukuran hasil yang reliabel dan valid, dan keduanya memandang penting hubungan antara staf dan klien atau penerima pelayanan.

Selanjutnya dalam penyelenggaraan pelayanan sosial maka kebijakan-kebijakan yang dibuat dalam organisasi pelayanan manusia tidak mungkin dapat diterapkan tanpa manajemen pelayanan sosial.


(50)

Berkaitan dengan manajemen pelayanan, Ginsberg (1995: 2) menyatakan, bahwa:

“Without management, it is doubtful that services could be provided. In many cases, the nature and quality of the services would be even more heavily influenced by the nature and quality management than by the laws (in public program) or board decisions (in voluntary program) that create the services”.

(Tanpa manajemen, maka diragukan sebuah pelayanan sosial dapat tersedia dengan baik, bahkan sifat dan kualitas pelayanan sosial akan sangat dipengaruhi oleh sifat dan kualitas manajemen daripada aturan yang dibuat atau oleh keputusan para anggota dewan.)

Dengan demikian suatu organisasi pelayanan sosial sudah seharusnya dikelola secara profesional. Artinya berbagai aspek manajemen merupakan syarat tercapainya tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan oleh suatu organisasi pelayanan.

Salah satu persoalan manajemen yang perlu memperoleh perhatian tersendiri dalam organisasi pelayanan sosial adalah berkaitan dengan manajemen sumber daya manusia. Terdapat tiga komponen sumber daya manusia dalam organisasi pelayanan sosial yang perlu diperhatikan yaitu: dewan, staf, dan tenaga relawan. Mengenai tenaga relawan, seringkali sejumlah organisasi sosial amat tergantung dengan kehadiran dan partisipasi mereka. Sebagaimana dikemukakan oleh Weinbach (1994:110) mengenai kemanfaatan dari


(51)

keberadaan para relawan dalam pelaksanaan organisasi pelayanan manusia, bahwa;

There are obvious benefit to social work manager in the use of volunteer. The Most obvious of these is that volunteers can perform many jobs at minimal cost. While they are not “free” in the sense that they require supervisory time and are usually reimbursed for some of their expenses (travel, meals, etc), volunteers provide many services, thereby freeing up paid staff to other work. Jelas banyak sekali manfaat yang diperoleh dan dapat dilakukan oleh manajer pekerjaan sosial dengan memanfaatkan relawan. Banyak pekerjaan yang dapat dilakukan oleh para relawan dengan biaya yang murah. Sementara itu mereka (relawan) tidak memperoleh ‘bayaran” dalam arti mereka membutuhkan masa supervisi dan biasanya memperoleh sejumlah biaya penggantian (perjalanan, makan dst.), para relawan memerlukan sejumlah pelayanan, oleh karenanya tidak dibayar seperti staf tetap.)

A.2. Relawan

Relawan menurut DuBois dan Miley (1992:90) yaitu “volunteer or person who provide services without salary, play a significant role in the delivery of social sevices”. Walaupun relawan merupakan orang-orang yang tidak memperoleh bayaran dalam pekerjaannya, namun mereka memiliki peranan yang penting dalam penyediaan pelayanan sosial. Relawan juga dapat melakukan sesuatu yang tidak dapat dilakukan oleh staf tetap (yang dibayar).


(52)

Lebih jauh Weinbach (1994:110-111) mengemukakan, bahwa relawan umumnya lebih sulit dikendalikan daripada staf tetap yang dibayar. Mereka bekerja di organisasi dengan tidak didasari kebutuhan ekonomi; lainnya mungkin bersedia memberikan pelayanan jika mereka suka namun jika sudah tidak senang mereka pergi. Para relawan umumnya bukan profesional dan tidak memiliki nilai-nilai dan etika yang sama dengan profesional dan juga staf non proferional. Sedangkan Brammer (1999:14) membedakan berdasarkan struktur pertolongan yaitu profesional, para profesional dan relawan (volunteer), yang diilustrasikannya sebagai berikut:

Professional helper. Examples: Social workers, human service workers, psychologist, teachers, mental health counselors, school counselors, physicians, nurses, psychiatrists, marriage and family therapists, and legal counselors with specialized training and legal responsibility. (Penolong profesional. Contohnya: para pekerja sosial, pekerja pelayanan manusia, psikolog, guru, konselor kesehatan mental, konselor sekolah, dokter, perawat, psikiater, ahli terapi pernikahan dan keluarga, konselor hukum dengan pelatihan dan tanggung jawab hukum khusus)

Paraprofessional helper. Examples: trained interviewers, receptionists, aided in mental health and rehabilitation, and persons in correctional, educational, employment, and social agency setting.( Penolong paraprofesional. Contohnya: Pewawancara terlatih, resepsionis, tenaga bantuan dalam kesehatan dan rehabilitasi mental, dan orang-orang dalam seting lembaga pemasyarakatan, pendidikan ketenagakerjaan, dan badan-badan sosial)

Volunteers. Nonpaid person with short-term training in basic helping skills and agency orientation. ( Relawan. Orang yang


(53)

tidak dibayar dengan memperolah pelatihan singkat mengenai dasar-dasar keterampilan dan orientasi organisasi)

Satu persoalan mendasar berkaitan dengan perkembangan relawan adalah: Apa yang memotivasi orang untuk secara sungguh-sungguh mencurahkan sumber daya personal, energi emosional, dan waktu bagi kerelawanan. Paling tidak terdapat sepuluh alasan mengapa orang mau menjadi relawan, menurut Wolf (1990:70-71), yakni:

- Sense of self-satisfaction (kepuasan diri)

- Altruism (altruisme, rasa ingin menolong sesama)

- Companionship/meeting people (berkumpul/ bertemu orang)

- Learning about a field (mempelajari sesuatu)

- Creating/ maintaining an organisasi (mencipta atau mengelola organisasi)

- Developing professional contacts (mengembangkan kemampuan profesional)

- Getting ahead in the corporation (memperoleh posisi pemimpin perusahaan)

- Getting training/experience (memperoleh pelatihan / pengalaman)

- Providing entry to a particular organization (memasuki organisasi tertentu)

- Social panache (kepuasan sosial tertentu)

Dari berbagai alasan seseorang menjadi relawan tersebut, nampaknya Wolf tidak bermaksud untuk membuat urutan mengenai faktor mana yang paling dominan sehingga orang mau menjadi relawan. Namun begitu persoalan kerelawanan ini seringkali dikaitkan


(54)

dengan sifat altruisme, yaitu sifat untuk membantu atau menolong orang lain yang mengalami kesulitan hidup. Bahkan apabila ditelusuri kemunculan berbagai badan pelayanan sosial selalu tidak terlepas dari dorongan altruistik untuk membantu orang lain.

Flashman dan Quick (1985:86) mengemukakan pendapatnya mengenai altruistik dalam kaitan dengan kerelawanan, yaitu:

1. Altruisme merupakan faktor motivasional utama dalam perilaku relawan.

2. Membuat pembagian antara egoistik dan altruisme secara jelas. Kita perlu menyadari bahwa kita hidup dalam suatu kesatuan sistem dimana kehidupan masing-masing kita saling mempengaruhi kita semua.

3. Sebagai suatu tanggapan kreatif terhadap banyak tantangan yang dihadapi di dunia, kita memasuki abad keduapuluh akan ditandai munculnya hubungan secara pararel baik dalam altruisme dan aktifitas kerelawanan.

Kerelawanan telah menjadi bagian dari pengalaman kemanusiaan. To volunteer (menjadi relawan) adalah pilihan untuk berbuat dengan sikap rasa tanggungjawab sosial yang seharusnya diakui, tanpa suatu kepentingan nyata yang ingin dicapai secara nyata. Ellis dan Noyles (1990:112) menekankan pentingnya konsep kemauan (volition) dalam batasan relawan : The choice to act must be without coercion (pilihan untuk bertindak tanpa paksaan).


(55)

Mengenai kerelawanan IPPF (International Planned Parenthood Federation) dalam Munajat (1996:3), suatu organisasi internasional yang bergerak di bidang keluarga berencana mendefinisikan relawan (volunteer) sebagai orang-orang yang rela memberikan waktu dan kemampuannya untuk kesejahteraan kelompok atau masyarakat tanpa imbalan materi. Sedangkan menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Suparlan dan Wardhana (1997:135), diperoleh kesimpulan mengenai segi kualifikasi kepribadian teladan dari relawan yang sangat khas, yaitu: peka dan peduli terhadap penderitaan orang lain yang dilandasi oleh rasa cinta kasih sesama; terpanggil untuk menolong sesama; rendah hati, dan tulus ikhlas dalam melaksanakan pengabdian; memiliki sifat kesamaan yang universal serta menghargai harkat dan martabat orang lain.

Mitchell (1986) dalam DuBois dan Miley (1992:90), menyebutkan terdapat empat jenis relawan, yaitu:

1. Policymaking volunteers serve on task forces, review panels, committees, and board. (Relawan yang aktif dalam pembuatan keputusan melakukan kegiatan satuan tugas, mengulas panel, kepanitiaan dan dewan)

2. Administrative volunteers provide office support through activities such as word processing, coordinating schedules, and working on mailings. (Relawan administratif memberikan dukungan ketatausahaan melalui aktivitas seperti pengolahan kata, mengkoordinasi jadwal, dan menangani surat menyurat) 3. Advocacy volunteers provide support through fund-raising

efforts, writing letters and calling legislators, providing testimoni at public hearings, organizing community


(56)

support, and working on public relations. (Relawan advokasi memberikan dukungan melalui usaha penggalangan dana, penulisan surat dan mempengaruhi kebijakan, memberikan kesaksian pada dengar pendapat umum, mendukung pengorganisasian masyarakat, dan bekerja pada hubungan masyarakat)

4. Direct-service volunteers may be involved in activities such as counseling, recreation and tutoring. The trend is to link clients, especially those who lack a supportive social network, with tranined volunteers as a part of an overall intervention plan. Frequently, trained volunteers staff telephone crisis lines, or hot lines, referring callers to appropriate community resourches. (Relawan pelayanan langsung mungkin terlibat dalam aktivitas seperti halnya konseling, rekreasi dan pengajaran. Perkembangan yang ada berhubungan dengan klien, khususnya terhadap mereka yang kurang akan dukungan jaringan sosial, dengan melatih relawan sesuai dengan keseluruhan rencana kegiatan intevensi. Seringkali staf relawan dilatih untuk menerima panggilan telepon darurat, atau hot lines, merujuknya pada sumber-sumber masyarakat yang sesuai.

Secara lebih rinci Trecker (1971:106), mengemukakan klasifikasi relawan yang juga dapat dilihat sebagai jenis relawan, yaitu sebagai berikut;

1. Identifiers of human conditions or problems requiring social welfare services; (Pengidentifikasi kondisi atau masalah manusia yang membutuhkan pelayanan kesejahteraan sosial)


(57)

2. Initiator and maker of policy in agencies created to prevent, control, or treat the social condition; (Inosiator dan pembuat kebijakan yang dibuat dalam badan-badan sosial untuk mencegah, mengedalikan atau mengatasi kondisi sosial tertentu)

3. Contributors of service based on knowledge, skill, and interest; (Kontributor pelayanan berdasar pada pengetahuan, keterampilan, dan kepentingan)

4. Solicitors of public and voluntary support; (Pengumpulan dukungan umum dan sukarelawan) 5. Spokesmen and interpreters of agency program and

problems to which they directed; (Juru bicara dan penterjemah program badan sosial dan permasalahan yang akan ditangani)

6. Reporters of community reactions, critical or positive, to the agency’s program; and (Reporter reaksi dari masyarakat baik kritikan atau tanggapan positif, terhadap program-program badan sosial)

7. Collaborators in community planning activities for the purpose of modifying of designing services to meet changing social conditions. (Mitra kerjasama dalam perencanaan aktivitas masyarakat dengan tujuan memodifikasi rancangan pelayanan agar sesuai dengan perubahan dan kondisi sosial).


(1)

Hasenfeld, Y., 1992. Human Services as Complex Organizations . USA: Sage Publication, Inc.

---, 1983. Human Service Organizations. New Jersey: Prentice-Hall, Inc., Englewood Cliffs.

---, 1991. Buku Pedoman: Sanggar Konsultasi Remaja Bagi Siswa SLTA Sumatera Barat. Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI), Sumatera Barat.

Jeffs, T. & Smith, Mark. 1988. Welfare and Youth Work Practice. London: MacMillan Education.

Jonhson, N. 1981. Voluntary Social Services. Basil Blackwell & Martin Robertson-Oxford.

Jones, A. & May, J.Working in Human Service Organizations. Australia: Longman.

Knowles, M.S.,1977. The Modern Practice of Adult Education: Andragogy versus Pedagogy. New York : AssociationPress.

Kotler, P. & Roberto E.L; 1989. Social Marketing, Strategies for Changing Public Behavior. New York: The Free Press.

Lulewicz, S.J. 1995, Training and Development of Volunteers, dalam The Volunteer Management Handbook. John & Sons, Inc.

Malayu S.P Hasibuan, 2000.Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: Penerbit Bumi Aksara.

Malik, Ichsan dkk.; 1996. Sanggar Konsultasi Remaja, Bersama Memecahkan Masalah Remaja di Sekolah. Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI).

Mangkunegara, A.P., 2001. Manajemen Sumber Daya Manusia Perusahaan. , Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.

McKenna, E. & Beech, N., 2001. The Essence of Manajemen Sumber Daya Manusia, Terjemahan. Yogyakarta : Andi Offset.

Moekijat, 1985. Latihan dan Pengembangan Pegawai. Bandung : Alumni, Moeliono, 1990. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Moleong, L.J. 1997. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Rosda Karya. Munajat.,M, 1996. Kerelawanan. PKBI-Jawa Barat.


(2)

228

NAFCAE, 1974. Tecniques for Teachers of Adults. National Education Association: Washinton D.C.

Panduan Pengelolaan Pusat Informasi dan Pelayanan Kesehatan Reproduksi Remaja “Youth Center” Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia, Badan Koordinasi Keluarga berencana Nasional, United Nations Population Fund; Proyek INS/99/P03, 2000.

Pandu Kusumo H, 1997. Panduan Pelatihan Dasar Program PIPR, HIV/AIDS dan P2K. Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI), Jakarta.

Petrzak, J.; Ramler, M.; Renner, T.; Ford, L.; & Gilbert N. 1990. Practical Program Evaluation. Sage Publications.

Oemar Hamalik, 2000. Pengembangan Sumber Daya Manusia: Manajemen Pelatihan Ketenagakerjaan Pendekatan Terpadu. Jakarta: Penerbit Bumi Aksara.

Rubin A & Babbie, 1993. Research Methodes for Social Work. 2nd Edition, -California : Brooks/Cole Publishing Company.

Schuller, R.S. & Jackson, S.E, 2000. Manajemen Sumber Daya Manusia Abad ke –21. Edisi ke-6,Jilid 1. Jakarta: Erlangga.

Sikula, A.E., 1981. Personnel Administration and Human Resources Manajemen. John Wiley & Sons, Inc.

Skidmore, Rex A., 1995. Social Work Administration, Dinamic Management and Human Relationships. 3rd Ed. NJ: Allyn & Bacon.

Stringer, Ernest T. 1996. Action Research: A. handbook For Practitioners. California: Sage Publication, Inc.

Suharto, Edi, 1997. Pembangunan, Kebijakan Sosial dan Pekerjaan Sosial. Bandung.: SP-STKS

Sudjana S, 2001. Metode & Teknik Pembelajaran Partisipatif. Bandung: Falah Production.

Suyadi Prawirosentono, 1999. Manajemen Sumber Daya Manusia: Kebijakan Kinerja Karyawan, Kiat membangun Organisasi Kompetitif Menjelang Perdagangan Bebas Dunia, Edisi Pertama. Yogyakarta: BPFE.

Thomas, A.M., 1997. Coaching for Staff Development, Pelatihan untuk Pengembangan Karyawan. Yogyakarta : Penerbit Kanisius.


(3)

Topatimasang, R; Dilts, R; Fakih, M; & Dananjaya, U. 1986. Belajar Dari Pengalaman, Panduan Latihan Pemandu Pendidikan Orang Dewasa untuk Pengembangan Masyarakat. P3M

Trecker, H.B. 1971. Social Work Administration, Principles and Practices. New York: Association Press.

Weinbach, Robert W. The Social Worker as Manager, Theory and Practice. 2nd. Ed. NJ: Allyn & Bacon.

Wolf, Thomas, 1990. Managing a Nonprofit Organization. New York: Prentice Hall Press.

YIS, 1982. Bermain Menghayati dan Belajar.

Majalah:

From Youth For Youth, a Case Study About “Sahaja” or “Friends of Youth”.

Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia.

Non-Profit Management & Leadership, Vol. 1 number 2 Winter 1990, Jossey-Bass Inc. Publisher

Makalah:

Pemberdayaan Karang Taruna Dalam Pelaksanaan Program Kesehatan Reproduksi Remaja , Direktorat Bina Karang Taruna, Direktorat Jenderal Bina Kesejahteraan Sosial. Disampaikan pada: Pertemuan Penyusunan Pola Operasional KRR, tanggal 3-5 Juni 1998, Bogor.

Inne S., Chatarina W., Dian R., Teguh MA.; Kertas Kerja: Divisi IEM dan Advokasi

Kerelawanan dan Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia, Kumpulan Makalah, 1984, PKBI.

Masri Singarimbun, Beberapa Masalah Dalam Kebijakan Kesehatan Reproduksi, Makalah untuk Simposium II, Temu Tahunan VII JEN, Surabaya, 25-27 November 1996


(4)

230 Penelitian/Jurnal:

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial Departemen Sosial, Jurnal Penelitiandan Pengembangan Kesejahteraan Sosial Nomor 4, Depsos-Jakarta 1997

Martin, E., 1985. ‘Human Service Organisations: Useful Category or Useless Jargon?, Australian Journal of Social Issues, 20 (2).

YB. Suparlan & Manik WW, 1997.Kualifikasi Kepribadian, Kemampaun Teknis Pelayanan, Sumbangan Nonteknis Pelayanan, Durasi, dan Dampak Pengabdian Relawan Sosial Teladan, Suatu Penelitian Kualitatif di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Depsos-BPPKS Yogyakarta.


(5)

PENULIS

Santoso Tri Raharjo, lahir di Bandung Jumat 5 Februari 1971 dari pasangan Mishan dan Marinah. Penulis beragama Islam, dan memiliki istri bernama Nurliana Cipta Apsari, dengan dikaruniai dua orang putra Arya Muhammad Rafi Raharjo dan Aslam Aulia Raharjo. Penulis beralamat di Puri Cipageran Indah I Blok A-277, RT.01/RW.26 Kelurahan Cipageran Kecamatan Cimahi Utara, Kota Cimahi. Alamat email: santosotriraharjo@gmail.com.

Penulis menyelesaikan pendidikan dasar dari SDN Angkasa V Lanud Sulaiman Bandung lulus tahun 1984, SMPN 8 (SMPN 1) Margahayu Bandung lulus tahun tahun 1987, selanjutnya melanjutkan di SMAN 4 Bandung lulus tahun 1990. Pada tahun 1996 penulis menyelesaikan S-1 Ilmu Kesejahteraan Sosial FISIP-Univeristas Padjadjaran, kemudian melanjutkan studi S-2 Sosiologi Kekhususan Ilmu Kesejahteraan Sosial Universitas Indonesia lulus tahun 2003, dan pada tahun 2013 memperoleh gelar Doktor Sosiologi pada Program Pascasarjana FISIP Universitas Padjadjaran.

Riwayat pekerjaan penulis dimulai sejak tahun 1998 menjadi Dosen tetap Program Studi Kesejahteraan Sosial. Tahun 2007-2011 pernah menjabat Kepala Laboratorium Kesejahteraan Sosial, dan sejak tahun 2011-2014 dipercaya sebagai Program Studi Kesejahteraan Sosial FISIP-UNPAD, kemudian sejak Juli 2014 dipercaya sebagai Koordinator (Ketua) Program Studi Kesejahteraan Sosial Sarjana FISIP-UNPAD. Selain itu penulis juga aktif sebagai anggota Dewan Pembina di LSM Bahana Karya Insani. Penulis pernah memperoleh penghargaan ‘Satyalencana Kesetiaan 10 tahun’ dari Presiden RI tahun 2012, dan ‘Satyalencana Kesetiaan 15 tahun’ dari Rektor UNPAD pada tahun 2013.

Beberapa karya penulis lainnya antara lain ‘No Nganggur No Cry’, tahun 2009 (menulis bersama), Penerbit Oase Bandung; ‘Dasar-dasar Pekerjaan Sosial’, tahun 2010 (menulis bersama), Penerbit: Mitra Padjadjaran Bandung; ‘Social Enterprise, Social Entrepreneurship, and Corporate Social Responsibility’, tahun 2011 (menulis bersama), Penerbit Mitra Padjadjaran; ‘Relasi Dinamis Antara Perusahaan dengan Masyarakat Lokal’, tahun 2013 Penerbit Unpad Press; ‘Pengantar Pekerjaan Sosial’(menulis bersama), tahun 2013 Unpad Press. ‘Dasar Pengetahuan Pekerjaan Sosial”, tahun 2014 Penerbit Unpad Press. “Pekerjaan Sosial Generalis, Suatu Pengantar Bekerja Bersama Organisasi dan Komunitas”, tahun 2014 Penerbit Unpad Press., ‘Keterampilan-Keterampilan Pekerjaan Sosial, Dasar-dasar’, tahun 2015 Penerbit Unpad Press.


(6)

ISBN: 978-602-0810-37-9