Kesimpulan Kehidupan Buruh di Perkebunan Deli Maatschappij pada tahun 1920-1942.

BAB V PENUTUP

5.1. Kesimpulan

Berdasarkan uraian pada bab-bab sebelumnya maka sampailah penulis pada bab terakhir, yaitu kesimpulan. Dalam bab ini penulis berusaha untuk menyimpulkan pembahasan-pembahasan sebelumnnya. Sumatera Timur mengalami perkembangan yang luar biasa ketika pertumbuhan perkebunan yang dirintis Jacobus Nienhuys semakin merebak luas dan menjadi perusahaan tembakau terbesar di Sumatera Timur dengan nama perkebunan Deli Maatschappij, sebelum Sumatera Timur dibuka menjadi pusat industri perkebunan, daerah Sumatera Timur masih luas berupa hutan rimba. Sedangkan masyarakat yang telah ada di dalamnya masih berkelompok- kelompok, diantara terdiri dari suku-suku seperti suku Karo, Melayu dan Simalungun. Namun dengan hadirnya unsur-unsur dari luar yaitu kolonial Belanda yang memulai industri perkebunan, di Sumatera Timur mulai ramai masyarakat pendatang dengan berbagai suku seperti Jawa, Cina, Tamil, Minangkabau dan lainnya. Seiring dengan berkembang pesatnya Sumatera Timur, maka pada tahun 1918, kota Medan yang telah menjadi gemeentee berubah menjadi kota bergaya Eropa dengan segala fasilitasnya. Keadaan ini disebabkan oleh perkembangan perkebunan di Sumatera Timur terutama Deli Maaatschappij sebagai pionir dan perusahaan tembakau terbesar di Sumatera Timur. Universitas Sumatera Utara Terlepas dari pertumbuhannya yang pesat, perkebunan Deli Maatschappij memiliki berbagai permasalahan, salah satunya yaitu pekerja yang ketika itu lebih lazim disebut kuli. Seperti kebanyakan perkebunan yang mengalami pertumbuhan yang pesat, Deli Maatshappij juga mengalami kesulitan untuk mendapatkan pekerja yang baik dan memiliki keterampilan untuk itu penguasa perkebunan menyewa buruh dari bangsa Cina, Tamil dan yang paling banyak diantaranya yaitu suku Jawa. Selain perekrutan yang sulit didapat masalah-masalah berikutnya yang semakin pelik mengenai perburuhan adalah masalah kemanusiaan yang lebih dramatis. Memang, akibat perkebunan, Sumatera Timur semakin tumbuh pesat, namun di dalamnya para buruh perkebunan mengalami kesulitan dan penderitaan seakan-akan Sumatera Timur tumbuh akibat penderitaan orang lain Akibat dari ini semua berimbas pada buruh, para pengusaha yang serakah semakin memeras tenaga buruh tanpa diberi imbalan dan upah yang setara, mereka semakin terpuruk dengan tidak adanya modal ketika masa kontrak telah habis, maka dengan demikian secara otomatis mereka harus terus dan terus bekerja apabila mau tetap hidup walaupun hidup dengan kesengsaraan. Bagaimana tidak, upah yang kecil, akomodasi yang tidak pantas bagi pekerja, dan jaringan kejahatan serta keburukan lainnya seperti pembunuhan, pelacuran, perjudian sampai menjual anak kandung menjadi kehidupan yang harus diterima oleh para buruh yang diakibatkan rendahnya moral pengusaha perkebunan sampai-sampai menimbulkan budaya tersendiri dan terasing dari dunia di sekitarnya. Universitas Sumatera Utara

5.2. Saran