BAB IV KEHIDUPAN BURUH DI PERKEBUNAN DELI MAATSCHAPPIJ 1920-1942
4.1 Ketergantungan pada Kontrak
Di Sumatera Timur misalnya, kebutuhan tenaga kerja dipenuhi oleh tenaga kerja kontrak yang berasal dari Cina, yang pada awal abad ke-20 mencapai 23 dari
seluruh pekerja yang ada. Pada akhir dekade pertama abad ke-20, jumlah pekerja kontrak yang berasal dari Jawa terus meningkat sehingga jumlah pekerja Cina di
Sumatera Timur menurun lebih dari separuh. Peningkatan jumlah kuli kontrak dari Jawa itu juga mulai merubah komposisi buruh yang bekerja di perkebunan menurut
jenis kelamin dan komposisi umur, yang menunjukkan semakin banyaknya pekerja wanita dan kemudian anak-anak.
Di dalam konteks komunitas buruh perkebunan ini dapat dilihat kualitas kehidupannya. Eksploitasi, diskriminasi, kemiskinan, dan penderitaan merupakan
cerita utama yang ada di sekeliling masyarakat perkebunan di Indonesia pada masa kolonial sampai saat ini. M. Said, Jan Breman, dan A.L. Stoler misalnya
menggambarkan begitu rupa tentang kehidupan masyarakat perkebunan, khususnya di Sumatera Timur yang harus menanggung beban yang sangat luar biasa. Para
pekerja perempuan dan anak-anak khususnya harus menghadapi diskriminasi sosial, ekonomi dan bahkan kekerasan seksual secara terus menerus diwarisi dari satu
generasi ke generasi-generasi berikutnya.
Universitas Sumatera Utara
Parade kekerasan adalah potret sehari-hari di perkebunan. Millioenen uit Deli mencatat, tuan kebun sesuka hati menghukum kuli yang dianggap bersalah. Kuli
dipukul, ditendang, dicambuk, dihantam rotan dan balok hingga kemudian dijebloskan ke penjara. Seorang kuli perempuan Jawa berusia 15 tahun dijemur sejak
pagi sampai senja dalam keadaan setengah telanjang. Kedua tangannya terikat di tiang, disalib seperti Kristus. Sekujur badannya penuh luka tanda bahwa dia lebih
dulu dicambuk. Untuk membuatnya lebih menderita, kemaluannya ditaburi merica. Masuknya kuli kontrak asal Jawa dan Cina ke Medan tentu mengubah warna daerah
ini. Wajar kalau etnis Jawa menjadi etnis mayoritas di Medan. Namun patut diketahui, mereka datang kesini dengan penuh perjuangan. Mereka datang karena
tertipu bujuk rayu makelar pencari tenaga kerja.
Para kuli kontrak umumnya terbujuk oleh mulut manis yang mengatakan di tanah Deli mereka akan menemukan pohon yang berdaun uang. Deli mengganggu
tidur malam mereka…Tak sabar mereka ingin melihat langsung, merasakan, meraba, merengkuh semua pesona negeri ajaib itu. Uang yang berlimpah, wayang
kulit…arak…emas…perempuan-perempuan ronggeng…Ah, apa yang lebih penting dari semua ini.
29
29
Emil W.Aulia, Berjuta-juta dari Deli : Satoe Hikajat Koeli Contract, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2006, hlm. 10
Ironisnya apa yang dijanjikan dan mereka impikan itu tak menjadi kenyataan, mereka malah menemui berbagai penderitaan di Deli.
Dari sini sudah terasa bagaimana seorang kuli kontrak sudah terbeli jiwa raganya.
Universitas Sumatera Utara
Mereka tak ubahnya hewan atau budak yang tergadai seluruh kehidupannya. Bahkan, istri yang mereka bawa pun sudah bukan hak-nya lagi setelah tiba di perkebunan
tanah Deli. Bagi kuli, hidup di perkebunan adalah hari-hari penuh penderitaan. Mereka adalah kelas pekerja kasar yang membanting tulang sejak pagi hingga
matahari terbenam. Bila dianggap bersalah, tuan-tuan kebun memiliki kekuasaan untuk menghukum mereka. sesuka hati, tanpa melewati proses pengadilan.
Siapa yang bersalah akan mendapat hukuman. Hukuman yang sangat kejam. Semua hukuman dilakukan secara terbuka, dihadapan mata kuli-kuli lainnya.
Tujuannya, membuat kecut hati mereka agar tidak melakukan kesalahan yang sama. Kuli yang meninggal dunia, tidak dikuburkan melainkan dibuang di semak-semak
perkebunan. Tidak heran, pihak perkebunan memang tidak menyediakan areal pemakaman bagi kuli yang meninggal. Mayatnya kemudian menjadi santapan babi
hutan. Kekejaman juga menimpa para kuli perempuan. Upah mereka lebih rendah
disbanding para pria. Maka banyak diantara mereka yang merelakan diri untuk pemuas nafsu para mandor. Disini juga terjadi bagaimana praktek pelacuran dan
perjudian mulai berkembang di perkebunan. Bagaimana para kuli kontrak menghabiskan uangnya agar terbelit hutang dan selalu tergantung pada perkebunan.
Sejarah Indonesia sejak masa kolonial sampai sekarang tidak dapat dipisahkan dari sektor perkebunan, karena sektor ini memiliki arti yang sangat penting dan
menentukan dalam pembentukan berbagai realitas ekonomi dan sosial masyarakat di banyak wilayah di Indonesia. Perkembangan perkebunan pada satu sisi dianggap
Universitas Sumatera Utara
sebagai jembatan yang menghubungkan masyarakat Indonesia dengan ekonomi dunia, memberi keuntungan finansial yang besar, serta membuka kesempatan
ekonomi baru, namun pada sisi yang lain perkembangan perkebunan juga dianggap sebagai kendala bagi diversifikasi ekonomi masyarakat yang lebih luas, sumber
penindasan, serta salah satu faktor penting yang menimbulkan kemiskinan struktural. Bahkan dalam konteks masa lalu ada yang berpendapat bahwa sejarah kolonialisme
dan imperialisme Barat di Indonesia merupakan sejarah perkebunan itu sendiri. Sejak awal kedatangan bangsa Barat yang mengidentifikasi diri sebagai pedagang sampai
masa-masa ketika Barat identik dengan kekuasaan kolonial dan pemilik modal, perkebunan menjadi salah satu fakta atau variabel yang tidak bisa diabaikan untuk
merekonstruksi dan menjelaskan realitas masa lalu yang ada.
4.2 Tingkat Pendapatan