BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Dewasa ini kejahatan semakin berkembang sesuai dengan perkembangan zaman terutama dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi sehingga
timbul berbagai macam bentuk-bentuk kejahatan baru. Kejahatan selalu menimbulkan keresahan didalam masyarakat. Keresahan adalah gejala tidak
adanya kesejahteraan sosial, ketenteraman dan kebahagiaan. Kejahatan adalah masalah sosial yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan
manusia, karena masalah sosial sebagai hasil dari kebudayaan manusia. Masalah sosial ini berbeda-beda disetiap masyarakat disebabkan adanya tingkat
perkembangan kebudayaan, lingkungan, sifat penduduk dimana masyarakat itu hidup Mardjono, 1994:12.
Kejahatan merupakan gejala sosial yang selalu dihadapi oleh setiap masyarakat di dunia ini. Apapun usaha manusia untuk menghapusnya sampai
tuntas tidaklah mungkin bisa, karena kejahatan itu tidak dapat dihapus sampai bersih kecuali dikurangi intensitasnya maupun kualitasnya. Meskipun telah
diberikan sanksi yang tegas namun masih ada juga yang melakukannya berulang kali. Hal ini disebabkan karena kebutuhan manusia yang berbeda-beda dan tidak
dapat dipenuhi secara keseluruhan.
Universitas Sumatera Utara
Kejahatan tersebut dapat dilakukan oleh siapa saja, oleh anak-anak, orang yang sudah dewasa bahkan orang tua, baik yang berjenis kelamin laki-laki
ataupun wanita. Walaupun diketahui bahwa seorang wanita memiliki perasaan yang lembut, halus tutur katanya, feminin, penyabar, mampu menekan emosinya
dalam mengahadapi persoalan, tetapi terkadang karena berbagai faktor mereka dapat tiba-tiba berubah menjadi keras dan menakutkan. Bahkan kaum wanita pun
sudah tidak takut lagi untuk menghuni Lembaga Pemasyarakatan. Pada umumnya kejahatan terjadi karena:
1. Niat
2. untuk melakukan suatu pelanggaran.
Kesempatan Jika hanya ada salah satu dari kedua unsur tersebut maka kejahatan tidak akan
terjadi Sahetapy, 1992:87. untuk melaksanakan niat itu.
Perlu diketahui angka kejahatan di Indonesia semakin lama semakin meningkat. Menurut catatan Mabes Polri, jumlah kejahatan di Indonesia pada
tahun 2006 adalah sebesar 783.159 kasus. Pada tahun 2007 jumlah ini bertambah menjadi 821.334 kasus, dan pada tahun 2008 meningkat lagi menjadi 867.761
kasus. Berarti antara tahun 2006-2007 terjadi kenaikan angka kejahatan sebesar 4,87, sedangkan antara tahun 2007-2008 terjadi kenaikan sebesar 5,65, dan
pada sampai sekarang angka kejahatan masih terus meningkat Ernaningsih,
Wanita dan Kejahatan, http:cedawui.netindex.php?option=com_contenttask =viewid=100Itemid= 44 diakses tanggal 26 april 2009.
Universitas Sumatera Utara
Umumnya pelaku kejahatan pada kasus-kasus di atas adalah pria, meskipun demikian tidak berarti tidak ditemukan adanya kejahatan yang
dilakukan oleh wanita. Namun angka kejahatan wanita menunjukkan peningkatan yang cukup pesat dari hasil data yang diperoleh. Menurut catatan Mabes Polri
pada tahun 2008 menunjukkan angka kejahatan wanita di Indonesia, dari sejumlah 19.372 kasus kejahatan oleh wanita pada tahun 2006, angka tersebut meningkat
menjadi 26.878 kasus di tahun 2007 dan menjadi 31.493 kasus di tahun 2008. Sementara jumlah angka kejahatan di Sumatera Utara dari tahun 2001
sampai 2008 menurut jenis kelamin dapat dilihat melalui tabel di bawah ini.
Tabel 1 Angka Kejahatan Di Propinsi Sumatera Utara Dari Tahun 2001-2008
Sumber: Seksi Registrasi Kanwil Kehakiman dan HAM Provinsi Sumatera Utara 2008.
Salah satu sanksi yang terdapat pada hukum pidana yaitu pidana penjara dan ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan. Saat ini Lembaga Pemasyarakatan
sebagai unit pelaksana teknis dibidang pemasyarakatan, berperan untuk membimbing dan membina narapidana agar tidak mengulangi kesalahannya dan
dapat kembali diterima oleh masyarakat. Sebagai realisasinya dibangun juga rumah tahanan, namun tingkat kejahatan tidak juga menurun malahan semakin
Jenis Kelamin
Jumlah Tahun 2001
2002 2003
2004 2005
2006 2007
2008 Laki-laki
Perempuan 38.450
1.455 49.677
2.395 62.427
2.953 75.550
3.795 89.980
4.627 94.831
5.106 97.285
5.498 98.582
6.633
Universitas Sumatera Utara
meningkat Meiriya, Sudut Pandang Lembaga Pemasyarakatan, http:digilib.upi.edupascaavailableetd-
0327108-094140, diakses tanggal 26 april 2009.
Persoalan yang muncul apakah rumah tahanan yang dibangun tersebut masih efektif dalam membina narapidana dan memberikan rasa takut bagi
manusia lainnya untuk berbuat kejahatan preverensi general. Karena pada kenyataannya tindakan pencegahan tersebut yang dilakukan oleh pemerintah
ternyata kurang efektif, dibuktikan dengan semakin meningkatnya jumlah kejahatan. Berikut ini adalah tabel yang menujukkan jumlah narapidana wanita LP
Tanjung Gusta dari tahun 2002 sampai dengan 2009
Tabel 2 Jumlah Narapidana Wanita di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Klas IIA
Tanjung Gusta Medan Dari Tahun 2002-2009
No. Tahun
Jumlah NarapidanaAnak Didik 1.
2. 3.
4. 5.
6. 7.
8. 2002
2003 2004
2005 2006
2007 2008
2009 Berjalan
253 325
326 324
334 362
395 368
Sumber: Bagian Pembinaan dan Pendidikan Lembaga Pemasyarakatan Wanita Klas IIA Tanjung Gusta Medan.
Universitas Sumatera Utara
Konsep pembinaan narapidana tersebut merupakan pemikiran dari Dr. Sahardjo 1963 yang mencetuskan tentang konsep pemasyarakatan. Proses
pembinaan tersebut dilakukan di LP tahap demi tahap. Pembinaan narapidana ini sangat penting diperhatikan oleh pemerintah sehingga tujuan pembinaan Lembaga
Pemasyarakatan ini tercapai agar narapidana sadar akan perbuatannya dengan tidak melakukan lagi perbuatan ini dan dapat kembali ke masyarakat sebagai
manusia yang berguna di tengah masyarakat Panjaitan, Petrus, 1995:10. Sebagai puncak realisasi sistem pemasyarakatan tersebut di Indonesia
adalah dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Lembaga Pemasyarakatan, dan peraturan pelaksanaannya PPRI Nomor 31 dan 32
Tahun 1999 tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan dan Syarat serta Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan
Pemasyarakatan. Pertimbangan dibentuknya Undang-Undang ini adalah karena menganggap bahwa seorang Narapidana sekalipun telah melakukan kejahatan,
mereka juga merupakan insan dan Sumber Daya Manusia yang harus diperlakukan dengan baik dan manusiawi dalam suatu sistem pembinaan.
Hal ini sejalan dengan salah satu sasaran pembangunan dalam orde baru yakni “pembangunan masyarakat Indonesia yang seutuhnya agar terwujud
masyarakat yang adil dan makmur”. Dengan harapan pembangunan masyarakat Indonesia yang seutuhnya dapat berjalan dengan tidak membedakan atas status
sosial masyarakat tersebut termasuk Narapidana Harsono, 1995:68.
Universitas Sumatera Utara
Dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tersebut juga menyebutkan tujuan diselenggarakannya sistem pemasyarakatan, dalam pasal 2 disebutkan
bahwa “Sistem Pemasyarakatan diselenggarakan dalam rangka membentuk Warga Binaan Pemasyarakatan agar menjadi manusia yang seutuhnya menyadari
kesalahan, memperbaiki diri dan tidak mengulang tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam
pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab”.
Tetapi pada kenyataannya walaupun mantan narapidana tersebut telah menjalani masa pembinaannya di LP, banyak masyarakat yang masih
menganggap bahwa mantan narapidana adalah kelompok masyarakat yang harus dihindari, diwaspadai bahkan diasingkan dari pergaulan masyarakat, sehingga
mereka cenderung sulit untuk bersosialisasi. Misalnya saja pada saat mereka mencari pekerjaan diluar, walaupun di dalam LP mereka telah dibekali dengan
keterampilan, tetapi hal tersebut sia-sia karena mereka telah dikenal melalui identitasnya yang buruk. Hal ini jugalah salah satu yang menjadi penyebab
mereka mengulangi perbuatan jahatnya atau yang disebut residivis Panjaitan, Petrus, 1995:25.
Lembaga Pemasyarakatan sebagai ujung tombak pelaksanaan azas pengayoman merupakan tempat untuk mencapai tujuan dan pembinaan serta
bimbingan melalui pendidikan, rehabilitasi dan reintegrasi. Sistem Pemasyarakatan bertujuan untuk mengembalikan Warga Binaan Pemasyarakatan
Universitas Sumatera Utara
sebagai warga yang baik selain itu juga untuk melindungi masyarakat terhadap kemungkinan diulanginya tindak kejahatan oleh Warga Binaan Pemasyarakatan.
Lembaga Pemasyarakatan merupakan penerapan dan bagian yang tidak terpisahkan dari nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Dimana aspek
pembinaan narapidanaanak didik pemasyarakatan mempunyai ciri-ciri preventif, kuratif, rehabilitasi dan edukasi Aroma, 2003: 37.
Pelaksanaan sistem pemasyarakatan tersebut diperlukan juga keikutsertaan masyarakat baik dalam pembinaan maupun dengan sikap bersedia menerima
kembali narapidana yang telah selesai menjalani pidananya ataupun yang sedang menjalani pembebasan bersyarat. Sebab tanpa adanya keikutsertaan masyarakat,
pembinaan terhadap narapidana tidak akan berhasil. Selain itu peran dari petugas pemasyarakatan juga sangat penting, mereka harus berhadapan dengan orang-
orang yang beraneka ragam sifat dan tingkah laku. Petugas pemasyarakatan harus memiliki mental yang baik dan sehat, hal ini diperlukan dalam pelaksanaan tugas
untuk meningkatkan kualitas yang positif baik untuk dirinya sendiri, warga binaan maupun untuk lingkungannya Sujatno, Hubungan Narapidana dengan
Lingkungan http:www.ditjenpas.go.idindex.php?option=com_contenttask= viewid=178Itemid=9 diakses tanggal 26 april 2009.
Keberhasilan sistem pemasyarakatan dalam membina narapidana memang belum mempunyai tolak ukur yang jelas. Ahli kriminolog, sosiolog dan
pemasyarakatan mengatakan jika residivis menurun maka pemasyarakatan berhasil dalam melaksanakan pembinaan. Hal ini belum dapat dijadikan tolak
Universitas Sumatera Utara
ukur karena banyak sekali variabel-variabel yang menyebabkan turunnya residivis, misalnya adanya angka yang luput dari data statistik, residivis
melakukan kejahatan ditempat lain dan lain-lain Harsono, 1995:4. Maka kita dapat melihat bahwa keberhasilan pembinaan bukanlah hanya
didukung oleh sarana dan prasarana yang memadai, tetapi juga dengan partisipasi dari berbagai pihak, substansi hukum, sosial, dan substansi lainnya. Oleh karena
itu program pembinaan harus disusun berdasarkan prinsip-prinsip dasar pemasyarakatan. Pembinaan yang dilakukan di lembaga pemasyarakatan haruslah
mampu menumbuhkan suasana yang penuh saling pengertian dan kerukunan, baik di antara sesama warga binaan, maupun antara pembina dengan yang dibina.
Dari titik tolak uraian diatas, maka melalui penelitian ini akan mencoba untuk memaparkan gambaran yang jelas mengenai ”Respon Narapidana Wanita
Terhadap Program Pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Wanita Tanjung Gusta Medan”.
1.2 Perumusan Masalah