89
Gambar 15 menunjukkan bahwa dominasi akad jual beli murabahah sebesar 64.63 persen, diikuti oleh pembiayaan bagi hasil yaitu mudharabah dan
musyarakah masing-masing dengan porsi 28.80 persen dan 10.53 persen, selanjutnya jual beli istishna porsinya sebesar 2.91 persen, sedangkan sistem
pembiayaan lainnya seperti jual beli salam, sewa menyewa ijarah dan lain-lain porsinya sebesar 3.66 persen.
Meskipun akad jual beli mendominasi jenis pembiayaan selama periode penelitian, tetapi sebenarnya terjadi pergeseran peningkatan porsi pembiayaan
akad bagi hasil, yang diwakili oleh pembiayaan mudharabah dan musyarakah, dan penurunan porsi pembiayaan akad jual beli yang diwakili oleh pembiayaan
murabahah dan istishna.
59.17 78.37
37.05 16.41
- 10
20 30
40 50
60 70
80 90
1 1
1 2
1 2
3 4
5 6
7 8
9 1
1 1
1 2
1 2
3 4
5 6
7 8
9 1
1 1
1 2
1 2
3 4
5 6
7 8
9 1
1 1
1 2
1 2
3 4
5 6
7 8
9 1
1 1
1 2
1 2
3 4
5 6
7 8
9 1
1 1
1 2
1 2
3 4
5 6
2002 2003
2004 2005
2006 2007
2008
Tahun P
a n
g s
a P
e m
b ia
y a
a n
P e
rs e
n
Jual Beli Bagi Hasil
Sumber : Bank Indonesia, 2002, 2003a, 2004, 2005, 2006, 2007, 2008a. Gambar 16. Perkembangan Pangsa Pembiayaan, Jenis Akad Jual Beli dan
Bagi Hasil, November 2002 sampai Juni 2008
Dari Gambar 16 terlihat bahwa ketika awal periode penelitian November 2002, porsi pembiayaan akad jual beli mencapai 78.37 persen, maka pada akhir
periode penelitian Juni 2008, porsi akad jual beli turun menjadi 59.17 persen, sebaliknya pada awal penelitian porsi pembiayaan akad bagi hasil masih
90
16.41 persen, maka pada akhir periode penelitian, porsi akad jual beli meningkat menjadi 37.05 persen.
Jika pembiayaan ditinjau berdasarkan sektor ekonomi, maka sektor jasa-jasa menempati porsi terbesar pembiayaan perbankan syariah dengan pangsa
50.41 persen. Sektor jasa-jasa yang terdiri: listrik, gas dan air; konstruksi; pengangkutan, pergudangan dan komunikasi; jasa dunia usaha; serta jasa sosial
masyarakat. Urutan kedua adalah sektor ekonomi lain-lain, yang mencapai 24.54 persen pada Januari 2007 dan mencapai 24.79 persen pada posisi Juni 2008.
Urutan ketiga adalah sektor industri dengan pangsa pembiayaan berkisar antara 4 sampai 5 persen.
Sektor pertanian, kehutanan, dan sarana pertanian, hanya menempati urutan keempat dengan pangsa 3.01 persen rata-rata dari September 2006, atau
sebesar 2.93 persen pada posisi Juni 2008. Selengkapnya pangsa pembiayaan masing-masing sektor ekonomi ditunjukkan pada Tabel 3.
Tabel 3. Pangsa Pembiayaan Berdasarkan Sektor Ekonomi 2007
2008 Sektor Ekonomi
Jan Juni
Des Jan
Juni 1. Pertanian, kehutanan, dan
sarana pertanian 3.50
2.83 3.00
2.90 2.93
2. Pertambangan 1.61
1.75 1.83
1.78 1.60
3. Perindustrian 4.54
4.82 4.91
4.80 4.90
4. Listrik, gas dan air 0.03
0.12 0.59
0.88 0.46
5. Konstruksi 7.39
7.84 8.48
9.33 9.70
6. Perdagangan, restoran dan hotel
18.67 17.36
14.86 15.25
12.95 7. Pengangkutan, pergudangan
dan komunikasi 5.86
5.68 5.61
4.92 5.72
8. Jasa dunia usaha 26.03
29.77 30.15
31.16 30.02
9. Jasa sosial masyarakat 6.83
7.34 6.81
6.64 6.93
10. Lain-lain 25.54
22.49 23.76
22.35 24.79
Sumber : Bank Indonesia, 2007, 2008a.
91
Meskipun analisis penelitian hanya dilakukan terhadap pembiayaan perbankan syariah BUS dan UUS, perkembangan pembiayaan dari BPRS juga
mendapat perhatian. Selama tiga tahun terakhir periode penelitian pada posisi Juni, rata-rata jumlah pembiayaan BPRS dibandingkan dengan pembiayaan total
BUS dan UUS, sebesar 3.33 persen.
5.1.3. Pembiayaan Bermasalah
Penilaian tingkat kesehatan bank umum berdasarkan prinsip syariah, secara umum sama dengan yang dilakukan bank umum konvensional, yaitu
memperhitungkan faktor CAMELS Capital, Asset quality, Management, Earnings, Liquidity, and Sensitivity to market risk. Tahap selanjutnya adalah
dilakukan pendekatan kuantitatif dan atau kualitatif berbagai aspek yang mempengaruhi kondisi atau kinerja bank dengan melakukan penilaian terhadap
faktor finansial dan faktor manajemen. NPF Non Performing Financing adalah salah satu indikator kualitas aset
asset quality. Tujuan rasio NPF adalah mengukur tingkat permasalahan pembiayaan yang dihadapi bank, semakin tinggi rasio, menunjukkan kualitas
pembiayaan bank syariah semakin buruk. Rasio NPF yang digunakan oleh bank umum syariah adalah sebagai berikut:
Pembiayaan KL, D, M NPF = X 100 persen .…................... 5.1
Total Pembiayaan KL adalah jumlah pembiayaan yang masuk kategori kurang lancar,
D adalah jumlah pembiayaan yang masuk dalam kategori diragukan, dan M adalah jumlah pembiayaan yang masuk dalam kategori macet. Jika bank berada
di peringkat pertama, maka kualitas aset sangat baik dengan risiko portofolio yang
92
sangat minimal, kebijakan dan prosedur pemberian pembiayaan dan pengelolaan resiko dari pembiayaan telah: 1 dilaksanakan dengan sangat baik dan sesuai
dengan skala usaha bank, sangat mendukung kegiatan operasional yang aman serta sehat, dan 2 didokumentasikan dan diadministrasikan dengan sangat baik.
Sebaliknya jka berada di peringkat kelima, maka kualitas aset tidak baik dan diperkirakan kelangsungan hidup bank sulit untuk dapat diselamatkan.
Kebijakan dan prosedur pemberian pembiayaan dan pengelolaan resiko dari pembiayaan peringkat kelima adalah: 1 dilaksanakan dengan tidak baik dan atau
tidak sesuai dengan skala usaha bank, terdapat kelemahan yang sangat signifikan dan kelangsungan usaha bank sulit untuk dapat diselamatkan, dan atau
2 didokumentasikan dan diadministrasikan dengan tidak baik.
4.06 Agustus 2007
6.63
Desember 2003 2.34
rata-rata 4.10 4.23
0.00 1.00
2.00 3.00
4.00 5.00
6.00 7.00
1 1
1 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
1 1
1 1
2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 1
1 1
1 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
1 1
1 1
2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 1
1 1
1 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
1 1
1 1
2 1 2 3 4 5 6 2002
2003 2004
2005 2006
2007 2008
Tahun P
e m
b ia
y a
a n
B e
rm a
s a
la h
a h
P e
rs e
n
Sumber : Bank Indonesia, 2002, 2003a, 2004, 2005, 2006, 2007, 2008a. Gambar 17. Pembiayaan Bermasalah Perbankan Syariah, November 2002
sampai Juni 2008
Selama periode penelitian, posisi pembiayaan akhir bulan mengalami dinamika naik turun. Pada awal penelitian November 2002, posisi Non
Performing Financing NPF perbankan syariah sebesar 4.06 persen, dan pada saat akhir periode penelitian NPF berada pada posisi 4.23 persen. Gambar 17
93
menunjukkan bahwa posisi terendah NPF yang pernah dialami adalah Desember 2003 pada 2.34 persen, sedangkan tertinggi ketika mencapai 6.63 persen pada
Agustus 2007, dan jika dihitung secara rata-rata, maka selama periode tersebut pembiayaan bermasalah di perbankan syariah sebesar 4.10 persen.
Catatan kritisnya adalah perkembangan posisi pembiayaan bermasalah yang terjadi selama setahun terakhir di perbankan syariah, seperti pada Tabel 4.
Meskipun posisi Juni 2008, sudah berada pada 4.23 persen, tetapi jika ditinjau dalam 12 bulan terakhir penelitian, rata-rata NPF perbankan syariah berada pada
posisi 5.12 persen, artinya lebih tinggi jika disandingkan dengan kondisi Non Performing Loan NPL bank umum secara keseluruhan yang berada pada posisi
4.50 persen. Dari 12 bulan terakhir, posisi NPF hanya mengalami lebih rendah dua kali dibandingkan dengan kondisi NPL bank umum.
Tabel 4. Posisi Pembiayaan Bermasalah Perbankan Syariah dan Bank Umum, Juli 2007 sampai Juni 2008
Akhir Bulan NPF
Bank Syariah NPL
Bank Umum Keterangan
Juli 2007 6.58
5.81 NPF Lebih tinggi
Agustus 2007 6.63
5.74 NPF Lebih tinggi
September 2007 6.29
5.17 NPF Lebih tinggi
Oktober 2007 6.23
5.05 NPF Lebih tinggi
November 2007 5.66
4.84 NPF Lebih tinggi
Desember 20007 4.05
4.07 NPF Lebih rendah
Januari 2008 4.18
4.24 NPF Lebih rendah
Februari 2008 4.07
4.21 NPF Lebih rendah
Maret 2008 4.17
3.75 NPF Lebih tinggi
April 2008 4.39
3.82 NPF Lebih tinggi
Mei 2008 4.94
3.76 NPF Lebih tinggi
Juni 2008 4.23
3.54 NPF Lebih tinggi
Rata-Rata 12 Bulan Terakhir
5.12 4.50
NPF Lebih tinggi
Sumber : Bank Indonesia, 2007, 2008a.
94
5.1.4. Laba per Aset
Sesuai dengan surat edaran Bank Indonesia No.924DPbS perihal sistem penilaian tingkat kesehatan bank umum berdasarkan prinsip syariah, rasio-rasio
keuangan yang digunakan untuk menghitung peringkat faktor permodalan, kualitas aset, rentabilitas, likuiditas dan sensitivitas atas risiko pasar dibedakan
menjadi rasio utama, rasio penunjang, dan rasio pengamatan observed. Rasio utama merupakan rasio yang memiliki pengaruh kuat high impact terhadap
tingkat kesehatan bank, rasio penunjang adalah rasio yang berpengaruh secara langsung terhadap rasio utama, dan rasio pengamatan observed adalah rasio
tambahan yang digunakan dalam analisa dan pertimbangan judgement. ROA Return On Asset merupakan salah satu komponen perhitungan
rentabilitas earning untuk mengukur keberhasilan manajemen dalam menghasilkan laba. Semakin kecil rasio tersebut mengindikasikan kurangnya
kemampuan manajemen bank dalam hal mengelola aktiva untuk meningkatkan pendapatan dan atau menekan biaya. ROA menurut Bank Indonesia masuk
kategori rasio penunjang. Formula atau rasio yang digunakan oleh bank umum syariah adalah sebagai berikut:
Laba Sebelum Pajak ROA = ....................………................... 5.2
Rata-Rata Total Aset Jika bank berada pada peringkat pertama, maka kemampuan rentabilitas
sangat tinggi untuk mengantisipasi potensi kerugian dan meningkatkan modal. Sebaliknya jika berada di peringkat kelima, maka kemampuan rentabilitas sangat
rendah untuk mengantisipasi potensi kerugian dan meningkatkan modal. Akan tetapi angka ROA yang terpublikasi oleh Bank Indonesia melalui data statistik
perbankan syariah secara bulanan baru pada bulan Januari 2006, sehingga proksi
95
Juni 2005 17,743
4,135 42,981
5,000 10,000
15,000 20,000
25,000 30,000
35,000 40,000
45,000
1 1
1 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
1 1
1 1
2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 1
1 1
1 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
1 1
1 1
2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 1
1 1
1 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
1 1
1 1
2 1 2 3 4 5 6 2002
2003 2004
2005 2006
2007 2008
Tahun A
s e
t M
il ia
r R
u p
ia h
yang digunakan untuk mendekati ROA adalah laba per aset. Laba per aset menunjukkan kemampuan bank mengelola sejumlah aset sehingga menghasilkan
keuntungan. Ada dua komponen penting dalam indikator yaitu posisi aset dan laba. Kondisi terbaik adalah ketika terjadi pertambahan aset yang diikuti juga
dengan pertambahan keuntungan. Posisi aset menunjukkan kapasitas atau volume usaha yang dijalankan
perbankan syariah, karena termasuk aspek permodalan, dana pihak ketiga, kewajiban-kewajiban, piutang, pembiayaan, dan aktiva tetap yang dimiliki.
Gambar 18 menunjukkan bahwa selama periode penelitian terjadi pertambahan aset, pada November 2002 hanya Rp 4 135 miliar, menjadi Rp 42 981 miliar pada
akhir Juni 2008, bertambah Rp 38 846 miliar atau mengalami kenaikan 10.39 kali lipat.
Sumber : Bank Indonesia, 2002, 2003a, 2004, 2005, 2006, 2007, 2008a. Gambar 18. Aset Perbankan Syariah, November 2002 sampai Juni 2008
Dinamika pertumbuhan bulanan aset perbankan syariah pada Gambar 19,
menunjukkan bahwa rata-rata pertumbuhan tiap bulan sebesar Rp 580 miliar, dan selama periode penelitian terdapat dua kali kenaikan aset dalam jumlah besar,
96
yaitu pada Desember 2005 dan Desember 2007, masing-masing dengan Rp 2 188 miliar dan Rp 3 250 miliar. Jika dilakukan tinjauan dua kejadian
tersebut, maka pada Desember 2005 kenaikan aset yang terjadi, didominasi oleh kenaikan dana pihak ketiga sebesar Rp 2 094 miliar, terutama dari deposito
mudharabah yang mencapai Rp 1 356 miliar, sedangkan dari sisi aktiva terjadi kenaikan penempatan pada Bank Indonesia sebesar Rp 1 699 miliar.
2005 6, 405 Desember 2007
naik 3,250 Desember 2005
naik 2,188
Rata-rata = 580
-1,000 -500
500 1,000
1,500 2,000
2,500 3,000
3,500
1 1
1 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
1 1
1 1
2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 1
1 1
1 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
1 1
1 1
2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 1
1 1
1 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
1 1
1 1
2 1 2 3 4 5 6 2002
2003 2004
2005 2006
2007 2008
Tahun P
e rt
u m
b u
h a
n A
s e
t M
il ia
r R
u p
ia h
Sumber : Bank Indonesia, 2002, 2003a, 2004, 2005, 2006, 2007, 2008a. Gambar 19. Perubahan Aset Bulanan Perbankan Syariah, November 2002
sampai Juni 2008
Kenaikan kedua pada Desember 2007, kenaikan aset yang terjadi masih didominasi oleh kenaikan dana pihak ketiga sebesar Rp 2 352 miliar, tetapi
tersebar diantara tabungan mudharabah, deposito mudharabah, dan giro wadiah, sedangkan dari sisi aktiva terjadi kenaikan pembiayaan sebesar Rp 1 446 miliar,
dan penempatan pada Bank Indonesia sebesar Rp 1 329 miliar. Dari sisi perkembangan laba, ditunjukkan dengan posisi akhir bulan laba
berjalan pada Gambar 20, tampak bahwa laba berjalan mengikuti pola siklus tahunan. Pada awal tahun, bulan Januari merupakan posisi terendah tiap tahun,
kemudian meningkat tiap bulan sampai dengan puncaknya pada bulan Desember.
97
Selama periode penelitian posisi tertinggi laba tahun berjalan setelah taksiran pajak penghasilan pada bulan Desember 2007 sebesar Rp 540.1 miliar,
sedangkan pada awal penelitian laba baru sebesar Rp 52.47 miliar.
Tahun 411.09
52.47
Desember 2007
540.10
100 200
300 400
500 600
1 1
1 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
1 1
1 1
2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 1
1 1
1 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
1 1
1 1
2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 1
1 1
1 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
1 1
1 1
2 1 2 3 4 5 6 2002
2003 2004
2005 2006
2007 2008
L a
b a
T a
h u
n B
e rj
a la
n M
il ia
r R
u p
ia h
Sumber : Bank Indonesia, 2002, 2003a, 2004, 2005, 2006, 2007, 2008a. Gambar 20. Laba Tahun Berjalan Perbankan Syariah, November 2002
sampai Juni 2008
Catatan yang perlu diperhatikan adalah struktur pembentuk laba tersebut. Dengan menggunakan data Juni 2008, dari pendapatan operasional sebesar
Rp2 582 miliar, 89.31 persen diantaranya berasal dari pendapatan dari penyaluran dana, sisanya sebesar 10.69 persen adalah pendapatan operasional lainnya,
termasuk fee base income yang hanya sebesar 3.55 persen. Dari sisi beban operasional sebesar Rp 1 277 miliar, beban terbesar adalah pos penyusutan,
penyisihan, amortisasi, penghapusan, sebesar Rp 438 miliar atau 34.30 persen, kemudian beban tenaga kerja sebesar Rp 378.2 miliar atau 29.62 persen.
Dari dua komponen laba dan aset tersebut, jika digabungkan merupakan indikator rentabilitas. Dari data yang ada rata-rata kemampuan menghasilkan laba
perbankan syariah selama periode penelitian adalah 1.29 persen, artinya dari seratus bagian aset mampu menghasilkan keuntungan 1.29. Kemampuan tertinggi
98
terjadi pada Februari 2008 dengan laba per aset sebesar 2.21 persen, dan terendah pada bulan Juni 2005 sebesar 0.14 persen, seperti ditunjukkan Gambar 21.
Juni 2005
0.14
Februari 2008
2.21
rata-rata= 1.29
0.00 0.50
1.00 1.50
2.00 2.50
1 1
1 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
1 1
1 1
2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 1
1 1
1 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
1 1
1 1
2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 1
1 1
1 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
1 1
1 1
2 1 2 3 4 5 6 2002
2003 2004
2005 2006
2007 2008
Tahun L
a b
a p
e ra
s e
t p
e rs
e n
Sumber : Bank Indonesia, 2002, 2003a, 2004, 2005, 2006, 2007, 2008a. Gambar 21. Laba per Aset Perbankan Syariah, November 2002 sampai
Juni 2008
5.1.5. Sertifikat Wadiah Bank Indonesia
Dalam konteks kebijakan moneter, SWBI merupakan instrumen jangka pendek yang dikeluarkan Bank Indonesia untuk memfasilitasi perbankan syariah
dalam rangka menyimpan dana di Bank Indonesia, dana titipan tersebut kemudian disalurkan Bank Indonesia ke pasar uang antar bank syariah sebagai dana yang
dapat dimanfaatkan oleh perbankan lain untuk memenuhi kecukupan likuiditas. Sebagai sarana untuk memanfaatkan kelebihan likuiditas yang dimiliki,
maka posisi Sertifikat Wadiah Bank Indonesia SWBI, dapat menunjukkan kondisi likuiditas perbankan syariah. Pemanfaatan SWBI dapat diinterpretasikan
bahwa, dana pihak ketiga yang dihimpun dari masyarakat untuk sementara belum dapat dimanfaatkan oleh perbankan menjadi pembiayaan kepada masyarakat.
Gambar 22 menunjukkan perkembangan posisi SWBI selama periode penelitian. Dari periode tersebut terdapat dua kejadian ekstrim, yaitu kenaikan
99
terbesar sebesar Rp 1 863 miliar pada Desember 2005, dan penurunan terbesar terjadi pada Maret 2008, sebesar Rp 1 582 miliar.
turun 1,582
naik 1,863
Februari 2008 3,717
Maret 2008 2,135
November 2005 532
Desember 2005 2,395
500 1,000
1,500 2,000
2,500 3,000
3,500 4,000
1 1
1 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
1 1
1 1
2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 1
1 1
1 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
1 1
1 1
2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 1
1 1
1 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
1 1
1 1
2 1 2 3 4 5 6 2002
2003 2004
2005 2006
2007 2008
Tahun S
W B
I M
il ia
r R
u p
ia h
Sumber : Bank Indonesia, 2002, 2003a, 2004, 2005, 2006, 2007, 2008a. Gambar 22. Sertifikat Wadiah Bank Indonesia, November 2002 sampai
Juni 2008
Kejadian yang menyertai kenaikan Desember 2005 adalah tambahan dana pihak ketiga sebesar Rp 2 094 miliar, dan tambahan 27 kantor unit usaha syariah
baru, sedangkan kejadian yang menyertai penurunan SWBI terbesar pada Maret 2008, karena kemampuan perbankan syariah menyalurkan tambahan
pembiayaan sebesar Rp 1 751 miliar.
5.1.6. Dana Pihak Ketiga
Dana pihak ketiga yang berhasil dihimpun menunjukkan perkembangan yang juga pesat, ditunjukkan pada Gambar 23. Jika pada akhir November 2002
jumlah dana pihak ketiga baru mencapai Rp 2 056 miliar, dan pada tengah periode akhir Juni 2005 mencapai Rp 13 358 miliar, maka pada akhir Juni 2008 telah
mencapai Rp 33 049 miliar, atau bertambah Rp 30 993 miliar selama periode penelitian.
100
33,049
2,956 Juni 2005
13,358 5,000
10,000 15,000
20,000 25,000
30,000 35,000
1 1
1 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
1 1
1 1
2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 1
1 1
1 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
1 1
1 1
2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 1
1 1
1 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
1 1
1 1
2 1 2 3 4 5 6 2002
2003 2004
2005 2006
2007 2008
Tahun D
a n
a P
ih a
k K
e ti
g a
M il
ia r
R u
p ia
h
Sumber : Bank Indonesia, 2002, 2003a, 2004, 2005, 2006, 2007, 2008a. Gambar 23. Dana Pihak Ketiga Perbankan Syariah, November 2002 sampai
Juni 2008
Sedangkan jika ditinjau dari pertumbuhan bulanan dana pihak ketiga, selama periode penelitian mengalami dua kali lonjakan besar pertambahan dana
pihak ketiga, yaitu pada Desember 2005 dan Desember 2007, dan jika dijadikan rata-rata, maka tiap bulan terjadi pertambahan dana pihak ketiga sebesar
Rp 449 miliar, terlihat pada Gambar 24.
Desember 2005 2,094
Desember 2007 2,354
Rata-rata= 449
500 -
500 1,000
1,500 2,000
2,500
1 1
1 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
1 1
1 1
2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 1
1 1
1 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
1 1
1 1
2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 1
1 1
1 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
1 1
1 1
2 1 2 3 4 5 6 2002
2003 2004
2005 2006
2007 2008
Tahun
P e
rt u
m b
u h
an D
an a
P ih
ak K
et ig
a M
il iar
R u
p ia
h
Sumber : Bank Indonesia, 2002, 2003a, 2004, 2005, 2006, 2007, 2008a. Gambar 24. Perubahan Dana Pihak Ketiga Perbankan Syariah, November
2002 sampai Juni 2008
101
Deposito Mudharabah,
56.5 Giro Wadiah,