12
II. KERANGKA TEORITIS
2.1 Tinjauan Teori 2.1.1.
Karakteristik Bank Syariah
Secara umum bank adalah insititusi yang memiliki tiga fungsi utama yaitu menyimpan uang, menyalurkan uang, dan jasa pemindahan uang. Praktek
menyimpan uang, menyalurkan uang untuk konsumsi dan perdagangan, serta transfer uang, sudah dilakukan secara individu saat masa Nabi Muhammad SAW.,
dan merupakan bagian yang tidak terlepaskan dalam kehidupan sehari-hari. Aktifitas tersebut berkembang pada era Muawiyah, tahun 661- 680 Masehi dan
sesudahnya dengan nama Jihbiz, yang dikelola secara perorangan, kemudian fungsi-fungsi tersebut berkembang dan berevolusi menjadi bentuk lembaga
perbankan seperti sekarang Karim, 2005. Secara ideal perbankan dan sistem keuangan syariah memiliki tujuan
utama, seperti dikutip dari Ebrahim dan Joo 2001: 1
Implement the value system of the Qur’an and the Sunnah tradition or practice of Prophet Muhammad Saw. in the
realm of the Muslim socioeconomic system. Ibn Taymiyah r.a. n.d., a distinguished scholar of Islam, explicates this as
follows: “In mu’amalat business transactions all activities are permissible unless forbidden by revelation Qur’an or the
practice of Prophet Muhammad Saw.”. The examples of prohibited business activities would include dealing in
gambling, liquor, pork etc. The financial contracts of Islamic banks need to be clearly documented, equitable, and avoid the
elements of Riba, Gharar, and Maysir .
2 Foster the growth of the economy of Muslim nations by
developing financial market, institutions, and instruments, and 3
Dampen the shocks of extreme economic output by promoting risk sharing instruments whose payoffs are strictly contingent
on the profitability of a firm or project at a micro level.
Perbankan syariah sebagai bagian dari sistem keuangan, juga berfungsi
13
sebagai sebagai lembaga intermediasi. Meskipun demikian perbankan syariah memiliki karakteristik tersendiri yang membedakan dengan lembaga keuangan
konvensional dalam melakukan intermediasi, seperti dikutip dari Kahf 2005 berikut:
Islamic banks are also financial intermediaries. They collect savings from income earners who have surplus and distribute them
to entrepreneurs and consumers who need them to finance their purchases of goods and services. But Islamic banks make their
financial intermediation on the basis of several contracts that do not include lending and borrowing because interest in prohibited
in the Islamic law. Instead of the loan contract, Islamic banks rely on a combination of three principles: sharing, leasing, and sale.
What is essential in their function of financial intermediation is that Islamic banks leave the initiative of investment and use of
funds to the entrepreneurs and other users of funds.
Dalam operasionalnya lembaga keuangan Islam, menurut El-Hawary et al. 2003 harus menganut empat hal, yaitu:
a risk-sharing-the term of financial transactions need to reflect a symmetrical risk or return distribution each participant to the
trancactions may face, b materiality-a financial transaction needs to have a “material finality”, that is it diretcly or indirectly
linked to a real economic transaction, c no exploitation-a financial transaction should not lead to the exploitation of any
party to the transaction, and d no financing of sinful ativities such as production of alcoholic beverages.
Persandingan karakteristik perbankan syariah dengan bank konvensional dalam tingkat operasional menurut Antonio 2000 terdapat beberapa perbedaan:
1. Bank Islam melakukan investasi-investasi yang halal saja, sedangkan bank
konvensional investasinya ada yang halal dan ada yang haram. 2.
Bank Islam berdasarkan prinsip bagi hasil, jual beli, atau sewa, sedangkan bank konvensional memakai perangkat bunga.
3. Bank Islam berdasarkan pada profit dan falah oriented, sedangkan bank
konvensional berdasarkan pada profit oriented saja.
14
4. Bank Islam hubungan nasabah dalam bentuk kemitraan, pada bank
konvensional hubungannya dalam bentuk kreditur dan debitur. 5.
Bank Islam untuk menghimpun dan menyalurkan dana harus sesuai dengan fatwa dewan pengawas syariah, sedangkan bank konvensional tidak terdapat
dewan sejenis. Karena adanya perbedaaan karakteristik dan perjanjian atau akad yang
menyertai, maka dalam operasionalnya bank syariah memiliki mekanisme yang berbeda dengan bank konvensional. Meskipun tanpa menggunakan bunga dalam
kegiatan menghimpun dana maupun menyalurkan dana kepada masyarakat, bank syariah dapat menggunakan akad-akad atau perjanjian syariah yang telah disetujui
oleh pakar bidang syariah yang berwenang.
Sumber: Helmy, 2007. Gambar 4. Persandingan Mekanisme Operasional antara Bank Syariah
dengan Bank Konvensional
Gambar 4 menunjukkan secara ringkas persandingan mekanisme operasional antara bank syariah dan bank konvensional. Pada Gambar 4 terlihat
bahwa bank syariah berkedudukan sebagai mudharib atau pihak pengelola dana
15
jika bank melakukan aktifitas penghimpunan dana, sedangkan pada saat penyaluran dana bank syariah berfungsi sebagai shahibul maal atau pihak yang
memiliki dana. Pada saat penghimpunan dana, maka deposan memperoleh besar imbalan
yang belum dapat dipastikan jumlahnya, karena tergantung dari pendapatan atau hasil aktifitas bank mengelola dana tersebut, yang dapat ditentukan sebelumnya
adalah porsi pembagian atau bagi hasil antara shahibul maal dengan mudharib, misalnya 30 persen untuk shahibul maal, dan 70 persen untuk mudharib
berdasarkan kesepakatan. Pada sisi penyaluran dana, pihak bank shahibul maal memperoleh hasil dari kegiatan penyaluran dana dengan mudharib, besarnya tidak
dapat ditentukan sebelumnya, jika akad yang digunakan adalah akad bagi hasil. Pihak bank shahibul maal dapat mengetahui perolehan pasti jika kegiatan
penyaluran dana dengan mudharib dilakukan menggunakan akad jual beli sehingga memperoleh margin yang dapat ditentukan di awal perjanjian, karena itu
mekanisme operasional bank syariah tergantung dari aplikasi akad yang disepakati.
2.1.2. Akad Pembiayaan Bank Syariah di Indonesia
Mengacu ketentuan Dewan Syariah Nasional 2006 dan pelaksanaan prinsip syariah kegiatan bank syariah Bank Indonesia,
2008b, maka pembiayaan kepada masyarakat perbankan syariah di Indonesia dikelompokkan menjadi empat
prinsip perjanjian atau akad yaitu:
2.1.2.1. Prinsip Bagi Hasil a. Pembiayaan Akad Mudharabah
Pengertian singkat mudharabah adalah akad kerjasama usaha antara dua
16
pihak di mana pihak pertama malik, shahib al-mal, lembaga keuangan syariah menyediakan seluruh modal, sedangkan pihak kedua ‘amil, mudharib, nasabah
bertindak selaku pengelola, dan keuntungan di antara mereka sesuai kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak Dewan Syariah Nasional, 2006.
Penyaluran dana dalam bentuk pembiayaan atas dasar akad mudharabah berlaku persyaratan sebagai berikut Bank Indonesia, 2008b:
1. Bank bertindak sebagai pemilik dana shahibul maal yang menyediakan dana
dengan fungsi sebagai modal kerja, dan nasabah bertindak sebagai pengelola dana mudharib dalam kegiatan usahanya.
2. Bank memiliki hak dalam pengawasan dan pembinaan usaha nasabah
walaupun tidak ikut serta dalam pengelolaan usaha nasabah, antara lain bank dapat melakukan review dan meminta bukti-bukti dari laporan hasil usaha
nasabah, berdasarkan bukti pendukung yang dapat dipertanggungjawabkan. 3.
Bank wajib menjelaskan kepada nasabah mengenai karakteristik produk pembiayaan atas dasar akad mudharabah, serta hak dan kewajiban nasabah
sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai transparansi informasi produk bank dan penggunaan data pribadi nasabah.
4. Dalam hal pembiayaan atas dasar akad mudharabah muqayyadah yaitu
penyediaan dana kepada nasabah di mana pemilik dana shahibul maal memberikan persyaratan khusus kepada pengelola dana mudharib, bank
wajib memenuhi persyaratan khusus dimaksud. 5.
Bank wajib melakukan analisis atas permohonan pembiayaan atas dasar akad mudharabah dari nasabah yang antara lain meliputi aspek personal berupa
analisis karakter dan aspek usaha, antara lain meliputi analisis kapasitas usaha capacity, keuangan capital, dan prospek usaha condition.
17
6. Pembagian hasil usaha dari pengelolaan dana dinyatakan dalam nisbah yang
disepakati. 7.
Nisbah bagi hasil yang disepakati tidak dapat diubah sepanjang jangka waktu investasi, kecuali atas dasar kesepakatan para pihak.
8. Bank dan nasabah wajib menuangkan kesepakatan dalam bentuk perjanjian
tertulis berupa akad pembiayaan atas dasar mudharabah. 9.
Jangka waktu pembiayaan atas dasar akad mudharabah, pengembalian dana, dan pembagian hasil usaha ditentukan berdasarkan kesepakatan bank dan
nasabah. 10.
Pembiayaan atas dasar akad mudharabah diberikan dalam bentuk uang dan atau barang, serta bukan dalam bentuk piutang atau tagihan.
11. Dalam hal pembiayaan atas dasar akad mudharabah diberikan dalam bentuk
uang harus dinyatakan secara jelas jumlahnya. 12.
Dalam hal pembiayaan atas dasar akad mudharabah diberikan dalam bentuk barang, maka barang tersebut harus dinilai atas dasar harga pasar net
realizable value dan dinyatakan secara jelas jumlahnya. 13.
Pengembalian pembiayaan atas dasar mudharabah dilakukan dalam dua cara, yaitu secara angsuran ataupun sekaligus pada akhir periode akad, sesuai
dengan jangka waktu pembiayaan atas dasar akad mudharabah. 14.
Pembagian hasil usaha dilakukan atas dasar laporan hasil usaha pengelola dana
mudharib dengan
disertai bukti
pendukung yang
dapat dipertanggungjawabkan.
15. Kerugian usaha nasabah pengelola dana mudharib yang dapat ditanggung
bank selaku pemilik dana shahibul maal adalah maksimal sebesar jumlah pembiayaan yang diberikan ra’sul maal.
18
Dalam hal nasabah ikut menyertakan modal dalam kegiatan usaha mitra usaha yang dibiayai bank mudharabah musytarakah, maka berlaku ketentuan:
1. Norma-norma umum dalam pembiayaan atas dasar akad mudharabah
sebagaimana dimaksud ketentuan di atas, kecuali nomor 1 dan nomor 4. 2.
Kedudukan nasabah adalah sebagai mitra usaha sekaligus sebagai pengelola dana mudharib.
3. Sebagai mitra usaha, nasabah berhak mendapat bagian keuntungan sesuai
kesepakatan atau menanggung kerugian sesuai porsi modalnya. 4.
Sebagai pengelola dana mudharib, nasabah berhak mendapatkan bagian keuntungan berdasarkan nisbah yang disepakati, setelah dikurangi bagian
keuntungan milik nasabah sebagai mitra usaha.
b. Pembiayaan Akad Musyarakah