136
1. Sisi penawaran lebih berperan dibandingkan sisi permintaan, dengan
kontribusi terbesar sisi penawaran pada pembiayaan bermasalah. Lebih berperannya sisi penawaran sejalan dengan fenomena perbankan nasional
pasca krisis tahun 1999, yang ditemukan oleh Harmanta dan Ekananda 2005, bahwa pada periode pasca krisis terjadi pelemahan pada sisi permintaan.
Pembiayaan bermasalah yang signifikan terhadap penawaran pembiayaan sejalan dengan temuan Agung et al. 2001 dan Meydianawathi 2007 pada
kasus bank umum nasional, bahwa Non Performing Loans, signifikan mempengaruhi penyaluran dana dengan arah negatif.
2. Dari sisi permintaan, kontribusi kredit bank umum terhadap pembiayaan
signifikan meskipun direspon terbalik dari dugaan awal. Temuan signifikannya kontribusi kredit bank umum dengan arah negatif terhadap
pembiayaan perbankan syariah sejalan dengan temuan penelitian yang dilakukan Asy’ari 2004 dan Sujatna 2007, bahwa kredit bank konvensional
signifikan sebagai substitusi terhadap pembiayaan bank syariah. .
6.4. Implikasi Hasil Penelitan
Implikasi kebijakan diperlukan sebagai masukan untuk meningkatkan kinerja pembiayaan dan akhirnya pangsa pembiayaan perbankan secara nasional.
Dari temuan menarik yang telah disebutkan, maka implikasi kebijakan yang terkait adalah:
1. Penyelesaian Pembiayaan Bermasalah
Pembiayaan bermasalah dapat terjadi karena beberapa sebab, yaitu faktor internal bank syariah, pihak nasabah, serta di luar dua pihak tersebut, baik pihak
bank syariah ataupun nasabah. Faktor internal bank yang terjadi sebelum
137
dilakukan perjanjian atau akad, disebabkan karena ketidaktepatan menilai kemampuan dan kemauan calon nasabah. Permasalahan yang berasal dari pihak
nasabah antara lain karena mismanagement atau itikad yang tidak baik, sedangkan permasalahan yang berasal dari luar pihak bank syariah ataupun nasabah, karena
perubahan kondisi perekonomian dan kebijakan moneter yang tidak dapat diantisipasi.
Kebijakan internal untuk mencegah dan meminimalisir pembiayaan bermasalah adalah peningkatan kemampuan sumber daya insani bidang
pembiayaan dalam menganalisis resiko dan kondisi calon nasabah. Dari sisi nasabah, biasanya sebelum terjadi pembiayaan bermasalah didahului oleh tanda-
tanda penyimpangan seperti terjadi tunggakan, kondisi keuangan nasabah yang memburuk, sikap debitur yang menyembunyikan informasi kepada pihak bank,
atau pihak nasabah melakukan pinjaman dari sumber lain. Dari sisi otoritas moneter, keterlibatan Bank Indonesia dalam upaya
menyempurnakan ketentuan tentang penyelesaian pembiayaan bermasalah sangat diperlukan. Upaya terbaru yang dilakukan Bank Indonesia untuk menyelesaikan
pembiayaan bermasalah adalah dengan mengeluarkan peraturan Bank Indonesia pada September 2008. Dalam peraturan tersebut, memuat antara lain perbankan
dapat melakukan: 1.
Penjadwalan kembali rescheduling, yaitu perubahan jadwal pembayaran kewajiban nasabah atau jangka waktunya.
2. Persyaratan kembali reconditioning, yaitu perubahan sebagian atau seluruh
persyaratan pembiayaan, antara lain perubahan jadwal pembayaran, jumlah angsuran, jangka waktu dan atau pemberian potongan sepanjang tidak
menambah sisa kewajiban nasabah yang harus dibayarkan kepada bank.
138
3. Penataan kembali restructuring, yaitu perubahan persyaratan pembiayaan
tidak terbatas pada rescheduling atau reconditioning, antara lain meliputi: penambahan dana fasilitas pembiayaan bank, konversi akad pembiayaan,
konversi pembiayaan menjadi surat berharga syariah berjangka waktu menengah, dan konversi pembiayaan menjadi penyertaan modal sementara
pada perusahaan nasabah. Peraturan tersebut menyebutkan antara lain bahwa, bank dilarang
melakukan restrukturisasi pembiayaan dengan tujuan menghindari penurunan penggolongan kualitas pembiayaan dan pembentukan Penyisihan Penghapusan
Aktiva Produktif PPAP yang lebih besar, serta restrukturisasi pembiayaan hanya dapat dilakukan atas dasar permohonan secara tertulis dari nasabah. Karena itu
perbankan dengan dukungan dari pemerintah harus terus melakukan edukasi pembiayaan, sebelum melibatkan nasabah dalam penyelesian pembiayaan
bermasalah.
2. Memanfaatkan Nasabah Mengambang
Untuk memahami ketekaitan pembiayaan perbankan syariah dengan kredit bank umum, perlu diperhatikan struktur kelembagaan perbankan nasional. Posisi
akhir Juni 2008, komposisi bank umum nasional adalah 127 bank, terdiri atas 5 bank persero, 36 bank umum swasta devisa, 33 bank umum swasta non devisa,
27 bank pembangunan daerah regional, 16 bank campuran, dan 11 bank asing. Bank umum syariah yang berjumlah 3 bank, harus bersaing dengan
124 bank umum lainnya, atau jika dikurangi dengan 28 unit usaha syariah, maka masih harus bersaing dengan 96 bank umum murni konvensional. Ditinjau dari
porsi aset bank umum, dari 127 bank umum tersebut, 10 besar peringkat aset nasional menguasai kurang lebih 60 persen dari total aset, berarti 117 bank
139
menguasai hanya 40 persen dari total aset. Ditinjau dari share secara nasional, posisi Juni 2008, pangsa perbankan syariah terhadap total aset sebesar
2.11 persen, terhadap penghimpunan dana sebesar 2.13 persen, dan terhadap penyaluran dana sebesar 2.97 persen.
Dari kondisi kelembagaan jumlah dan pangsa tersebut, maka jika terjadi dinamika pada kondisi bank umum, baik dari sisi penghimpunan dana maupun
penyaluran dana maka mempengaruhi pasar perbankan nasional termasuk perbankan syariah. Perkembangan kredit selama periode penelitian, mulai 2006
sampai Juni 2008 menunjukkan pertumbuhan pesat, yang searah dengan suku bunga kredit yang turun, dari 16.64 persen pada Mei 2006 menjadi 13.74 persen
pada Juni 2008, yang dipicu oleh penurunan BI rate Bank Indonesia. Peningkatan pertumbuhan kredit tersebut membawa dampak terhadap
pembiayaan bank syariah dalam tiga kemungkinan, terjadi pertumbuhan yang meningkat, tetap, atau mengalami penurunan pertumbuhan. Struktur pembiayaan
yang masih didominasi sistem jual beli rata-rata sebesar 67.54 persen, menjadikan penyesuaian jika terjadi peningkatan pertumbuhan kredit konvensional yang
dipicu oleh suku bunga, menjadi relatif lebih lama dibandingkan dengan sistem bagi hasil yang langsung dapat menyesuaikan.
Hasil survei yang dilakukan oleh Bank Indonesia bekerja sama dengan beberapa perguruan tinggi di Indonesia, antara lain menyebutkan bahwa untuk
kasus wilayah Jawa Barat, motivasi responden memilih jasa peminjaman perbankan syariah, sesuai urutan tertinggi adalah: pelayanan cepat, tidak
menggunakan bunga, penanggungan resiko bersama, menjalankan syariah agama, biaya transaksi rendah, dan keragaman simpanan Bank Indonesia, 2000b.
Penelitian di Sumatera Utara Bank Indonesia, 2003b juga menunjukkan
140
hasil yang hampir sama, dengan urutan motivasi: pelayanan cepat, tidak menggunakan bunga, biaya transaksi rendah, penanggungan resiko bersama,
karena menjalankan syariah agama, dan keragaman simpanan. Di Jawa Timur Bank Indonesia Surabaya, 2002, 14.3 persen responden sangat setuju dan
51.5 persen responden setuju, bila pelayanan bank umum syariah mengecewakan, mereka segera pindah ke bank lain, terjadi fenomena nasabah mengambang
floating customer. Pola nasabah termasuk loyalis terhadap perbankan syariah atau tidak,
menjadi faktor penting pengambilan keputusan secara individu untuk memanfatkan pembiayaan atau beralih pada kredit perbankan jika secara ekonomi
lebih menguntungkan. Untuk menumbuhkan loyalitas, diperlukan pengetahuan dan pemahaman produk dari sisi nasabah, sedangkan dari pihak perbankan harus
meningkatkan mutu pelayanan, termasuk kemudahan dalam bertransaksi sehingga meminimalkan biaya transaksi yang membebani nasabah, serta terus
mengembangkan produk sesuai kebutuhan masyarakat agar dapat memanfaatkan floating customer yang ada.
141
VII. KESIMPULAN DAN SARAN