2.4 Pengelolaan Kolaboratif
Upaya konservasi dengan pendekatan co-management telah banyak diterapkan dalam pengelolaan kawasan konservasi. Pengelolaan kolaboratif atau
co-management collaborative management disebut juga sebagai pengelolaan kooperatif
cooperative management,
round-table management,
share management, pengelolaan bersama joint management atau pengelolaan multi-
pihak multistakeholder management. Menurut Borrini-Feyerabend et al. 2000, collaborative management adalah suatu kondisi dimana dua atau lebih
stakeholder bernegosiasi, menetapkan dan memberikan garansi diantara mereka serta membagi secara adil mengenai fungsi pengelolaan, hak dan tanggungjawab
dari suatu daerah teritori atau sumberdaya alam tertentu. Stakeholder adalah mereka yang terlibat dan terpengaruh oleh kebijakan.
Pengelolaan secara kolaboratif atau co-management merupakan proses partisipatif yang melibatkan semua pemangku kepentingan secara aktif dalam
berbagai kegiatan pengelolaan. Co-management menjadi penting ketika tidak adanya kesepakatan yang dapat dibangun secara sederhana dan universal untuk
mendapatkan solusi terbaik dari konflik yang terjadi. Menurut Marshall 1995
dalam Tadjudin 2000, manajemen kolaborasi mampu mengakomodasikan
kepentingan-kepentingan seluruh stakeholder secara adil dan memandang harkat setiap stakeholder itu sebagai entitas yang sederajat sesuai dengan tata nilai yang
berlaku dalam rangka mencapai tujuan bersama. Co-management diperlukan karena menyangkut kompleksnya sub-sistem
ekologi, budaya, ekonomi dan politik dengan keterkaitan berbagai isu dan keterlibatan banyak kelompok kepentingan dalam masing-masing subsistemnya.
Penerapan co-management dibangun atas dasar kejelasan peran dan tanggungjawab. Menurut Kassa 2009 dalam Nistyantara 2011, prinsip co-
management yang dijadikan parameter adalah : 1 partisipasi stakeholders, 2 pengakuan terhadap hak masyarakat adat, 3 ada proses negosiasi, 4 ada
kejalasan hak dan tanggung jawab dari stakeholders, serta 5 ada konsensus yang disepakati oleh stakeholders inti.
Komitmen suatu kelompok untuk berkolaborasi tergantung pada kesepakatan diantara stakeholders. Komitmen merupakan pintu pada proses
panjang kolaborasi. Menurut Gray 1989 dalam Suporahardjo 2005, lima ciri penting yang menentukan proses kolaborasi meliputi :
1. Membutuhkan keterbukaan, karena dalam kolaborasi antara stakeholder harus saling memberi dan menerima untuk menghasilkan solusi bersama.
2. Menghormati perbedaan dan menjadikan sumber potensi kreatif untuk membangun kesepakatan.
3. Peserta dalam kolaborasi secara langsung bertanggung jawab untuk pencapaian kesepakatan tentang jalan keluar.
4. Membutuhkan satu jalan keluar yang disepakati untuk arahan interaksi diantara stakeholder dimasa depan.
5. Membutuhkan kesadaran bahwa kolaborasi adalah suatu proses daripada sebagai resep.
Kerjasama dari stakeholders dalam pengelolaan kawasan konservasi akan meringankan beban karena para pihak yang terkait akan saling bahu membahu
menyumbangkan sumberdaya yang dimilikinya berupa pengetahuan, tenaga, informasi maupun finansial. Mattessich et al. 2004 dalam Suharjito 2006
menyebutkan bahwa beberapa faktor penting yang menentukan keberhasilan kolaborasi antar pihak adalah :
1. Konteks sejarah hubungan antar pihak yang pernah ada. 2. Adanya saling menghormati, kesepahaman mutual understanding dan
kesepakatan tujuan yang hendak dicapai bersama, saling percaya trust antar pihak dan pembagian peran dan tanggung jawab setiap pihak.
3. Keterwakilan keanggotaan dari setiap kelompok masyarakat. 4. Pemenuhan kepentingan setiap pihak.
5. Frekuensi komunikasi. 6. Ketersediaan sumberdaya.
7. Kesetaraan.
Walaupun pendekatan kolaborasi telah memberikan kesuksesan dan manfaat dalam menyelesaikan masalah, tetapi dalam perjalanannya terdapat kendala
sebagai keterbatasan dari pendekatan kolaborasi. Menurut Gray 1989 dalam Suporahardjo 2005 beberapa kendala dalam kolaborasi, yaitu :
1. Komitmen kelembagaan tertentu menimbulkan disinsentif untuk berkolaborasi. 2. Sejarah hubungan yang dicirikan oleh interaksi permusuhan yang telah
berlangsung lama diantara dua pihak. 3. Dinamika perkembangan tingkat kemasyarakatan pendekatan kolaborasi lebih
sulit dipraktekkan ketika kebijakan rendah sekali perhatiannya dalam mempertimbangakan alokasi sumberdaya langka.
4. Perbedaan persepsi atas resiko. 5. Kerumitan yang bersifat teknis
6. Budaya kelembagaan dan politik. 7. Proses partisipasi masyarakat memberi partisipasi informasi yang mereka
butuhkan dengan cara yang bermakna.
BAB III METODE PENELITIAN