Bentuk dan Tingkat Partisipasi Stakeholders dalam Pengelolaan Cagar Biosfer Giam Siak Kecil-Bukit Batu (CB-GSK-BB), Provinsi Riau.

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Cagar biosfer adalah ekosistem daratan dan pesisir/laut atau kombinasi lebih dari satu tipe ekosistem, yang secara internasional diakui keberadaannya sebagai bagian dari Man and the Biosphere (MAB) Programme dari UNESCO (Statutory Framework of the World Network, of Biosphere Reserves-Kerangka Hukum Jaringan Cagar Biosfer Dunia). Cagar biosfer merupakan situs yang ditetapkan oleh MAB-UNESCO atas usulan suatu negara bertujuan untuk mempromosikan konservasi keanekaragaman hayati dan pembangunan berkelanjutan yang didukung oleh hasil kajian ilmu pengetahuan dan teknologi yang handal. Pengelolaan cagar biosfer dilakukan secara kolaboratif dengan melibatkan para pemangku kepentingan (stakeholders) dalam proses perencanaan hingga pengambilan keputusan dan penyelesaian permasalahan dalam rangka pengembangan yang berkelanjutan.

Konsep cagar biosfer telah mengalami perkembangan pesat, yaitu dari kawasan yang semula fokus utamanya konservasi berubah menjadi perpaduan antara konservasi dan pembangunan ekonomi berkelanjutan melalui peningkatan kerjasama antar pemangku kepentingan (collaborative management). Cagar biosfer memiliki tiga fungsi yang saling menunjang, yaitu: a) fungsi konservasi, untuk melestarikan sumber daya genetik, jenis, ekosistem dan lansekap; b) fungsi pembangunan, untuk memacu pembangunan ekonomi dan kesejahteraan manusia; dan c) fungsi pendukung logistik, untuk mendukung kegiatan penelitian dan pendidikan serta pelatihan lingkungan yang berhubungan dengan permasalahan konservasi dan pembangunan berkelanjutan di tingkat lokal, nasional dan dunia. Pengaturan pengelolaan cagar biosfer menggunakan pendekatan sistem pembagian wilayah (zonasi), yaitu area inti, zona penyangga dan area transisi.

Cagar Biosfer Giam Siak Kecil-Bukit Batu (CB-GSK-BB) merupakan satu dari tujuh cagar biosfer di Indonesia yang terletak di dua kabupaten, yaitu Kabupaten Bengkalis dan Kabupaten Siak di Propinsi Riau. CB-GSK-BB ditetapkan masuk jaringan cagar biosfer dunia pada tanggal 26 Mei 2009 dalam


(2)

sidang 21st Session of the International Coordinating Council of the Man and the Biosphere Proggramme (MABICC)-UNESCO di Jeju, Korea Selatan. CB-GSK-BB ini diprakarsai oleh pihak swasta yaitu Sinar Mas Forestry (SMF) dan didukung oleh Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Riau, Pemerintah Provinsi Riau dan Lembaga Ilmu Pengetahun Indonesia (LIPI). Cagar Biosfer GSK-BB tersebut mempunyai areal seluas 705.271 ha, terdiri atas areal inti 178.722 ha, zona penyangga 222.425 ha dan area transisi 304.123 ha. Area inti CB-GSK-BB terdiri atas dua Suaka Margasatwa (SM), yaitu SM Giam Siak Kecil seluas 84.000 ha dan SM Bukit Batu seluas 21.500 ha dan hutan produksi seluas 72.255 ha yang diperuntukkan sebagai kawasan yang dikonversi secara tetap oleh pihak swasta (Sinar Mas Forestry).

Pengelolaan CB-GSK-BB memerlukan persiapan, perencanaan dan upaya berkesinambungan yang membutuhkan waktu jangka panjang. Adanya Usulan Rencana Pengelolaan Cagar Biosfer Giam Siak Kecil-Bukit Batu tahun 2009-2013 dimaksudkan untuk memberikan panduan, kerangka dan acuan pengelolaan didasarkan pada prinsip multistakeholders management mengingat bervariasinya lansekap dan pemangkunya. Pengelolaan kolaboratif sangat diperlukan untuk mengakomodasikan kepentingan para pihak tanpa melupakan tujuan utama pengelolaan, yaitu keberlanjutan keberadaaan, fungsi dan manfaat sumberdaya alam hayati beserta ekosistemnya bagi kesejahteraan rakyat.

Menurut Gray (1989) dalam Suporahardjo (2005), kolaborasi adalah suatu proses dimana dua stakeholder atau lebih yang berbeda kepentingan dalam satu persoalan yang sama menjajagi dan bekerja melalui perbedaan–perbedaan untuk bersama-sama mencari pemecahan bagi keuntungan bersama. Perkembangan pendekatan kolaborasi muncul sebagai respon atas tuntutan kebutuhan akan manajemen pengelolaan sumberdaya yang baru, demokratis, lebih mengakui perluasan yang lebih besar atas dimensi manusia dalam mengelola pilihan-pilihan, mengelola ketidakpastian dan membangun kesepahaman, dukungan dan kepemilikan atas pilihan-pilihan bersama (Suporahardjo 2005).


(3)

1.2 Kerangka Pemikiran

Pengelolaan cagar biosfer mengalami perkembangan sejak dibentuk tahun 1970an dimana pada awalnya hanya memiliki fungsi konservasi dan fungsi penelitian. Pada tahun 1995 dalam Seville Strategy, pengelolaan kawasan cagar biosfer dibagi ke dalam tiga zonasi dan memiliki tiga fungsi cagar biosfer (konservasi, pembangunan ekonomi berkelanjutan dan logistic support). Pengelolaan yang semula fokus utamanya konservasi berubah menjadi perpaduan antara konservasi dan pembangunan ekonomi berkelanjutan melalui peningkatan kerjasama antar pemangku kepentingan (collaborative management).

Usulan rencana pengelolaan CB-GSK-BB tahun 2009-2013 yang disusun melalui pendekatan multistakeholders management untuk mengakomodasikan kepentingan para pihak tanpa melupakan tujuan utama pengelolaan. Partisipasi

stakeholders menjadi komponen penentu keberhasilan pengelolaan kolaboratif. Partisipasi dari tiap pihak pada tingkatan-tingkatan yang berbeda di dalam pengelolaan mencakup keterlibatan mental dan emosional, keterlibatan aktif dalam proses pengambilan keputusan pengalokasian sumberdaya untuk mencapai suatu tujuan, penggeraknya adalah kesediaan memberikan kontribusi dalam pengelolaan dan kesediaan turut bertanggung jawab (Slamet 2003). Partisipasi

stakeholders tersebut diwujudkan untuk menjaga penerapan konsep cagar biosfer agar tetap pada jalurnya demi tercapai tujuan pengelolaan CB-GSK-BB. Secara skematis kerangka pemikiran penelitian disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian.

Usulan Rencana Pengelolaan CB-GSK-BB tahun 2009-2013

“multistakeholders management”

Kepentingan dan pengaruh stakeholders

Bentuk dan tingkat partisipasi stakeholders Pengelolaan Cagar Biosfer


(4)

1.3 Perumusan Masalah

Pengelolaan CB-GSK-BB dengan prinsip "multistakeholders management" di dalam pelaksanaannya terdapat perbedaaan kepentingan, pengaruh dan upaya partisipasi stakeholders. Oleh karena hal tersebut, maka rumusan penelitian ini meliputi hal-hal sebagai berikut :

1. Siapa saja stakeholders yang terlibat dan apa saja kepentingannya dalam pengelolaan CB-GSK-BB ?

2. Seberapa besar pengaruh stakeholders terhadap pengelolaan CB-GSK-BB ? 3. Upaya-upaya partisipasi apa saja yang telah dilakukan stakeholders ?

1.4 Tujuan Penelitian

Penelitian ini memiliki tujuan untuk :

1. Mengidentifikasi serta menganalisis kepentingan dan pengaruh stakeholders

dalam pengelolaan CB-GSK-BB.

2. Mengklasifikasi stakeholders dalam pengelolaan CB-GSK-BB.

3. Mengidentifikasi bentuk dan menentukan tingkat partisipasi stakeholders

dalam pengelolaan CB-GSK-BB.

1.5 Manfaat Penelitian

Penelitian tentang bentuk dan tingkat partisipasi stakeholders diharapkan

dapat menjadi bahan pertimbangan untuk meningkatkan pengelolaan CB-GSK-BB.


(5)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Cagar Biosfer

Cagar biosfer adalah suatu kawasan meliputi berbagai tipe ekosistem yang ditetapkan oleh program MAB-UNESCO untuk mempromosikan konservasi keanekaragaman hayati dan pembangunan berkelanjutan yang didukung oleh kajian ilmu pengetahuan dan teknologi. Menurut UU Nomor 5 Tahun 1990 Pasal 1 Ayat (12) disebutkan bahwa cagar biosfer adalah suatu kawasan yang terdiri dari ekosistem asli, ekosistem unik dan/atau ekosistem yang telah mengalami degradasi keseluruhan unsur alamnya dilindungi dan dilestarikan bagi kepentingan penelitian dan pendidikan.

Cagar biosfer mempunyai tujuan untuk mewujudkan pengelolaan lahan, perairan tawar, laut dan sumber daya hayati secara terpadu, melalui program perencanaan bioregional yang mengintegrasikan konservasi keanekaragaman hayati ke dalam pembangunan berkelanjutan dan dapat dicapai melalui pengembangan sistem zonasi tepat. Sistem zonasi ini mencakup area inti (kawasan yang dilindungi secara ketat) yang dikelilingi oleh zona penyangga yang menekankan aspek konservasi (masyarakat tetap diperbolehkan tinggal dan bekerja) dan secara keseluruhan kawasan tersebut dikelilingi oleh area transisi, disebut juga wilayah kerjasama untuk mempromosikan pembangunan berkelanjutan.

Setiap cagar biosfer diharuskan memenuhi tiga fungsi yang saling menunjang, yaitu : fungsi konservasi, untuk melestarikan sumber daya genetik, jenis, ekosistem dan lansekap; fungsi pembangunan, untuk memacu pembangunan ekonomi dan kesejahteraan manusia; dan fungsi pendukung logistik, untuk mendukung kegiatan penelitian dan pendidikan serta pelatihan lingkungan yang berhubungan dengan permasalahan konservasi dan pembangunan berkelanjutan di tingkat lokal, nasional dan dunia.


(6)

2.2 Analisis Stakeholders

Stakeholders merupakan pihak-pihak mempengaruhi dan atau dipengaruhi kebijakan dan tindakan dengan kepentingan yang berbeda, baik individu, kelompok ataupun organisasi. Eden and Ackermann dalam Bryson (2004) menyebutkan bahwa stakeholders merupakan orang atau kelompok yang mempunyai power (kekuatan) untuk mempengaruhi secara langsung masa depan suatu organisasi.

Analisis stakeholders menurut Mayers (2005), yaitu mempelajari bagaimana manusia berhubungan satu sama lain dalam pemanfaatan sumberdaya alam dengan cara memisahkan peran stakeholders ke dalam rights (hak),

responsibilities (tanggungjawab), revenues (pendapatan) serta relationship

(menilai hubungan antar peran tersebut). Analisis stakeholders perlu dilakukan dengan : 1) mendefinisikan aspek-aspek fenomena alam dan sosial yang dipengaruhi oleh suatu keputusan atau tindakan; 2) mengidentifikasi individu, kelompok dan organisasi yang dipengaruhi atau mempengaruhi fenomena tersebut; dan 3) memprioritaskan individu dan kelompok untuk terlibat dalam proses pengambilan keputusan (Reed et al. 2009).

Analisis stakeholders mengklasifikasi pihak-pihak yang terlibat dalam pengelolaan. Menurut Colfer et al. (1999), untuk menentukan siapa yang perlu dipertimbangkan dalam analisis stakeholders, dilakukan dengan mengidentifikasi dimensi yang berkaitan dengan interaksi masyarakat terhadap hutan, dimana

stakeholders dapat ditempatkan berdasarkan beberapa faktor, yaitu:

1. Kedekatan dengan hutan, merupakan jarak tinggal masyarakat yang berhubungan dengan kemudahan akses terhadap hutan.

2. Hak masyarakat, hak-hak yang sudah ada pada kawasan hendaknya diakui dan dihormati.

3. Ketergantungan, merupakan kondisi yang menyebabkan masyarakat tidak mempunyai pilihan yang realistis untuk kelangsungan hidupnya sehingga mereka sangat bergantung dengan keberadaan hutan.

4. Kemiskinan, mengandung implikasi serius terhadap kesejahteraan manusia sehingga masyarakat yang miskin menjadi prioritas tujuan pengelolaan.


(7)

dalam menjaga kelestarian hutan.

6. Integrasi hutan/budaya, berkaitan dengan tempat-tempat keramat dalam hutan, sistem-sistem simbolis yang memberi arti bagi kehidupan dan sangat erat dengan perasaan masyarakat tentang dirinya. Selama cara hidup masyarakat terintegrasi dengan hutan, kelangsungan budaya mereka terancam oleh kehilangan hutan, sehingga mempunyai dampak kemerosotan moral yang berakibat pada kerusakan hutan itu sendiri.

7. Defisit kekuasaan, berhubungan dengan hilangnya kemampuan masyarakat lokal dalam melindungi sumberdaya atau sumber penghidupan mereka dari tekanan luar sehingga mereka terpaksa melakukan praktik-praktik yang merusak.

2.3 Partisipasi

Partisipasi merupakan keikutsertaan individu atau kelompok yang terlibat dalam upaya mencapai tujuan bersama dan turut bertanggung jawab terhadap upaya tersebut. Menurut Dephut (2006) mendefinisikan partisipatif sebagai keterlibatan dalam keseluruhan tahapan proses pembangunan kehutanan (pengambilan keputusan, perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi dan pemanfaatan hasil pembangunan) dengan memberikan kesempatan dan kedudukan yang setara dan dilaksanakan bersama masyarakat setempat.

Upaya-upaya partisipatif para stakeholders mempunyai kepentingan-kepentingan yang saling berbeda terhadap pengelolaan. Kendati demikian, banyak pemrakarsa upaya partisipatif tidak peka terhadap perbedaan-perbedaan antar kelompok. Menurut Kusumanto et al (2006), tantangan terbesar dalam upaya-upaya partisipatif adalah ketidakmampuan pelaksana upaya-upaya-upaya-upaya tersebut dalam menghadapi tuntutan-tuntutan yang beragam atas hutan melalui kolaborasi. Oleh karenanya, dibutuhkan cara untuk mendorong kerjasama. Sementara itu, Asngari (2001) menyatakan bahwa penggalangan partisipasi itu dilandasi adanya pengertian bersama dan adanya pengertian tersebut adalah karena diantara orang-orang itu saling berkomunikasi dan berinteraksi sesamanya. Dalam menggalang peran serta semua pihak itu diperlukan : (1) terciptanya suasana yang bebas atau demokratis, (2) terbinanya kebersamaan dan (3) mempunyai tujuan yang sama.


(8)

Terkait dengan partisipasi, Nanang dan Devung (2004) dalam Kassa (2009) lebih rinci mengembangkan konsep Wilcox menjadi beberapa tingkat, yaitu :

Tingkat 6. Mobilisasi dengan kemauan sendiri (self-mobilization), yaitu masyarakat mengambil inisiatif sendiri, jika perlu dengan bimbingan dan bantuan pihak luar. Mereka memegang kontrol atas keputusan dan pemanfaatan sumberdaya, pihak luar memfasilitasi mereka.

Tingkat 5. Kemitraan (partnership), yaitu masyarakat mengikuti seluruh proses pengambilan keputusan bersama dengan pihak luar, seperti studi kelayakan, perencanaan, implementasi, evaluasi dan lain-lain. Partisipasi merupakan hak mereka dan bukan kewajiban untuk mencapai sesuatu, ini disebut “partisipasi interaktif”.

Tingkat 4. Plakasi/berkonsiliasi (placation/consilliation), yaitu masyarakat ikut dalam proses pengambilan keputusan yang biasanya sudah diputuskan sebelumnya oleh pihak luar, terutama menyangkut hal-hal penting. Mereka mungkin terbujuk oleh insentif berupa uang, barang dan lain-lain.

Tingkat 3. Perundingan (consultation), yaitu pihak luar berkonsultasi dan berunding dengan masyarakat melalui pertemuan atau public hearing

dan sebagainya. Komunikasi dua arah, tetapi masyarakat tidak ikut serta dalam menganalisis atau mengambil keputusan.

Tingkat 2. Memberi informasi (information gathering), yaitu masyarakat menjawab pertanyaan yang diajukan oleh orang luar. Komunikasi searah dari masyarakat ke luar.

Tingkat 1. Mendapat informasi (informing), yaitu hasil yang diputuskan oleh orang luar (pakar, pejabat dan lain-lain) diberitahukan kepada masyarakat. Komunikasi terjadi satu arah dari luar ke masyarakat setempat.

Tingkat partisipasi masyarakat tersebut bermanfaat sebagai alat untuk menilai partisipasi nyata di lapangan. Pada dasarnya partisipasi yang sesungguhnya terdapat pada Tingkat 5 dan Tingkat 6.


(9)

2.4 Pengelolaan Kolaboratif

Upaya konservasi dengan pendekatan co-management telah banyak diterapkan dalam pengelolaan kawasan konservasi. Pengelolaan kolaboratif atau

co-management (collaborative management) disebut juga sebagai pengelolaan kooperatif (cooperative management), round-table management, share management, pengelolaan bersama (joint management) atau pengelolaan multi-pihak (multistakeholder management). Menurut Borrini-Feyerabend et al. (2000),

collaborative management adalah suatu kondisi dimana dua atau lebih

stakeholder bernegosiasi, menetapkan dan memberikan garansi diantara mereka serta membagi secara adil mengenai fungsi pengelolaan, hak dan tanggungjawab dari suatu daerah teritori atau sumberdaya alam tertentu. Stakeholder adalah mereka yang terlibat dan terpengaruh oleh kebijakan.

Pengelolaan secara kolaboratif atau co-management merupakan proses partisipatif yang melibatkan semua pemangku kepentingan secara aktif dalam berbagai kegiatan pengelolaan. Co-management menjadi penting ketika tidak adanya kesepakatan yang dapat dibangun secara sederhana dan universal untuk mendapatkan solusi terbaik dari konflik yang terjadi. Menurut Marshall (1995)

dalam Tadjudin (2000), manajemen kolaborasi mampu mengakomodasikan kepentingan-kepentingan seluruh stakeholder secara adil dan memandang harkat setiap stakeholder itu sebagai entitas yang sederajat sesuai dengan tata nilai yang berlaku dalam rangka mencapai tujuan bersama.

Co-management diperlukan karena menyangkut kompleksnya sub-sistem ekologi, budaya, ekonomi dan politik dengan keterkaitan berbagai isu dan keterlibatan banyak kelompok kepentingan dalam masing-masing subsistemnya. Penerapan co-management dibangun atas dasar kejelasan peran dan tanggungjawab. Menurut Kassa (2009) dalam Nistyantara (2011), prinsip co-management yang dijadikan parameter adalah : 1) partisipasi stakeholders, 2) pengakuan terhadap hak masyarakat adat, 3) ada proses negosiasi, 4) ada kejalasan hak dan tanggung jawab dari stakeholders, serta 5) ada konsensus yang disepakati oleh stakeholders inti.


(10)

Komitmen suatu kelompok untuk berkolaborasi tergantung pada kesepakatan diantara stakeholders. Komitmen merupakan pintu pada proses panjang kolaborasi. Menurut Gray (1989) dalam Suporahardjo (2005), lima ciri penting yang menentukan proses kolaborasi meliputi :

1. Membutuhkan keterbukaan, karena dalam kolaborasi antara stakeholder harus saling memberi dan menerima untuk menghasilkan solusi bersama.

2. Menghormati perbedaan dan menjadikan sumber potensi kreatif untuk membangun kesepakatan.

3. Peserta dalam kolaborasi secara langsung bertanggung jawab untuk pencapaian kesepakatan tentang jalan keluar.

4. Membutuhkan satu jalan keluar yang disepakati untuk arahan interaksi diantara

stakeholder dimasa depan.

5. Membutuhkan kesadaran bahwa kolaborasi adalah suatu proses daripada sebagai resep.

Kerjasama dari stakeholders dalam pengelolaan kawasan konservasi akan meringankan beban karena para pihak yang terkait akan saling bahu membahu menyumbangkan sumberdaya yang dimilikinya berupa pengetahuan, tenaga, informasi maupun finansial. Mattessich et al. (2004) dalam Suharjito (2006) menyebutkan bahwa beberapa faktor penting yang menentukan keberhasilan kolaborasi antar pihak adalah :

1. Konteks sejarah hubungan antar pihak yang pernah ada.

2. Adanya saling menghormati, kesepahaman (mutual understanding) dan kesepakatan tujuan yang hendak dicapai bersama, saling percaya (trust) antar pihak dan pembagian peran dan tanggung jawab setiap pihak.

3. Keterwakilan keanggotaan dari setiap kelompok masyarakat. 4. Pemenuhan kepentingan setiap pihak.

5. Frekuensi komunikasi. 6. Ketersediaan sumberdaya. 7. Kesetaraan.


(11)

Walaupun pendekatan kolaborasi telah memberikan kesuksesan dan manfaat dalam menyelesaikan masalah, tetapi dalam perjalanannya terdapat kendala sebagai keterbatasan dari pendekatan kolaborasi. Menurut Gray (1989) dalam

Suporahardjo (2005) beberapa kendala dalam kolaborasi, yaitu :

1. Komitmen kelembagaan tertentu menimbulkan disinsentif untuk berkolaborasi. 2. Sejarah hubungan yang dicirikan oleh interaksi permusuhan yang telah

berlangsung lama diantara dua pihak.

3. Dinamika perkembangan tingkat kemasyarakatan (pendekatan kolaborasi lebih sulit dipraktekkan ketika kebijakan rendah sekali perhatiannya dalam mempertimbangakan alokasi sumberdaya langka).

4. Perbedaan persepsi atas resiko. 5. Kerumitan yang bersifat teknis 6. Budaya kelembagaan dan politik.

7. Proses partisipasi masyarakat memberi partisipasi informasi yang mereka butuhkan dengan cara yang bermakna.


(12)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Cagar Biosfer Giam Siak Kecil-Bukit Batu (CB-GSK-BB), Provinsi Riau. Penelitian dilakukan pada bulan Juli-September 2011.

3.2 Objek dan Alat Penelitian

Objek penelitian ini adalah para pihak yang terkait (stakeholders) dalam pengelolaan CB-GSK-BB. Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat tulis, panduan wawancara, perekam suara dan kamera.

3.3 Jenis Data

Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui pengamatan di lapangan (observasi) dan hasil wawancara mendalam (indepth interview) dengan stakeholders. Data sekunder diperoleh dari penelusuran dokumen berupa buku, laporan hasil kegiatan dan laporan lainnya, untuk mengetahui keadaan umum lokasi (letak, luas, kondisi fisik, dan sosial ekonomi) dan data kependudukan (jumlah, tingkat pendidikan, mata pencaharian, potensi lahan dan sejarah kawasan) yang dilengkapi dengan data kehidupan sosial-budaya. Secara ringkas jenis, metode pengumpulan dan analisis data berdasarkan tujuanpenelitian disajikan dalam Tabel 1.


(13)

Tabel 1. Jenis, metode dan analisis data berdasarkan tujuan penelitian

Tujuan Penelitian Jenis Data Metode

Pengumpulan Data

Analisis Data Output yang diharapkan Mengidentifikasi

serta menganalisis kepentingan dan pengaruh

stakeholders dalam pengelolaan CB-GSK-BB

Kepentingan (interest) dan pengaruh

stakeholders

Observasi dan wawancara mendalam (indepth interview)

Analisis

stakeholders

Stakeholders,

kepentingan (interest) dan pengaruhnya dalam pengelolaan CB-GSK-BB Mengklasifikasi

stakeholders dalam pengelolaan CB-GSK-BB Nilai penting (importance) dan pengaruh stakeholders Observasi dan wawancara mendalam (indepth interview)

Analisis

stakeholders

Matriks nilai penting (importance) dan pengaruh Mengidentifikasi

bentuk dan

menentukan tingkat partisipasi

stakeholders dalam pengelolaan CB-GSK-BB Bentuk dan tingkat partisipasi stakeholders Observasi dan wawancara mendalam (indepth interview) Analisis deskripsi tingkat partisipasi Wilcox Deskripsi bentuk dan tingkat partisipasi stakeholders CB-GSK-BB

3.4. Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan beberapa cara sebagai berikut :

1) Observasi langsung. Dilakukan untuk mengecek atau mendapatkan gambaran langsung atas isu-isu yang muncul dari sumber sekunder ataupun wawancara (Mitchell et al. 2000). Observasi langsung untuk melihat secara langsung dan mengamati keadaan lingkungan daerah penelitian.

2) Wawancara mendalam. Metode wawancara dilakukan dengan cara wawancara mendalam (indepth interview), yaitu proses memperoleh keterangan atau informasi secara detail untuk tujuan penelitian melalui tanya jawab secara langsung dengan sumber (Sugiyono 2009) dengan daftar pertanyaan sebagai panduan (Colfer et al. 1999). Wawancara dilakukan terhadap informan kunci (key informan) yang dipilih secara purposive sampling dengan mempertimbangkan keterlibatannya dalam pengelolaan dan dianggap banyak mengetahui hal-hal yang berhubungan dengan penelitian.


(14)

3)Penelusuran pustaka. Studi pustaka sebagai pelengkap dari penggunaan metode wawancara, yaitu mengumpulkan hasil laporan kegiatan atau dokumen sejenisnya berupa data umum lokasi dan data pendukung lainnya.

3.5 Analisis Data

Data primer dan data sekunder yang diperoleh dari berbagai sumber (informan, hasil observasi lapangan dan dokumen) dengan berbagai jenisnya, kemudian dianalisis sesuai dengan karakteristik dan tujuan analisis data (Gambar 2), yaitu :

1. Analisis stakeholders untuk mengidentifikasi stakeholders, kepentingan dan pengaruh serta mengklasifikasi stakeholders.

2. Analisis tingkat partisipasi untuk mengidentifikasi bentuk dan mendeskripsikan tingkat partisipasi stakeholders dalam pengelolaan CB-GSK-BB.

Gambar 2 Tahapan penelitian.

Pengelolaan Cagar Biosfer

Co-management

Usulan Rencana Pengelolaan CB-GSK-BB tahun 2009-2013

“multistakeholdersmanagement”

Kepentingan dan pengaruh

stakeholders

Bentuk dan tingkat partisipasi stakeholders

Analisis Stakeholders: 1. identifikasi stakeholders

2. nilai penting & pengaruh 3. klasifikasi stakeholders

Analisis Deskripsi Tingkat Partisipasi: - Informasi

- Konsultasi/Perundingan - Kemitraan


(15)

3.5.1 Analisis stakeholders

Analisis stakeholders digunakan untuk mengidentifikasi stakeholders, mengetahui kepentingan dan pengaruh serta mengklasifikasi stakeholders dalam pengelolaan CB-GSK-BB. Identifikasi stakeholders merupakan proses yang dilakukan secara berulang hingga ditetapkan stakeholders yang benar-benar mengetahui pengelolaan CB-GSK-BB. Penentuan stakeholders, yang mempengaruhi dan/atau dipengaruhi suatu kebijakan dan tindakan dalam pengelolaan CB-GSK-BB, ditetapkan melalui kombinasi hasil observasi lapang dan wawancara.

Setelah para stakeholders teridentifikasi, maka langkah selanjutnya adalah mengkaji kepentingan dan pengaruhnya. Pada analisis ini dilakukan pencermatan terhadap faktor-faktor yang menjadi kebutuhan (Hartrisari 2007) dan pengaruh

stakeholders dalam pengelolaan CB-GSK-BB, yaitu kesesuaian terhadap kelestarian fungsi ekosistem CB-GSK-BB dalam pengelolaan CB-GSK-BB. Kategori fungsi ekosistem yang dikaji dalam penelitian ini (de Groot et al. 2002) adalah: fungsi regulasi, fungsi habitat, fungsi produksi, fungsi informasi, serta

carrier functions.

Langkah berikutnya yaitu mengelompokan dan membedakan antar

stakeholders berdasarkan posisinya terkait nilai penting dan pengaruhnya dalam pengelolaan CB-GSK-BB. Metode analisis yang digunakan yaitu menggunakan matriks pengaruh dan nilai penting. Menurut Groenendijk (2003), pengaruh (influence) merupakan kekuatan yang dimiliki stakeholders untuk mengontrol pengambilan keputusan, memfasilitasi pelaksanaanya atau bahkan memaksa untuk melaksanakan keputusan yang diambil tersebut. Sementara itu, nilai penting (importance) menunjukkan prioritas stakeholders dalam pengelolaan CB-GSK-BB yang memberikan kepuasan pada kebutuhan dan kepentingannya.

Penyusunan matriks pengaruh dan nilai penting dilakukan atas dasar pada deskripsi pernyataan informan yang dinyatakan dalam ukuran kuantitatif (skor), dan selanjutnya dikelompokkan menurut kategorinya. Penetapan skoring mengacu pada model yang dikembangkan oleh Abbas (2005), yaitu pengukuran data berjenjang lima (Tabel 2).


(16)

Tabel 2. Ukuran kuantitatif nilai penting (importance) dan pengaruh stakeholders

Skor Kriteria Keterangan

Nilai Penting (Importance) Stakeholders

5 Sangat tinggi Sangat relevan terhadap pengelolaan CB-GSK-BB 4 Tinggi Relevan terhadap pengelolaan CB-GSK-BB 3 Cukup tinggi Cukup relevan terhadap pengelolaan CB-GSK-BB 2 Kurang tinggi Kurang relevan terhadap pengelolaan CB-GSK-BB 1 Rendah Tidak relevan terhadap pengelolaan CB-GSK-BB

Pengaruh Stakeholders

5 Sangat tinggi Sangat mampu mempengaruhi pengelolaan CB-GSK-BB 4 Tinggi Mampu mempengaruhi pengelolaan CB-GSK-BB 3 Cukup tinggi Cukup mampu mempengaruhi pengelolaan CB-GSK-BB 2 Kurang tinggi Kurang mampu mempengaruhi pengelolaan CB-GSK-BB 1 Rendah Tidak mampu mempengaruhi pengelolaan CB-GSK-BB

Kriteria yang digunakan untuk mengukur nilai penting (importance)

stakeholders dilakukan berdasarkan relevansi kepentingannya dengan fungsi ekosistem CB-GSK-BB. Skor tinggi diberikan kepada stakeholders yang menjadi sasaran pengelolaan, stakeholders yang kebutuhan dan harapan-harapannya relevan dengan fungsi ekosistem, serta stakeholders yang menentukan keberhasilan pengelolaan fungsi ekosistem CB-GSK-BB. Fungsi ekosistem yang dikaji dalam penelitian ini adalah: fungsi regulasi, fungsi habitat, fungsi produksi, fungsi informasi, serta carrier functions (de Groot et al. 2002), dijelaskan sebagai berikut:

1) Fungsi regulasi; yaitu nilai penting stakeholders terhadap kelestarian fungsi ekosistem CB-GSK-BB dalam mengatur proses-proses ekologis serta sistem pendukung kehidupan yang bermanfaat, seperti pemeliharaan penyediaan air bersih, perlindungan tanah dari erosi, kualitas udara serta jasa ekologi lainnya. 2) Fungsi habitat; yaitu nilai penting stakeholders terhadap kelestarian fungsi

ekosistem CB-GSK-BB sebagai tempat berlindung dan berkembangbiaknya berbagai flora dan fauna. Fungsi habitat ini ditekankan pada kebutuhan ruang yang dapat memelihara keanekaragaman biotik dan genetik.

3) Fungsi produksi; yaitu nilai penting stakeholders terhadap kelestarian berbagai sumberdaya, untuk memenuhi kebutuhan sumber pangan, bahan baku


(17)

(contohnya kayu untuk bangunan rumah), sumber genetik (contohnya obat-obatan) dan sumberdaya energi (kayu bakar).

4) Fungsi informasi; yaitu nilai penting stakeholders terhadap kelestarian ekosistem alam CB-GSK-BB yang memberikan kontribusi bagi pemeliharaan kesehatan manusia, menyediakan tempat untuk berefleksi menikmati pemandangan alam, ekowisata serta pendidikan.

5) Carrier function; yaitu nilai penting stakeholders terhadap kelestarian ekosistem CB-GSK-BB dalam menyediakan ruang untuk beraktivitas seperti lahan/tanah dalam kawasan CB-GSK-BB, sarana jalan dan areal wisata.

Sementara itu, pengaruh stakeholders terhadap pengelolaan CB-GSK-BB diukur berdasarkan instrumen dan sumber kekuatan, sebagaimana yang disebutkan oleh Galbraith (1983) dalam Reed et al. (2009) sebagai berikut : a. Instrumen kekuatan :

1) Condign power, yaitu pengaruh stakeholders tertentu karena memiliki kemampuan memberikan hukuman/sanksi yang sepadan/selayaknya terhadap stakeholders lain. Pengaruh ini diperoleh melalui emosi, keuangan, ancaman fisik, sanksi adat, sanksi hukum atau sanksi lainnya.

2) Compensatory power, yaitu pengaruh stakeholders yang diperoleh melalui kemampuan dalam mengkompensasi stakeholders lainnya melalui simbolisasi, keuangan, serta penghargaan berupa materi, seperti pemberian gaji/upah, bribes/sogokan, pemberian bantuan dana penyangga atau pemberian sebidang lahan.

3) Conditioning power, yaitu pengaruh yang diperoleh melalui manipulasi kepercayaan atau pembentukan opini dan informasi, misalnya melalui kelompok yang sepadan, norma budaya, pendidikan atau propaganda.

b. Sumber kekuatan :

1) Personality power and property power, yaitu pengaruh yang diperoleh berdasarkan kepribadian, kepemimpinan seseorang (kharisma, kekuatan fisik, kecerdasan mental atau pesona seseorang) atau kepemilikan/kekayaan. 2) Organisation power, yaitu pengaruh dari suatu organisasi karena memiliki


(18)

Setelah data jawaban stakeholders teridentifikasi terhadap tingkat nilai penting dan pengaruhnya, selanjutnya disusun ke dalam matriks pengaruh dan nilai penting. Menurut Eden and Ackermann (1998) dalam Bryson (2004), matriks pengaruh dan kepentingan disusun untuk mengklasifikasi stakeholders ke dalam key players, context setters, subjects dan crowd (Gambar 3).

NI

L

AI

PENT

ING tin

g

g

i

Subjects Key players

ren

d

ah Crowd Context setters

rendah tinggi PENGARUH

Sumber : dengan modifikasi dari Eden & Ackermann (1998) dalam Bryson (2004) Gambar 3 Matriks nilai penting (importance) dan pengaruh.

Posisi pada kuadran menggambarkan ilustrasi kategori masing-masing

stakeholders dalam pengelolaan CB-GSK-BB, yaitu subjects (nilai penting tinggi tetapi pengaruh rendah), key players (nilai penting dan pengaruh tinggi), context setters (nilai penting rendah tetapi pengaruh tinggi) dan crowd (nilai penting dan pengaruh rendah). Stakeholders kunci adalah subjects, key players dan context setters, karena mereka cukup signifikan mempengaruhi pengelolaan CB-GSK-BB (Groenendjik 2003). Sementara stakeholders yang berada pada crowd,

mendapatkan perhatian dan prioritas yang rendah atau bisa diabaikan dari aktifitas pengelolaan CB-GSK-BB.

3.5.2 Analisis tingkat partisipasi stakeholders

Untuk mengetahui tingkat partisipasi stakeholders yang dilaksanakan dalam pengelolaan CB-GSK-BB, maka dilakukan analisis menggunakan matriks partisipasi terhadap siklus pengelolaan (Tabel 3). Partisipasi stakeholders dalam pengelolaan CB-GSK-BB dianalisis dari tingkat yang terendah, yaitu stakeholders

hanya sekedar mendapatkan dan/atau memberikan informasi, kemudian konsultasi/perundingan dimana stakeholders berkonsultasi dan berunding melalui pertemuan dan terjadi komunikasi dua arah, tetapi ada stakeholders


(19)

yang tidak ikut serta dalam menganalisis atau mengambil keputusan. Tingkat partisipasi stakeholders yang lebih tinggi yaitu kemitraan, dimana setiap

stakeholders mengikuti seluruh proses pengambilan keputusan bersama sampai dengan stakeholders memegang kontrol secara penuh atas keputusan dan tindakan dalam pengelolaan CB-GSK-BB.

Tabel 3. Matriks partisipasi stakeholders CB-GSK-BB

Siklus Pengelolaan

Tingkat Partisipasi Informasi Konsultasi/

Perundingan Kemitraan Kontrol Identifikasi /

inventarisasi Perencanaan Pelaksanaan Pemantauan dan Evaluasi


(20)

BAB IV

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

4.1 Kondisi Fisik 4.1.1 Letak geografis

Wilayah Cagar Biosfer Giam Siak Kecil-Bukit Batu (CB-GSK-BB) secara astronomis berada diantara 101 11’ - 10210’ Bujur Timur dan 00 44’ - 01 11’

Lintang Utara. Batas sebelah selatan dan timur adalah batas alam jembatan Sungai Mandau di Balai Pungut ke hilir sampai Teluk Lancang di Sungai Siak sampai muaranya di Selat Panjang. Batas sebelah utara adalah batas alam pantai Selat Bengkalis, serta batas sebelah barat adalah jalan antara Guntung sampai Duri hingga jembatan Balai Pungut di Sungai Mandau (Gambar 4). Secara administratif CB-GSK-BB terletak di wilayah Kabupaten Bengkalis dan Kabupaten Siak (merupakan kabupaten pemekaran dari Kabupaten Bengkalis). Sebelum terjadi pemekaran, Kabupaten Bengkalis terdiri atas 9 (sembilan) kecamatan tetapi setelah adanya pemekaran, kabupaten ini hanya terdiri dari 5 (lima) kecamatan, yaitu: (1) Pinggir, (2) Bukit Batu, (3) Siak Kecil, (4) Mandau dan (5) Bengkalis. Sedangkan nama kecamatan yang masuk ke dalam wilayah Kabupaten Siak adalah: (1) Siak, (2) Sungai Apit, (3) Minas dan (4) Sungai Mandau.

Sumber : Sinar Mas Forestry (2008)


(21)

4.1.2 Luas kawasan

Berdasarkan Proposal Management Plan CB-GSK-BB (MAB Indonesia 2008), luas areal CB-GSK-BB sekitar 705.271 ha yang terbagi dalam wilayah Kabupaten Bengkalis sekitar 70% dan Kabupaten Siak sekitar 30% (Tabel 4). Khusus untuk area inti seluas ±178.722 ha, yang masuk dalam wilayah Kabupaten Bengkalis 121.963 ha (68%) dan Kabupaten Siak 56.759 ha (32%). Luas kawasan berdasarkan zonasinya terbagi dalam area inti, penyangga dan transisi. Berikut penjelasan luasan zonasi dengan status lahannya.

a. Area Inti (Core Area)

Area inti memiliki luas sekitar 178.722 ha (25%), merupakan perpaduan antara hutan konservasi dan hutan produksi alam yang tidak dikonversi. Perpaduan ini merupakan sesuatu yang baru di Indonesia, mengingat enam cagar biosfer yang telah ada seluruhnya dengan area inti yang berstatus sebagai Taman Nasional. Kawasan hutan penyusun area inti CB-GSK-BB terdiri dari Suaka Margasatwa Giam Siak Kecil seluas sekitar 84.967 ha, Suaka Margasatwa Bukit Batu seluas sekitar 21.500 ha, dan areal hutan produksi kelompok usaha Sinar Mas Forestry dengan luas sekitar 72.255 ha (PT. Dexter Timber Perkasa Indonesia 31.475 ha, PT. Satria Perkasa Agung 23.383 ha, PT Sekato Pratama Makmur 12.302 ha, dan PT. Bukit Batu Hutani Alam 5.095 ha).

b. Zona Penyangga (Buffer Zone)

Zona penyangga memiliki luas sekitar 222.425 ha (32%), sebagian besar terdiri atas hutan tanaman industri dan sebagian kecil lahan lainnya. Zona penyangga dengan luas sekitar 195.259 ha ini mencakup areal hutan tanaman industri (HTI) kelompok usaha Sinar Mas Forestry, yaitu : PT. Arara Abadi, PT. Balai Kayang Mandiri, PT. Bukit Batu Hutani Alam, PT. Riau Abadi Lestari, PT. Sakato Pratama Makmur, PT. Satria Perkasa Agung dan sebagian kecil areal non Sinar Mas Forestry.

c. Area Transisi (Transition Area)

Wilayah area transisi memiliki luas sekitar 304.123 ha (43%). Sebagian besar adalah lahan non konsesi hutan dan sebagian kecil areal hutan tanaman Sinar Mas Forestry seluas sekitar 5.665 ha. Area transisi di sebelah selatan dan timur dibatasi oleh batas alam Sungai Mandau-Sungai Siak sampai muaranya di


(22)

Selat Panjang, sebelah utara adalah batas alam pantai Selat Bengkalis serta sebelah barat dibatasi oleh jalan antara Guntung sampai Duri hingga jembatan Sungai Mandau di Balai Pungut.

Tabel 4. Rincian luas CB-GSK-BB

No. USULAN

KABUPATEN/KOTA

TOTAL Bengkalis Dumai Siak

(hektar) 1 Area Inti

a.Sinar Mas Forestry dan Mitra Usahanya b.SM Bukit Batu c. SM Giam Siak Kecil

Jumlah : 57.058 21.500 43.405 121.963 (68 %) - 15.197 41.562 56.759 (32 %) 72.255 21.500 84.967 (25%) 178.722

(100 %) 2 Zona Penyangga

a.Sinar Mas Forestry b.Non Sinar Mas Forestry

Jumlah : 150.954 23.386 174.239 (78 %) 4.015 - 4.015

( 2 %)

40.290 3.881 44.171 (20 %) 195.259 27.166 (32%) 222.425

(100 %) 3 Area Transisi

a.Non Sinar Mas Forestry b.Sinar Mas Forestry

Jumlah : 173.156 - 173.156 (57 %) 22.288 - 22.288 (7 %) 103.014 5.665 108.679 (36 %) 298.456 5.665 ( 43%) 304.123

(100 %) TOTAL 467.644

(66 %)

26.303 (4 %)

204.656 (30 %)

(100%) 705.271 (100 %)

4.1.3 Aksesibilitas

Kota terdekat dengan CB-GSK-BB adalah Siak Sri Indrapura dan Bengkalis. Batas luar CB-GSK-BB terdiri atas jalan raya, sungai dan pantai sehingga relatif mudah dijangkau. Pekanbaru menuju Ibukota Provinsi Riau dapat dijangkau melalui jalan darat dan air. Transportasi udara dengan penerbangan reguler hanya sampai di Pekanbaru. Sementara itu, Pekanbaru ke Siak Sri Indrapura dapat ditempuh melalui darat dan sungai, dengan kendaraan darat perlu waktu sekitar 2 jam sedangkan dengan menyusuri Sungai Siak menggunakan

speedboat dapat ditempuh selama sekitar 2 jam. Pekanbaru ke Bengkalis dicapai dengan speedboat melalui Sungai Siak selama sekitar 3 jam.

Aksesibilitas ke area inti relatif lebih sulit karena harus melalui sungai kecil, tidak selebar dan sedalam Sungai Siak, atau melalui jalan darat dengan kondisi jalan yang kurang baik. Akses melalui darat dapat melalui jalan raya Pekanbaru-Duri dan masuk ke jalan yang dibangun Sinar Mas Forestry, menuju area inti melalui Desa Tasik Serai dan Tasik Betung dengan lama perjalanan sekitar 6 jam.


(23)

4.1.4 Topografi

Keadaan topografi lansekap CB-GSK-BB sebagian besar merupakan dataran dengan ketinggian dari 0-50 mdpl. Daerah yang agak tinggi berada di sekitar Melibur dan Bagan Mence. Sebagian besar merupakan tanah organosol, yaitu jenis tanah yang banyak mengandung bahan organik.

4.1.5 Iklim

Secara garis besar iklim di lansekap CB-GSK-BB adalah iklim tropis pantai Sumatera yang sangat dipengaruhi oleh kondisi dan situasi laut dengan temperatur berkisar 26°-32°C. Musim hujan biasa terjadi diantara bulan September hingga Januari dengan curah hujan rata-rata berkisar antara 809-4.078 mm/tahun. Periode kering (musim kemarau) biasanya terjadi diantara bulan Februari hingga Agustus. 4.1.6 Hidrologi

Sistem perairan dan sungai di provinsi Riau masih mempunyai peran vital baik dari aspek ekonomi, sosial dan ekologi. Ketinggian muka air di Sungai Mandau, Sungai Siak bagian hilir dan Sungai Siak Kecil sangat penting untuk dijaga agar transportasi dan kegiatan ekonomi tidak terganggu. Pemahaman sistem hidrologi di hutan rawa gambut sangat penting karena peranan vitalnya dalam menjaga dan mengatur siklus hidrologi. Secara hidrologis lansekap rawa gambut CB-GSK-BB berperan sebagai busa untuk sirkulasi air tanah dan memasok air serta mencegah banjir dan mencegah intrusi air asin. Gambut CB-GSK-BB terutama di bagian timur SM Bukit Batu mempunyai bentuk klasik, yaitu kubah (dome) yang lebih dalam pada bagian tengah dan lebih dangkal pada bagian pinggirnya. Bentuk kubah ini sangat berarti untuk tandon air (aquifer) terutama di musim kemarau karena kemampuan gambut menyerap air tergantung pada ketebalan, kualitas dan densitasnya. Sebelah utara dan timur laut terdapat tumpukan gambut yang besar, dilaporkan sebagai gambut terdalam di Sumatera.

Selain itu, keberadaan ”tasik” (danau kecil-sumber air alami, Gambar 5) di sepanjang sungai, sangat unik untuk lansekap GSK yang merupakan contoh evolusi dari danau/genangan dystrophic yang merupakan area amblesan. Tasik mempunyai fungsi ekonomi bagi masyarakat sekitar karena merupakan sumber ikan untuk dikonsumsi.


(24)

Sumber : Sinar Mas Forestry (2008)

Gambar 5 Tasik dalam area inti CB-GSK-BB.

Oleh karena itu, pengelolaan sistem hidrologi di lansekap ini harus memperhitungkan kegiatan manusia yang dapat berdampak negatif terhadap ekosistem hutannya. Konversi hutan alam menjadi hutan tanaman dan lahan budidaya non-kehutanan lainnya yang umumnya menggunakan teknik pembuatan kanal-kanal untuk menghilangkan genangan air dan mempercepat mineralisasi lapisan gambut, dapat berdampak mengeringnya gambut lapisan atas. Gambut permukaan yang kering rentan terhadap kebakaran dan sulit untuk dipadamkan.

4.2 Biologi dan Ekologi 4.2.1 Ekosistem

Area inti CB-GSK-BB terdiri ekosistem hutan rawa, hutan rawa gambut serta ekosistem perairan dan tasik (Gambar 6). Area zona penyangga, sebagian besar merupakan hutan tanaman industri Sinar Mas Forestry.

Sumber : Sinar Mas Forestry (2008)


(25)

Ekosistem hutan rawa gambut di kawasan Suaka Margasatwa Giam Siak Kecil dan Suaka Margasatwa Bukit Batu telah mengalami gangguan, baik penebangan liar maupun perambahan lahan untuk pembukaan ladang dan pemukiman. Laporan LIPI (2008a) menyebutkan bahwa hutan yang relatif masih utuh berada diantara Suaka Margasatwa Giam Siak Kecil dan Suaka Margasatwa Bukit Batu, indikatornya adalah masih dijumpainya beberapa jenis pohon utama yang berukuran cukup besar.

4.2.2 Flora

Studi struktur dan komposisi flora di area inti CB-GSK-BB dilakukan oleh LIPI pada tahun 2007. LIPI (2008a) melaporkan sedikitnya terdapat 189 jenis tumbuhan yang tergolong dalam 113 marga dan 59 suku. Jumlah tersebut termasuk 3 jenis dari kelompok tumbuhan paku (Pteridophyta) yaitu paku sarang burung (Asplenium nidus), paku pedang (Nephrolepis radicans) dan paku udang (Stenochlaena palustris). Sisanya sebanyak 186 jenis termasuk dalam tumbuhan berbunga (Spermatophyta) yang tergolong dalam 110 marga dan 56 suku.

Berdasarkan kondisi fisik dan sifat hidupnya, sebagian besar jenis tumbuhan tergolong dalam kelompok pepohonan sebanyak 166 jenis, semak dan belukar 20 jenis serta liana hanya 3 jenis. Kelompok epifit hanya 5 jenis yang umumnya adalah jenis anggrek. Anggrek biasa tumbuh di media gambut pada lokasi terbuka pinggir kanal.

4.2.3 Fauna

Ekosistem hutan rawa gambut mempunyai variasi kekayaan jenis fauna tersendiri. Banyak jenis kelompok mamalia yang kurang menyenangi tingginya permukaan air yang selalu menggenang selama musim hujan dan pasang naik, kecuali berang-berang (Lutra sumatrana) yang memang lebih banyak hidup di perairan. LIPI (2008a) melaporkan kelompok mamalia besar yang pernah ditemui diantaranya adalah beruang madu (Helarctos malayanu), rusa sambar (Cervus unicolor), monyet ekor panjang (Macaca fasciculari), beruk (Macaca nemestrina), lutung kelabu (Trachypithecus cristatus) dan ungko (Hylobates agilis). Menurut masyarakat setempat, masih dijumpai harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae) dan gajah (Elephas maximus) yang termasuk jenis dilindungi dan terdaftar dalam CITES Appendix 1 dan 2.


(26)

Kawasan lansekap Siak Kecil mempunyai kekayan jenis burung yang tinggi. Wetlands International melaporkan tidak kurang dari 156 jenis burung memanfaatkan daerah ini. Dua diantaranya merupakan jenis yang tergolong langka, yaitu bangau storm (Ciconia stormi) dan enggang (Rhyticeros corrugatus). Terdapat 17 jenis yang terdaftar dalam Appendix II CITES diantaranya adalah elang-alap cina (Accipiter soloensis), elang-alap jambul (Accipiter trivirgatus), elang-alap jepang (Accipiter gularis), kangkareng perut putih (Anthracoceros albirostris) dan elang brontok (Spizaetus cirrhatus).

Keanekaragaman jenis amfibia dan reptilia tergolong tidak tinggi. Studi awal amfibia oleh LIPI (2008a) menunjukan bahwa jumlah jenisnya hanya 11 jenis, kodok buduk (Pseudobufo subasper) adalah yang paling dominan di area inti CB-GSK-BB. Jumlah reptilia terdapat 9 jenis ular dari 133 jenis dan 3 jenis kadal dari 73 jenis yang terdapat di Sumatera. Beberapa jenis reptilia yang ditemukan diantaranya adalah ular cabe (Maticora intestinalis), ular viper wagleri (Tropidolaemus wagleri), labi-labi (Amyda cartilaginea) dan buaya senyulong (Tomistoma schlegelii). Untuk kelompok ikan, paling tidak ditemukan 30 jenis yang sebagian besar tergolong ikan rawa gambut dan hanya beberapa jenis yang juga mampu hidup di perairan umum non-gambut. Hampir semua jenis ikan yang terdapat di daerah ini adalah jenis ikan yang dapat dikonsumsi oleh masyarakat. Beberapa diantaranya adalah ikan yang mempunyai nilai ekonomi tinggi, yaitu tapah (Wallago attu), toman (Channa sp.), kepar (Ballontia hasseltii), slays (Kryptopterus macrocephalus) dan sejenis mujair (Helostoma temminckii). Selain jenis ikan konsumsi, ada beberapa jenis yang merupakan ikan hias diantaranya dari genus Rasbora.

Kelompok fauna yang belum banyak diinventarisasi adalah kelompok

crustacea dan mollusca serta insecta. Sebagai langkah awal LIPI (2008a) melakukan penelian khusus tentang ngengat (kupu-kupu malam). Hasil penelitian menunjukkan bahwa keanekaragaman jenis ngengat khususnya di daerah SM Giam Siak Kecil, Blok Tasik Betung dan Hutan Produksi Alam Sinar Mas Forestry adalah relatif rendah, hanya mencapai 162 spesies dari 18 Famili.


(27)

4.3 Sosial Ekonomi dan Budaya 4.3.1 Kondisi masyarakat

Informasi kondisi masyarakat sekitar didapat dari laporan LIPI (2008b) yang melakukan penelitian di lima desa pada empat lokasi kecamatan yang berada di dua kabupaten, sudah dapat mencerminkan keterwakilan dan variasi kondisi sosial ekonomi serta budaya masyarakat yang ada di CB-GSK-BB. Adapun rincian desa penelitian tersebut dapat dilihat pada Tabel 5 dan posisi di peta dapat dilihat pada Gambar 7.

Tabel 5. Lokasi dan struktur masyarakat desa

Sumber: LIPI (2008)

Sumber: LIPI (2008)

Gambar 7 Peta lokasi desa-desa penelitian LIPI. 4.3.2 Sosial ekonomi

Mata pencaharian penduduk masih terkait dengan subsisten pertanian, terutama perkebunan sawit, karet dan perikanan (Tabel 6). Masyarakat lokal telah lama berkebun karet (Hevea brasiliensis) yang diintroduksi di masa penjajahan

Desa Kecamatan Kabupaten Posisi

Tasik Betung Sungai Siak Sebagian berada di area inti Tasik Serai Sungai Kecil Bengkalis Mendekati ke area inti Tasik Serai Timur Pinggir Bengkalis Sebagian berada di area inti Sumber Jaya Mandau Bengkalis Mendekati ke area inti Tanjung Leban Bukit Batu Bengkalis Mendekati ke area inti


(28)

Belanda. Perkebunan kelapa sawit baru diintroduksi beberapa puluh tahun terakhir. Etnis Melayu cenderung menanam karet, sedang pendatang etnis Batak dan Jawa lebih memilih menanam sawit dengan luas berkisar antara 2-3 ha.

Tabel 6. Mata pencaharian utama penduduk di sekitar CB-GSK-BB

Komoditas Tasik

Betung Tasik Serai

Tasik Serai

Timur Sumber Jaya

Tanjung Leban

Kelapa Sawit √ √ √ √ √

Karet √ √ √ - √

Ikan √ √ √ - -

Sumber: LIPI (2008)

Infrastruktur yang tersedia di lima desa penelitian masih sangat terbatas. Ketersediaan infrastruktur seperti jalan, jembatan, listrik, pasar ataupun perbankan masih kurang untuk mendukung aktivitas kehidupan mereka. Di beberapa desa, kurangnya infrastruktur yang tersedia telah mendorong inisiatif penduduk untuk membangun infrastruktur dengan kondisi dan kualitas seadanya. Misalnya saja di Desa Tasik Serai dan Tasik Serai Timur, dengan difasilitasi oleh pedagang dari luar daerah, penduduk di kedua desa itu telah berhasil membangun pasar yang beroperasi seminggu sekali. Demikian halnya yang terjadi pada Dusun Air Raja (Desa Tanjung Leban), secara swadaya warga di dusun itu berhasil membangun jembatan yang dapat dilalui sepeda motor.

4.3.3 Kearifan masyarakat lokal

Informasi yang diperoleh penelitian LIPI (2008b) di desa penelitian, menunjukkan bahwa pada dasarnya budaya suku Melayu asli yang tinggal di sekitar hutan cukup adaptif dengan lingkungan. Hubungan antara masyarakat dengan hutan dan ladang tidaklah bercorak eksploitatif. Artinya, meskipun masyarakat tersebut aktivitas pekerjaannya memang membuka ladang berpindah karena didorong oleh faktor lingkungan alam yang kurang subur, namun dalam membuka ladang itu areal yang dimanfaatkan hanya sebatas kemampuan mereka, yaitu antara satu sampai dua hektar untuk memenuhi kebutuhan subsistensi ekonomi mereka. Meskipun demikian, rotasi perpindahan ladang masyarakat asli lebih menunjukkan pola keteraturan antara satu ladang dengan ladang lainnya. Misalnya masyarakat asli desa Tasik Serai Timur dalam membuat ladang,


(29)

senantiasa melibatkan anggota keluarga secara luas, ayah, anak dan saudara-saudara yang lain.

Ladang yang dibuka oleh orang yang paling tua senantiasa diletakkan pada posisi paling kanan, demikian seterusnya sampai pada anggota keluarga yang paling muda. Pada saat membuka ladang, mereka senantiasa mengukur kemampuan dan kebutuhan mereka. Sewaktu hutan alam masih luas, mereka selalu berpindah-pindah selama tujuh putaran. Dengan demikian, paling tidak selama tujuh tahun mereka senantiasa berpindah-pindah tempat perladangan untuk kemudian kembali ke tempat awal. Semakin sempitnya hutan di sekitar tempat mereka tinggal, menyebabkan putaran perladangan berpindah hanya dilakukan selama tiga kali, bahkan saat ini semakin sulit masyarakat melakukan perladangan berpindah.

Pemahaman tentang kondisi sosial, ekonomi dan budaya masyarakat di dalam lansekap CB-GSK-BB sangat penting, terutama Kabupaten Bengkalis dan Kabupaten Siak. Keterlibatan masyarakat dan dukungannya dalam pengelolaan cagar biosfer menentukan keberhasilan pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan.


(30)

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5. 1 Cagar Biosfer Giam Siak Kecil Bukit Batu (CB-GSK-BB)

Cagar Biosfer Giam Siak Kecil Bukit Batu (CB-GSK-BB) merupakan ekoregion hutan rawa gambut (peat-swamp forest) Sumatera dengan

keistimewaan banyaknya “tasik” (danau kecil) di dalamnya. Keunikan dan

kekhasan CB-GSK-BB dijadikan sebagai suatu model lansekap pembangunan berkelanjutan di Provinsi Riau, yang mempunyai fungsi utama sebagai penyangga kehidupan melalui perannya dalam menjaga keseimbangan ekohidrologi dan pelestarian sumber plasma nutfah, menjadi stasiun penelitian lapangan unggulan untuk mengembangkan potensi keanekaragaman hayati hutan rawa gambut, dan sebagai upaya pemanfaatan lestari yaitu wahana peningkatan ekowisata yang berlandaskan keindahan, keunikan dan kemurnian alam dan budayanya, serta upaya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sekitarnya. CB-GSK-BB diharapkan dapat melestarikan dan menghasilkan nilai-nilai alami dan budaya melalui pengelolaan yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, sesuai dengan kreatifitas budaya dan diterapkan secara berkelanjutan.

CB-GSK-BB perlu mempunyai rencana pengelolaan yang tepat karena lansekapnya sangat layak dikembangkan untuk mengimplementasikan pembangunan berkelanjutan. Adanya Usulan Rencana Pengelolaan CB-GSK-BB Tahun 2009-2013 dimaksudkan untuk memberikan arah, kerangka, panduan, dan

acuan kegiatan kepada pengelola Cagar Biosfer yang bersifat “multistakeholders

management” mengingat bervariasinya lansekap dan pemangkunya. Pengaturan

pengelolaannya menggunakan pendekatan atau sistem pembagian wilayah (zonasi), yaitu area inti, zona penyangga dan area transisi. Berikut kegiatan pengelolaan berdasarkan dari setiap zonasi.

a. Area Inti (Core Area)

Area inti cagar biosfer harus mempunyai esensi perlindungan hukum berjangka panjang agar kelestarian keanekaragaman hayatinya dapat terjamin. Perlindungan hukum bukan hanya yang berstatus hukum formal seperti suaka margasatwa yang ditetapkan oleh pemerintah, namun dapat pula perlindungan


(31)

adat dan kesepakatan masyarakat dengan berskala waktu yang panjang. Kawasan hutan alam berstatus sebagai hutan produksi yang tidak dikonversi menjadi non hutan alam, dapat dijadikan area inti Cagar Biosfer. Penunjukkan kawasan sebagai area inti Cagar Biosfer tidak akan mengubah status hukum yang telah ada. Kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan di area inti adalah penelitian, pendidikan, pemantauan ekosistem, dan kegiatan lain yang tidak mengubah dan merusak ekosistem alami, seperti: usaha pemanfaatan jasa lingkungan penyerapan karbon dan wisata alam.

b. Zona Penyangga (Buffer Zone)

Zona penyangga Cagar Biosfer umumnya mengelilingi atau bersebelahan dengan area inti untuk melindungi area inti ini dari dampak negatif kegiatan manusia. Berbagai kegiatan yang secara ekologi dapat dipertanggungjawabkan dapat dilaksanakan di zona ini, seperti penelitian, pelatihan dan pendidikan serta rekreasi sejenis ekowisata (ecotourism). Kegiatan pemanfaatan yang berkelanjutan dari sumberdaya alam yang dapat diperbaharui seperti pengelolaan hutan lestari, agroforestry, usaha budidaya dan penanaman lain yang berkelanjutan pun masih dapat dilakukan.

c. Area Transisi (Transition Area)

Wilayah terluar dan terluas dari cagar biosfer adalah area transisi, umumnya terdapat berbagai kegiatan budidaya dari pemangku kepentingan dan masyarakat. Area transisi adalah lokasi untuk menerapkan berbagai model pembangunan berkelanjutan, dimana masyarakat setempat, lembaga-lembaga konservasi, organisasi masyarakat, kelompok budaya, pengusaha-pengusaha swasta dan pemangku kepentingan lain bekerja sama untuk mengelola dan mengembangkan sumber daya daerah yang bersangkutan. Area transisi merupakan lokasi di mana pengembangan cagar biosfer diperkenalkan melalui kerjasama antara pengelola cagar biosfer, pemerintah, pemerintah daerah, dunia usaha, lembaga swadaya masyarakat, pemilik lahan, peneliti, penyuluh, tokoh-tokoh masyarakat, serta pemangku kepentingan lain. Kejelasan batas luar area transisi ini menjadi sangat penting dalam kaitannya mengidentifikasi para pemangku kepentingan yang berada di wilayah CB-GSK-BB.


(32)

5.2 Stakeholders CB-GSK-BB

Stakeholders Cagar Biosfer Giam Siak Kecil Bukit Batu (CB-GSK-BB) yaitu individu, kelompok atau organisasi yang mempengaruhi atau dipengaruhi oleh kebijakan dan tindakan dalam pengelolaan CB-GSK-BB. Menurut Race dan Miller (2006) pemangku kepentingan (stakeholders) didefinisikan sebagai individu, masyarakat, atau organisasi yang secara potensial mempengaruhi atau dipengaruhi oleh suatu kegiatan atau kebijakan. Pihak-pihak tersebut (stakeholders) memiliki pengaruh dan kepentingan yang berbeda-beda, untuk itu terlebih dahulu perlu diketahui siapa saja stakeholders yang berpengaruh terhadap pengelolaan serta bagaimana kepentingannya dalam pengelolaan CB-GSK-BB. 5.2.1 Identifikasi stakeholders

Tahap pertama dari analisis stakeholders adalah identifikasi stakeholders.

Colfer et al. (1999a, 1999b) menyebutkan bahwa untuk menentukan siapa yang perlu dipertimbangkan dalam analisis stakeholders dilakukan dengan mengidentifikasi dimensi yang berkaitan dengan interaksi masyarakat dengan hutan. Hasil identifikasi stakeholders berdasarkan hasil telaah dari Keputusan Gubernur Riau (SKpts. Nomor 920/V/2010) tentang Pembentukan Badan Koordinasi Pengelolaan CB-GSK-BB dan ditambah dengan hasil pengamatan di lapangan menggunakan teknik purposive sampling dilihat dari keterlibatan

stakeholders dalam pengelolaan CB-GKS-BB menghasilkan 31 stakeholders. Keterlibatan tersebut dikarenakan dapat mempengaruhi/dipengaruhi oleh suatu kebijakan dan tindakan dalam pengelolaan CB-GSK-BB (Tabel 7). Stakeholders

diklasifikasikan ke dalam 7 kelompok yakni unsur masyarakat (kepala desa), pemerintah pusat, pemerintah daerah (provinsi dan kabupaten), LSM, Perguruan Tinggi, perusahaan dan Majelis Ilmiah.

Stakeholders unsur masyarakat yakni kepala desa terdiri dari Kepala Desa Tasik Betung, Kepala Desa Tasik Serai Timur, Kepala Desa Tasik Serai, Kepala Desa Temiang dan Kepala Desa Tanjung Leban. Sebagai stakeholders, masyarakat akan dipengaruhi oleh kebijakan dan tindakan yang dilakukan dalam pengelolaan CB-GSK-BB. Tempat tinggal yang berdekatan dengan kawasan hutan (zona inti CB-GSK-BB) dan secara emosional, baik dalam mencukupi kebutuhan sehari-hari dan nilai-nilai budaya yang dimiliki, sangat bergantung dan


(33)

dipengaruhi oleh keberadaan hutan. Berdasarkan data LIPI (2008), mata pencaharian penduduk pada kelima desa tersebut sebagian besar masih terkait dengan subsisten pertanian, terutama perkebunan sawit, karet dan perikanan. Ketergantungan masyarakat kepada lahan hutan sudah terjadi sejak orangtua mereka dahulu membuka lahan sesuai dengan kebutuhan mereka dengan melakukan peladangan berpindah. Masyarakat lokal (etnis Melayu) telah lama berkebun karet (Hevea brasiliensis) yang diintroduksi di masa penjajahan Belanda. Perkebunan kelapa sawit baru dimulai beberapa tahun terakhir sejak banyak pendatang (etnis Batak dan Jawa). Oleh karenanya, masyarakat berkepentingan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan meningkatkan kesejahteraannya dengan bergantung pada kawasan hutan.

Tabel 7. Stakeholders pengelolaan CB-GSK-BB

No Stakeholders Keterangan 1 Kepala Desa Tasik Betung (KTB) Dipengaruhi 2 Kepala Desa Tasik Serai Timur (KTST) Dipengaruhi 3 Kepala Desa Tasik Serai (KTS) Dipengaruhi 4 Kepala Desa Temiang (KTG) Dipengaruhi 5 Kepala Desa Tanjung Leban (KTL) Dipengaruhi 6 Badan Penyuluhan dan Ketahanan Pangan Bengkalis(BPKPB) Dipengaruhi 7 Badan Lingkungan Hidup Bengkalis (BLHB) Mempengaruhi 8 Dinas Kehutanan dan Perkebunan Bengkalis (DHKB) Mempengaruhi 9 Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Bengkalis ((DBWB) Mempengaruhi 10 Dinas Kehutanan dan Perkebunan Siak (DHKS) Mempengaruhi 11 Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Siak (DBWS) Mempengaruhi 12 Badan Lingkungan Hidup Siak (BLHS) Mempengaruhi 13 Badan Penyuluhan dan Ketahanan Pangan Siak (BPKPS) Mempengaruhi

14 Yayasan Penyelamatan Harimau Sumatera (YPHS) Mempengaruhi/dipengaruhi 15 Siak Cerdas (SC) Mempengaruhi/dipengaruhi 16 Dinas Kehutanan Provinsi Riau (DHR) Mempengaruhi

17 Dinas Perkebunan Provinsi Riau (DKR) Mempengaruhi 18 Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Riau (DILR) Mempengaruhi 19 Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Riau (DBWR) Mempengaruhi 20 Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Riau (BPDR) Mempengaruhi 21 Badan Lingkungan Hidup Provinsi Riau (BLHR) Mempengaruhi 22 Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Riau (BPPR) Mempengaruhi

23 Universitas Lancang Kuning (UNILAK) Mempengaruhi/dipengaruhi 24 Universitas Islam Riau (UIR) Mempengaruhi/dipengaruhi 25 Universitas Riau (UNRI) Mempengaruhi/dipengaruhi 26 Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Riau (BBKSDA) Mempengaruhi

27 Majelis Ilmiah (MI) Mempengaruhi/dipengaruhi 28 Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Mempengaruhi/dipengaruhi 29 Sinar Mas Forestry (SMF) Mempengaruhi

30 Ditjen PHKA Kementerian Kehutanan (PHKA) Mempengaruhi 31 Komite Nasional MAB-Indonesia (MAB) Mempengaruhi


(34)

Direktorat Jenderal Perlidungan Hutan dan Konservasi Alam (Ditjen PHKA) Kementerian Kehutanan dan Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Riau sangat memiliki kepentingan yang tinggi terhadap kelestarian fungsi ekosistem CB-GSK-BB. Sesuai dengan tupoksi yang diembannya,

stakeholders tersebut bertangungjawab dalam pengelolaan Suaka Margasatwa (SM) Giam Siak Kecil dan SM Bukit Batu yang merupakan zona inti CB-GSK-BB. Sehingga pengelolaan CB-GSK-BB secara umum tidak bisa terlepaskan dari

stakeholders ini.

Pengelolaan setiap kegiatan yang berhubungan dengan program pemerintah daerah berada pada instansi terkait, baik Dinas di Provinsi Riau maupun di kabupaten (Siak dan Bengkalis). Instansi pemerintah daerah, seperti Dinas Kehutanan, Badan Lingkungan Hidup, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata serta beberapa dinas lainnya memiliki kesamaan misi yang berkaitan dengan pengelolaan CB-GSK-BB antara lain pemberdayaan masyarakat dalam suatu kegiatan pengelolaan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Hal ini menyebabkan stakeholders pemerintah mempengaruhi kebijakan yang diputuskan serta tindakan yang akan dilakukan dalam pengelolaan CB-GSK-BB.

Perguruan Tinggi yang terlibat adalah Universitas Lancang Kuning, Universitas Islam Riau dan Universitas Riau. Ketiga perguruan tinggi ini merupakan stakeholders yang mempengaruhi atau dipengaruhi oleh kebijakan dan tindakan dalam pengelolaan CB-GSK-BB. Universitas tersebut memiliki kepentingan yang sama dalam melaksanakan pendidikan lingkungan serta meningkatkan wawasan dan pengetahuan masyarakat terhadap pelestarian fungsi ekosistem hutan.

Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang turut berperan dalam pengelolaan CB-GSK-BB adalah Yayasan Penyelamatan Harimau Sumatera (YPHS) dan Siak Cerdas (SC). Kedua LSM tersebut melaksanakan kegiatannya dibidang pemberdayaan masyarakat melalui penyuluhan, pendidikan, pelatihan dan advokasi kebijakan dalam pengelolaan hutan. YPHS dan SC dapat mempengaruhi maupun dipengaruhi oleh kebijakan pengelolaan CB-GSK-BB.

Sinar Mas Forestry (SMF) sebagai pihak swasta yang menginisiasi terbentuknya CB-GSK-BB memiliki kepentingan yang sangat tinggi terhadap


(35)

keseimbangan fungsi ekosistem yakni upaya pelestarian dan pemanfaatan sumberdaya alam hayati. SMF memiliki peranan yang dominan dikarenakan faktor pengaruh yang dimiliki perusahaan, seperti kemampuan dalam memberikan kompensasi, jumlah anggaran yang dimiliki dan kapasitas organisasi perusahaan. Hal tersebut menyebabkan stakeholder ini mempengaruhi kebijakan yang diputuskan serta tindakan yang akan dilakukan dalam pengelolaan CB-GSK-BB.

Majelis Ilmiah, LIPI dan Komite Nasional Man and Biosphere (MAB) UNESCO-Indonesia memiliki kepentingan yang sama dalam pengembangan keilmuan melalui kegiatan-kegiatan penelitian sumberdaya alam hayati, kehidupan sosial, ekonomi dan nilai-nilai budaya masyarakat yang berada pada CB-GSK-BB. Majelis Ilmiah dan LIPI merupakan stakeholders yang dapat mempengaruhi maupun dipengaruhi kebijakan pengelolaan CB-GSK-BB. Sedangkan Komite Nasional MAB sesuai dengan tupoksi yang diemban,

stakeholder ini mempengaruhi kebijakan yang diputuskan serta tindakan yang akan dilakukan dalam pengelolaan CB-GSK-BB.

Ketiga puluh satu stakeholders di atas merupakan pihak-pihak yang mempunyai keterkaitan dengan pengelolaan CB-GSK-BB. Stakeholders inilah yang memegang peranan penting dalam pengelolaan CB-GSK-BB. Peranan masing-masing stakeholders dijabarkan lebih lanjut dalam konteks kepentingan (interest), nilai penting (importance) dan pengaruh (influence).

5.2.2 Kepentingan (interest) stakeholders

Pelaksanaan pengelolaan CB-GSK-BB melibatkan stakeholders atau pihak yang berkepentingan dan terkait, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Stakeholders tersebut merupakan bagian dari sistem pengelolaan yang masing-masing memiliki kepentingan (interest) tersendiri terhadap mekanisme pengelolaan CB-GSK-BB. Tabel 8 menunjukkan bahwa dari 31 stakeholders

terdapat beberapa kepentingan yang sinergi ataupun tidak sinergi dengan fungsi-fungsi ekosistem (regulasi, habitat, produksi, informasi dan carrier) dan tujuan pengelolaan CB-GSK-BB, yaitu : (1) Kontribusi konservasi lansekap, ekosistem, jenis dan plasma nutfah serta pelestarian keragaman nilai budaya; (2) Menyuburkan pembangunan ekonomi yang berkelanjutan baik secara ekologi maupun budaya; dan (3) Mendukung logistik untuk penelitian, pemantauan,


(36)

pendidikan dan pelatihan yang terkait dengan masalah konservasi dan pembangunan berkelanjutan di tingkat lokal, regional, nasional maupun global. Tabel 8. Kepentingan (interest) stakeholders terkait dengan fungsi ekosistem dan tujuan pengelolaan CB-GSK-BB

No

Stake-holders Kepentingan (interest)

Fungsi Ekosistem Tujuan Pengelolaan R H P I C T1 T2 T3 1 KTB -Menginginkan lahan

berkebun untuk warga

-Perlindungan hutan larangan masyarakat (SM GSK)

-Pengembangan potensi desa

-Peningkatan kesejahteraan warga

- Kejelasan tata batas kawasan hutan (SM) dengan lahan warga - + - - + + + - + +

2 KTST -Kejelasan hak-hak lahan warga (klaim kepemilikan lahan)

-Pelibatan aparatur desa dan warga dalam pengambilan keputusan pengelolaan

-Aturan, papan larangan dan tata batas kawasan

-Pelestarian fungsi hutan (habitat satwa)

-Meningkatkan pendapatan masyarakat - + - + + + + + + + +

3 KTS -Informasi berkenaan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Riau

-Kejelasan antara lahan warga, areal perusahaan dan batas kawasan

-Menjaga homerange harimau di sekitar dusun Bagan Benio

-Meningkatkan kesejahteraan masyarakt - + - + + + +

4 KTG -Penjagaan dan perlindungan hutan

-Pengembangan potensi kawasan (wisata alam)

-Meningkatkan keterampilan warga (alternatif pendapatan)

+ + + + + + + + + +

5 KTL -Pengembangan potensi wisata di Bukit Sembilan

-Perbaikan jalan untuk mobilisasi hasil kebun

-Pelibatan dalam pengelolaan

+ +

+


(37)

No

Stake-holders Kepentingan (interest)

Fungsi Ekosistem Tujuan Pengelolaan R H P I C T1 T2 T3 6 BPKPB -Koordinasi pihak pemerintah

dan perusahaan

-Peningkatan kuantitas dan kualitas SDM penyuluh kehutanan

+

7 BLHB -Melaksanakan program-program upaya penyelamatan lingkungan

-Pelatihan masyarakat dalam pencegahan dan

menanggulangi kebakaran hutan

-Intensitas pertemuan dan koordinasi antarpihak

+ + + + + +

+

8 DHKB -Meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya fungsi kawasan hutan

-Pencegahan illegal logging

dan perambahan lahan

-Peraturan daerah (Perda) di bidang perkebunan dan kehutanan

-Koordinasi stakeholders di provinsi dan kabupaten

+ + + + + +

+

9 DBWB -Pengembangan ecotourism di CB-GSK-BB

-Pendidikan pengenalan sumber kekayaan hayati kepada masyarakat luas

-Koordinasi pengelolaan

+

+

+ +

+

10 DHKS -Adanya sinkronisasi dan keselarasan dari pemangku kebijakan (antara Dirjen PHKA dengan BUK) dalam pengelolaan kawasan dan pemberian izin penggunaan kawasan

-Peningkatan pengamanan kawasan

-Pemberdayaan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar kawasan

+ + + + + +

+

11 DBWS - Mengembangkan program kepariwisataan berkenaan dengan pengelolaan CB-GSK-BB

-Koordinasi pihak-pihak terkait


(38)

No

Stake-holders Kepentingan (interest)

Fungsi Ekosistem Tujuan Pengelolaan R H P I C T1 T2 T3 12 BLHS -Melaksanakan kegiatan upaya

penyelamatan lingkungan dan kebakaran hutan dan lahan

-Adanya partisipasi dari segenap pihak (Pemda, perusahaan, LSM dan masyarakat)

+ + + + + +

+

13 BPKPS -Meningkatkan produktivitas pangan masyarakat sekitar

-Koordinasi pengelolaan

+

14 YPHS -Melakukan upaya-upaya perlindungan dan penyelamatan Harimau Sumatera

-Menjaga kelestarian habitat Harimau Sumatera

-Meningkatkan kesadaran masyarakat untuk tidak membunuh Harimau Sumatera

+ +

+

15 SC -Pelibatan masyarakat secara aktif dalam pengelolaan kawasan

-Penguatan hak-hak masyarakat terhadap SDA dan advokasi kebijakan dalam pengambilan

keputusan oleh stakeholders -Peningkatan kualitas

pengetahuan masyarakat

+

+

+

16 DHR - Koordinasi rencana pengelolaan CB-GSK-BB

-Pengendalian kawasan hutan

-Pengawasan terhadap pemanfaatan Hutan Produksi di zona inti (restorasi ekosistem)

+ + + + + + +

17 DKR -Optimalisasi lahan perkebunan

-Menjaga keseimbangan lingkungan

+

18 DILR -Peningkatan kesejahteraan masyarakat nelayan sekitar kawasan

+

19 DBWR -Penyebaran informasi program kepariwisataan

-Pengembangan desa-desa wisata

-Pelatihan kreatifitas lokal untuk meningkatkan pendapatan masyarakat

-Koordinasi rencana pengelolaan CB-GSK-BB

+

+ +


(39)

No

Stake-holders Kepentingan (interest)

Fungsi Ekosistem Tujuan Pengelolaan R H P I C T1 T2 T3 20 BPDR -Keseimbangan fungsi

ekosistem CB-GSK-BB

-Kontribusi ekonomi kawasan bagi pembangunan daerah

-Meningkatkan kualitas kesejahteraan masyarakat

-Adanya mekanisme komunikasi antar

stakeholders yang dilaksanakan rutin dan intensif

+ + + + + +

+

+

21 BLHR -Pencegahan kebakaran hutan dan lahan

-Model keterpaduan pengelolaan ekosistem

-Pendidikan lingkungan bagi masyarakat

-Koordinasi pengelolaan

+ + +

+

+ +

+

22 BPPR -Peningkatan kualitas pengetahuan masyarakat

-Pengkajian dan pelestarian plasma nutfah dan sdah

+

+

+

23 ULK -Meningkatan mutu pendidikan

-Menjalin kerjasama dengan institusi akademis lainnya

+

24 UIR -Melakukan kegiatan-kegiatan penelitian di CB-GSK-BB

-Menjalin kerjasama dengan institusi akademis lainnya di bidang penelitian

-Meningkatan pemberdayaan

masyarakat +

+

25 UNRI -Pelibatan peran akademis dalam pengelolaan

-Meningkatkan kualitas pengetahuan masyarakat

+

26 BBKSDA -Melaksanakan pengelolaan kawasan konservasi, yaitu SM Giam Siak Kecil dan SM Bukit Batu

-Melaksanakan upaya konservasi tumbuhan dan satwa liar, baik di dalam habitatnya (konservasi in-situ) maupun di luar habitatnya (konservasi ex-situ)

-Optimalisasi fungsi CB-GSK-BB (pelestarian dan

pemanfaatan)

-Keberlanjutan dan sinergitas pengelolaan

-Penguatan Badan Koordinasi pengelolaan kolaborasi + + + + + + + + + + + + + +


(40)

Keterangan : R: fungsi regulasi; H: fungsi habitat; P: fungsi produksi; I: fungsi informasi; C: fungsi carrier; T1: Konservasi; T2: Pembangunan ekonomi berkelanjutan; T3: Logistic support

(pendidikan dan penelitian); (+): sinergi; (-): tidak sinergi; ( ): tidak terkait.

Terkait dengan hasil dari analisis kepentingan stakeholders tersebut, pada prinsipnya masing-masing stakeholders memiliki kepentingan yang bersifat spesifik. Hal ini berhubungan dengan kewenangan, otoritas, peran, manfaat yang diinginkan dan tanggung jawab yang terdapat pada masing-masing stakeholders

terkait pengelolaan CB-GSK-BB. Dari analisis tersebut dapat disimpulkan bahwa

No

Stake-holders Kepentingan (interest)

Fungsi Ekosistem Tujuan Pengelolaan R H P I C T1 T2 T3 27 MI -Pengembangan keilmuan

terkait pengelolaan CB-GSK-BB

-Mendukung kegiatan-kegiatan penelitian pada CB-GSK-BB

+

+

+

28 LIPI -Pengumpulan data keanekaragaman hayati

-Penelitian/kajian potensi dan masalah sosial ekonomi serta budaya masyarakat

-Meningkatkan pemberdayaan masyarakat + + + + +

29 SMF -Penguatan komitmen perusahaan

-Tercapainya keseimbangan fungsi kawasan (pelestarian dan pemanfaatan)

-Koordinasi rencana pengelolaan

-Kontribusi stakeholders

+ + + + + + +

+

30 PHKA -Perumusan

kebijakan/peraturan pemerintah tentang pengelolaan Cagar Biosfer

-Penguatan kelembagaan pengelolaan

-Keberlanjutan pembiayaan pengelolaan

-Adanya mekanisme komunikasi intensif antar

stakeholders

+

31 MAB -Melaksanakan Seville

Strategy dan pedoman

MAB-UNESCO

-Mengarahkan pihak-pihak yang terkait dalam pengelolaan

-Tercapainya tujuan pengelolaan CB-GSK-BB (sustainable development)

+


(1)

Lampiran 2. Panduan wawancara analisis pengaruh stakeholders PANDUAN WAWANCARA UNTUK ANALISIS

PENGARUH STAKEHOLDERS

NO PERTANYAAN JAWABAN

1 Bagaimana pengaruh kelayakan Anda dalam memberikan sanksi? seperti melalui: sanksi finansial, ancaman fisik, sanksi hukum, sanksi adat, atau sanksi lainya 2 Bagaimana pengaruh kekuatan

mengkompensasi Anda?

Pengaruh yang diperoleh melalui simbolik, kekuatan uang dan penghargaan berupa materi seperti pemberian gaji/upah, pemberian bantuan, pemberian sebidang lahan atau pemberian lainnya. 3 Bagaimana pengaruh kondisi

kekuatan Anda?

Pengaruh yang diperoleh melalui opini, massa dan kepercayaan, yaitu melalui kelompok yang sepadan, norma budaya, pendidikan atau propaganda. 4 Bagaimana pengaruh kekuatan

Anda?

Pengaruh yang diperoleh melalui: kharisma atau pesona seseorang, kekuatan fisik dan kecerdasan mental dan kekayaan.

5 Bagaimana pengaruh sumber kekuatan Anda?

Pengaruh yang diperoleh dari: jumlah anggaran, kapasitas kelembagaan, jejaring kerja, dan SDM.


(2)

69

Lampiran 3. Panduan wawancara analisis tingkat partisipasi stakeholders PANDUAN WAWANCARA

ANALISIS TINGKAT PARTISIPASI STAKEHOLDERS

NO PERTANYAAN JAWABAN

1 Apakah Anda mendapat informasi (informing) terkait pengelolaan CB-GSK-BB?

bentuk dan sumber informasi yang didapat (sebutkan) 2 Apakah Anda memberikan

informasi (information gathering) terkait pengelolaan CB-GSK-BB kepada pihak lain?

bentuk dan sasaran informasi yang diberikan (sebutkan) 3 Apakah Anda pernah melakukan

perundingan (consultation) dengan pihak lain dalam pertemuan atau forum diskusi? hal-hal apa yang dibahas dan hasil pertemuan (sebutkan)

4 Apakah Anda berkonsiliasi

(consilliation),

ikut dalam proses pengambilan keputusan yang biasanya sudah diputuskan sebelumnya oleh pihak lain,

hal-hal apa yang diputuskan (sebutkan)

5 Apakah Anda bermitra (partnership),

terlibat dalam seluruh proses pengambilan keputusan yang berpengaruh terhadap pengelolaan CB-GSK-BB? dan

bagaimana keterlibatan dalam tahapan pengelolaan:

identifikasi/pengamatan;

perencanaan; pelaksanaan sampai pemantauan dan evaluasi?

6 Apakah anda memegang kontrol (self-mobilization) secara penuh atas keputusan dan tindakan dalam pengelolaan CB-GSK-BB?


(3)

Lampiran 4. Panduan penilaian nilai penting

1. Bagaimanakah kepentingan Anda terhadap fungsi regulasi CB-GSK-BB? Skor 5 : jika kepentingan terhadap fungsi regulasi ekosistem meliputi

penyediaan air bersih, kualitas udara, perubahan iklim dan gangguan kerusakan

Skor 4 : jika menyebutkan tiga saja Skor 3 : jika menyebutkan dua saja Skor 2 : jika menyebutkan salah satu saja Skor 1 : tidak memiliki kepentingan regulasi

2. Bagaimanakah kepentingan Anda terhadap fungsi habitat CB-GSK-BB?

Skor 5 : jika kepentingan terhadap fungsi habitat meliputi tempat tinggal, berlindung, berkembangbiaknya berbagai flora dan fauna, serta kebutuhan ruang yang dapat memelihara keanekaragaman biotik dan genetik.

Skor 4 : jika menyebutkan tiga saja Skor 3 : jika menyebutkan dua saja Skor 2 : jika menyebutkan salah satu saja Skor 1 : tidak memiliki kepentingan habitat

3. Bagaimanakah kepentingan Anda terhadap fungsi produksi CB-GSK-BB? Skor 5 : jika kepentingan terhadap fungsi produksi meliputi berbagai

sumberdaya untuk memenuhi sumber pangan, bahan baku (misalnya kayu untuk bangunan rumah), sumber genetik (misalnya obat-obatan) dan sumberdaya energi (kayu bakar).

Skor 4 : jika menyebutkan tiga saja Skor 3 : jika menyebutkan dua saja Skor 2 : jika menyebutkan salah satu saja Skor 1 : tidak memiliki kepentingan produksi

4. Bagaimanakah kepentingan Anda terhadap fungsi informasi CB-GSK-BB? Skor 5 : jika kepentingan terhadap fungsi informasi meliputi tempat untuk

berefleksi/ekowisata, kebudayaan, nilai spiritul serta pendidikan dan pengetahuan

Skor 4 : jika menyebutkan tiga saja Skor 3 : jika menyebutkan dua saja Skor 2 : jika menyebutkan salah satu saja Skor 1 : tidak memiliki kepentingan informasi

5. Bagaimanakah kepentingan Anda terhadap fungsi carrier CB-GSK-BB? Skor 5 : jika kepentingan terhadap fungsi carrier meliputi lahan/tanah,

tempat tinggal, sarana transportasi (jalan) dan areal wisata. Skor 4 : jika menyebutkan tiga saja

Skor 3 : jika menyebutkan dua saja Skor 2 : jika menyebutkan salah satu saja Skor 1 : tidak memiliki kepentingan carrier


(4)

71

Lampiran 5. Panduan penilaian tingkat pengaruh

1. Bagaimanakah pengaruh kelayakan instansi/lembaga Bapak?

Skor 5 : jika pengaruh kelayakan diperoleh melalui sanksi finansial, sanksi ancaman fisik, sanksi hukum atau sanksi lainnya

Skor 4 : jika menyebutkan tiga saja Skor 3 : jika menyebutkan dua saja Skor 2 : jika menyebutkan salah satu saja Skor 1 : tidak memiliki pengaruh kelayakan

2. Bagaimanakah pengaruh kekuatan kompensasi instansi/lembaga Bapak ? Skor 5 : jika pengaruh kompensasi diperoleh melalui pemberian

penghargaan, pemberian gaji/ upah, pemberian bantuan/ kegiatan, pemberian sebidang lahan, atau pemberian lainnya

Skor 4 : jika menyebutkan tiga saja Skor 3 : jika menyebutkan dua saja Skor 2 : jika menyebutkan salah satu saja Skor 1 : tidak memiliki pengaruh kompensasi

3. Bagaimanakah pengaruh kondisi kekuatan instansi/lembaga Bapak?

Skor 5 : jika pengaruh kondisi diperoleh melalui kekuatan opini, norma budaya, pendidikan, propaganda/iklan atau lainnya

Skor 4 : jika menyebutkan tiga saja Skor 3 : jika menyebutkan dua saja Skor 2 : jika menyebutkan salah satu saja Skor 1 : tidak memiliki pengaruh kondisi

4. Bagaimanakah pengaruh kekuatan kepribadian Bapak?

Skor 5 : jika pengaruh kepribadian diperoleh melalui kekuatan pesona seseorang/kharisma, kekuatan fisik, kecerdasan mental, kekayaan atau lainnya.

Skor 4 : jika menyebutkan tiga saja Skor 3 : jika menyebutkan dua saja Skor 2 : jika menyebutkan salah satu saja

Skor 1 : tidak memiliki pengaruh kekuatan personality

5. Bagaimanakah pengaruh kekuatan organisasi dari instansi/lembaga Bapak? Skor 5 : jika pengaruh organisasi diperoleh melalui jumlah anggaran,

kapasitas kelembagaaan/kesesuaian bidang fungsi (tuposi), jejaring kerja, SDM atau lainnya.

Skor 4 : jika menyebutkan tiga saja Skor 3 : jika menyebutkan dua saja Skor 2 : jika menyebutkan salah satu saja


(5)

YASSER PRAMANA. Bentuk dan Tingkat Partisipasi Stakeholders dalam Pengelolaan Cagar Biosfer Giam Siak Kecil-Bukit Batu (CB-GSK-BB), Provinsi Riau. Dibimbing oleh SAMBAS BASUNI dan Y. PURWANTO.

Cagar Biosfer Giam Siak Kecil-Bukit Batu Riau (CB-GSK-BB) merupakan ekosistem hutan rawa gambut (peat-swamp forest) wilayah Sumatera yang terletak di Kabupaten Bengkalis dan Kabupaten Siak di Propinsi Riau. CB-GSK-BB ini diprakarsai oleh pihak swasta, yaitu Sinarmas Forestry dan didukung banyak pihak seperti Balai Besar Konservasi Sumberdaya Alam (BBKSDA) Riau, Pemerintah Provinsi Riau dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Adanya Usulan Rencana Pengelolaan CB-GSK-BB tahun 2009-2013 dimaksudkan untuk memberikan panduan, kerangka dan acuan pengelolaan didasarkan pada prinsip multistakeholders management (pengelolaan kolaboratif), mengingat bervariasinya lansekap dan pemangkunya. Partisipasi stakeholders menjadi komponen penentu keberhasilan pengelolaan kolaboratif.

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi serta menganalisis kepentingan dan pengaruh stakeholders dalam pengelolaan CB-GSK-BB, mengklasifikasi stakeholders dalam pengelolaan CB-GSK-BB serta mengidentifikasi bentuk dan menentukan tingkat partisipasi stakeholders dalam pengelolaan CB-GSK-BB. Penelitian dilakukan di Cagar Biosfer Giam Siak Kecil dan Bukit Batu pada bulan Juli-September 2011. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara mendalam terhadap informan kunci yang dipilih secara purposive sampling, dengan mempertimbangkan keterlibatannya dalam pengelolaan dan dianggap banyak mengetahui hal-hal yang berhubungan dengan penelitian.

Secara umum kepentingan (interest) stakeholders sinergi dengan fungsi ekosistem dan tujuan pengelolaan CB-GSK-BB. Pada penelitian ini terdapat 31 stakeholders CB-GSK-BB. Sebagian besar stakeholders berpartisipasi sampai pada tingkat kemitraan kecuali masyarakat, masih pada tingkat informasi.

Kata Kunci: CB-GSK-BB Riau, Stakeholders, Pengelolaan Kolaboratif, Partisipasi


(6)

SUMMARY

YASSER PRAMANA. Model and Level Stakeholders Participation in Management of Giam Siak Kecil-Bukit Batu Biosphere Reserve (GSK-BB-BR), Riau Province. Under supervision of SAMBAS BASUNI and Y. PURWANTO.

Giam Siak Kecil-Bukit Batu Biosphere Reserve (GSK-BB-BR) represents the tropical peat swamp forest Sumatera region that located in Bengkalis and Siak Regencies, Province of Riau. Giam Siak Kecil Bukit Batu Biosphere Reserve (GSK-BB-BR) was initiated by private sector, Sinarmas Forestry and supported by The Hall of Natural Resources Conservation (BBKSDA) Riau, Government of Riau Province and Indonesian Institute of Sciences (LIPI). Proposed Management Plan GSK-BB-BR 2009-2013 intended to give information based on the principle of multistakeholders management or collaborative management. Stakeholders participation is determiner components in collaborative management.

The aims of this research were identification and analysis of the stakeholders interest and power in the management of GSK-BB-BR, classification of the stakeholders in the management of GSK-BB BR and identification of the stakeholders model and participation level in the management of GSK-BB-BR. The research was conducted in GSK-BB-BR, Province of Riau on July until September 2011. Materials were collected by indepth interview to key informan from stakeholders, selected by purposive sampling that considered their role in the management GSK-BB-BR and their knowledge about the research topic.

Generally the interest of stakeholders are synergy with the function of ecosystems and the aim of the management in GSK-BB-BR. The results of identification are 31 stakeholders of GSK-BB-BR. Most of stakeholders are participate at level of partnership except the local community, still at level of information.

Keywords: GSK-BB-BR Riau, Stakeholders, Collaborative Management, Participation