informasi dan komunikasi. Dengan berkembangnya teknologi, saat ini informasi dapat diperoleh dan dipublikasikan dengan mudah. Namun di sisi
lain, kemudahan ini dapat pula membuat masyarakat mengalami kebingungan dalam memilih informasi mana yang dapat dipercaya, atau
siapa sumber yang layak dikutip. Sehingga dapat memunculkan adanya kekhawatiran akan pemanfaatan informasi itu sendiri.
Apabila dirunut mengenai awal mula adanya istilah literasi informasi, sebenarnya istilah ini sudah mulai diperkenalkan pertama kali oleh Paul G.
Zurkowski pada tahun 1974 dalam konteks lingkungan kerja. Zurkowski merupakan seorang Presiden dari Information Industry Association. Ia
menggunakan istilah literasi informasi untuk menggambarkan teknik dan kemampuan untuk memanfaatkan berbagai alat-alat serta sumber-sumber
informasi yang primer untuk memecahkan masalah dalam pekerjaan. Kemudian ia mengusulkan bahwa prioritas utama dari program US
National Commission on Libraries and Information Science
adalah membangun sebuah program utama untuk mencapai literasi informasi
universal di tahun 1984, dikarenakan informasi yang tersedia sangat banyak sehingga menurutnya seseorang dapat mengalami kesulitan untuk
mengevaluasinya. Lebih lanjut Zurkowski berpendapat bahwa orang yang terlatih dalam menerapkan sumber-sumber informasi dalam pekerjaan
mereka, dapat dikatakan information literate Zurkowski, 1974: 6.
Definisi literasi informasi juga banyak bermunculan. Dalam tulisannya, George 2013 seperti yang dikutip oleh Hanna Latuputti mengungkapkan
bahwa: Literasi informasi mencakup seperangkat keterampilan untuk
memecahkan masalah atau untuk membuat keputusan, baik untuk kepentingan akademisi ataupun pribadi, melalui proses pencarian,
penemuan dan pemanfaatan informasi dari beragam sumber serta mengkomunikasikan pengetahuan baru ini dengan efisien, efektif dan
beretika.
Literasi informasi berkaitan dengan keterampilan teknologi informasi, namun memiliki implikasi yang lebih luas bagi individu, sistem pendidikan,
dan untuk masyarakat, seseorang yang literate terhadap informasi selalu mengembangkan beberapa keterampilan teknologi. American Library
Association, 2000. Keterangan ini menunjukkan bahwa literasi informasi selalu berkaitan erat dengan pemanfatan teknologi.
Sedangkan UNESCO 2004 menjelaskan literasi informasi mengarah pada pengetahuan akan kesadaran dan kebutuhan informasi seseorang, dan
kemampuan untuk
mengidentifikasi, menemukan,
mengevaluasi, mengorganisasi dan secara efektif menciptakan, menggunakan,
mengkomunikasikan informasi untuk mencari solusi atas masalah yang dihadapi; juga merupakan persyaratan untuk berpartisipasi dalam
masyarakat informasi, dan merupakan hak asasi manusia untuk belajar sepanjang hayat.
American Association of School Librarians AASL, sebuah asosiasi pustakawan sekolah di Amerika menggambarkan ciri-ciri siswa yang
berliterasi informasi yaitu:
Siswa yang melek informasi akan mengevaluasi informasi secara kritis dan kompeten. Siswa yang melek informasi mempertimbangkan
informasi dengan hati-hati dan bijaksana untuk menentukan bagaimana kualitas informasi tersebut. Siswa memahami prinsip-prinsip tradisional
dan prinsip yang baru dalam menilai keakuratan, validitas, relevansi, kelengkapan, dan berpihak seimbang dan tidak memihak terhadap
informasi. Siswa menerapkan prinsip-prinsip ini kepada seluruh sumber dan format informasi serta menggunakan logika dan penilaian untuk
menerima, menolak, atau mengganti informasi untuk memenuhi kebutuhan tertentu. American Association of School Librarian, 1998:
2. Sesuai dengan pandangan tersebut, Puri 2011: 2 menjelaskan, State
University of New York memberikan definisi literasi informasi sebagai kemampuan untuk mengenali saat informasi dibutuhkan, ditempatkan,
dievaluasi untuk kemudian digunakan secara efektif dan sekaligus mengkomunikasikannya ke dalam berbagai bentuk dan jenis.
Menurut penulis, berbagai pendapat di atas, pada hakikatnya merujuk kesimpulan yang sama yaitu proses mampunya seseorang dari mulai
mengakses informasi hingga dapat mengkomunikasikan isi informasi yang didapatkannya dengan baik dan penuh etika.
Dari uraian panjang para ahli mengenai literasi informasi, apabila dilihat secara lebih dekat menggunakan kacamata agama, sebenarnya secara
normatif dalam Islam, literasi informasi ini telah berabad-abad lebih dahulu diperkenalkan dan diperintahkan, bahkan sebelum Paul Zurkowski
memperkenalkannya dalam bidang pekerjaan. Hal ini sebagaimana tercantum dalam Q.S Al-Alaq, Allah SWT berfirman:
ۡق ۡأر
ب ۡس
كبر ي
ق خ ٢
ق خ ۡ
س إ ۡ
ق ع ١
ۡق ۡأر
كبر ۡۡكأ
ر ١
ي ع
ب ۡق
ع ۡ
س إ ا
ۡ ۡعي
ۡ
Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang Menciptakan, Dia Telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan
Tuhanmulah yang Maha pemurah, Yang mengajar manusia dengan perantaran kalam, Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak
diketahuinya. Q.S. Al-Alaq: 1-5.
Kata “Bacalah” dalam ayat tersebut apabila ditafsirkan memiliki arti yang lebih luas. Ayat ini merupakan wahyu pertama yang turun kepada
Rasulullah SAW untuk diperintahkan kepada umat manusia. Kata “Bacalah” pada ayat tersebut tidak saja diartikan secara tekstual sebagai
keadaan seseorang untuk membaca buku, kitab, atau membaca segala sesuatu yang berkaitan dengan teks. Akan tetapi, tafsir dari kata
“Bacalah” tersebut bahwa Allah SWT memerintahkan manusia untuk selalu membaca
setiap keadaan yang terjadi di muka bumi ini, tentunya dengan tetap berkeyakinan bahwa segala yang terjadi tidak lain adalah atas kehendak dan
kekuasaan Allah SWT semata.
Dengan berdasarkan pada wahyu pertama tersebut, Q.S Al-Alaq ayat 1- 5, maka memiliki kemampuan literasi informasi merupakan suatu
keniscayaan. Karena literasi informasi merupakan kemampuan seseorang dalam upaya untuk “membaca” setiap keadaan ataupun informasi-informasi
yang ada di dunia, dengan tujuan tidak hanya agar dapat mencapai kesuksesan dalam hidup seseorang secara personal, akan tetapi menjadi
lebih luas yaitu meningkatkan perkembangan kehidupan sosial dan ekonomi suatu negara.
Dengan demikian penulis menyimpulkan bahwa literasi informasi merupakan suatu kemampuan seseorang dalam mencari, memilih,
mengolah, menganalisis, dan menggunakan informasi yang tersedia sesuai dengan kebutuhannya. Dengan kata lain literasi informasi adalah
kemampuan ketika seseorang mengetahui kapan dan mengapa ia membutuhkan suatu informasi, dimana ia mendapatkannya, dengan cara
apa ia mendapatkannya, bagaimana mengevaluasi dan menggunakan informasi tersebut untuk selanjutnya dapat dikomunikasikan dengan cara
yang baik dan bijak.
Dari berbagai macam literasi yang sudah dipaparkan di atas, baik literasi media, literasi TIK, maupun literasi informasi, dalam penelitian ini penulis hanya
akan membahas mengenai literasi informasi.
3. Urgensi Literasi Informasi
Pesatnya perkembangan teknologi dan besarnya jumlah informasi yang tersedia menjadikan literasi informasi sebagai keterampilan yang sangat penting.
Beragamnya media yang digunakan untuk memuat informasi menjadi tantangan bagi seseorang dalam mengevaluasi, menyaring, memahami dan menentukan
informasi yang dibutuhkan. Eisenberg menjelaskan, in this age of the information highway and globalization, the development of information literacy has come to
the forefront of the educational stage.
Eisenberg, 2004: 40. Seseorang yang memiliki kemampuan literasi informasi akan mampu
mengakses, menganalisis, mengevaluasi dan mengkomunikasikan hasil kerjanya kepada orang lain dengan efektif.
Keterampilan penting yang terkandung dalam konsep literasi informasi adalah keterampilan pemecahan masalah, berpikir kritis, berpikir kreatif,
mengenali pola, memahami hubungan, dan mentransfer pengetahuan dari satu disiplin ilmu ke disiplin ilmu yang lain. Semua ini adalah kemampuan yang
memungkinkan siswa untuk memperoleh makna dari informasi. Literasi informasi juga secara tidak langsung dapat mempengaruhi motivasi diri dalam belajar
Thompson, 2000: 2. Selain itu, sesuai dengan rumusan dari 21st Century Skills, Education, Competitiveness, Partnership for 21st Century
menjelaskan, salah satu kerangka kompetensi abad 21 adalah kemampuan literasi melek informasi,
literasi media, dan literasi teknologi informasi dan komunikasi Partnership for 21st Century: 2015. Rumusan ini diyakini akan membawa kesuksesan dalam
tercapainya sebuah masyarakat informasi yang baik.
Untuk mengetahui ciri seseorang yang memiliki kemampuan literasi informasi, Christina S. Doyle dalam Information Literacy in an Information
Society: A Concept for the Information Age membagi karakteristik seseorang yang
literate terhadap informasi ke dalam 10 poin sebagaimana dikutip oleh Thompson
2000: 3 adalah sebagai berikut: 1.
Mengakuimenyadari bahwa pengetahuan yang akurat dan lengkap merupakan dasar dalam pengambilan keputusan yang cerdas.
2. Mengenali kebutuhan akan informasi.
3. Merumuskan pertanyaan berdasarkan kebutuhan informasi.
4. Mengidentifikasi sumber informasi yang potensial.
5. Mengembangkan strategy pencarian sukses.
6. Mengakses sumber-sumber informasi termasuk yang berbasis komputer dan
teknologi lainnya. 7.
Mengevaluasi informasi. 8.
Mengatur informasi untuk aplikasi praktis. 9.
Mengintegrasikan informasi baru dengan pengetahuan yang sudah dimiliki. 10.
Menggunakan informasi dalam berpikir kritis dan pemecahan masalah. Thompson, 2000: 3.
Di samping beberapa poin perihal pentingnya literasi informasi di atas, dalam paparan sebelumnya penulis juga telah sedikit menyinggung literasi informasi
dalam sudut pandang agama. Sering kali, literasi informasi dianggap sebagai suatu hal yang baru dan asing, akan tetapi sesungguhnya dalam kenyataannya, setiap
manusia memiliki kemampuan ini pada tingkatan yang tertentu, hanya saja kemampuan tersebut tidak disadari keberadaannya dan tidak dipikirkan untuk
dikembangkan. Karena sifatnya yang selalu mengevaluasi informasi yang didapatkan, literasi informasi dikatakan juga sebagai pembelajaran sepanjang hayat
atau lifelong learning.
Menurut Horton, “information literacy and lifelong learning have a strategic, mutually reinforcing relationship with each other that is critical to the success of
every individual, organization, institution, and nation-state in the global information society.” Horton, 2006: 12.
Siswa di sekolah perlu menjadi seorang pembelajar seumur hidup. Kemampuan dan keinginan untuk terus belajar seumur hidupnya akan
menjadikannya sebagai seseorang yang berhasil dalam memecahkan permasalahan, dapat menyediakan jalan keluar, dan menghasilkan ide baru serta
petunjuk arah untuk masa depannya. Literasi informasi merupakan aspek utama untuk mewujudkannya. Manfaat literasi informasi dalam dunia pendidikan adalah
sebagai berikut:
1. Menyediakan metode yang telah teruji dapat memandu kepada berbagai sumber
informasi yang terus berkembang. Pada saat ini individu berhadapan dengan informasi yang beragam dan berlimpah. Informasi tersedia melalui
perpustakaan, sumber-sumber komunitas, organisasi khusus, media, dan internet. Dan tidak semua informasi tersebut tersedia dalam berbagai keaslian,
kesahihan, dan kebenarannya.
2. Mendukung usaha nasional untuk meningkatkan kualitas pendidikan.
Lingkungan belajar yang proaktif mensyaratkan setiap individu memiliki kompetensi informasi. Dengan keahlian tersebut individu akan selalu dapat
mengikuti perkembangan bidang ilmu yang dipelajarinya.
3. Meningkatkan pembelajaran seumur hidup. Meningkatkan pembelajaran
seumur hidup adalah misi utama dari institusi pendidikan. Dengan memastikan bahwa setiap individu memiliki kemampuan intelektual dalam berpikir secara
kritis yang ditunjang dengan kompetensi informasi yang dimilikinya maka individu dapat melakukan pembelajaran seumur hidup secara mandiri ALA,
2000.
Dengan begitu jelaslah bahwa literasi informasi penting untuk digalakkan dan diselenggarakan di dalam pendidikan Islam maupun pendidikan secara umum di
Indonesia. Karena dalam Islam dasar hukum literasi informasi ini sudah sangat jelas dan tegas untuk dilaksanakan, selain pelaksanaan literasi informasi ini juga
dalam rangka mempersiapkan sumber daya manusia Indonesia yang dapat bersaing di era modernisasi dengan mengakses informasi dan menggunakan informasi
secara kritis dan sebaik-baiknya.
4. Model-model Keterampilan Literasi Informasi
Untuk dapat dikatakan melek informasi, banyak ahli yang membuat suatu strategi pencarian informasi atau model pencarian informasi. Dari beberapa model
yang ada, kebanyakan model literasi informasi yang berkembang adalah untuk aplikasi bagi siswa di sekolah. Maka dari itu, para guru perlu mengetahui
perbedaan setiap model dan bagaimana penggunaannya dalam proses pembelajaran.
a. Seven Pillars
Model Seven Pillars merupakan model literasi informasi yang dikembangkan oleh Society of College, National and University Library
SCONUL. Model ini memfokuskan pada kemampuan, kompetensi, sikap dan perilaku pada jantung pengembangan literasi informasi di pendidikan
tinggi SCONUL Working Group on Information Literacy 2011, ada tujuh pilar utama yang digunakan dalam model ini, yaitu identify, scope, plan,
gather, evaluate, manage,
dan present.
Gambar 2.1 Model SCONUL Seven Pillars Newsam News, 2011. Pilar 1 Merekognisi kebutuhan informasi, mengetahui apa yang telah
diketahui, mengetahui apa yang tidak diketahui dan mengidentifikasi kesenjangan antara yang diketahui dengan
yang tidak diketahui
Pilar 2 Membedakan cara mengatasi kesenjangan, mengetahui cumber informasi mana yang paling besar peluangnya memuaskan
kebutuhan Pilar 3 Membangun strategi untuk menentukan lokasi informasi. Contoh
bagaimana mengembangkan
dan memperbaiki
strategi penelusuran yang efektif
Pilar 4 Menentukan lokasi dan akses informasi, mengetahui bagaimana mengakses sumbert infotmasi dan memeriksa alas untuk akses dan
temu balik informasi. Pilar 5 Membandingkan dan mengevaluasi, mengetahui bagaimana
mengases relevansi dan kualitas informasi yang ditemukan Pilar 6 Mengorganisasi,
menerapkan dan
mengkomunikasikan, mengetahui bagaimana merangkaikan informasi baru dengan
informasi lama, mengambil tindakan atau membuat keputusan dan akhirnya bagaimana berbagi hasil temuan informasi tersebut
dengan orang lain
Pilar 7 Sintesis dan
menciptakan, mengetahui
bagaimana mengasimilasikan informasi dari berbagai jenis sumber untuk
keperluan menciptakan pengetahuan baru. Keterampilan dasar literasi informasi pilar 1 sampai 4 merupakan
dasar bagi semua isu dan topik, dapat diajarkan pada semua tingkat pendidikan. Empat keterampilan tersebut merupakan pilar yang
menggambarkan keterampilan atau kompetensi terkait teknologi informasi. Sedangkan tiga keterampilan lainnya menggambarkan keterampilan terkait
pemahaman dan penggunaan informasi.
b. The Big6
Model The Big6 adalah model literasi informasi yang dikembangkan oleh Michael B. Eisenberg dan Robert E. Berkowitz di Amerika Serikat pada
tahun 1987 Diao Ai Lien, 2010: 4. Model ini sangat populer bukan saja di Amerika Serikat, melainkan juga di negara-negara lain, termasuk Indonesia
yang sudah menyadari pentingnya penerapan literasi informasi dalam proses belajar mengajar di sekolah. Dengan begitu model The Big6 telah diterima
secara luas. Bahan-bahan tentang model ini dapat dengan mudah diperoleh di internet dibandingkan model-model lainnya. Itu sebabnya, pengguna model
ini dapat dengan mudah memperoleh hal-hal baru yang dikembangkan oleh Eisenberg dan Berkowitz melalui internet. Dengan demikian, penggunaannya
semakin memasyarakat. Model ini disebut juga dengan Super3 yaitu Plan, Do dan Review, karena model ini diawali dengan perumusan masalah,
pemanfaatan informasi, hingga evaluasi. Latuputti, 2013: 3.
Model Big6 mengintegrasikan keterampilan pencarian dan penggunaan informasi dengan penggunaan perangkat teknologi dalam proses
menemukan, menggunakan, mengaplikasikan dan mengevaluasi informasi secara sistematis, untuk memenuhi kebutuhan dan tugas tertentu. Studi pada
ribuan siswa yang diarahkan untuk menggunakan pendekatan Big6 dengan dikombinasikan dengan kegiatan analitis, kreatif, dan praktis, menunjukkan
bahwa meraka mampu menampilkan performa belajar yang lebih baik dari
pada mereka yang sama sekali tidak dibekali dengan Big6 Jarvin dalam Eisenberg, 2006.
Big6 terbukti membantu siswa dalam mengerjakan tugas yang tidak familiar dan rumit. Dengan menggunakan Big6 siswa dapat membangun cara
berpikir yang memudahkan siswa dalam pengerjaan tugasnya dan siswa juga dapat memahami proses yang dilakukan untuk menemukan dan menggunakan
informasi yang didapatkan.
Untuk lebih mempermudah, berikut adalah enam tahap utama model The Big6
yang masing-masing mempunyai dua sub tahap: Tabel 2.1 Literasi informasi menurut Eisenberg dan Berkowitz 1987
6 Tahap 12 Tahap
1. Perumusan Masalah
1.1 Merumuskan masalah
1.2 Mengidentifikasi
informasi yang
diperlukan 2.
Strategi Pencarian
Informasi 2.1
Menentukan sumber 2.2
Memilih sumber terbaik 3.
Alokasi dan Akses 3.1
Mengalokasi sumber secara intelektual dan fisik
3.2 Menemukan informasi di dalam sumber
tersebut 4.
Pemanfaatan Informasi 4.1
Membaca, mendengar, meraba, dan sebagainya
4.2 Mengekstraksi informasi yang relevan
5. Sintesis
5.1 Mengorganisasikan
informasi dari
berbagai sumber 5.2
Mempresentasikan informasi tersebut 6.
Evaluasi 6.1
Mengevaluasi hasil efektivitas 6.2
Mengevaluasi proses efisiensi Berdasarkan Tabel 2.1, ada beberapa tahapan dalam strategi
penelusuran informasi model The Big6: 1 Tahap pertama adalah merumuskan masalah, mencoba memperlihatkan bagaimana masalah
informasi yang akan dihadapi dirumuskan atau didefinisikan dan kemudian diidentifikasi kebutuhannya; 2 Tahap kedua yaitu strategi pencarian
informasi, dilakukan dengan menentukan semua sumber-sumber informasi yang ada dan kemudian memilih sumber yang terbaik. 3 Tahap ketiga yaitu
melakukan pencarian dan menemukan informasi di dalam sumber-sumber yang ada tersebut. 4 Tahap keempat yaitu pemanfaatan informasi,
merupakan tahap bagaimana seseorang menghadapi informasi yang telah diperoleh dan mengekstraksi dalam informasi-informasi yang relevan. 5
Tahap sintesis, yaitu bagaimana informasi dari berbagai sumber yang ada diorganisir untuk kemudian dipresentasikan atau disajikan; 6 Tahap keenam
yaitu evaluasi, yakni mengevaluasi dengan cara menilai efektivitas produk dan efisiensi prosesnya.
c. Empowering8
Model literasi Empowering8 merupakan model literasi informasi yang berkembang dari hasil dua lokakarya workshop, yaitu pertama dilaksanakan
di Kolombo Sri Lanka pada tahun 2004, sedang yang kedua dilaksanakan di Patiala, India pada tahun 2005. Model Empowering8 menggunakan
pendekatan pemecahan masalah berupa resource-based learning dalam penerapannya, yaitu suatu kemampuan untuk belajar berdasarkan pada
sumber datanya.
Gambar 2.2 Model Literasi Informasi Empowering8 Menurut model ini, literasi informasi terbagi ke dalam delapan
langkah yang terdiri atas beberapa kemampuan, yaitu: 1
Mengidentifikasi topik atau subjek, sasaran audiens, format yang relevan, dan jenis sumber
2 Mengeksplorasi sumber dan informasi yang sesuai dengan topik
3 Menyeleksi dan merekam informasi yang relevan dan mengumpulkan
kutipan yang sesuai 4
Mengorganisasi, mengevaluasi dan menyusun informasi menurut susunan yang logis, membedakan antara fakta dan pendapat, dan menggunakan alat
bantu visual untuk membandingkan informasi. 5
Menciptakan informasi dengan menggunakan kata-kata sendiri, mengedit, dan membuat daftar pustaka ataupun menghasilkan karya baru
6 Mempresentasikan, menyampaikan informasi yang telah dihasilkan
7 Menilai mengevaluasi informasi yang telah dipresentasikan berdasarkan
pada masukan dari orang lain 8
Menerapkan masukan, penilaian, dan pengalaman yang diperoleh untuk kegiatan yang akan datang dan menggunakan pengetahuan baru yang
diperoleh untuk berbagai situasi. Diao Ai Lien, 2010: 5.
d. From Library Skills to Information Literacy California School Library
Association The California School Library Association telah mengembangkan dan
menerbitkan sebuah buku panduan handbook untuk para guru dan pustakawan yang memperlihatkan bagaimana mengabungkan information
literacy ke dalam kurikulum sekolah.
Buku panduan dengan judul From Library Skills to Information Literacy: A Handbook for The 21
st
Century menguraikan sebuah model
information literacy dengan tiga komponen yang saling teikat satu sama lain,
yaitu: 1
Pemikiran si pencari 2
Proses pencarian 3
Strategi pengajaran From Library Skills to Information Literacy
mencakup banyak contoh- contoh penerapannya mulai dari rencana pengajaran, skenario di dalam kelas,
saran-saran untuk penerapan hingga bagaimana memberikan penilaian terhadap program keterampilan literasi informasi. Muin, 2014: 16.
e. Seven Faces of Information Literacy
Model seven faces of information literacy ini menyoroti pengalaman seseorang dalam berinteraksi dengan informasi baik itu ketika belajar,
mengajar maupun dalam memecahkan permasalahan dan mengambil keputusan-keputusan.
Pengalaman-pengalaman inilah
yang akan
membawanya pada kemampuan menggunakan informasi secara efektif dan efisien dan membawa pada wisdom dari informasi itu sendiri.
Berikut ini 7 langkah pada model literasi informasi seven faces. 1.
First face: The IT experience Keterampilan Informasi literasi dapat dilihat dari seberapa besar
pengalaman seseorang dalam menggunakan teknologi informasi. Indikator pada tahap ini adalah apakah seseorang selalu menggunakan teknologi
informasi dalam usahanya mencari informasi dan apakah seseorang menggunakan teknologi informasi untuk membuatnya tetap terhubung,
terinformasi dengan baik dan untuk berkomunikasi.
2. Second face: The Information sources experience
Suatu pengalaman dalam menggunakan sumber-sumber informasi, secara bibliografis sebagai manusiaindividu, sebagai kemampuan
personal, dan sebagai alat untuk membantunya dalam membuat suatu keputusan.
3. Third face: The information process experience
Yaitu pengalaman dalam memahami proses dengan bantuan informasi. Misalnya dalam kaitannya memecahkan masalah, membuat
keputusan, menciptakan suatu jenis kreativitas seni. 4.
Fourth face: The information-control experience Pengalaman dalam menjadikan informasi sebagai pusat kendali
dalam mengakui informasi-informasi yang relevan, mengelola informasi, membuat hubungan antara informasi itu sendiri dengan project dan orang-
orang yang terlibat dalam project tersebut misalnya, research project, dan keterkaitan antara informasi dan bagian-bagian dari project.
5. Fifth face: The knowledge construction experience
Pengalaman mengkonstruksi pengetahuan. Penekanannya pada belajar, mengembangkan perspektif pribadi dengan pengetahuan yang
diperoleh, dan tergantung pada berpikir kritis. 6.
Sixth face: The knowledge extension experience Pengalaman mengembangkan pengetahuan dari pengetahuan pribadi,
dari pengalaman-pengalaman misterius, dan mengembangkan pengetahuan baru atau pendekatan baru.
7. Seven face: The wisdom experience
Pengalaman memperoleh atau menciptakan wisdom dari informasi menjadi suatu kualitas pribadi, nilai-nilai etika yang dianut dari hasil
kombinasi dengan pengetahuannya, dan informasi yang diperoleh dimanfaatkandiciptakan kembali menjadi pengetahuan baru yang
bermanfaat bagi orang lainkeperluan lain. Basuki, 2015: 7.
Dari berbagai macam model keterampilan literasi informasi yang sudah dipaparkan, dalam penelitian ini penulis akan menggunakan model keterampilan
informasi The Big6 sebagai acuan indikator literasi informasi di SMA Islam Al- Izhar Pondok Labu. Dengan harapan, model ini akan mempermudah penulis dalam
melakukan penelitian di lokasi penelitian.
5. Standar Literasi Informasi di Sekolah
American Association of School Librarians dan Association for Educational
Communications and Technology 1998 membuat suatu standar kompetensi
literasi informasi untuk tingkatan sekolah yaitu Information Literacy Standards for Student Learning: Standards and Indicators.
Standar literasi informasi ini memberikan sebuah konsep untuk mendeskripsikan siswa yang menguasai literasi
informasi. Standar ini terdiri dari 3 kategori, 9 standar, dan 29 indikator. Hasil pembelajaran yang berhubungan dengan jasa yang disediakan oleh perpustakaan
sekolah dapat ditemukan dalam kategori “information category”. Dua kategori
lainnya adalah “independent learning” dan “social responsibility”, yang
mendeskripsikan aspek-aspek yang lebih umum dimana perpustakaan sekolah juga ikut berkontribusi di dalam semua kategori. Standar dan indicator tersebut
mendeskripsikan isi dan proses informasi yang harus dikuasai siswa untuk dapat masuk kategori orang yang berliterasi informasi. Dalam standar kompetensi
literasi informasi ini, siswa yang disebut berliterasi informasi jika memiliki kemampuan sebagai berikut:
a. Standar Penguasaan Literasi Informasi
Standar 1: Siswa yang berliterasi informasi dapat mengakses
informasi secara efisien dan efektif Indikator 1.
Mampu mengenali kebutuhan akan informasi. Indikator 2.
Mampu mengenali bahwa informasi yang akurat dan komprehensif adalah dasar pengambilan keputusan yang
baik. Indikator 3.
Mampu menyusun pertanyaan berdasarkan kebutuhan informasi.
Indikator 4. Mampu mengidentifikasi berbagai macam sumber
informasi yang potensial. Indikator 5.
Mampu mengembangkan dan menggunakan strategi yang baik untuk mencari informasi.
Standar 2: Siswa yang berliterasi informasi dapat mengevaluasi
informasi secara kritis dan keseluruhan Indikator 1.
Mampu menentukan akurasi, relevansi, dan komprehensif Indikator 2.
Mampu membedakan antara fakta, pandangan, dan opini. Indikator 3.
Mampu mengidentifikasi informasi yang tidak akurat dan menyesatkan.
Indikator 4. Mampu memilih informasi yang sesuai untuk masalah
atau pertanyaan.
Standar 3: Siswa yang berliterasi informasi dapat menggunakan
informasi secara akurat dan kreatif Indikator 1.
Mampu mengorganisasikan informasi untuk diaplikasikan secara praktis.
Indikator 2. Mampu mengintegrasikan informasi baru ke dalam
pengetahuan seseorang. Indikator 3.
Mampu mengaplikasikan informasi ke dalam pemikiran kritis dan pemecahan masalah.
Indikator 4. Mampu menghasilkan dan mengkomunikasikan informasi
dan ide dalam format yang sesuai.
b. Standar Belajar Mandiri
Standar 4: Siswa yang merupakan siswa mandiri harus bisa
menguasai dan mencari informasi yang berkaitan dengan ketertarikan personal.
Indikator 1. Mampu mencari informasi dalam berbagai dimensi yaitu
karir, keterlibatan dalam komunitas, kesehatan dan rekreasional.
Indikator 2. Mampu mendesain, mengembangkan dan mengevaluasi
produk informasi serta solusi yang berkaitan dengan ketertarikan pribadi.
Standar 5: Siswa sebagai siswa yang mandiri harus mampu mengolah
informasi dan menghargai literature dan informasi lain. Indikator 1.
Pembaca yang kompeten dan self motivated. Indikator 2.
Dapat mengetahui
arti dari
informasi yang
direpresentasikan secara kreatif dalam berbagai format. Indikator 3.
Mampu mengembangkan produk kreatif dalam berbagai format.
Standar 6: Siswa sebagai siswa mandiri harus mampu mengolah
informasi dan berjuang agar berhasil dalam mencari informasi dan membangun pengetahuan.
Indikator 1. Mampu meneliti kualitas dari proses dan produk
pencarian informasi pribadi. Indikator 2.
Mampu mengembangkan strategi untuk merevisi, mengembangkan dan update pengetahuan yang dimiliki
siswa.
c. Standar Tanggung Jawab Sosial
Standar 7: Siswa memberikan kontribusi positif kepada komunitas
belajar dan masyarakat. Siswa yang memberikan kontribusi ini dikatakan berliterasi informasi dan
mengetahui pentingnya informasi bagi masyarakat demokratis.
Indikator 1. Mampu mencari informasi dari berbagai sumber, konteks,
aliran dan kebudayaan. Indikator 2.
Menghargai prinsip akses ke informasi yang memadai.
Standar 8: Siswa yang berliterasi informasi memberikan kontribusi
positif kepada komunitas belajar dan masyarakat dan mempraktekkan tingkah laku etis mengenai informasi dan
teknologi informasi.
Indikator 1. Mampu menghargai prinsip kebebasan intelektual.
Indikator 2. Mampu menghargai hak produk intelektual.
Indikator 3. Mampu menggunakan teknologi informasi secara
bertanggung jawab.
Standar 9: Siswa yang berliterasi informasi memberikan kontribusi
positif kepada komunitas belajar dan masyarakat dan berpartisipasi secara efektif dalam kelompok untuk
membangun informasi.
Indikator 1. Mampu membagi pengetahuan dan informasi dengan
orang lain. Indikator 2.
Mampu menghargai ide, latar belakang orang lain dan mengakui kontribusi mereka.
Indikator 3. Mampu bekerja sama dengan orang lain, secara personal
maupun melalui teknologi, untuk mengidentifikasi masalah informasi dan mencari solusi.
Indikator 4. Mampu bekerja sama dengan orang lain baik secara
personal maupun melalui teks, untuk mendesain, mengembangkan dan mengevaluasi produk informasi dan
solusinya.
6. Literasi Informasi dalam Pembelajaran Pendidikan Agama Islam
a. Pembelajaran Pendidikan Agama Islam
Pembelajaran dapat diartikan sebagai usaha agar dengan kemauannya sendiri seseorang dapat belajar, dan menjadikannya sebagai salah satu
kebutuhan hidup yang tak dapat ditinggalkan. Dengan pembelajaran akan tercipta keadaan masyarakat belajar atau learning society Nata: 2009: 205.
Pembelajaran dapat didefinisikan sebagai suatu proses membelajarkan peserta didik yang telah direncanakan, dilaksanakan, dan dievaluasi agar
peserta didik dapat mencapai tujuan pembelajaran secara efektif dan efisien. Proses yang dilakukan dalam pembelajaran meliputi persiapan, perencanaan,
pelaksanaan, dan menindaklanjuti pembelajaran yang telah dilakukan. Dalam kegiatan pendidikan dan pembelajaran, seorang guru harus mengetahui
terlebih dahulu potensi, bakat, kecenderungan dan motivasi siswanya, kesiapan lingkungan pendidikan dan berbagai sarana dan prasarananya, dan
teknik menciptakan suasana pembelajaran yang baik, sehingga kegiatan pembelajaran dapat berjalan dengan baik.
Pendidikan Agama Islam dalam penjelasan Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2007 adalah bahwa ilmu-ilmu yang bersumber dari ajaran
agama Islam meliputi ilmu agama Islam Dirasah Islamiyah, atau terpadu dengan ilmu-ilmu umum dan keterampilan. Ilmu agama Islam dirasah
Islamiyah dapat menggunakan klasifikasi tema akidah, tafsir, hadits, ushul
fikih, fikih, akhlak, tasawuf, dan tarikh Islam. Istilah nama bidang studi atau mata pelajaran agama Islam adalah
istilah debatable. Ahmad Tafsir dalam Metodologi Pengajaran Agama Islam mencoba mempersempit ruang perdebatan istilah nama bidang studi agama
Islam ini. Dalam buku kurikulum yang baku nama bidang studi ini adalah PAI dalam hal ini sama dengan yang lain seperti bidang studi pendidikan
olahraga dan pendidikan kewarganegaraan Tafsir, 1995: 8.
Menurut Kurnali Pendidikan Agama Islam dapat dikategorikan ke dalam dua arti, yakni Pendidikan Agama Islam dalam arti sempit berupa al-
Quran, Akidah, Syariah, Akhlak, dan Tarikh yang sesuai dengan jalur, jenjang dan jenis pendidikan. Dan Pendidikan Agama Islam dalam arti luas
yaitu pendidikan yang memberikan pengetahuan dan membentuk sikap, kepribadian, dan keterampilan peserta didik dalam mengamalkan ajaran
agama Islam sesuai dengan jalur, jenjang, dan jenis pendidikan Kurnali, 2014: 40.
Berdasarkan berbagai pendapat para ahli di atas, maka dapat disimpulkan bahwa Pendidikan Agama Islam adalah usaha mendidik untuk
membina dan mengasuh peserta didik agar senantiasa dapat memahami ajaran Islam secara menyeluruh dengan materi agama Islam yaitu Alquran, hadits,
aqidah, akhlak, tarikh pada semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan.
Pembelajaran Pendidikan Agama Islam merupakan upaya membuat siswa dapat belajar, terdorong belajar, mau belajar dan tertarik untuk terus
menerus mempelajari apa yang teraktualisasikan dalam kurikulum agama Islam sebagai kebutuhan siswa secara menyeluruh yang mengakibatkan
beberapa perubahan yang relatif tetap dalam tingkah laku seseorang baik dalam kognitif, efektif dan psikomotorik.
Pembelajaran Pendidikan Agama Islam dapat diartikan sebagai bimbingan menjadi seorang pribadi muslim yang tangguh dan mampu
merealisasikan ajaran Pendidikan Agama Islam dalam kehidupan sehari-hari sehingga menjadi insan kamil. Untuk itu penanaman Pembelajaran PAI
sangat penting dalam membentuk dan mendasari siswa. Dengan penanaman pembelajaran PAI sejak dini diharapkan mampu membentuk pribadi yang
kokoh, kuat dan mandiri untuk berpedoman pada agama Islam.
Kurikulum Pendidikan Agama Islam untuk sekolahmadrasah berfungsi sebagai berikut:
1 Pengembangan, yaitu meningkatkan keimanan dan ketakwaan peserta
didik kepada Allah SWT yang telah ditanamkan dalam lingkungan keluarga. Pada dasarnya dan pertama-tama kewajiban menanamkan
keimanan dan ketakwaan dilakukan oleh setiap orang tua dalam keluarga. Sekolah berfungsi untuk menumbuhkembangkan lebih lanjut dalam diri
anak melalui bimbingan, pengajaran dan pelatihan agar keimanan dan ketakwaan tersebut dapat berkembang secara optimal sesuai dengan
tingkat perkembangannya.
2 Penanaman nilai sebagai pedoman hidup untuk mencari kebahagiaan
hidup di dunia dan di akhirat. 3
Penyesuaian mental, yaitu untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya baik lingkungan fisik maupun lingkungan sosial dan dapat mengubah
lingkungannya sesuai dengan ajaran agama Islam. 4
Perbaikan, yaitu untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan, kekurangan- kekurangan, dan kelemahan-kelemahan peserta didik dalam keyakinan,
pemahaman dan pengalaman ajaran dalam kehidupan sehari-hari. 5
Pencegahan, yaitu untuk menangkal hal-hal negatif dari lingkungannya atau dari budaya lain yang dapat membahayakan dirinya dan menghambat
perkembangannya menuju manusia Indonesia seutuhnya. 6
Pengajaran tentang ilmu pengetahuan keagamaan secara umum alam nyata dan nir-nyata, sistem dan fungsionalnya.
7 Penyaluran, yaitu untuk menyalurkan anak-anak yang memiliki bakat
khusus di bidang agama Islam agar bakat tersebut dapat berkembang secara optimal sehingga dapat dimanfaatkan untuk dirinya sendiri dan bagi
orang lain Majid, 2006: 134. Materi Pendidikan Agama Islam secara keseluruhannya terbagi dalam
lingkup al-Quran dan al-Hadits, keimanan, akhlak, fiqhibadah, dan sejarah, sekaligus menggambarkan bahwa ruang lingkup Pendidikan Agama Islam
mencakup perwujudan keserasian, keselarasan, dan keseimbangan hubungan manusia dengan Allah SWT, diri sendiri, sesame manusia, makhluk lainnya
maupun lingkungannya hablum minallah wa hablum minannas Majid dan Dian, 2006: 131.
Pendidikan Agama Islam pada jenjang Sekolah Menengah Atas SMA lebih diarahkan pada pembinaan kesalehan individu dan social
sekaligus. Ini dapat dilihat sebagaimana yang tertuang dalam kurikulum SMA, agaknya masih terpilah-pilah menjadi beberapa aspek yang berdiri
sendiri dan memiliki orientasi sendiri, yaitu:
1 Aspek AlquranHadits
Aspek AlquranHadits menekankan pada pengembangan kemampuan membaca teks, memahami arti, dan menggali maknanya secara tekstual
dan kontekstual untuk diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. 2
Aspek KeimananAqidah Aspek keimanan atau aqidah menekankan pada pembinaan keyakinan
bahwa Tuhan adalah asal-usul dan tujuan hidup manusia, termasuk peradaban dan ilmu pengetahuannya, untuk diterapkan dalam kehidupan
sehari-hari.
3 Aspek Ibadah Fiqih
Aspek ibadah menekankan pada pemahaman dan pengamalan ajaran ritual dalam Islam. Aspek syariah fiqh menekankan pada pengembangan tata
aturan dan hokum Islam yang bersifat dinamis untuk diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.
4 Aspek Akhlak
Aspek akhlak menekankan pada pembinaan moral dan etika Islam sebagai keseluruhan pribadi muslim untuk diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.
5 Aspek Tarikh
Aspek tarikh menekankan pada pemahaman terhadap apa yang dibuat oleh Islam dan kaum muslimin sebagai katalisator proses perubahan dan
perkembangan budaya umat, serta pengambilan ibrah terhadap sejarah kebudayaanperadaban umat Islam Muhaimin, 2006: 169.
Merujuk dari buku Materi Pendidikan Agama Islam karangan Supiana dan M. Karman, menjabarkan dengan jelas dan detail cakupan materi
pendidikan agama Islam yang harus diketahui umat muslim, dalam pengantarnya bahwa buku tersebut mengupas materi-materi keagamaan
Islam yaitu:
1 Fikih
Dalam pengertian yang khusus, ibadah adalah segala bentuk pengabdian yang sudah digariskan oleh syariat Islam baik bentuknya,
caranya, waktunya, serta syarat dan rukunnya. Aspek fiqih atau ibadah menekankan pada acara melakukan ibadah dan muamalah yang baik dan
benar. Di antara aspek-aspek fiqih adalah sebagai berikut: a.
Thaharah b.
Shalat c.
Jenazah d.
Zakat e.
Puasa f.
Haji dan umrah g.
Jual beli dan riba h.
Nikah i.
Mawaris dalam Islam 2
Tauhid a.
Pengertian ilmu kalam b.
Aliran-aliran ilmu kalam c.
Masalah-masalah dalam ilmu kalam 3
Tasawuf a.
Pengertian dan tujuan tasawuf b.
Maqamat dan ahwal c.
Sufi-sufi besar dan pokok-pokok ajarannya d.
Tarekat 4
Tasyri‘ a.
Pengertian tarikh tasyri‘ Islam b.
Tasyri‘ pada masa Rasulullah c.
Tasyri‘ pada masa sahabat generasi pertama Khulafaur Rasyidin d.
Tasyri‘ pada masa sahabat generasi kedua Bani Umayyah 661-750 M
e. Tasyri‘ pada masa awal abad kedua hijrah sampai pertengahan abad
keempat Daulah Abbasiyah 750-1258 M f.
Tasyri‘ pada masa taklid dan kemunduran 310 H – akhir abad ke-13 g.
Masa pembaruan tasyri‘ Islam akhir abad 13 H – sekarang Supiana dan M. Karman, 2009: viii-xviii.
Menurut HAMKA, materi pendidikan agama Islam terbagi menjadi empat macam, yaitu:
a Ilmu-ilmu agama, seperti tauhid, fiqh, tafsir, hadits, nahwu, bayan,
mantiq, akhlak, dan sebagainya. Pelaksanaan pendidikan yang mengedepankan materi agama, merupakan suatu kemestian pada
setiap lembaga pendidikan. Melalui muatan materi keagamaan, diharapkan akan menjadi alat control dan sekaligus ikut mewarnai
pembentukan kepribadian peserta didik.
b Ilmu-ilmu umum, seperti sejarah, filsafat, kesusasteraan, ilmu
berhitung, ilmu bumi, ilmu falak, ilmu tubuh biologi, ilmu jiwa psikologi, ilmu masyarakat sosiologi, ilmu tumbuh-tumbuhan, dan
sebagainya. Dengan ilmu-ilmu tersebut akan membuka dinamika berpikir, wawasan keilmuan, dan kesiapan peserta didik untuk terlibat
dalam kehidupan social yang demikian dinamis.
c Keterampilan praktis, seperti berbaris, akan menjadikan peserta didik
hidup lebih teratur dan bias diatur; memanah, berenang, dan berkuda akan membuat tubuh peserta didik menjadi sehat dan kuat. Dalam
kaitannya dengan pendidikan, pelaksanaannya seyogyanya bernuansa edukatif dan menunjang pencapaian tujuan pendidikan Islam.
d Kesenian, seperti ilmu music, menggambar, menyanyi, dan memahat.
Dengan ilmu-ilmu tersebut, peserta didik akan memiliki rasa keindahan, senantiasa berupaya memperhalus budi rasanya etika
dengan kebenaran Nizar, 2008: 163. Dari penjabaran di atas, dapat diketahui bahwa materi pendidikan
agama Islam cukup luas dan banyak, untuk itu bagi guru yang membidangi pelajaran agama Islam hendaknya selalu belajar dan meningkatkan
kompetensi dan pemahaman ilmu agamanya.
b. Literasi Informasi dalam Pembelajaran Pendidikan Agama Islam
Seperti yang sudah diketahui bahwa literasi informasi adalah suatu kemampuan seseorang dalam mencari, mengolah, menganalisis, dan
menggunakan informasi sesuai dengan kebutuhannya. Sedangkan Pendidikan Agama Islam yaitu usaha mendidik untuk membina dan mengasuh peserta
didik agar senantiasa dapat memahami ajaran Islam secara menyeluruh dengan materi agama Islam yaitu Alquran, hadits, aqidah, akhlak, tarikh pada
semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan.
Menurut Rindyasari, dalam seminar yang diselenggarakan UNESCO bekerjasama dengan Perpusnas RI, mengungkapkan bahwa perpustakaan dan
sekolah merupakan dua hal yang tidak terpisahkan. Literasi informasi perlu diintegrasikan dalam pembelajaran di dalam kelas. Namun untuk dapat
menunjang hal tersebut, fasilitas perpustakaan atau resource center harus ditingkatkan. Salah satu cara pengajaran yang dapat dilakukan untuk
mengembangkan literasi informasi di kelas adalah dengan menggunakan teknik problem solving untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis dan
analitis. Literasi informasi dalam Pendidikan Agama Islam berarti bahwa
kemampuan siswa dalam mencari, menganalisis, hingga menggunakan seluruh informasi dan sumber-sumber yang berkaitan dengan mata pelajaran
Pendidikan Agama Islam. Atau dapat pula diartikan kapan dan kenapa siswa membutuhkan suatu informasi terkait dengan mata pelajaran Pendidikan
Agama Islam, dimana dan dengan cara apa ia mendapatkannya, bagaimana ia mengevaluasinya, serta bagaimana ia menggunakan informasi tersebut dan
mengkomunikasikannya dengan baik dan benar.
Literasi informasi ini dimaksudkan agar siswa tidak terjebak ke dalam penelusuran sumber yang tidak eligible, sehingga informasi yang siswa
dapatkan mengenai pelajaran agama Islam dapat memberikan siswa pemahaman yang utuh dan menyeluruh tentang Pendidikan Agama Islam,
tentang suatu tema atau pendidikan agama Islam yang perlu ia pahami. Hingga dengan begitu, siswa dapat dengan mudah menjawab persoalan-
persoalan keagamaan dalam kehidupan sehari-hari. Pembelajaran yang dapat dilakukan guru PAI di kelas yaitu dengan menciptakan pembelajaran yang
bertujuan untuk mengembangkan kemampuan siswa dalam berpikir secara kritis dan analitis.
B. Usaha Peningkatan Literasi Informasi dalam Pendidikan Agama Islam
1. Peranan Guru
Dalam dunia pendidikan, komponen yang sangat penting terhadap terlaksananya kualitas pendidikan yang baik adalah peran dari seorang guru.
Menurut Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, Pasal 1 yang dimaksud dengan guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama
mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan
formal, pendidikan dasar dan pendidikan menengah. Selanjutnya dijelaskan pula pada Pasal 2 ayat 1 bahwa yang dimaksud dengan tenaga professional
mengandung arti bahwa pekerjaan guru hanya dapat dilakukan oleh seseorang yang mempunyai kualifikasi akademik kompetensi, dan sertifikasi pendidik sesuai
dengan persyaratan untuk setiap jenis dan jenjang pendidikan tertentu.
Sebagai seorang yang bertanggung jawab terhadap perkembangan seluruh potensi anak didik, Undang-undang mengamanatkan bahwa guru yang profesional
dituntut untuk memiliki empat kompetensi dasar dalam mengajar, yaitu kompetensi pedagogik, kompetensi professional, sosial, dan kepribadian. Dalam
undang-undang tersebut dijelaskan makna dari keempat kompetensi tersebut.
Kompetensi pedagogik diartikan sebagai kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran peserta didik, yakni memiliki pemahaman terhadap peserta didik,
memahami peserta didik secara mendalam dengan memanfaatkan prinsip-prinsip perkembangan kognitif, prinsip-prinsip kepribadian, dan mengidentifikasi bekal
ajar awal peserta didik. Selain itu guru perlu merancang dan melaksanakan pembelajaran.
Dimaksud merancang
pembelajaran yaitu
memahami landasan pendidikan, menerapkan teori belajar dan pembelajaran, menentukan
strategi pembelajaran berdasarkan karakteristik peserta didik, mengetahui
kompetensi yang ingin dicapai dari peserta didik, serta dapat menyusun rancangan pembelajaran berdasarkan strategi yang dipilih. Selain itu dalam melaksanakan
pembelajaran guru perlu menata keadaan kelas sehingga tercipta pembelajaran yang kondusif. Guru pun harus mengevaluasi hasil belajar, merancang dan
melaksanakan
evaluasi pembelajaran
secara berkesinambungan
dan memamfaatkan hasil penilaian pembelajaran untuk perbaikan kualitas program
pembelajaran secara umum. Juga guru dituntut untuk memfasilitasi peserta didik dalam pengembangan berbagai potensi yang dimilikinya, baik potensi akademik
maupun nonakademik.
Kompetensi profesional adalah kemampuan guru dalam menguasai materi pelajaran secara luas dan mendalam. Guru sebagai tenaga profesional haruslah
menunjukkan kualitas pekerjaannya yang baik dengan memiliki keterampilan- keterampilan khusus yang tidak dimiliki oleh profesi lainnya. Misalnya, seorang
guru yang telah memahami makna profesional dari sebuah profesi guru mampu memberikan materi pembelajaran dengan metode, model, dan media pembelajaran
dengan memanfaatkan teknologi informasi seperti komputer dan internet.
Kompetensi sosial adalah kemampuan guru untuk berkomunikasi dan berinteraksi secara efektif dan efisien dengan peserta didik, sesame guru,
orangtuawali peserta didik, dan masyarakat sekitar. Sedangkan kompetensi kepribadian adalah kemampuan kepribadian yang mantap, berakhlak mulia, arif,
dan berwibawa serta menjadi teladan peserta didik.
Menurut Hamalik, guru yang berkompeten akan lebih mampu menciptakan lingkungan belajar yang efektif, menyenangkan dan akan mampu mengelola
kelasnya sehingga belajar para siswa berada pada tingkat yang optimal Hamalik, 2002: 36.
Menurut Tabrani Rusyan 1992: 22, kemampuan yang harus dimiliki guru dalam proses belajar mengajar adalah sebagai berikut:
1 Guru mampu menguasai bahan bidang studi
2 Guru mampu mengelola program belajar mengajar
3 Guru mampu mengelola, menggunakan media dan sumber belajar
4 Guru mampu menilai proses belajar mengajar
5 Guru mampu mengelola kelas
6 Guru memahami prinsi-prinsip pengelolaan lembaga-lembaga program
pendidikan di sekolah 7
Guru mampu membimbing siswa 8
Guru memiliki wawasan tentang penelitian pendidikan 9
Guru mampu memahami karakteristik siswa 10
Guru mampu mengambil keputusan 11
Guru memiliki wawasan inovasi pendidikan. Al-Quran telah mengisyaratkan peran para Nabi dan pengikutnya dalam
pendidikan dan fungsi fundamental mereka dalam pengkajian ilmu-ilmu Ilahi serta aplikasinya. Isyarat tersebut, salah satunya terdapat dalam firman-Nya berikut ini:
ا بر ۡب
ۡثع ۡ يف
سر
ا ۡ
ۡ ۡتي
ْا ۡي ع
ۡ ياء
كت عي
ۡت ب
ۡ ۡ ح
ة ۖۡ يكزي
ك إ ت أ
ۡ زيزع
ۡ ي ح
٢١١
Artinya: “Ya Tuhan Kami, utuslah untuk mereka seorang Rasul dari kalangan
mereka, yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat Engkau, dan mengajarkan kepada mereka Al kitab Al-quran dan Al-Hikmah As-sunnah
serta mensucikan mereka. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana
.” QS. Al-Baqarah: 129. Ayat di atas dapat dipahami bahwa umat Islam dianjurkan untuk mengajarkan
ilmu pengetahuan dan menjadi seorang guru kepada orang lain atau siswa, mendidiknya dengan akhlak Islam dan membentuknya menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Allah SWT. Nabi Muhammad SAW diutus oleh Allah SAW ke muka bumi dengan tujuan
untuk membebaskan manusia dari kejahilan kepada pemahaman dan aqidah yang benar. Dapat dikatakan bahwa Rasulullah SAW diutus untuk mengenal Allah
SWT, ajaran Islam, dan juga mengamalkan ajarannya dengan sungguh-sungguh sehingga selamat dunia akhirat.
Hal ini menunjukkan bahwa Nabi Muhammad SAW diutus untuk menjadi seorang guru yang dapat membebaskan manusia dari kesesatan dan meluruskannya
ke jalan yang baik dan benar yang diridhai Allah SWT. Guru adalah salah satu faktor yang mempengaruhi kualitas pendidikan Majid
dan Dian, 2006: 166. Guru memiliki peran yang sangat penting bagi peningkatan kualitas pembelajaran dalam banyak aspek, secara khusus pada peserta didik.
Posisi guru tidak akan pernah bisa digantikan dengan kemajuan teknologi yang berkembang dewasa ini karena pola pendekatan guru lebih utama bagi peserta
didik dalam merasakan pengetahuan, interaksi, dan meneladani sikap gurunya. Peran guru diharapkan dapat menambah volume kualitasnya, tentu bagi guru harus
mengerti dan paham apa sebenarnya peran sebagai guru dalam pembelajaran. Berikut beberapa peran guru yang dapat diketahui:
a.
Guru sebagai sumber belajar Peran guru sebagai sumber belajar berkaitan erat dengan penguasaan materi
pelajaran. Penguasaan materi pelajaran merupakan indikator penilaian atas guru tentang kemampuannya menguasai materi pelajaran agar peserta didik
menjadikan gurunya sebagai sumber belajar. Seorang pendidik akan senantiasa menyampaikan ilmu pengetahuan yang dimilikinya kepada peserta didik
sehingga dapat diserap kemudian dikembangkan oleh peserta didik di kemudian hari. Hadits Rasulullah SAW menyatakan:
“Sampaikanlah dariku walau hanya satu ayat” H.R. Bukhari. b.
Guru sebagai fasilitator Peran guru sebagai fasilitator adalah memberikan pelayanan untuk
mempermudah peserta didik dalam kegiatan pembelajaran. Pelayanan yang dilakukan secara baik akan berdampak positif bagi kemajuan peserta didik
dalam menemukan potensi, ataupun pengetahuan dan pemahaman yang utuh tentang suatu materi pembelajaran. Hal ini sesuai dengan firman Allah surat
An-Nahl ayat 43:
ٓا ۡرأ
ۡ س ا
ۡبق ك
ا إ اجر
ا
ٓيح ۡي إ
ۖۡ ۡسف
ْٓا ۡهأ
ۡك ر
إ ۡ ت ك
ا ۡعت
“Dan Kami tidak mengutus kepada kamu, kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka; maka bertanyalah kepada orang yang
mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui. ”
c. Guru sebagai pengelola manajer
Peran guru sebagai pengelola pembelajaran adalah menciptakan iklim belajar yang menyenangkan bagi peserta didik dalam belajar secara nyaman. Melalui
pengelolaan kelas agar tetap kondusif untuk terjadinya proses belajar seluruh peserta didik. Dalam melaksanakan pengelolaan pembelajaran ada dua macam
kegiatan yang harus dilakukan guru, yaitu mengelola sumber belajar dan melaksanakan peran sebagai sumber belajar itu sendiri.
Dengan demikian, selain sebagai salah satu sumber belajar bagi para siswa di sekolah, guru juga berperan sebagai fasilitator siswa dan pengelola kegiatan
belajar mengajar di kelas. Sehingga berdasarkan hal tersebut penulis menyimpulkan bahwa guru memiliki peran yang sangat penting dalam terciptanya
kemampuan literasi informasi siswa, karena guru dengan berbagai peranannya akan mampu membuat siswa mengembangkan kemampuan berpikir kritis sebagai
indikator tercapainya kemampuan literasi informasi.
1.1 Metode Pembelajaran Pendidikan Agama Islam
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa guru dalam proses pendidikan sangat menentukan keberhasilan belajar siswa. Proses
pembelajaran akan efektif apabila didukung komunikasi dan interaksi antara guru dengan siswa yang intensif. Guru dapat merancang metode-metode
pembelajaran sehingga siswa dapat belajar secara optimal.
Dari beberapa definisi menurut para ahli menyebutkan bahwa metode pembelajaran merupakan suatu cara yang digunakan oleh pendidik dalam
pembelajaran di kelas maupun di luar kelas. Berikut definisi-definisi menurut para ahli :
1 Menurut Sanjaya 2010: 147 “Metode adalah cara yang digunakan untuk
melengimplementasikan rencana yang sudah disusun dalam kegiatan nyata agar tujuan yang telah disusun tercapai secara optimal
.” 2
Hasibuan dan Moedjiono 2013: 3 “Metode adalah alat yang dapat merupakan bagian dari perangkat alat dan cara dalam pelaksanaan suatu
strategi belajar mengajar .”
3 Warsita 2008:273 “Metode pembelajaran adalah cara yang digunakan
oleh guru dalam menyampaikan pesan pembelajaran kepada peserta didik dalam mencapai tujuan pembelajaran
.” Dari ketiga definisi di atas dapat disimpulkan bahwa metode
pembelajaran merupakan langkah-langkah dalam proses pembelajaran yang dapat dilakukan oleh guru atau pendidik. Pendidik atau guru memilih metode
yang tepat disesuaikan dengan materi pelajaran agar tujuan pembelajaran dapat tercapai.
Dapat disimpulkan dari berbagai pengertian di atas metode pembelajaran adalah cara yang dipergunakan oleh para guru pada saat berlangsungnya
pembelajaran, untuk mengadakan interaksi guru dengan siswa. Dalam interaksi ini guru berperan sebagai penggerak atau pembimbing, sedangkan
siswa berperan sebagai penerima atau yang dibimbing.
Metode mengajar yang baik adalah metode yang dapat menumbuhkan kegiatan belajar siswa. Metode pengajaran dapat digambarkan secara umum
yang merupakan suatu cara untuk mencapai tujuan pembelajaran. Untuk pelaksanaan pembelajaran, ada beberapa metode pembelajaran yang dapat
dipilih. Setiap metode memiliki ciri khas tertentu dalam penggunaannya yang perlu disesuaikan dengan tujuan pembelajaran yang akan dicapai. Metode
pembelajaran yang dapat digunakan antara lain metode presentasi, metode diskusi, metode permainan, metode simulasi, metode ceramah, metode tanya
jawab, metode demonstrasi, metode penemuan, metode latihan, dan metode kerja sama Warsita, 2008: 273.
Dengan demikian, di dalam pembelajaran terdapat kegiatan memilih, menetapkan, dan mengembangkan metode untuk mencapai hasil pembelajaran
yang diinginkan. a.
Jenis-jenis Metode Pembelajaran Metode pembelajaran dapat dijadikan pola pilihan, artinya para guru
boleh memilih metode pembelajaran yang sesuai dan efisien untuk mencapai tujuan pendidikannya. Metode merupakan salah satu faktor penting dalam
proses pembelajaran untuk menetukan keberhasilan belajar. Metode merupakan cara yang dipakai seorang pendidik untuk menyampaikan materi
kepada siswa. Pemilihan metode pembelajaran pada dasarnya perlu disesuaikan dengan tujuan yang akan dicapai oleh peserta didik. Seorang
pendidik tidak hanya memberikan materi ataupun penilaian saja namun seorang pendidik perlu memberikan metode yang berpengaruh kepada hasil
dari proses pembelajaran siswanya.
Berbagai metode harus disiapkan oleh pendidik, pendidik haru memiliki metode pengajaran yang bervariasi, berencana dan berlanjut. Pendidik harus
selalu mempunyai ide-ide yang kreatif untuk menunjang dan meningkatkan kemampuan siswa dalam belajar. Dalam kegiatan proses pembelajaran
khususnya pada pembelajaran PAI lebih membutuhkan proses pembelajaran pemahaman dan pengamalan, guru juga dapat memanfaatkan media
pembelajaran agar dapat memberikan pengajaran yang maksimal.
Beberapa metode pembelajaran yang biasa digunakan guru dalam menyampaikan pelajaran adalah sebagai berikut:
1. Metode Demonstrasi
Metode demonstrasi merupakan sebuah metode yang dilakukan oleh guru dengan cara mencontohkan terlebih dahulu kepada siswa. Dalam
pelaksanaan demonstrasi, guru harus sudah yakin bahwa seluruh siswa dapat memperhatikan dan mengamati terhadap objek yang akan
didemonstrasikan.
Menurut Sutikno 2009: 96 metode demonstrasi adalah metode membelajarkan dengan cara memperagakan barang, kejadian, aturan, dan
urutan melakukan suatu kegiatan, baik secara langsung maupun melalui