BAB I GEREJA DALAM KITAB SUCI.docx

(1)

BAGIAN PERTAMA

EKLESIOLOGI HISTORIS

Sasaran bagian historis, seperti sudah dikatakan, bukanlah sejarah Gereja dan bukan pula sejarah Eklesiologi, melainkan sejarah pengertian atau kesadaran yang dimiliki Gereja tentang dirinya sendiri sepanjang peredaran zaman. Pertama-tama kita akan mempelajari auto-pengertian atau kesadaran asal mula, yakni yang tersirat dalam Kitab Suci, baik Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru. Lantas kita akan mempelajari bentuk-bentuk utama auto-pengertian atau kesadaran turunan yang terdapat dalam pemikiran para teolog terutama pada periode patristik, skolastik, modern dan masa kini.

BAB I:

GEREJA DALAM KITAB SUCI

Agar ita bisa membahas Gereja secara tepat, pertama-tama perlulah disepakati arti istilah

‘Gereja’. Kesepakatan arti ini penting dan diperlukan untuk mencegah segala salah paham. a. Pertama, arti istilah ‘Gereja’ bukanlah suatu ajaran atau kumpulan ajaran yang lengkap dari

Yesus Kristus. Gereja bukanlah suatu kumpulan ajaran atau doktrin, melainkan terdiri atas pribadi-pribadi (persona). Memang pribadi atau individu-individu ini menganut suatu ajaran atau kumpulan ajaran tertentu yang membedakan mereka dengan kelompok-kelompok sosial lainnya. Akan tetapi bila kita berbicara tentang Gereja, yang pertama-tama dan terutama adalah kumpulan pribadi-pribadi yang percaya dan menghayati (melaksanakan) pribadi dan ajaran Yesus Kristus. Maka dapat juga kita katakan bahwa Gereja itu bukan serta merta agama Kristen, sebab pada hakekatnya agama adalah suatu kumpulan ajaran dan upacara-upacara suci.

b. Kedua, istilah Gereja juga bukan diartikan sebagai hirarki gerejawi. Gereja bukanlah Paus atau para Uskup atau para Imam dan diakon. Penggunaan istilah Gereja dalam arti yang dibatasi ini biasa sekali berkembang di antara orang Kristen juga; akan tetapi jelas penggunaan arti seperti itu tidak tepat dan berakibat sangat buruk. Sejatinya, Gereja itu terdiri atas semua orang yang sudah dibaptis dan mengakui imannya akan Yesus Kristus; dan sama sekali tidak dapat disamakan hanya dengan mereka yang memimpinnya.

c. Ketiga, Gereja adalah perkumpulan atau paguyuban orang-orang Kristen dengan hak dan kewajiban yang pada hakekatnya sama. Gereja adalah suatu keluarga “religius” (= rohani), di mana kita, orang Kristen mengambil bagian justru sebagai orang Kristen. Gereja itu adalah


(2)

keluarga, di mana kita yang percaya akan Yesus Kristus masuk sebagai anggota. Berkat keanggotaan kita dalam keluarga ini, kita memiliki suatu hubungan yang istimewa dan erat sekali, baik dengan Yesus Kristus sebagai Pendiri dan Kepala kita maupun dengan semua orang yang percaya kepada Dia. Kekerabatan tersebut bukan kodrati, melainkan adikodrati, karena mereka yang percaya kepada Yesus Kristus “diperanakkan bukan dari darah atau dari daging, bukan pula secara jasmani oleh keinginan seorang laki-laki, melainkan dari Allah” (bdk. Yoh 1: 13).

1. A

NTISIPASI

E

KLESIOLOGI DALAM

P

ERJANJIAN

L

AMA

Paling tidak ada dua alasan yang mendasari perlunya mempelajari antisipasi Eklesiologi dalam Perjanjian Lama. Pertama, Gereja sendiri sebenarnya dipahami sebagai kelanjutan (kontinuitas) dan warisan Israel, umat pilihan Yahweh. Kedua, Allah telah melahirkan satu tahap keselamatan bagi seluruh umat manusia dan Gereja menjadi bagian dari tahap tersebut.

a. Gereja sebagai keluarga para murid Yesus Kristus, sejak awal menyadari asal-usulnya dari umat Israel. Seperti semua orang Ibrani, orang Kristen awal memandang dirinya sebagai keturunan Abraham serta semua Bapa Bangsa lain, dan menganggap diri sebagai ahli waris perjanjian yang telah Allah adakan dengan umat terpilih. “Sebab Gereja Kristus mengakui bahwa – menurut rencana ilahi penyelamatan yang bersifat rahasia - awal mula iman serta pemilihannya sudah terdapat pada para Bapa Bangsa, Musa dan para nabi. Gereja mengakui, bahwa semua orang beriman kristiani, putera-puteri Abraham dalam iman (bdk. Gal 3: 7), terangkum dalam panggilan Bapa Bangsa itu dan bahwa keselamatan Gereja dipralambangkan secara misterius dalam keluarnya bangsa yang terpilih dari tanah perbudakan”. (NA 4).1

b. Asal Gereja dapat dicari lebih jauh dari pada Bangsa Terpilih dan berhubungan dengan fajar umat manusia; bahkan melampau batas ruang dan waktu serta kosmos dan berakar dalam kekekalan Allah. Konteks kosmos dan waktu di mana terletak dan berlangsung misteri Gereja itu diungkapkan dengan baik sekali oleh Lumen Gentium no. 2, dengan judul “Rencana Bapa yang bermaksud menyelamatkan semua orang”, berikut ini:

“Atas keputusan kebijaksanaan serta kebaikanNya yang sama sekali bebas dan rahasia, Bapa yang kekal menciptakan dunia semesta. Ia menetapkan, bahwa Ia akan mengangkat manusia untuk ikut serta menghayati hidup ilahi. Ketika dalam diri Adam umat manusia jatuh, Ia tidak meninggalkan mereka, melainkan selalu membantu merekasupaya selamat, demi Kristus Penebus, ‘citra Allah yang tak kelihatan, yang Sulung dari segala makhluk’ (Kol 1: 15). Adapun semua orang, yang sebelum segala zaman telah dipilih oleh Bapa, telah dikenalNya dan ditentukanNya sejak semula, untuk menyerupai citra PuteraNya, supaya Dialah yang menjadi sulung di antara banyak saudara (Rm 8: 29). Bapa menetapkan untuk menghimpun mereka yang beriman akan Kristus dalam Gereja kudus. Gereja itu sejak awal dunia telah dipralambangkan, serta disiapkan dalam sejarah bangsa Israel dan dalam perjanjian lama. Gereja didirikan pada zaman terakhir, ditampilkan berkat pencurahan Roh, dan akan disempurnakan pada akhir zaman. Dan pada saat itu, seperti tercantum dalam


(3)

karya tulis para Bapa yang suci, semua orang yang benar sejak Adam, ‘dari Abel yang saleh hingga orang terpilih yang terakhir’, akan dipersatukan dalam Gereja semesta di hadirat”

(LG 2).

Dalam kutipan di atas, tampak jelas bahwa dalam rencana Allah “yang mahabebas dan rahasia” itu, Gereja menyangkut bukan hanya sebagian sejarah umat manusia, melainkan merangkum seluruh sejarah umat manusia, mulai dari Adam sampai orang pilihan yang terakhir. Dengan kata lain, seluruh umat manusia dan seluruh sejarahnya, terliput dalam cakrawala Gereja. Gereja ini, seperti dijelaskan oleh Konsili Vatikan II sendiri, “merupakan suatu Sakramen, yaitu tanda dan alat kesatuan mesra dengan allah dan persatuan seluruh umat manusia” (LG 1). Artinya, Gereja itu adalah umat manusia yang dipanggil kepada persekutuan khusus dengan Allah melalui suatu partisipasi “mistik” (misteri) dalam hidup ilahiNya pada pangkuan Trinitas. “Demikianlah seluruh Gereja nampak sebagai ‘umat yang telah disatukan berdasarkan kesatuan Bapa dan Putera dan Roh Kudus’” (LG 4).

c. Guna menuntun umat manusia sampai kepada persekutuan yang tak terperikan dengan diriNya itu, sepanjang peredaran abad Allah telah melaksanakan suatu seri perbuatan luar biasa yang panjang sekali. Seri perbuatan itu luar biasa adanya karena kebijaksanaan dan kebaikan, karena kemurahan dan belaskasihanNya. Di antara perbuatan-perbuatan tersebut, ada tiga perbuatan yang paling menonjol, penuh arti dan menentukan secara khusus, di mana dengan perbuatan tersebut diadakan tiga perjanjian besar, yaitu: Perjanjian Awal dengan Adam dan Hawa, Perjanjian Lama dengan Israel, dan Perjanjian Baru dengan umat Allah yang baru.

- Perjanjian Awal, terutama berhubungan dengan tingkat ontologis: Allah mengangkat manusia pertama kepada suatu tingkat kehidupan yang lebih tinggi (status kekudusan dan kebenaran), dengan syarat mereka harus taat kepdaNya (tidak makan buah yang terlarang).

- Perjanjian Lama, menyangkut tingkat kultural: dengan memberikan hukum kepada Israel, Allah menempatkan bangsa ini pada suatu kondisi kultural yang baru, yang berbeda dengan kondisi kultural bangsa-bangsa lain dan yang memungkinkan Israel masuk dalam suatu hubungan kepercayaan serta kemesraan besar dengan Dia.

- Perjanjian Baru, berkaitan baik dengan tingkat kultural maupun tingkat ontologis: Putera Allah yang menjadi manusia menempatkan umat Allah yang baru pada kondisi kultural yang baru dengan memberikan mandatum novum (perintah baru, bdk. Yoh 13: 34-35), sakramen-sakramen dan khususnya pembaptisan dan ekaristi. Umat Allah yang baru ditempatkan juga pada suatu kondisi ontologis yang baru dengan dijadikan satu tubuh, yakni tubuh Kristus (tubuh mistik Kristus).

1.1. Perjanjian Awal antara Allah dengan manusia

Allah mempunyai rencana agung bagi umat manusia, yaitu mengikutsertakan semua manusia dalam hidup ilahiNya. Rencana ini berlangsung sepanjang segala zaman dan sejarah, dan mulai bergerak segera sesudah penciptaan alam semesta: “Atas keputusan kebijaksanaan serta kebaikanNya yang sama sekali bebas dan rahasia, Bapa yang kekal menciptakan dunia semesta. Ia menetapkan, bahwa Ia akan mengangkat manusia untuk ikut serta menghayati hidup ilahi”. (LG 2).


(4)

Namun partisipasi dalam hidup ilahi dan persatuan dengan Allah itu tidak dijatuhkan kepada manusia sebagai sesuatu yang tak terelakkan, sebagai kualitas kodrati; melainkan bersyarat. Manusia harus memenuhi suatu perjanjian, yakni harus taat kepadaNya (tidak makan buah yang terlarang). Kitab Kejadian melukiskan demikian: “Tuhan Allah mengambil manusia itu dan menempatkannya dalam taman Eden untuk mengusahakan dan memelihara taman itu. Lalu Tuhan Allah memberi perintah ini kepada manusia: semua pohon dalam taman ini boleh kaumakan buahnya dengan bebas, tetapi pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat itu, janganlah kaumakan buahnya, sebab pada hari engkau memakannya, pastilah engkau mati”

(Kej 2: 15-17).

Kemudian Kitab Kejadian mengisahkan bahwa manusia pertama, tergoda oleh si jahat, dan akhirnya melanggar perjanjian tersebut. “Perempuan itu melihat, bahwa buah pohon itu baik untuk dimakan dan sedap kelihatannya, lagi pula pohon itu menarik hati karena memberi pengertian. Lalu ia mengambil dari buahnya dan dimakannya dan diberikannya juga kepada suaminya yang bersama-sama dengan dia, dan suaminyapun memakannya. Maka terbukalah mata mereka berdua dan mereka tahu, bahwa mereka telanjang, lalu mereka menyemat daun pohon ara dan membuat cawat” (Kej 3: 6-7). Manusia pertama membayar ketidaktaatan mereka dengan kerugian yang hebat dan sedih sekali, yaitu: kehilangan persekutuan dengan Allah, kehilangan kekuasaan berdamai dengan alam, kehilangan kontrol atas naluri dan hawa nafsu, kehilangan keadaan tidak berdosa (innocentia), dan kehilangan keadaan tidak dapat mati (immortalitas). Demikianlah akhirnya manusia pertama itu: “Lalu Tuhan mengusir ia (manusia) dari taman Eden supaya ia mengusahakan tanah dari mana ia diambil. Ia menghalau manusia itu dan di sebelah timur taman Eden ditempatkanNyalah beberapa kerub dengan pedang bernyala-nyala dan menyambar-nyambar, untuk menjaga jalan ke pohon kehidupan” (Kej 3: 23-24).

Untuk memahami makna Perjanjian Awal, perlu dijelaskan tiga hal yang merupakan syarat-syarat esensial agar suatu perjanjian dapat diadakan. Ketiga hal tersebut ialah: 1) kemampuan subjek (di sini manusia pertama) untuk mengadakan suatu perjanjian dengan Allah; 2) perumusan syarat-syarat perjanjian (dari pihak Allah); 3) persetujuan dengan syarat-syarat itu (dari pihak manusia pertama).

a. Menyangkut poin 2 dan 3 tidak ada kesulitan yang berarti. Syarat-syarat yang ditentukan oleh Allah (“pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat itu, janganlah kaumakan buahnya”), ternyata jelas dan disetujui oleh manusia pertama.

b. Poin pertama kiranya dapat menimbulkan kesulitan atau persoalan. Apakah manusia pertama itu mampu atau memiliki kemampuan mengadakan perjanjian dengan Allah? Apa yang menjadikan mereka memiliki kemampuan yang istimewa ini? Para ekseget dan teolog sependapat bahwa kemampuan manusia untuk mengadakan dialog dengan Allah dan untuk mengikat perjanjian denganNya termasuk dimensi yang disebut imago Dei

(gambar Allah): “Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita”

(Kej 1: 26). Gambar dan rupa manusia dengan Allah terutama tampak dalam kebebasan, seperti diungkapkan oleh St. Gregorius dari Nissa: “Karena kebebasanlah manusia itu serupa dengan Allah, sebab ketidaktergantungan dan otonomi merupakan proprium (ciri


(5)

khas) kebahagiaan ilahi; maka karena kebebasanlah manusia itu serupa dengan Allah”.

Kebebasan bersumber pada dan mengalir dari dua kemampuan besar manusia, yakni berpikir dan berkehendak.

c. Berkat kebebasan itu, manusia (dan manusia pertama pada khususnya) mampu bertanggungjawab terhadap orang lain dan terhadap Allah juga. Karena itu, “manusia adalah satu-satunya makhluk yang dapat disapa dengan ‘engkau’ oleh Allah; kepadanya Allah menyampaikan perintah-perintah; dan berdiamnya manusia di Firdaus tergantung pada pelaksanaan perintah-perintah tersebut, sedangkan ketidaktaatan dihukum. Maka gambar Allah rupanya menunjukkan suatu makhluk yang mampu berdialog dengan Allah, yaitu suatu makhluk yang mampu masuk dalam hubungan personal dengan Allah, dan dalam hubungan ini tersangkut mendengarkan panggilan dan memberi jawaban sebagai komitmen yang bebas”.2 Dengan kebebasannya manusia pertama disanggupkan mengadakan perjanjian dengan Allah guna berpartisipasi dalam hidup ilahi, dan mereka mampu menanggung satu-satunya syarat yang dituntut oleh Allah (tidak makan buah terlarang). Tetapi ternyata manusia pertama tidak menuruti perjanjian itu: mereka makan buah pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat itu, maka mereka diusir dari taman Firdaus dan kehilangan persekutuan dengan Alah dan sekaligus kehilangan ganjaran “tidak dapat mati” (immortalitas), baik bagi diri mereka sendiri maupun bagi keturunan mereka.

1.2. Perjanjian Lama antara Allah dengan Israel

a. Sesudah dosa manusia pertama, Allah tidak meninggalkan rencanaNya untuk mengangkat umat manusia berpartisipasi dalam hidup ilahiNya. Allah meneruskan rencana itu dengan menawarkan suatu perjanjian khusus kepada umat Israel. Peristiwa istimewa ini dikisahkan secara mengesankan oleh penulis Kitab Keluaran. Melalui Musa, Allah telah memberikan banyak tanda yang nyata tentang cinta kasihNya terhadap keturunan para Bapa Bangsa Israel yang tinggal di Mesir, terutama dengan membebaskan mereka dari perbudakan Firaun. Kemudian orang Israel tiba di padang gurun Sinai dan berkemah di sana. Dari Kitab Keluaran kita baca: “Lalu naiklah Musa menghadap Allah, dan TUHAN (YHWH) berseru dari gunung itu kepadanya: Kamu sendiri telah melihat apa yang Kulakukan kepada orang Mesir, dan bagaimana Aku telah mendukung kamu di atas sayap rajawali dan membawa kamu kepadaKu. Jadi sekarang, jika kamu sungguh-sungguh mendengarkan firmanKu dan berpegang pada perjanjianKu, maka kamu akan menjadi harta kesayanganKu sendiri dari antara segala bangsa, sebab Akulah yang empunya seluruh bumi. Kamu akan menjadi bagiKu kerajaan imam dan bangsa yang kudus. Inilah semuanya firman yang harus kaukatakan kepada orang Israel” (Kel 19: 3-6).

b. Musa kembali ke perkemahan, memanggil para tua umat Israel dan membawa ke depan mereka segala sesuatu yang diperintahkan Tuhan kepadanya. “Seluruh bangsa itu menjawab bersama-sama: segala yang difirmankan Tuhan akan kami lakukan” (Kel 19: 8). Maka Musa datang lagi menghadap Tuhan untuk menyampaikan jawaban bangsa Israel. “Lalu Allah mengucapkan segala firman ini: Akulah Tuhan, Allahmu, yang


(6)

membawa engkau keluar dari tanah Mesir, dari tanah perbudakan. Jangan ada padamu allah lain di hadapanKu. Jangan membuat bagimu patung yang menyerupai apapun yang ada di langit di atas, atau yang ada di bumi di bawah, atau yang ada di air di bawah bumi. Jangan sujud menyembah kepadanya atau beribadah kepadanya, sebab Aku, Tuhan, Allahmu, adalah Allah yang cemburu, yang membalaskan kesalahan bapa kepada anak-anaknya, kepada keturuan yang ketiga dan keempat dari orang yang membenci Aku, tetapi Aku menunjukkan kasih setia kepada beribu-ribu orang, yaitu mereka yang mengasihi Aku dan yang berpegang pada perintah-perintahKu” (Kel 20: 1-6).

c. Kisah Kitab Keluaran di atas mengungkapkan dengan jelas unsur-unsur esensial Perjanjian kedua yang diadakan Allah dengan manusia.

- Perjanjian ini bukan lagi antara Allah dengan umat manusia pada umumnya, melainkan antara Allah dengan suatu bangsa tertentu, yaitu bangsa Israel yang menjadi umatNya. Bentuk perjanjian ini mirip dengan Perjanjian Awal antara Allah dengan manusia pertama. Seperti dalam setiap perjanjian, perjanjian antara Allah dan Israel juga terdapat pertukaran perjanjian.

- Yahweh (YHWH) berjanji akan memperlakukan umatNya secara khusus, yaitu: membebaskan mereka dari para penindasnya, melindungi mereka dari musuh-musuhnya, menganugerahkan kepada mereka suatau tanah yang subur dan enak untuk didiami, serta memberikan damai dan kemakmuran.

- Sedangkan pihak Israel berjanji akan mengakui Yahweh sebagai satu-satunya Allah

(“Jangan ada padamu Allah lain di hadapanKu”) dan akan menjalankan perintah-perintahNya. Berkat perjanjian (berith) ini, Israel menjadi “qāhāl YHWH” (umat Allah), bangsa yang kudus, kerajaan imam. Israel menerima dari Yahweh segala sesuatu yang penting bagi kultur suatu bangsa:3 dasar-dasar etis yang ketat (dekalog/sepuluh perintah Allah), struktur-struktur sosial dan perekonomian yang lebih adil (misalnya, perbudakan yang lamanya terbatas), nilai-nilai etis yang lebih tinggi mutunya (seperti, keadilan, solidaritas, hormat dan bakti kepada orang tua, kejujuran, kesetiaan), ritus-ritus keagamaan yang dimurnikan dari dosa penyembahan berhala dan takhyul.

Dengan mengiyakan perjanjian dengan Yahweh, Israel menanggung komitmen untuk menyesuaikan hidupnya dengan suatu kultur yang seluruhnya dipusatkan pada Allah. Atas dasar inilah tercipta keunikan umat Allah. Bangsa-bangsa lain menghasilkan dan menjadikan kulturnya sendiri, sedangkan Israel – dengan bersedia menjadi umat Yahweh – menerima dari Yahweh unsur-unsur esensial kulturnya sendiri sebagai syarat perjanjian denganNya. Sendi atau titik pangkal semuanya ini ialah bahwa Israel yang mengakui Yahweh sebagai satu-satunya Allah mereka. Dalam kultur-kultur kuno yang lain, Allah itu disamakan dengan alam atau dengan masyarakat sendiri, “sedangkan hubungan antara Yahweh dengan Israel adalah hasil tindakan

3 Di sini dan untuk selanjutnya, istilah “kultur” dipakai sesuai dengan arti yang diberikan oleh para antropolog kultural, yaitu “bentuk rohani suatu masyarakat”, artinya suatu bentuk yang unsur-unsur esensialnya ialah simbol, ritus, adat-istiadat, institusi dan nilai-nilai.


(7)

positif Yahweh sendiri; dan hubungan antara Yahweh dengan Israel dilengkapi oleh jawaban positif dari pihak Israel”.4

Berikut ini akan dipaparkan hal-hal yang perlu digarisbawahi untuk lebih mengerti pentingnya peran PL:

a. Inisiatif atau prakarsa dari Yahweh melulu. Perjanjian itu diajukan oleh Yahweh lewat suatu tindakan yang dalam PL biasa disebut pemilihan. Israel adalah umat Yahweh karena dipilih Yahweh. Prinsip kesatuan Israel sebagai umat terletak justru pada perjanjian dengan Yahweh.

“Tampak jelas bahwa Israel pada masa Hakim-hakim dan monarki merangkum banyak suku yang berlainan asalnya, dan banyak di antara mereka yang tidak mengalami peristiwa Keluaran dan pendudukan. Mereka itu dipersatukan dengan suku asli Israel karena menerima perjanjian antara Yahweh dengan Israel. Tradisi tentang kegiatan-kegiatan Yahweh yang menyelamatkan itu menjadi umum bagi semua suku: dan kewajiban-kewajiban perjanjian, khususnya kewajiban hanya menyembah Yahweh saja, menjadi norma umum. Waktu itu Israel pertama-tama merupakan suatu agama dan bukan suatu kesatuan etnis”.5 “Umat Yahweh” adalah gelar yang menjadikan bangsa Israel terbesar di antara segala bangsa. “Dan Ia pun akan mengangkat engkau di atas segala bangsa yang telah dijadikanNya, untuk menjadi terpuji, ternama dan terhormat. Maka engkau akan menjadi umat yang kudus bagi Tuhan, Allahmu, seperti yang dijanjikanNya” (Ul 26: 19). Gelar ini sudah terhormat dalam bidang kultur, karena agama selalu merupakan salah satu ungkapan tertinggi kegiatan manusiawi: dalam bidang teologi gelar ini lebih mulia dan agung. Kekhususan atau keistimewaan Israel tersebut bukan hasil penemuannya, melainkan perwujudan cinta kasih Allah kepada umat manusia. Iman dan ibadat kepada Allah yang esa (monoteisme) bukan hasil kultural bangsa Israel yang “keras kepala” itu, melainkan anugerah dari Yahweh, suatu “ciptaan baru”, salah satu peristiwa keselamatan yang sepanjang sejarah dapat dilaksanakan hanya oleh Allah, karena cinta kasihNya melulu dan kerahimanNya yang mahabesar.

b. Untuk melukiskan hubungan istimewa yang terjalin antara Yahweh dengan umatNya berkat perjanjian itu, para penulis Kitab Suci PL menggunakan analogi yang beraneka, terutama

analogi bapak – anak, suami – isteri, gembala – kawanan, raja – bawahan. Analogi-analogi tersebut berhasil menggambarkan keintiman hubungan, dalamnya ikatan,

perlindungan, perhatian dan cinta kasih Yahweh kepada umatNya. Tetapi tampak jelas juga bahwa analogi-analogi tersebut adalah hanya lambang-lambang saja yang tidak dapat dilihat secara harafiah dan yang perlu dimurnikan dari segala bentuk antropomorfisme. c. Perjanjian itu (pelaksanaan atau pelanggaran serta penafsirannya dari pihak Israel)

merupakan seutas benang merah yang melintasi serta menerangi seluruh sejarah umat Allah. Saat-saat puncak sejarah tersebut adalah: pengembaraan Israel menuju Tanah Terjanji, kemenangan-kemenangan untuk merebut tanah Kanaan, pembebasan-pembebasan dari serangan-serangan musuh berkat pimpinan para hakim di Kanaan, terbentuknya monarki dan pembebasan dari orang-orang Filistin. Peristiwa-peristiwa tersebut menunjukkan bahwa semakin besar kesetiaan Israel kepada perjanjian semakin dalam dan berdaya guna pula kehadiran Yahweh di tengah umatNya (bdk. Yeh 37: 26: Yer 31: 33). Akan tetapi, disamping

4 Mc. Kenzie, Aspetti del pensiero del Vecchio Testamento, hlm. 1800. 5 Ibid., hlm. 1820


(8)

fase-fase kesetiaan kepada perjanjian, sejarah Israel diisi pula fase-fase pelanggaran yang berat. Tindakan pelanggaran tersebut menyebabkan kemarahan Yahweh, namun sepanjang PL kehendak Yahweh untuk menyelamatkan Israel tidak pernah pudar. Para sejarawan bangsa Israel tahu bahwa letupan-letupan kemarahan Yahweh pun merupakan tindakan keselamatan (bdk. Yer 34: 22: 44: 7: Yeh 6: 12).

d. Menyangkut tujuan dan arti perjanjian, dua penafsiran yang berlawanan satu sama lain dapat kita kumpulkan dari seluruh PL, yaitu: penafsiran partikular (hanya demi keuntungan bangsa Israel saja) dan penafsiran universal (demi keuntungan semua bangsa).

- Penafsiran partikular (yang paling umam bukan hanya dalam Kitab-kitab sejarah, tetapi juga dalam Kitab-kitab para nabi), menyatakan keyakinan bahwa Israel “ialah bangsa utama di dunia dan dalam sejarah universal” dan karena itu “bangsa-bangsa lain tunduk dan harus ditundukkan kepada Yahweh dan kepada Israel”.6 Menurut perkataan Balak (bdk. Bil 23 – 24), perjanjian itu berada dalam perlindungan Yahweh yang menjadikan Israel suatu bangsa yang terpisah dari bangsa-bangsa lain, yang menjamin kemenangan atas musuh-musuhnya dan suatu kediaman aman di negerinya serta kemakmuran yang berlimpah. “Keselamatan politis berarti bukan hanya pembebasan dari para musuh, melainkan kemenangan final dan penundukan bangsa-bangsa kepada kekuasaan Israel”.7

- Penafsiran universal (yang terdapat terutama dalam Kitab Yeremia, Deutero-Yesaya dan beberapa Mazmur), tidak memandang keselamatan sebagai sebuah privilise (hak istimewa) bangsa Israel, melainkan sebagai suatu anugerah yang ditawarkan Yahweh kepada semua bangsa lewat bangsa Israel. “Berpalinglah kepadaKu dan biarkanlah dirimu diselamatkan, hai ujung-ujung bumi! Sebab Akulah Allah dan tidak ada yang lain. Demi Aku sendiri Aku telah bersumpah, dari mulutKu telah keluar kebenaran, suatu firman yang tidak dapat ditarik kembali: dan semua orang akan bertekuk lutut di hadapanKu, dan akan bersumpah setia dalam segala bahasa” (Yes 45: 22-23; bdk. Yes 56: 6-7: Yer 16: 21).

Menurut penafsiran universal itu, syarat utama untuk setia kepada perjanjian dengan Yahweh adalah iman. Iman menuntut agar orang tidak mengandalkan akalnya serta kemampuannya sendiri: iman berarti mengakui ketidakmampuan diri terhadap Allah dengan rendah hati dan menyerahkan diri sepenuhnya ke dalam tanganNya, dengan menyadari bahwa keselamatan hanya datang dari Yahweh saja. Dalam kehidupan praktis, iman itu berhubungan erat dengan kemiskinan di hadapan Allah (bdk. Yes 8: 16-18: 30: 17-18) dan dengan ibadat yang jujur dan sejati (bdk. Yes 1: 11-15). Lewat iman, manusia berpartisipasi dalam kekudusan Allah (Yes 8: 13-14). “Menurut Yesaya, iman adalah hakekat keagamaan dan spiritualitas, sedangkan ketidakpercayaan berarti pemurtadan dari Allah. Iman itu sebenarnya digambarkan sebagai pengungkapan ringkas yang melukiskan hubungan total manusia dengan Allah”.8

Syarat-syarat lain yang diperlukan untuk memperoleh keselamatan yang dijanjikan Yahweh dengan perjanjianNya adalah kemurnian hati, pelaksanaan keadilan, pertobatan batin dan cinta kasih kepada sesama. Bagi Nabi Yeremia, bertobat berarti menolak penyembahan berhala dan

6 N.H. Dahl Volk Gottes, Darmstadt 1962, hlm. 27. 7 Mc. Kenzie, Op. cit., hlm. 1815.


(9)

segala sesuatu yang menjauhkan diri dari Allah, berpaling kepada Tuhan dengan segenap hati dan kembali kepada sumber dan asal cinta pertama, yakni ke perjanjian (bdk. Yer 3: 1. 10-12). Jadi, bertobat berarti mengubah hati manusia secara mendalam dengan memurnikannya serta membuatnya siap sedia menyambut firman Yahweh, sebab manusia berdosa apabila mengikuti

“rancangan-rancangan dan kedegilan hatinya yang jahat” (Yer 7: 23-24).

e. Kesinambungan antara Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Dari uraian di atas dapat kita simpulkan sbb.: melalui sejarah umat Allah yang kompleks itu, PL dengan jelas memberi kesaksian bahwa meskipun umat Israel terus melanggar perjanjiannya, Yahweh tetap memandang dan memperlakukan Israel sebagai umatNya dan sebagai penerima pertama kerajaan itu yang akan dilantik dengan kedatanag Mesias. Tetapi, sebaliknya dari apa yang dinantikan oleh kebanyakan orang (menurut penafsiran partikular), Mesias itu tidak akan datang dengan kekuatan militer untuk membangun Israel sebagai suatu kekuasaan politik yang akan menaklukkan bangsa-bangsa lain.

- Mesias itu akan datang untuk membangun suatu kerajaan universal yang terdiri dari keadilan, cinta kasih dan damai, serta yang berdasarkan pengakuan Mesias sebagai Putera Allah. Penerimaan Putera Allah dalam rupa hamba Yahweh yang hina dina itu, akan merupakan suatu cobaan atau tantangan besar bagi umat Isreal. Apabila gagal dalam cobaan itu, Israel akan kehilangan haknya sebagai ahli waris kerajaan. Hak ini akan dipindahtangankan kepada orang-orang kafir, seperti telah dinubuatkan oleh beberapa orang-orang nabi. Dengan demkian Gereja akan didirikan tanpa Israel, tetapi bukan dengan melawan Israel. Sebelum akhir zaman, Israelpun akan bertobat, tetapi sesudah “jumlah yang penuh dari bangsa-bangsa lain telah masuk…sebab Allah tidak menyesali kasih karunia dan panggilannya” (Rm 11: 25-29).

- Dari segi teologis, bila kita membahas Perjanjian Awal dan Perjanjian Lama, kebenaran yang terutama adalah sifat perjanjian, yaitu yang tidak dapat dibatalkan dan yang bersifat universal. Praktisnya, tidak ada sesuatupun yang akan dicabut dari apa yang dimaksudkan dengan kedua perjanjian tersebut. Allah tidak pernah menarik kembali janji-janjiNya; tetapi manusia dapat merintangi keberhasilannya. Oleh karena itu, dengan adanya Gereja, partner manusiawi perjanjianlah yang mengubah, bukan perjanjian itu sendiri. Hal ini ditegaskan oleh Yesus berulangkali: tidak sesuatupun yang telah dianugerahkan Yahweh dalam Perjanjian Lama9 yang akan dicabut, melainkan semua itu akan diperkaya dan disempurnakan lebih lanjut. Salah satu hal baru dan penting dalam Perjanjian Baru (apabila dibandingkan dengan Perjanjian Lama) terdapat dalam identitas partner manusiawi: umat yang dipilih Allah bagi Perjanjian Baru, bukanlah suatu umat yang bersatu karena ikatan etnis, rasa, bahasa, atau bangsa, melainkan oleh suatu umat yang bersatu karena iman akan Yesus Kristus dan rahmat Roh Kudus.10

- Antara Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru tidak ada sela atau sekat apapun, melainkan satu kesatuan dan kontinuitas (kesinambungan). Hal ini dapat disimpulkan dengan mudah dari ungkapan-ungkapan yang digunakan Gereja bila berbicara tentang dirinya sendiri. Kebanyakan ungkapan-ungkapan tersebut dikutip dari Perjanjian Lama, misalnya: umat Allah, ekklesia, tabut perjanjian, kawanan domba, kebun anggur, mempelai terkasih, rumah Tuhan, bait Allah, Yerusalem baru, jangkar keselamatan, dll. Karena itu, dapat kita simpulkan bahwa dilihat dari

9 Seperti misalnya: cinta kasih, kemurahan hati, kesetiaan, belas kasihan, perintah-perintah, dll.


(10)

segi teologis, Israel dan Perjanjian Lama bukan hanya termasuk prasejarah Gereja, melainkan merupakan fase-fase konstituen dan esensial sejarah Gereja sendiri.

2. E

KLESIOLOGI

A

WALIDALAM

P

ERJANJIAN

B

ARU

2.1. Perjanjian Baru antara Yesus Kristus dengan umat manusia

Berkat Yesus dari Nazaret, Putera Allah yang menjelma menjadi manusia, terwujudlah perjanjian yang baru dan terbentuklah juga umat Allah yang baru, yaitu Gereja. Yesus Kristus, sang Pendiri Gereja memberikan sarana-sarana dan syarat-syarat baru, guna mencapai keintiman dan persatuan dengan Bapa yang telah diencanakanNya sejak kekal bagi umat manusia. Perjanjian Baru tidak meniadakan atau mengeliminasi Perjanjian Awal atau Perjanjian Lama, melainkan justru menggenapi keduanya. “Bapa memutuskan untuk mengumpulkan mereka, yang percaya kepada Kristus, dalam Gereja Kudus. Ia disempurnakan secara mulia pada akhir zaman” (LG 2). Dalam pribadi Kristus, Allah membaharui, memperluas dan menyempurnakan Perjanjian Lama yang telah diadakan dengan umat Israel demi keselamatan umat manusia. Untuk mencapai tujuan itu, Allah “memilih bangsa Israel menjadi umatNya; Ia mengadakan perjanjian dengannya dan mengajarkannya langkah demi langkah, sambil mengungkapkan diriNya dan keputusan kehendakNya dalam sejarah bangsa itu serta menguduskannya bagi diriNya. Akan tetapi semua ini terjadi dalam rangka persiapan dan sebagai lambang Perjanjian baru dan sempurna, yang akan dibuat dalam Kristus, dan dalam rangka persiapan serta lambang wahyu yang lebih penuh melalui Sabda Allah sendiri yang menjadi daging” (LG 9).

a. Yesus Kristus, seperti dinyatakan dengan jelas oleh Injil, meletakkan dasar umat Allah yang baru, yaitu Gereja, dengan mewartakan Kerajaan Allah: “Karena Tuhan Yesus memulai Gereja dengan memaklumkan warta gembira, yaitu kedatangan Kerajaan Allah yang telah dijanjikan di dalam Kitab Suci sejak berabad-abad: karena waktunya telah genap, dan kerajaan Allah telah dekat (Mrk 1: 15; bdk. Mat 4: 17). Kerajaan ini gemilang di depan manusia dalam sabda, karya dan kehadiran Kristus. Sabda Tuhan dibandingkan dengan benih, yang ditaburkan di ladang (Mrk 4: 14). Mereka yang mendengarkannya dengan iman dan yang terhitung dalam kawanan kecil Kristus (Luk 12: 23) telah menerima kerajaan itu. Selanjutnya benih ini mekar dan berkembang dengan tenaga sendiri sampai musim panen (Mrk 4: 26-29). Juga mukjizat-mukjizat Yesus membuktikan bahwa Kerajaan sudah datang ke dunia: “Tetapi jika Aku mengusir setan dengan kuasa Allah, maka sesungguhnya Kerajaan Allah sudah datang kepadamu. (Luk 11: 20; bdk. Mat 12: 28). Namun pada tempat pertama, Kerajaan Allah ditampakkan dalam pribadi Kristus sendiri, Putera Allah dan Putera Manusia yang datang ‘untuk melayani dan memberikan nyawaNya sebagai tebusan bagi banyak orang’ (Mrk 10: 15)” (LG 5). Realitas misteri itu telah dinanti-nantikan oleh umat Allah yang lama, akan tetapi seperti telah disinggung, bayangan mereka tentang realitas tersebut telah materialis, politis, nasionalis dan egoistis.

b. Dengan menentukan persyaratan untuk masuk Kerajaan11 dan dengan memberikan pengertian bahwa Kerajaan itu tidak terbatas hanya kepada bangsa Israel, melainkan diperuntukkan mencakupi semua bangsa, Yesus menjelaskan arti, maksud dan tujuan Perjanjian


(11)

Lama secara definitif. Lagi pula, persyaratan untuk masuk Kerajaan itu12 dan karunia yang dijanjikan Allah kepada umat mausia (pengampuan dosa, utusan Roh Kudus, anak angkat Allah) begitu besar dan baru jika dibandingkan dengan Perjanian Lama, sehingga benar-benar dikatakan bahwa Kristus, Putera yang menjadi daging, membawakan suatu perjanjian yang betul-betul baru kepada umat manusia.

c. Namun, baik pembentukan umat Allah yang baru maupun pengadaan Perjanjian Baru tidak meniadakan tema-tema dan isi Perjanjian Lama. Kesatuan rencana dan sejarah keselamatan menyangkut juga kesatuan tema-tema dan isi fundamental Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru.

“Adalah suatu kesalahan menganggap bahwa tema-tema PB seakan-akan mereka itu tidak berasal dari dan tidak berkembang dalam PL, dari mana penulis PB sendiri bertolak. Pada abad II Masehi, bidaah Marsio menolak relevansi PL untuk wahyu Kristen, dan khususnya kesatuan konsep tentang Allah dalam PL dan PB”.13

d. Seperti telah disinggung dalam pembahasan mengenai Perjanjian Lama, kesatuan tema-tema dan isi terungkap dalam kesatuan istilah-istilah yang nyata dalam dua perjanjian. “Hampir setiap kata kunci teologis dalam PB, berasal dari salah satu kata Ibrani yang pemakaiannya dan perkembangannya memiliki sejarah panjang dalam PL. Yesus dan para Rasul menggunakan istilah-istilah biasa. Tentu saja istilah-istilah itu mengalami perkembangan lebih lanjut dalam PB; akan tetapi bahasa teologis yang dipakai Yesus dan para Rasul adalah bahasa yang bisa dipahami oleh mereka sendiri dan oleh para pendengarnya”.14

2.2. Unsur-unsur baru dalam Perjanjian Baru

Dengan menciptakan umat Allah yang baru, yaitu Gereja, tampak jelas bahwa Yesus memperluas dan memperkaya lebih lanjut tema-tema dan isi Perjanjian Lama. Perluasan dan pengayaan lebih lanjut itu menyangkut bidang-bidang yang membentuk kehidupan sosial dan kultural suatu bangsa, khususnya bidang doktrin (ajaran), ritus, etika, institusi dan axiology

(theory of values atau tata nilai).

a. Dalam bidang doktrin (ajaran) kepada umat Allah yang baru, Yesus mewahyukan beberapa kebenaran luhur tentang Allah, tentang manusia dan tentang DiriNya sendiri.

- Tentang Allah, Yesus mewahyukan bahwa Yahweh adalah Bapa dan Tritunggal. - Tentang manusia, Yesus mewahyukan nilai pribadi yang melebihi segala nilai lain

di dunia dan masa depannya yang kekal.

- Tentang DiriNya sendiri, Yesus mewahyukan bahwa Dia adalah Allah dan sang Mesias.

b. Dalam bidang ritus, Yesus mengajarkan doa baru (“Bapa Kami”) dan mengadakan sakramen-sakramen.

c. Dalam bidang etika, pada hukum lama Yesus menambahkan “perintah baru” (mandatum novum) yang pokok-pokok dasarnya Yesus maklumkan dalam Sabda Bahagia dan secara singkat sekali, ketika Dia menyuruh murid-muridNya mencintai Allah dengan segenap hati

12 Yang harus diakui sebagai Allah, bukan hanya Yahweh atau Bapa, melainkan juga utusanNya atau PuteraNya. 13 Mc. Kenzie, Aspetti del pensiero del Vecchio Testamento, hlm, 1823.


(12)

dan sesama seperti diri sendiri. “Jawab Yesus kepadanya: "Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu. Itulah hukum yang terutama dan yang pertama. Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri” (Mat 22: 37-39).

d. Dalam bidang institusi, terdapat kebaharuan-kebaharuan yang lebih menyolok lagi berdasarkan hakekat sendiri umat Allah yang baru itu:

- anggota-anggotanya diperoleh “bukan dari darah atau dari daging, bukan pula secara jasmani oleh keinginan seorang laki-laki” (bdk. Yoh 1: 13), melainkan mereka ada karena ikatan iman, rahmat dan cinta kasih.

- Karena itu, di satu pihak, umat Perjanjian Lama memerlukan raja-raja dan bala tentara untuk mempertahankan tanah airnya serta mengembangkan kemakmurannya. Di lain pihak, umat Perjanjian Baru, yang terarah hanya kepada tujuan-tujuan rohani serta yang melampaui batas-batas bumi ini, tidak membutuhkan struktur-struktur politis, ekonomi dan militer: satu-satunya pemimpin yang diperlukan adalah imam.

- Dan sesungguhnya, kepada qāhāl Allah yang baru, Yesus memberikan imamat baru (diserahkanNya kepada Petrus dan keduabelas RasulNya) dengan kuasa yang jauh lebih besar (termasuk kuasa untuk mengampuni dosa) dari pada kuasa yang dimiliki imamat lama.

e. Dalam bidang axiology (nilai-nilai), Yesus menempatkan umat Allah yang baru pada suatu tingkat kualitatif yang jauh lebih tinggi, dengan menyerahkan kepadanya nilai-nilai unggul guna dihayati, misalnya cinta kasih yang mencakupi musuh-musuh juga, mengampuni kesalahan (tanpa balas dendam), kebebasan (di hadapan hukum juga apabila keperluan sesama tersangkut), doa, mempercayakan diri kepada Allah dan mengharapkan hidup yang akan datang.

f. Tetapi pengertian kita tentang Gereja sama sekali lain dengan pengertian Yesus, apabila kita memandang Gereja hanya sebagai kelompok sosial saja yang menerima dari Yesus doktrin-doktrin (ajaran), ritus, hukum, struktur dan nilai-nilai yang menandainya serta membedakannya dari kelompok-kelompok sosial lainnya. Seandainya Gereja itu hanya suatu kelompok sosial saja, maka peranan Yesus dalam mendirikan Gereja dan hubunganNya dengan umat Perjanjian Baru, tidak berbeda dari peranan dan hubungannya dengan Napoleon, Washington, Musolini atau Mao dalam dan dengan kelompok sosialnya masing-masing. Bagi Gereja, Yesus mewujudkan sesuatu yang jauh lebih besar dan jauh lebih dalam, apabila dibandingkan dengan apa yang diwujudkan oleh tokoh-tokoh tersebut bagi bangsanya masing-masing. Peranan Yesus dalam umat Perjanjian Baru jauh lebih tinggi dari peranan Musa sendiri dalam umat Perjanjian Lama. Peranan Yesus bukan hanya sebagai utusan Allah (seperti Musa) yang menyampaikan kehendak dan janji Yahweh kepada umat terpilih. Peranan Yesus adalah peranan Putera Allah yang menjelma menjadi manusia untuk mewujudkan keintiman baru antara Allah dan semua orang yang akan masuk ke dalam keluarga Perjanjian Baru.

g. Yesus mengadakan persatuan dengan Gereja jauh lebih akrab dan dalam dari pada persatuan Musa dengan umatnya:


(13)

- Musa membimbing Israel menempuh jalan yang ditunjuk oleh Yahweh; Yesus adalah jalan.

- Musa menuntun umat terpilih sampai di ambang tanah terjanji, di mana mereka dapat hidup makmur dan damai; Yesus adalah Hidup.

h. Berkaitan dengan hidup rohani, ilahi dan kekal, Yesus memainkan suatu peranan yang istimewa sekali dalam Gereja: yang menjadi anggota umat Allah yang baru serta ahli waris perjanjian yang baru, hanya mereka yang mengambil bagian dalam kehidupan Yesus, bukan secara simbolik atau figuratif, melainkan secara nyata (real). Ketika orang banyak mengerumuni Yesus, Dia bersabda kepada mereka: “Akulah roti hidup. Nenek moyangmu telah makan manna di padang gurun dan mereka telah mati. Inilah roti yang turun dari sorga: Barangsiapa makan dari padanya, ia tidak akan mati. Akulah roti hidup yang telah turun dari sorga. Jikalau seorang makan dari roti ini, ia akan hidup selama-lamanya, dan roti yang Kuberikan itu ialah daging-Ku, yang akan Kuberikan untuk hidup dunia” (Yoh 6: 48-51). Kepada orang-orang Yahudi yang bertengkar antara sesama mereka tentang arti kata-kata misteri itu, Yesus menjawab: “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya jikalau kamu tidak makan daging Anak Manusia dan minum darah-Nya, kamu tidak mempunyai hidup di dalam dirimu. Barangsiapa makan daging-Ku dan minum darah-Ku, ia mempunyai hidup yang kekal dan Aku akan membangkitkan dia pada akhir zaman. Sebab daging-Ku adalah benar-benar makanan dan darah-Ku adalah benar-benar minuman. Barangsiapa makan daging-Ku dan minum darah-Ku, ia tinggal di dalam Aku dan Aku di dalam dia. Sama seperti Bapa yang hidup mengutus Aku dan Aku hidup oleh Bapa, demikian juga barangsiapa yang memakan Aku, akan hidup oleh Aku. Inilah roti yang telah turun dari sorga, bukan roti seperti yang dimakan nenek moyangmu dan mereka telah mati. Barangsiapa makan roti ini, ia akan hidup selama-lamanya”. (Yoh 6: 53-58).

i. Banyak eklesiolog berpendapat bahwa aal-usul Gereja dapat ditelusuri pada saat Yesus mengadakan Ekaristi, yaitu pada perjamun malam terakhir bersama para muridNya. Sebagaimana Paskah pertama di Mesir merupakan titik tolak pengadaan umat Perjanjian Lama, demikian pula Paskah di mana Yesus merayakan Perjamuan Terakhir merupakan saat pengadaan umat Perjanjian Baru. Berkat perjamuan tersebut15 diadakan nukleus atau cikal bakal pertama umat Allah yang baru; di dalamnya, melalui persatuan sakramental dengan Kristus, mulai mengalir kehidupan ilahi Tritunggal yang Mahakudus. Demikianlah, “dengan merayakan qāhāl terakhir umat Israel lama pada perjamuanNya yang terakhir bersama murid-muridNya, sambil menyiapkan EkaristiNya dalam bentuk berakah (doa syukur), dan segala kurban masa persiapan digantikanNya dengan kenangan kematianNya, Yesus mengadakan GerejaNya, ekklesia tou Theou (Gereja Allah) zaman akhir ini, umat Abraham”.16

2.3. Gereja menurut Yesus Kristus

Secara teologis, tidak dapat diragukan bahwa sumber utama untuk mengerti apa itu Gereja secara benar adalah Yesus Kristus. Bagi para teolog, harus dipahami bahwa Yesus Kristus

15 Dalam perjamuan ini murid-murid Yesus menyambut untuk pertama kalinya tubuh dan darah Kristus dalam rupa roti dan anggur yang telah diberkatiNya.


(14)

bukan seorang pendiri agama atau seperti seorang tokoh historis yang terkenal atau tidak, melainkan sebagai Putera Allah. Putera Allah yang kepadaNya tergenapi pewahyuan cinta kasih tidak terbatas Allah bagi umat manusia. Yesus Kristus, sebenarnya, bukan hanya seorang

‘rivelator’, pewahyu dalam diriNya sendiri dan dalam Trinitas, melainkan juga ‘pewahyu’ dan ‘wahyu’ Gereja.

Dapat dikatakan bahwa Eklesiologi Yesus Kristus adalah Eklesiologi asal-usul (cikal bakal): Eklesiologi ini sangat penting karena merupakan dasar dari segala Eklesiologi; dan

benar, karena mengkonfirmasikan proyek atau rencana penyelamatan Allah dan membangun kriteria kebenaran dari segala Eklesiologi.

Sebagaimana dalam Kristologi, hanya Yesus sendiri yang dapat mentrasformasikan, karena Dia sendiri yang memiliki kapasitas mewahyukan identitas dirinya yang sejati (Putera Allah) kepada kita, demikian pula halnya ada Eklesiologi asal-usul, yang datang secara langsung dari Yesus.

Gereja adalah “tubuh” mistikNya, perluasan dan perpanjangan atau penerusan kemanusiaan Yesus yang menebus, tanda kelihatan dari rencana cinta ilahiNya sepanjang zaman. Hanya Sabda Tuhan yang mewahyukan kepada kita siapakah sebenarnya Yesus Kristus dan apa sebenarnya Gereja itu. Selain dari pada itu, kita perlu mendengarkan dengan kerendahan hati, penuh perhatian, taat, dan percaya, karena hanya dengan mendengarkan kita dapat mengerti kebenaran Kristus dan kebenaran Gereja. Kiranya tidak berlebihan, jika dikatakan bahwa Yesus adalah teolog dan eklesiolog pertama.17

Menyangkut Gereja, Yesus bukan hanya primum ontologicum (asal-usul ontologis), karena “Gereja muncul terutama karena penyerahan diri Kristus secara menyeluruh untuk keselamatan kita, yang didahului dalam penciptaan Ekaristi dan direalisasikan pada kayu salib”,18 tetapi juga primum logicum (asal-usul logis): Yesuslah yang telah merencanakan, memikirkan, memprogram, dan mendefinisikan Gereja. Gereja bukanlah sebuah “hasil penemuan atau ciptaan” dari Petrus dan Paulus. Gereja adalah “hasil penemuan atau ciptaan”

Yesus Kristus atau tepatnya Tritunggal Mahakudus, yang dengan dan dalam Kristus telah merealisasikan cinta kasihNya kepada umat manusia. Gereja lahir secara langsung dari hati dan kehendak Sabda yang berinkarnasi dan Gereja adalah kelanjutan kekal Sabda itu. Sebagaimana keluarga manusia memiliki asal-usul dari Adam, demikian pula “keluarga Allah”, Gereja, memiliki asal-usul dari Yesus Kristus.

2.4. Yesus Kristus “pendiri” Gereja

Gereja menyadari diri bahwa satu-satunya “pendiri”, sebagai batu penjuru yang menopang seluruh bangunan adalah Yesus Kristus. “Karena tidak ada seorang pun yang dapat meletakkan dasar lain dari pada dasar yang telah diletakkan, yaitu Yesus Kristus” (1 Kor 3: 11). Dia adalah “batu yang hidup itu, yang memang dibuang oleh manusia, tetapi yang dipilih dan dihormat di hadirat Allah” (bdk. 1 Ptr 2: 4). Dan Yesus adalah Anak Domba yang “telah disembelih dan dengan darah-Mu Engkau telah membeli mereka bagi Allah dari tiap-tiap suku dan bahasa dan kaum dan bangsa. Dan Engkau telah membuat mereka menjadi suatu kerajaan, dan menjadi imam-imam bagi Allah kita, dan mereka akan memerintah sebagai raja di bumi”

(bdk. Why 5: 9-10). Demikianlah beberapa kesaksian dari Paulus, Petrus dan Yohanes.

“Gereja, menurut kesaksian Perjanjian Baru adalah karya Yesus Kristus – dalam

17 Battista Mondin, La Chiesa sacramento d’amore, Edizioni Studio Domenicano, Bologna, 1993, hlm. 34. 18 Katekismus Gereja Katolik, no. 766.


(15)

identitas Tuhan yang hidup di dunia dan bangkit seperti telah direfleksikan oleh tulisan-tulisan PB tersebut”.19

Beberapa teolog (terutama: K. Rahner dan G. Lohfink) sedikit berhati-hati menyangkut penggunaan istilah “pendiri” untuk menggambarkan hubungan Yesus dengan Gereja. Mereka memilih menggunakan istilah “derivasi”, turunan, atau “asal-usul Gereja oleh Yesus”.

Kesulitan dalam melihat hubungan Yesus dengan Gereja, lahir dari cara memahami Gereja dan cara menafsirkan hubungannya dengan Israel. Sebenarnya, jika Gereja dimengerti sebagai agregasi, keanggotaan religius yang semuanya baru dibandingkan dengan Israel, seperti sebuah “persekutuan kedua” yang menyangkal persekutuan pertama, seperti suatu “umat Allah yang baru” yang mengecualikan yang lama, maka paham bahwa Yesus pendiri Gereja itu sah dan dapat dibenarkan. Sebaliknya paham tersebut tidak mempunyai alasan dan jatuh bila Gereja dipandang, menurut kacamata para penulis Perjanjian Baru, sebagai “Israel sejati” dan sebagai

“umat Allah” yang otentik.

Untuk menjernihkan persoalan apakah Yesus pantas dengan gelar “mendirikan” (Gereja), diperlukan verifikasi berangkat dari Yesus sendiri, bahwa Dia telah mengkonsep dan merencanakan sebuah realitas historis yang menyelamatkan seperti yang ditemukan secara aktual dalam Gereja. Tentu saja, Yesus bukan seorang Eklesiolog yang duduk di belakang meja untuk menyusun sebuah traktat tentang Gereja, dan lantas mengajarkannya kepada para muridNya. Tetapi, Yesus meskipun tanpa pernah menggunakan istilah “Gereja”, mempunyai program historis penyelamatan yang jelas untuk direalisasikan: program Kerajaan Allah. Program ini oleh Yesus dipercayakan kepada para muridNya, artinya kepada “Gereja” Nya.

Yesus mempunyai ide yang sangat jelas tentang Kerajaan Allah dan umat Allah yang menjadi bagiannya. Kerajaan Allah adalah kerajaan di mana berjaya cintaNya, hidupNya, kebahagianNya, kesucianNya: kerajaan cinta. Yang menjadi bagiannya, terutama adalah umat pilihan Allah, Israel. Pemilihan”duabelas” (murid) mempunyai makna simbolis: mewakili dua belas suku Israel. Mereka adalah rekan kerja Yesus dalam mengumpulkan Israel berhadapan dengan basileia (kerajaan) yang akan datang. Kelompok para murid sejak awal mempunyai tugas kedua, yang berkaitan dengan tugas pertama: para murid harus mewakili secara simbolis dalam keberadaan mereka, sebagai pribadi dan komunitas, semua yang terjadi di Israel: dedikasi penuh kepada Injil Kerajaan Allah, pertobatan radikal kepada sebuah cara hidup baru, komunikasi tanpa kekerasan dan tanpa dominasi, perkumpulan dalam komunitas persaudaraan. Jelas bahwa kelompok para murid bukan “sisa-sisa orang suci” Israel, bukan sebuah komunitas baru di dalam atau di luar umat Allah dan bukan komunitas yang Yesus bangun sebagai oposisi, yang didirikan seperti kelompok pengganti atau kelompok alternatif Israel. Kelompok para murid harus didefinisikan dalam terang rujukan permanen dan bermakna kepada seluruh Israel. Kelompok para murid merupakan pralambang umat eskatologis Allah, yang percaya kepada Yesus.

3.G

EREJA DALAMKESADARAN KOMUNITAS

K

RISTEN AWALI

3.1. Kesadaran tentang dirinya sendiri

19 K. Kertelge, “La realta della Chiesa nel Nuovo Testaemnto”, dalam W. Kern – H.J. Pottmeyer – M. Seckles (eds.), Trattato sulla Chiesa, Queriniana, Brescia, 1990, hlm. 133.


(16)

Kesaksian tentang eksistensi ekklesia tou Theou (Gereja Allah), umat Allah yang baru, umat Perjanjian Baru, yaitu komunitas keselamatan yang dikehendaki dan didirikan oleh Yesus Kristus, diberikan oleh Kisah para Rasul dengan panjang lebar. Kisah para Rasul20 menyatakan secara jelas kesadaran komunitas Kristen pertama tentang dirinya sendiri, asal-usul dan pendirinya, anggota-anggota dan strukturnya, iman dan kerygmanya, simbol-simbol dan ritus-ritusnya, hukum-hukumnya, adat-istiadat dan nilai-nilainya.

- Pertama-tama, komunitas Kristen awal ini menyadari dirinya sebagai komunitas Yesus, sang Mesias yang diutus Allah kepada umat manusia untuk melaksanakan sepenuhnya rencana keselamatan yang direncanakan sejak kekal dan untuk menyempurnakan Perjanjian yang telah diadakan dengan Abraham, Musa dan para Nabi. Komunitas Kristen awal menyadari diri sebagai komunitas yang dikehendaki dan didirikan Yesus guna melanjutkan karya keselamatanNya dan yang dari Dia menerima tugas supaya

“berkembang dan bertambah banyak” sampai ke ujung bumi untuk menjadikan semua orang anggota umat Allah yang baru. Komunitas Kristen awal menyadari diri sebagai komunitas Yesus dari Nazaret, seorang pribadi “yang berjalan berkeliling sambil berbuat baik dan menyembuhkan orang yang dikuasai iblis, sebab Allah menyertai Dia” (Kis 10: 38). Rasul Petrus menyatakan dengan agung: “Dan kami adalah saksi dari segala sesuatu yang diperbuat-Nya di tanah Yudea maupun di Yerusalem; dan mereka telah membunuh Dia dan menggantung Dia pada kayu salib. Yesus itu telah dibangkitkan Allah pada hari yang ketiga, dan Allah berkenan, bahwa Ia menampakkan diri, bukan kepada seluruh bangsa, tetapi kepada saksi-saksi, yang sebelumnya telah ditunjuk oleh Allah, yaitu kepada kami yang telah makan dan minum bersama-sama dengan Dia, setelah Ia bangkit dari antara orang mati. Dan Ia telah menugaskan kami memberitakan kepada seluruh bangsa dan bersaksi, bahwa Dialah yang ditentukan Allah menjadi Hakim atas orang-orang hidup dan orang-orang mati. Tentang Dialah semua nabi bersaksi, bahwa barangsiapa percaya kepada-Nya, ia akan mendapat pengampunan dosa oleh karena nama-Nya” (Kis: 39-43).

- Karena menyadari diri sepenuhnya sebagai umat Allah yang baru, sebagai komunitas keselamatan yang didirikan Yesus, maka komunitas ini membentuk diri di atas dasar prinsip-prinsip struktural, simbolis, ritual, etis, legal dan axiologis seperti yang dikehendaki Yesus. “Dan datanglah kepada-Nya, batu yang hidup itu, yang memang dibuang oleh manusia, tetapi yang dipilih dan dihormat di hadirat Allah. Dan biarlah kamu juga dipergunakan sebagai batu hidup untuk pembangunan suatu rumah rohani, bagi suatu imamat kudus, untuk mempersembahkan persembahan rohani yang karena Yesus Kristus berkenan kepada Allah” (1 Ptr 2: 4-5).

3.2. Peranan Rasul Petrus

Dengan setia kepada kehendak sang Pendiri, komunitas memelihara struktur-struktur yang telah diserahkan Yesus kepada mereka. Sejak permulaan, komunitas ini membangun diri di atas “dasar para rasul dan para nabi” dan mengumpulkan semua anggota dan kelompok dalam


(17)

satu-satunya bangunan yang batu penjuru dan kuncinya adalah Yesus Kristus. Sehingga Gereja awal menunjukkan bahwa orang-orang beriman yang menyatakan iman mereka kepada Kristus bukan tampil secara individualis, melainkan sebagai komunitas yang bergabung dalam

“keluarga keduabelas rasul”.

- Struktur esensial Gereja awal terdiri atas dua kategori orang: murid-murid biasa dan ketua-ketua21 yang bertanggungjawab atas ketertiban dan perkembangan komunitas. - Di antara para ketua itu, Petrus menduduki tempat utama. Di dalam komunitas awal,

semua keputusan yang terpenting diambil atas inisiatif Petrus atau dengan persetujuannya.

 Atas usul Petrus, “Kolegium Apostolik” (Dewan para Rasul) dilengkapi dengan memilih Matias sebagai pengganti Yudas Iskariot.

 Setelah turunnya Roh Kudus, Petrus tampil ke muka umum menghadapi massa dan dengan penuh semangat berkotbah tentang tugas perutusan Yesus dari Nazaret, sambil menegur orang-orang sebangsa karena mereka telah menolak dan membunuh Yesus, Penyelamat semua orang. Lantas, tiga ribu orang bertobat dan menerima ajaran para Rasul, bertekun dalam doa dan dalam pemecahan roti.

 Petrus ditemani Yohanes, pergi ke Bait Allah dan menyembuhkan orang lumpuh; kepada orang banyak yang penuh keheranan dan antusiasme, Petrus menyatakan bahwa mukjizat tersebut dikerjakan atas nama Yesus Kristus, yang telah wafat dan bangkit, dan yang menghendaki agar semua orang bertobat.

 Para imam, kepala pengawal dan orang-orang Saduki sangat marah kepada Petrus dan menyeretnya ke pengadilan. Di sana Petrus mewartakan Yesus dan ajaranNya dengan berani, sambil memaklumkan bahwa manusia dapat selamat hanya dalam Dia dan bahwa bagi para Rasul tidak mungkin tidak berkata-kata tentang apa yang telah mereka lihat dan mereka dengar.

 Pada Konsili Yerusalem22, Petruslah yang angkat bicara untuk menjelaskan persoalan. Dari dia jugalah usulan untuk memecahkan persoalan itu dengan meniadakan deskriminasi antara orang-orang Yahudi dan orang-orang kafir karena sunat dan adat Yahudi lain: “Kita percaya, bahwa oleh kasih karunia Tuhan Yesus Kristus kita akan beroleh keselamatan sama seperti mereka juga” (Kis 15: 11). Usulan Petrus itu diterima dan disetujui oleh semua peserta sidang.

3.3. Gereja para Rasul

Juga di dalam para Rasul, seperti dalam Yesus Kristus, kita tidak bertemu eksposisi atau penjabaran sistematis ajaran tentang Gereja. Bagi para Rasul, Gereja adalah lebih sebuah realitas yang secara intim dan mendalam hidup dari pada sebuah realitas yang dipikirkan dan dikonsepkan secara sistematis dan ketat. Para Rasul memiliki kesadaran jelas mengenai realitas misterius di mana mereka berasal dan menjadi bagian penting dan fundamental. Para Rasul mengerti apa itu Gereja, meskipun secara sebagian dan belum menyeluruh. Mereka mencoba mendefinisikan asal-usulnya, naturanya, tugas-tugasnya, pelayanannya, kharisma-kharismanya,

21 Terdiri dari keduabelas rasul yang kemudian dibantu oleh para Diakon dan para Presbiter atau Penatua.

22 Konsili Ekumenis I yang diadakan untuk membicarakan hubungan antara orang Kristen yang berasal dari bangsa Yahudi dan orang Kristen yang berasal dari bangsa-bangsa kafir.


(18)

struktur-strukturnya, dan nilai-nilainya.

Tentu saja, Eklesiologi mereka masih memiliki karakter fragmentasi (sepotong-sepotong), namun dari tulisan-tulisan mereka kita dapat mengumpulkan unsur-unsur awali “yang memungkinkan menyusun secara historis “Gereja” dan menjaga pada saat yang sama keintiman persatuan dan identitas di tengah-tengah perubahan sejarah”.23

3.4. Simbol dan ritus komunitas Kristen awali

- Simbol-simbol komunitas Kristen pertama (awal) adalah semua kebenaran fundamental yang diajarkan Yesus, yakni tentang Allah, tentang rencanaNya mengenai keselamatan universal, tentang diriNya sendiri sebagai Mesias yang melaksanakan Kerajaan Allah, tentang komunitas keselamatan yang baru: yaitu tentang kebenaran-kebenaran yang di kemudian hari akan dirangkum dalam Symbolum Apostolicum (Syahadat para Rasul). Nukleus atau cikal bakal fundamental kebenaran-kebenaran itu adalah pengakuan iman akan Yesus sebagai Mesias. Nukleus ini dapat dilihat dengan jelas dalam pewartaan Rasul Petrus dan Paulus.

 Dalam semua kotbahnya, Petrus selalu mengulangi bahwa Yesus, yang telah ditangkap dan dibunuh oleh orang-orang sebangsanya, benar-benar adalah sang Mesias. “Jadi seluruh kaum Israel harus tahu dengan pasti, bahwa Allah telah membuat Yesus, yang kamu salibkan itu, menjadi Tuhan dan Kristus” (Kis 2: 36).

 Menurut Kisah para Rasul, Paulus sesudah bertobat memulai suatu aktivitas misioner yang luar biasa dengan memberitakan kepada semua orang, Yahudi maupun bukan Yahudi, Injil tentang Yesus Kristus dan tentang kebangkitanNya (bdk. Kis 17: 3, 18: 18: 28).

- Adapun dua ritus utama yang telah diadakan oleh Yesus dan ditentukan bagi komunitasNya adalah pembaptisan24dan perjamuan ekaristi. 25 Kedua ritus ini sejak awal membedakan umat Perjanjian Baru dengan umat Perjanjian Lama. Dalam Kisah para Rasul dapat kita baca bahwa, sesudah kotbah Petrus, banyak orang yang bertobat: “Orang-orang yang menerima perkataannya itu memberi diri dibaptis dan pada hari itu jumlah mereka bertambah kira-kira tiga ribu jiwa. Mereka bertekun dalam pengajaran rasul-rasul dan dalam persekutuan. Dan mereka selalu berkumpul untuk memecahkan roti dan berdoa” (Kis 2: 41-42).

- Kedua ritus ini (seperti sakramen-sakramen lain) memiliki daya guna (efficacitas) yang istimewa: memberikan suatu perubahan yang dalam pada anggota-anggota yang menerimanya. Berkat pembaptisan, manusia dibebaskan dari dosa dan disucikan oleh Roh Kudus. Berkat ekaristi, manusia dipersatukan secara mistik namun real (nyata) dengan Tubuh Kristus dan berpartisipasi dalam hidup ilahiNya, sehingga tercipta suatu persekutuan dan persatuan istimewa di antara mereka sendiri. Sejak permulaan, perjamuan ekaristi merupakan ritus sentral dan umum bagi komunitas Kristen yang merayakannya untuk mengenangkan Tuhan Yesus dan untuk menjalankan amanatNya. “Dalam perayaan ekaristi, Gereja awal mengalami secara istimewa kedekatan, kehadiran dan persekutuan dengan Yesus. Justru

23 K. Kertelge, Op. cit., hlm. 107.

24 “Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman” (Mat 28: 19-20).

25 “Lalu Ia mengambil roti, mengucap syukur, memecah-mecahkannya dan memberikannya kepada mereka, kata-Nya: "Inilah tubuh-Ku yang diserahkan bagi kamu; perbuatlah ini menjadi peringatan akan Aku"” (Luk 22: 19).


(19)

karena ekaristi, Gereja menyadari perbedaannya dengan komunitas ‘kultural’ Yahudi, dengan setiap kelompok ‘kultural’ dan dengan setiap perserikatan kafir yang berkenaan dengan kurban. Pertemuan dan ikatannya dengan Tuhan Yesus yang Mulia dalam perayaan ini, berdasarkan partisipasinya dalam darah dan tubuh Kristus”.26

3.5. Komunitas pneumatis dan hierarkis

- Hal yang paling meyakinkan komunitas awal bahwa merekalah umat Allah yang baru dan ahli waris Perjanjian Lama adalah pengalaman dalam kehidupan mereka sehari-hari tentang kehadiran Roh Penghibur yang sangat dinamis, sang Parakletus yang telah diberitakan dan dijanjikan oleh Yesus Kristus. Komunitas awal terus-menerus merasakan bantuan dan daya Roh Kudus:

 Roh Kudus yang ‘melahirkan’ mereka sebagai komunitas pada hari Pentekosta;

 Roh Kudus yang membimbing mereka dalam setiap keputusan penting;

 Roh Kudus yang memberikan meterai khusus kepada semua anggotanya pada saat pembaptisan;

 Roh Kudus yang menerangi komunitas dalam memilih para misionaris untuk mewartakan Injil kepada semua orang.

Selain karena simbol, ritus, struktur, hukum dan nilai-nilainya, umat Allah yang baru berbeda dari orang atau kelompok lain karena pengalaman tentang kehadiran Roh Penghibur tersebut.

“Kesadaran bahwa dia telah menerima (dari Tuhan dan Mesias yang sudah dimuliakan) Roh Kudus sebagai buah sulung dan jaminan keselamatan, membedakannya secara khusus dari seluruh agama Yahudi (termasuk komunitas Qumran), apalagi dari aliran kafir dan semua bentuk ibadatnya”.27

- Berdasarkan intensitas luar biasa kehadiran Roh Kudus dalam komunitas Kristen awal itu, banyak teolog Protestan, Ortodoks dan Katolik juga (misalnya: Hans Küng), menjadikan aspek pneumatis itu khusus dan esensial, dengan mengasingkannya dengan aspek-aspek lain; dan terutama dengan mempertentangkannya dengan aspek institusional dan hierarkis. Menurut para teolog itu, aspek institusional dan hierarkis, bukan hanya sama pentingnya dengan aspek pneumatis, tetapi juga secara historis munculnya lebih kemudian dan bertentangan dengan rencana semula dan otentik dari Gereja Kristus.

- Tetapi mempertentangkan aspek pneumatis (kharismatis) dan aspek institusional sebenarnya tidak bisa dibenarkan sama sekali secara historis apalagi secara eklesiologis.

 Sesungguhnya sejarah Gereja awal, yang kita ketahui dari Kisah para Rasul, memperkenalkan suatu komunitas orang beriman yang – taat kepada rencana eklesiologis pendirinya – sejak permulaan memiliki suatu susunan hierarkis yang terdiri atas para Rasul, para Diakon dan orang beriman.

 Lagi pula sejarah Gereja awal itu memperlihatkan kepada kita bahwa Roh Kudus dalam mencurahkan kharisma-kharismaNya menghormati susunan hierarkis. Dalam memberikan bantuan, Roh Kudus memberikan tempat yang pertama kepada mereka yang memikul tanggung jawab lebih besar di dalam Gereja: dengan demikian para Rasul (khususnya: Petrus, Paulus dan Yakobus) dan para Diakon (stefanus) menerima

26 R. Schnackenburg, La Chiesa nel Nuovo Testamento, Brescia, 1975, hlm. 48-49. 27 Ibid., hlm. 20.


(20)

karunia lebih banyak dari pada kaum beriman lainnya.

 Pencurahan Roh Kudus yang pertama dan besar terjadi pada hari Pentekosta dan Rasul yang menerimanya. Ketika bantuan kharismatik diberikan kepada kaum beriman lainnya, pencurahan itu tidak terjadi sembarangan, melainkan dikuasai oleh suatu persatuan yang dalam, baik mengenai isinya maupun disiplinnya, di bawah pengawasan para Rasul.

 Iman itu tidak diperlihatkan sebagai suatu perasaan mistik dan individual, melainkan sebagai hasil pewartaan para Rasul; orang-orang diajak untuk menerima pengajaran itu dan memang mereka menerimanya: “Mereka bertekun dalam pengajaran rasul-rasul dan dalam persekutuan” (Kis 2: 42).

 Ibadat mereka jalankan dengan “memecahkan roti dan berdoa”, dan kedua kegiatan ini dilaksanakan secara komuniter (bersama-sama) di bawah pimpinan para Rasul atau para Presbiter (Penatua).

 Pembagian harta benda dan bantuan kepada orang-orang miskin dan para janda diatur oleh para Rasul.

Pendek kata, seluruh gerak kehidupan Gereja awal berlangsung di bawah tuntunan hierarki, yang dalam menjalankan semua fungsinya mendapat bantuan khusus dari Roh Kudus.28

- Kesimpulan. Dalam Gereja yang dilukiskan oleh Kisah para Rasul tidak terdapat pertentangan apapun antara dimensi atau aspek hierarkis dan pneumatis (kharismatis), meskipun dimensi pneumatis lebih luas dari pada dimensi hierarkis. Dan justru karena itu, dalam beberapa kasus, dimensi pneumatis dapat bertentangan dengan dimensi hierarkis. Namun demikian, pada umumnya antara jabatan-jabatan dan kharisma-kharisma terdapat hubungan (korelasi) timbal balik yang erat, sehingga subjek yang pertama dan utama kharisma-kharisma itu adalah jabatan-jabatan dan orang-orang yang menjalankannya.

3.6. Nilai-nilai dan hukum komunitas Yesus

- Sudah kita lihat bahwa Gereja awal berpaut pada Yesus Kristus karena simbol-simbol, ritus-ritus, struktur-struktur dan kharisma-kharismanya. Kecuali itu, Gereja awal berpaut pada Yesus Kristus karena hukum-hukum, adat istiadat dan nilai-nilainya. Hukum fundamental yang mengatur hubungan di antara para anggota umat Allah yang baru bukan “Dekalog” (10 perintah Allah) lagi, melainkan “mandatum novum” (perintah baru): cinta kasih, persaudaraan dan saling melayani. “Hukum yang berlaku bagi semua anggota Gereja, bagaimanapun fungsi-fungsi yang dijalankan di dalamnya dan demi seluruh komunitas, adalah pelayanan dan cinta kasih, seperti sudah ditentukan dan didesakkan oleh Yesus sendiri kepada murid-muridNya, dalam arti paradoksal bahwa justru yang merendahkan diri akan ditinggikan oleh Allah”.29

- Nilai-nilai yang menjiwai Gereja awal dalam tingkah laku mereka adalah nilai-nilai luhur itu yang telah didesakkan oleh Yesus kepada para pengikutNya, yakni: cinta kasih kepada sesama terutama kepada mereka yang paling melarat30, doa dan penyerahan diri kepada Allah,

28 Bdk. Ibid., hlm. 25-40. 29 Ibid., hlm. 29.


(21)

harapan akan hidup kekal, kebebasan dari semua kekuasaan yang menindas31, menghormati kehidupan dan martabat pribadi tanpa diskriminasi umur, jenis kelamin, ras, suku, bahasa dan pendapatan.

- Umat Allah yang baru berusaha menyesuaikan tingkah lakunya dengan nilai-nilai yang luhur itu, dan menjauhkan perangainya dari adat istiadat bangsa Israel dan bangsa-bangsa lain. Proses ini mengalami kesulitan dan pertentangan, seperti mengenai nilai beberapa adat istiadat umat Yahudi (kafir dan adat istiadat setempat). Persoalan yang rumit itu diselesaikan dalam Konsili Yerusalem sesuai dengan prinsip kebebasan (bdk. Kis 15: 1-21). Kejadian ini membuktikan bahwa dalam jangka waktu yang singkat, umat Allah yang baru itu menyadari identitasnya, juga mengenai adat istiadat dan tradisi. Dalam menentukan kebiasaannya, umat Allah yang baru itu dibimbing hanya oleh nilai-nilai luhur yang Tuhan Yesus desakkan kepada mereka.

- Anggota Gereja awal menyadari bahwa dalam segala hal32, mereka setia kepada Yesus dan

kepada rencana keselamatan bagi umat manusia yang telah dirancang Allah sejak kekal dan yang mulai dilaksanakan sejak Perjanjian Awal. Berkat kesetiaannya kepada Yesus ini, Gereja mendapat identitasnya sebagai umat Allah yang baru dan dengan demikian menduduki tempat serta memainkan peranan yang sekaligus membedakannya dengan semua umat dan bangsa lain: yakni bahwa Gereja adalah sakramen keselamatan bagi semua orang. Karena itu, meskipun tidak mengidentifikasikan diri dengan bangsa apapun dan juga tidak menghapuskan bangsa apapun, Gereja dapat merangkum semua bangsa. Apa yang terjadi pada hari Pentekosta33 mengungkapkan utusan abadi Gereja, umat Allah yang baru.

4. G

EREJADALAM PANDANGAN

P

AULUS

Dalam Kisah para Rasul, kita mendapati Gereja awal yang sedang bergiat dalam karya dan hanya secara implisit memaparkan teologi tentang Gereja. Kisah para Rasul menceriterakan bagaimana para pengikut Yesus – di bawah dorongan Roh Kudus menerima dan mengamalkan segala sesuatu yang diajarkan Yesus34 – membentuk diri menjadi suatu kelompok sosial. Para murid Yesus menyadari dirinya sendiri, artinya identitasnya karena mereka tahu diri sebagai umat Perjanjian Baru, umat Allah yang baru, qāhāl Yahweh yang baru. Tentu saja Gereja awal menyadari diri sendiri sebagai Gereja, akan tetapi belum memiliki suatu kesadaran eklesiologis, itu berarti belum melakukan refleksi eklesiologis. Yang pertama menyadari suatu kesadaran eklesiologis tentang Gereja, tentang hakekatnya serta tugas-tugasnya adalah Rasul Paulus. Dialah sebetulnya eklesiolog pertama dalam arti sebenarnya.

4.1. Ciri hakiki umat Allah yang baru

Paulus menerangkan dengan jelas sekali bahwa yang membedakan Perjanjian Baru dari Perjanjian Lama adalah adanya umat Allah yang baru.

31 Yaitu iblis, penguasa-penguasa politik dan agama, struktur-struktur politik dan ekonomi.

32 Yaitu dalam simbol-simbol, ritus-ritus, struktur-struktur, adat istiadat, hukum-hukum, nilai-nilai dan kharisma-kharisma.

33 Semua mengerti kotbah Petrus: orang Partia, Media, Elam, penduduk Mesopotamia, Yudea dan Kapadokia, Pontus dan Asia, pendatang dari Roma, dll.


(1)

- Sebagai anggota-anggota satu tubuh, yang tunduk kepada Kepala yang sama, para pengikut Kristus pada hakekatnya memiliki kesamaan hak dan bekerja sama demi kebaikan semua, meski jabatan dan kharismanya berbeda-beda. “Karena itu jika satu anggota menderita, semua anggota ikut menderita; jika satu anggota dihormati, semua anggota ikut bersukacita”

(1 Kor 12: 26). Persatuan tubuh dengan Kepala dan antar anggota dimulai dengan pembaptisan dan berkembang untuk selanjutnya berkat sakramen-sakramen dan terutama berkat ekaristi. Dengan sakramen ekaristi ini para anggota Gereja berpartisipasi secara real (participatio realis) dalam darah dan tubuh Kristus37 dan persatuan mereka semakin diperkuat.38

- Persatuan Tubuh (Gereja) dengan Kepala (Kristus) dan persatuan antar anggota adalah karya Roh Kudus sebagai pelaku utama. Roh Kuduslah yang – dengan menguduskan anggota-anggota tubuh Kristus – mengubah mereka dan mempersatukan mereka kepada Kristus.

“Sebab dalam satu Roh kita semua, baik orang Yahudi, maupun orang Yunani, baik budak, maupun orang merdeka, telah dibaptis menjadi satu tubuh dan kita semua diberi minum dari satu Roh” (1 Kor 12: 13.

- Gambaran “tubuh” dipakai oleh Rasul Petrus bukan hanya untuk melukiskan (secara cemerlang!) persatuan antara Gereja dan Kristus serta antar anggota Gereja sendiri, melainkan untuk mengungkapkan juga (meskipun secara figuratif) suatu ide yang nantinya para teolog akan berusaha menjelaskan dengan mempergunakan gagasan “pribadi” yang filosofis: yaitu satu kebenaran bahwa Gereja merupakan satu realitas saja, satu-satunya subjek (sebagai pelaku dan penuntun) segala sesuatu yang berkenaan dengan “tata keselamatan” sesudah kedatangan Kristus.

- Menurut Rasul Paulus dan menurut Gereja awal, tidak ada tempat bagi suatu kristianisme yang terpecah-pecah dan individualistis. Paulus memahami hanya komunitaslah tempat di mana individu mewujudkan identitasnya sebagai pengikut Kristus. Terutama berkat gagasan tubuh Kristus itu, “Paulus ikut memberikan daya dampak dan pengungkapan khas kepada ide Gereja sebagai ‘bentuk esensial dan spiritual serta eskatologis’ itu (subjek, pribadi), yang sudah dapat ‘dirasakan’ sejak permulan dalam Gereja awal, meskipun belum dirumuskan secara jelas”.39

5. G

EREJADALAM PANDANGAN

Y

OHANES

Yohanes mengembangkan sepenuhnya pandangannya tentang Gereja hanya di dalam

Kitab Wahyu. Dalam Injil dan Surat-suratnya, ia belum berbicara secara eksplisit tentang umat Allah yang baru dan menampilkan konsep Gereja yang masih agak samar-samar, sehingga kadang-kadang Injilnya ditafsirkan secara individualistis (pribadi) dan “mistis”. Tentu saja 37 “Bukankah cawan pengucapan syukur, yang atasnya kita ucapkan syukur, adalah persekutuan dengan darah Kristus? Bukankah roti yang kita pecah-pecahkan adalah persekutuan dengan tubuh Kristus?” (1 Kor 10: 16). 38 “Karena roti adalah satu, maka kita, sekalipun banyak, adalah satu tubuh, karena kita semua mendapat bagian dalam roti yang satu itu” (1 Kor 10: 17).


(2)

penafsiran yang demikian kurang tepat, karena dalam Injilnya juga, Yohanes memperlihatkan dengan jelas semua unsur yang akan “melahirkan” umat Allah yang baru, qāhāl Perjanjian Baru, yaitu antara lain:

- doktrin atau ajaran (kebapaan Allah, keallahan Kristus, kehadiran serta kedatangan Roh Kudus, hidup yang kekal, zaman akhir, dll.);

- ritus-ritus (khususnya: pembaptisan dan ekaristi); - hukum-hukum (mandatum novum);

- jabatan-jabatan (magisterium dan tuntunan); - nilai-nilai cinta kasih, doa, iman, pengharapa, dll.); - tujuan (keselamatan semua orang).

5.1. Gereja dalam Injil Yohanes

Injil Yohanes memperkaya lukisan Gereja dengan menambah dua gambaran penting, yakni gambaran kawanan domba dan gambaran pohon anggur. Pertama-tama, perlu diperhatikan bahwa kedua gambaran ini bukanlah foto-foto yang melukiskan realitas secara lengkap, melainkan ‘ibarat’, ilustrasi, simbolik – yang menggarisbawahi beberapa aspek khusus. Lewat gambaran kawanan domba dan gembala yang baik, Yohanes menonjolkan ciro-ciri khas dan esensial Gereja sebagai berikut:

- Asal-usul Gereja yang ilahi dan berasal dari Kristus. “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya Akulah pintu ke domba-domba itu. Semua orang yang datang sebelum aku adalah pencuri dan perampok, dan domba-domba itu tidak mendengarkan mereka…Akulah gembala yang baik…dan Aku memberikan nyawaKu bagi domba-dombaKu…Inilah tugas yang Kuterima dari BapaKu” (bdk. Yoh 10: 9).

- Fungsi soteriologis Gereja: Gereja itu “kandang domba” yang aman karena dijaga oleh Gembala yang baik. “Akulah pintu; barangsiapa masuk mealui Aku, ia akan selamat dan ia akan masuk dan keluar dan menemukan padang rumput” (Yoh 10: 9).

- Hubungan yang akrab antara Gereja dan Kristus: “Akulah gembala yang baik dan aku mengenal domba-dombaKu dan domba-dombaKu mengenal Aku sama seperti Bapa mengenal Aku dan Aku mengenal Bapa” (Yoh 10: 14).

- Sifat transenden dan supra-duniawi Gereja: domba-domba yang dipercayakan kepada Yesus berada di dunia, akan tetapi mereka bukanlah dari dunia (bdk. Yoh 17: 14-26).

- Struktur hierarkis Gereja: Yesus mempercayakan penggembalaan domba-dombaNya kepada Petrus dan kepada kolegium (dewan) apostolik. “Gembalakanlah domba-dombaKu” (Yoh 21: 15-19).

- Persatuan Gereja: “Dan mereka akan menjadi satu kawanan dengan satu gembala” (Yoh 10: 16).

- Panggilan misioner (pewartaan) Gereja: “Ada lagi padaKu domba-domba lain, yang bukan dari kandang ini; domba-domba itu harus Kutuntun juga dan mereka akan mendengarkan suaraKu” (Yoh 10: 16).

Melalui gambaran pokok anggur dan ranting-rantingnya40, Yohanes melukiskan aspek-aspek berikut ini:41

- Asal-usul ilahi Gereja: “Akulah pokok anggur yang benar dan BapaKulah pengusahanya” 40 Gambaran ini jelas diambil dari Perjanjian Lama; bdk. Yes 5: 1-7; Yer 2: 21, dst.


(3)

(Yoh 15: 1).

- Ikatan vital dan substansial yang mempersatukan Gereja dan Kristus: “Akulah pokok anggur dan kamulah ranting-rantingnya. Barangsiapa tinggal di dalam Aku dan Aku di dalam dia, ia berbuah banyak, sebab di luar Aku kamu tidak dapat berbuat apa-apa” (Yoh 15: 5). - Melalui gambaran ini, Yohanes ingin menjelaskan juga suatu kebenaran lain yang penting,

yaitu kesatuan ontologis, artinya kesatuan dalam kodrat atau hakekat Gereja.

Santo Paulus berusaha menjelaskan kesatuan ontologis ini lewat gambaran “tubuh”, yang terdiri dari kepala, yaitu Kristus dan anggota-anggotanya, yaitu orang-orang beriman. Gambaran pokok anggur (Kristus) dan ranting-ranting (orang beriman) dengan baik sekali mengungkapkan kebenaran bahwa realitasnya hanya satu dan subjek aktif maupun pasif hanya satu; dengan kata lain Kristus dan Gereja merupakan satu “pribadi” saja, sebab tidak ada pokok anggur tanpa ranting-ranting dan sebaliknya tidak ada ranting-ranting tanpa pokok anggur. Seluruh pertumbuhan dan kesuburan ranting-ranting bergantung pada pokok anggur, sedangkan pokok anggur mewujudkan kesuburannya melalui ranting-rantingnya: akan tetapi semuanya berkenaan dengan pokok anggur itu, yakni Kristus sedangkan ranting-rantingnya adalah Gereja.

Dengan demikian, “motif alegoris pokok anggur yang terdapat dalam Perjanjian Lama (dipindahkan oleh Yohanes) ke tanah yang baru, yaitu ke tanah Kristen: hanya umat Allah yang baru menjadi pokok anggur yang subur; dan justru melalui hubungannya dengan Kristus yang memberikan kehidupan dan kekuatan kepadanya. Dan juga kawanan domba Allah itu, yang dituntun oleh Kristus Gembalanya, terletak dalam suatu konteks yang baru, yakni melalui ikatannya yang akrab dengan Kristus, kawanan itu mencapai persekutuan yang sejati dan penuh dengan Allah”.42

5.2. Gereja dalam Kitab Wahyu

Penulis Kitab Wahyu memberikan sebuah pandangan eklesiologis lebih tersusun dan mantap. Dalam tulisannya, dia memberikan suatu individualitas atau identitas yang jelas, dengan ciri-ciri yang istimewa dan unik kepada komunitas keselamatan yang didirikan Kristus.

- Gereja adalah Israel eskatologis yang sejati, umat Perjanjian Baru yang mencakup seluruh umat manusia. Hal ini tampak dalam penglihatan (visiun) akbar tentang 144.000 orang “yang dimeteraikan” (Why 7). “Lewat gambaran 144.000 orang yang dimeteraikan, kiranya disingung secara simbolik bahwa Israel eskatologis itu dibangun di atas Israel lama dan merupakan kepenuhannya. Bagaimanapun hanya ada satu komunitas orang yang dipilih dan ditebus, yang pertama-tama dilukiskan lewat gambaran Israel eskatologis dan kemudian lewat gambaran umat keselamatan, yang bersifat universal dan yang terdiri dari semua bangsa”.43 Juga visiun yang mengagumkan tentang “seorang perempuan surgawi”, antagonis besar naga-setan itu (Why 12), memberikan kepada kita “suatu figur alegoris komunitas Perjanjian Lama dan komunitas Perjanjian Baru yang dipahami sebagai kesatuan: sesuatu yang penuh arti untuk menilai Israel lama dan untuk memperkaya pandangan tentang sejarah keselamatan, meskipun sekarang orang dapat menjadi anggota Israel eskatologis hanya berdasarkan pengakuan iman akan Yesus”.44

42 R. Schnackenburg, Op. cit., hlm. 121. 43 Ibid., hlm. 121.


(4)

- Tetapi gambaran paling khas dari Kitab Wahyu tentang Gereja adalah gambaran “mempelai Anak Domba” yang sugestif itu, gambaran yang bagus sekali untuk mengungkapkan hubungan yang erat, yang tidak terputuskan, hubungan cinta kasih tanpa syarat antara Gereja dan Kristus dan antara Kristus dan Gereja. Kebenaran ini telah dinyatakan dengan jelas oleh gambaran “Tubuh dan Kepala” (oleh Paulus) dan gambaran “pokok anggur dan ranting-rantingnya” (oleh Yohanes). Berkat konotasi manusiawi dan personal yang terdapat dalam gambaran “mempelai dan Anak Domba”, kebenaran tersebut sekarang memperoleh suatu ungkapan yang lebih sesuai, yang lebih dinamis dan dramatis. Karena ikatan tersebut (antara mempelai dan Anak Domba) bukan tenang dan tanpa derita, melainkan suatu hubungan yang dihalang-halangi oleh beraneka kejadian yang menyakitkan, suatu hubungan yang dilawan oleh banyak musuh yang berusaha dengan sekuat tenaga mau menceraikan mempelai (Gereja) dan Anak Domba (Kristus). Namun pada akhirnya, cinta kasih mempelai dan Anak Domba Allah akan menang atas semua musuh dan mengatasi segala halangan. Kemudian sebuah nyanyian penuh kegembiraan akan dilambungkan di surga: “Marilah kita bersukacita dan bersorak-sorai, dan memuliakan Dia! Karena hari perkawinan Anak Domba telah tiba, dan pengantin-Nya telah siap sedia. Dan kepadanya dikaruniakan supaya memakai kain lenan halus yang berkilau-kilauan dan yang putih bersih!” (Why 19: 7-8).

- Dua ciri khas lain dari Gereja, yang sangat digarisbawahi oleh penulis Kitab Wahyu, adalah

kekudusan dan ketidakterkalahkannya (invicibilitas). Allah menjaga agar Gereja tetap tekun dan tanpa cela terhadap segala serangan musuh-musuhnya, serta dapat mengatasi tanpa rugi segala penganiayaan hingga yang paling kejam sekalipun. Waktu Setan dan para pembantunya terbatas: Iblis tahu bahwa “waktunya sudah singkat” (Why 12: 12), jadi dia merajalela dengan geramnya yang dahsyat, namun pada dasarnya tidak dapat berbuat apa-apa. Nyanyain-nyanyian kemenangan sudah berkumandang di surga dan kegembiraan khusus memenuhi mereka yang telah mengalahkan Setan “oleh darah Anak Domba dan oleh perkataan kesaksian mereka. Karena mereka tidak mengasihi nyawa mereka sampai ke dalam maut” (Why 12: 11). Seluruh komunitas Kristus yang berziarah di bumi, didukung kekuasaan tak terkalahkan dari Anak Domba yang telah mengurbankan diri baginya, menuju dengan penuh kepercayaan kepada kemenangan terakhir, waktu pernikahannya dengan Anak Domba akan dirayakan.

- Gambaran terakhir45 tentang Gereja adalah gambaran Yerusalem Surgawi, Kota Allah.46 Dalam gambaran “Kota Kudus” dan “Yerusalem baru”, yang ditonjolkan sebenarnya adalah Gereja yang menang dan yang jaya. Buktinya, gambaran ini diberikan oleh Yohanes pada akhir Kitab Wahyu, sesudah perayaan pernikahan antara mempelai dan Anak Domba. Lewat gambaran ini, Yohanes berusaha mengungkapkan ciri-ciri khas yang diperoleh Gereja hanya apabila dia mencapai tujuan eskatologisnya: kekuasaan, kemuliaan, kesempurnaan, 45 Gambaran yang kemudian akan disukai dan direfleksikan oleh banyak penulis Kristen.

46 “Dan aku melihat kota yang kudus, Yerusalem yang baru, turun dari sorga, dari Allah, yang berhias bagaikan pengantin perempuan yang berdandan untuk suaminya. Lalu aku mendengar suara yang nyaring dari takhta itu berkata: "Lihatlah, kemah Allah ada di tengah-tengah manusia dan Ia akan diam bersama-sama dengan mereka. Mereka akan menjadi umat-Nya dan Ia akan menjadi Allah mereka. Dan Ia akan menghapus segala air mata dari mata mereka, dan maut tidak akan ada lagi; tidak akan ada lagi perkabungan, atau ratap tangis, atau dukacita, sebab segala sesuatu yang lama itu telah berlalu” (Why 21: 2-4).


(5)

kebesaran, universalitas, kemurnian, kebahagiaan, dsb.47

6. K

ESIMPULAN

Kitab Suci adalah sumber utama pengetahuan tentang gereja dan kriteria fundamental kebenaran mengenai segala sesuatu yang harus kita percayai. Hal pertama yang telah kita lakukan adalah membaca Kitab Suci untuk mengetahui apa itu Gereja dan untuk mengenal kebenaran-kebenaran yang berkenaan dengannya dan yang harus kita terima apabila kita ingin menjadi anggota-anggotanya. Hal yang dapat kita refleksikan dalam Kitab Suci adalah antisipasi Gereja dan juga realisasi Gereja.

- Antisipasi itu kita temui dalam Perjanjian Lama. Antisipasi itu adalah bangsa Israel. Israel adalah bangsa yang dipilih Allah menjadi partner suatu perjanjian khusus, suatu kesetiaan timbal balik. Allah bersabda kepada Israel: “Akulah Allahmu dan kamu adalah umatKu”. Pada gilirannya, Israel menyatakan: “Kami ini umatMu dan Engkau adalah Allah kami”. Berkat perjanjian ini, qāhāl Yahweh memasuki “skenario” (panggung) sejarah. Inilah umat terpilih, umat Allah yang menerima dari Allah simbol-simbol, ritus-ritus, hukum-hukum, struktur-struktur dan nilai-nilainya. Menurut rencana Allah, perjanjian ini memainkan suatu fungsi universal dan karena itu Israel diangkat menjadi tanda di antara bangsa-bangsa dan sebagai jaminan keselamatan bagi semua bangsa.

- Perjanjian yang telah diadakan dengan Israel, mencapai kepenuhannya dalam Perjanjian Baru: Kerajaan Mesias, yang telah dijanjikan kepada keturunan Israel, direalisasikan berkat karya Putera Allah yang menjelma menjadi manusia, yaitu Yesus Kristus. Kerajaan itu bukan dari “dunia ini” dan tujuannya bukan duniawi atau temporal, melainkan suatu kerajaan

“spiritual” melulu. Tujuannya hanya “supra duniawi” dan eskatologis, yang tentu saja dapat memiliki implikasi sosio-politis, akan tetapi sama sekali tidak bertujuan sosio-politis. Lagi pula, umat Perjanjian Baru tidak sama lagi dengan umat Perjanjian Lama. Karena ketidaksetiaan, kesombongan, kedunguannya, Israel tidak lagi memainkan peran partner

perjanjian. Tempatnya kini diambil alih oleh umat Allah yang baru, suatu umat yang tidak berdasarkan ikatan darah dan daging, seperti umat Allah yang lama, melainkan berdasarkan ikatan spiritual, sebagai hasil dari kebaikan Allah dan kurban Kristus serta karya Roh Kudus. Umat Allah yang baru ini tidak ditandai oleh faktor-faktor etnis, politis, geografis, bahasa dan bangsa, sehingga pantas disebut “meta-umat” (bukan hanya umat saja), karena melampaui, mengatasi dan merangkum semua umat.

47 “dan jalan-jalan kota itu dari emas murni bagaikan kaca bening. Dan aku tidak melihat Bait Suci di dalamnya; sebab Allah, Tuhan Yang Mahakuasa, adalah Bait Sucinya, demikian juga Anak Domba itu. Dan kota itu tidak memerlukan matahari dan bulan untuk menyinarinya, sebab kemuliaan Allah meneranginya dan Anak Domba itu adalah lampunya. Dan bangsa-bangsa akan berjalan di dalam cahayanya dan raja-raja di bumi membawa kekayaan mereka kepadanya; dan pintu-pintu gerbangnya tidak akan ditutup pada siang hari, sebab malam tidak akan ada lagi di sana; dan kekayaan dan hormat bangsa-bangsa akan dibawa kepadanya. Tetapi tidak akan masuk ke dalamnya sesuatu yang najis, atau orang yang melakukan kekejian atau dusta, tetapi hanya mereka yang namanya tertulis di dalam kitab kehidupan Anak Domba itu” (Why 21: 21-27).


(6)

- Partner yang baru memenuhi segala syarat untuk menjadi suatu umat.48 Kecuali itu, apa yang mendasari persatuan umat Allah yang baru adalah ikatan dan hubungannya dengan Putera Allah, Yesus Kristus, Sang Anak Domba Allah yang dengan mengurbankan diri telah mengampuni segala dosa manusia. Karena itu, perjanjian baru tidak lagi terdiri dari penerimaan suatu hukum, melainkan penerimaan Seorang Pribadi. Perjanjian Baru itu adalah Kristus. Umat manusia yang menerima Kristus dan masuk dalam perjanjian dengan Allah yang disempurnakan oleh PuteraNya yang menjadi manusia lewat karya Roh Kudus, akan menemui atau lebih tepatnya menerima anugerah keselamatan. Keselamatan ini adalah kebebasan dari perbudakan dosa (iblis), partisipasi dalam hidup ilahi, solidaritas dan persekutuan cinta kasih dengan sesama selama hidup di atas bumi ini dan juga visiun

Tritunggal yang membahagiakan kelak di surga.

- Selain kebenaran-kebenaran fundamental tentang umat Allah yang baru, dalam Perjanjian Baru seorang eklesiolog menemukan juga:

 gambaran yang meningkatkan pengertian tentang hakekat Gereja dan hubungannya dengan Kristus, yaitu gambaran tubuh, pokok anggur dan mempelai;

 struktur-struktur Gereja, melalui gambaran kawanan domba dan gembala yang baik;

 kodrat Gereja yang historis dan dinamis, melalui gambaran pohon, jala (pukat),

ladang, dll.;

 sifat Gereja yang eskatologis, melalui gambaran Kota Kudus dan Yerusalem Surgawi. - Catatan akhir: Perjanjian Baru memperkenalkan kepada kita:

 suatu Gereja (Gereja awal) yang memiliki kesadaran yang jelas tentang identitasnya, yaitu identitas sebagai umat Allah yang baru, sebagai partner dalam perjanjian yang definitif, tanda dan sarana keselamatan dan Gereja sendiri sebagai sakramen dan wadah keselamatan bagi semua orang.

 beberapa penulis Perjanjian Baru (khususnya Paulus dan Yohanes) memiliki juga kesadaran yang direfleksikan, yang membawa mereka kepada refleksi-refleksi teologis yang pertama tentang Gereja, tentang sifat-sifatnya dan fungsi-fungsinya.

 Dengan demikian, hal yang kita temui dalam Perjanjian Baru bukan hanya lukisan asal-usul Gereja, melainkan juga garis besar ilmu eklesiologi yang pertama.

48 Yaitu simbol-simbol (Injil), ritus-ritus (pembaptisan, ekaristi, rekonsiliasi, tahbisan), struktur-struktur (hierarki), hukum-hukum (mandatum novum, perintah baru) dan nilai-nilai (iman, pengharapan, cinta kasih, doa, kebebasan, solidaritas, damai).