Perjanjian Awal antara Allah dengan manusia

karya tulis para Bapa yang suci, semua orang yang benar sejak Adam, ‘dari Abel yang saleh hingga orang terpilih yang terakhir’, akan dipersatukan dalam Gereja semesta di hadirat” LG 2. Dalam kutipan di atas, tampak jelas bahwa dalam rencana Allah “yang mahabebas dan rahasia” itu, Gereja menyangkut bukan hanya sebagian sejarah umat manusia, melainkan merangkum seluruh sejarah umat manusia, mulai dari Adam sampai orang pilihan yang terakhir. Dengan kata lain, seluruh umat manusia dan seluruh sejarahnya, terliput dalam cakrawala Gereja. Gereja ini, seperti dijelaskan oleh Konsili Vatikan II sendiri, “merupakan suatu Sakramen, yaitu tanda dan alat kesatuan mesra dengan allah dan persatuan seluruh umat manusia” LG 1. Artinya, Gereja itu adalah umat manusia yang dipanggil kepada persekutuan khusus dengan Allah melalui suatu partisipasi “mistik” misteri dalam hidup ilahiNya pada pangkuan Trinitas. “Demikianlah seluruh Gereja nampak sebagai ‘umat yang telah disatukan berdasarkan kesatuan Bapa dan Putera dan Roh Kudus’” LG 4. c. Guna menuntun umat manusia sampai kepada persekutuan yang tak terperikan dengan diriNya itu, sepanjang peredaran abad Allah telah melaksanakan suatu seri perbuatan luar biasa yang panjang sekali. Seri perbuatan itu luar biasa adanya karena kebijaksanaan dan kebaikan, karena kemurahan dan belaskasihanNya. Di antara perbuatan-perbuatan tersebut, ada tiga perbuatan yang paling menonjol, penuh arti dan menentukan secara khusus, di mana dengan perbuatan tersebut diadakan tiga perjanjian besar, yaitu: Perjanjian Awal dengan Adam dan Hawa, Perjanjian Lama dengan Israel, dan Perjanjian Baru dengan umat Allah yang baru. - Perjanjian Awal, terutama berhubungan dengan tingkat ontologis: Allah mengangkat manusia pertama kepada suatu tingkat kehidupan yang lebih tinggi status kekudusan dan kebenaran, dengan syarat mereka harus taat kepdaNya tidak makan buah yang terlarang. - Perjanjian Lama, menyangkut tingkat kultural: dengan memberikan hukum kepada Israel, Allah menempatkan bangsa ini pada suatu kondisi kultural yang baru, yang berbeda dengan kondisi kultural bangsa-bangsa lain dan yang memungkinkan Israel masuk dalam suatu hubungan kepercayaan serta kemesraan besar dengan Dia. - Perjanjian Baru, berkaitan baik dengan tingkat kultural maupun tingkat ontologis: Putera Allah yang menjadi manusia menempatkan umat Allah yang baru pada kondisi kultural yang baru dengan memberikan mandatum novum perintah baru, bdk. Yoh 13: 34-35, sakramen-sakramen dan khususnya pembaptisan dan ekaristi. Umat Allah yang baru ditempatkan juga pada suatu kondisi ontologis yang baru dengan dijadikan satu tubuh, yakni tubuh Kristus tubuh mistik Kristus.

1.1. Perjanjian Awal antara Allah dengan manusia

Allah mempunyai rencana agung bagi umat manusia, yaitu mengikutsertakan semua manusia dalam hidup ilahiNya. Rencana ini berlangsung sepanjang segala zaman dan sejarah, dan mulai bergerak segera sesudah penciptaan alam semesta: “Atas keputusan kebijaksanaan serta kebaikanNya yang sama sekali bebas dan rahasia, Bapa yang kekal menciptakan dunia semesta. Ia menetapkan, bahwa Ia akan mengangkat manusia untuk ikut serta menghayati hidup ilahi”. LG 2. Namun partisipasi dalam hidup ilahi dan persatuan dengan Allah itu tidak dijatuhkan kepada manusia sebagai sesuatu yang tak terelakkan, sebagai kualitas kodrati; melainkan bersyarat. Manusia harus memenuhi suatu perjanjian, yakni harus taat kepadaNya tidak makan buah yang terlarang. Kitab Kejadian melukiskan demikian: “Tuhan Allah mengambil manusia itu dan menempatkannya dalam taman Eden untuk mengusahakan dan memelihara taman itu. Lalu Tuhan Allah memberi perintah ini kepada manusia: semua pohon dalam taman ini boleh kaumakan buahnya dengan bebas, tetapi pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat itu, janganlah kaumakan buahnya, sebab pada hari engkau memakannya, pastilah engkau mati” Kej 2: 15-17. Kemudian Kitab Kejadian mengisahkan bahwa manusia pertama, tergoda oleh si jahat, dan akhirnya melanggar perjanjian tersebut. “Perempuan itu melihat, bahwa buah pohon itu baik untuk dimakan dan sedap kelihatannya, lagi pula pohon itu menarik hati karena memberi pengertian. Lalu ia mengambil dari buahnya dan dimakannya dan diberikannya juga kepada suaminya yang bersama-sama dengan dia, dan suaminyapun memakannya. Maka terbukalah mata mereka berdua dan mereka tahu, bahwa mereka telanjang, lalu mereka menyemat daun pohon ara dan membuat cawat” Kej 3: 6-7. Manusia pertama membayar ketidaktaatan mereka dengan kerugian yang hebat dan sedih sekali, yaitu: kehilangan persekutuan dengan Allah, kehilangan kekuasaan berdamai dengan alam, kehilangan kontrol atas naluri dan hawa nafsu, kehilangan keadaan tidak berdosa innocentia, dan kehilangan keadaan tidak dapat mati immortalitas. Demikianlah akhirnya manusia pertama itu: “Lalu Tuhan mengusir ia manusia dari taman Eden supaya ia mengusahakan tanah dari mana ia diambil. Ia menghalau manusia itu dan di sebelah timur taman Eden ditempatkanNyalah beberapa kerub dengan pedang bernyala-nyala dan menyambar-nyambar, untuk menjaga jalan ke pohon kehidupan” Kej 3: 23- 24. Untuk memahami makna Perjanjian Awal, perlu dijelaskan tiga hal yang merupakan syarat-syarat esensial agar suatu perjanjian dapat diadakan. Ketiga hal tersebut ialah: 1 kemampuan subjek di sini manusia pertama untuk mengadakan suatu perjanjian dengan Allah; 2 perumusan syarat-syarat perjanjian dari pihak Allah; 3 persetujuan dengan syarat-syarat itu dari pihak manusia pertama. a. Menyangkut poin 2 dan 3 tidak ada kesulitan yang berarti. Syarat-syarat yang ditentukan oleh Allah “pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat itu, janganlah kaumakan buahnya”, ternyata jelas dan disetujui oleh manusia pertama. b. Poin pertama kiranya dapat menimbulkan kesulitan atau persoalan. Apakah manusia pertama itu mampu atau memiliki kemampuan mengadakan perjanjian dengan Allah? Apa yang menjadikan mereka memiliki kemampuan yang istimewa ini? Para ekseget dan teolog sependapat bahwa kemampuan manusia untuk mengadakan dialog dengan Allah dan untuk mengikat perjanjian denganNya termasuk dimensi yang disebut imago Dei gambar Allah: “Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita” Kej 1: 26. Gambar dan rupa manusia dengan Allah terutama tampak dalam kebebasan, seperti diungkapkan oleh St. Gregorius dari Nissa: “Karena kebebasanlah manusia itu serupa dengan Allah, sebab ketidaktergantungan dan otonomi merupakan proprium ciri khas kebahagiaan ilahi; maka karena kebebasanlah manusia itu serupa dengan Allah”. Kebebasan bersumber pada dan mengalir dari dua kemampuan besar manusia, yakni berpikir dan berkehendak. c. Berkat kebebasan itu, manusia dan manusia pertama pada khususnya mampu bertanggungjawab terhadap orang lain dan terhadap Allah juga. Karena itu, “manusia adalah satu-satunya makhluk yang dapat disapa dengan ‘engkau’ oleh Allah; kepadanya Allah menyampaikan perintah-perintah; dan berdiamnya manusia di Firdaus tergantung pada pelaksanaan perintah-perintah tersebut, sedangkan ketidaktaatan dihukum. Maka gambar Allah rupanya menunjukkan suatu makhluk yang mampu berdialog dengan Allah, yaitu suatu makhluk yang mampu masuk dalam hubungan personal dengan Allah, dan dalam hubungan ini tersangkut mendengarkan panggilan dan memberi jawaban sebagai komitmen yang bebas”. 2 Dengan kebebasannya manusia pertama disanggupkan mengadakan perjanjian dengan Allah guna berpartisipasi dalam hidup ilahi, dan mereka mampu menanggung satu-satunya syarat yang dituntut oleh Allah tidak makan buah terlarang. Tetapi ternyata manusia pertama tidak menuruti perjanjian itu: mereka makan buah pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat itu, maka mereka diusir dari taman Firdaus dan kehilangan persekutuan dengan Alah dan sekaligus kehilangan ganjaran “tidak dapat mati” immortalitas, baik bagi diri mereka sendiri maupun bagi keturunan mereka.

1.2. Perjanjian Lama antara Allah dengan Israel