pemerintahan itu dan mendirikan negara berdasar syariah. Jadi, selama ghaibnya Imam semua mukmin bekewajiban membantu melaksanakan tatanan yang adil
berdasarkan Syariah. Tradisi ulama, khususnya Iran, yang menjadi perlindungan rakyat di masa-
masa sulit, kedudukannya sebagai “ahli waris Nabi” tidak memungkinkannya berpangku tangan di hadapan semua ini. Maka muncullah teori dini Syi‟ah tentang
politik Syi‟ah bahwa hanya Imam yang berhak memerintah. Dan kekuasaan Imam itu sekarang dapat dipegang sementara oleh Marja‟ yang mewakili Imam
sementara menunggu kedatangan Imam Mahdi. Ini berarti bangkitnya suatu teori revolusioner yang menghapus setiap legitimasi atas kekuasaan dunia, dan tak ada
kesimpulan lain kecuali bahwa kekuasaan yang ada harus dijungkirkan dan digantikan oleh “wakil Imam”.
30
Berdasarkan pemaparan diatas penulis meyimpulkan bahwa teori dan latar belakang pemimpin negara diatas maka legitimasi menggulingkan kekuasaan
menjadi sah menurut Imam Khomeini. Negara seharusnya tidak dipimpin oleh sekelompok orang yang tidak mempedulikan nilai-nilai Islam. Masyarakat Islam
harus melingkupi keadaan sosial, ekonomi dan budaya bahkan politik dengan nilai-nilai Islam.
30
Muhammad Hasyim Assagaf, Lintasan Sejarah Iran: Dari Dinasti Achaemenia ke Rebublik Revolusi Islam, Jakarta : Fauzi Mandiri Printing, 2009, h. 538.
D. Iran Pasca Revolusi
1. Peran Ulama
Revolusi Islam Iran dibawah kepemimpinan Imam Khomeini telah merubah sistem pemerintahan Iran dari kerajaan menjadi Republik Islam Iran dengan
konsep Wilayatul Faqih dimana para ulama faqih harus memegang kekuasaan, menggantikan peran penguasa yang digagas oleh Imam Khomeini. Konsep
tersebut secara tidak langsung merubah juga peran para ulama di Iran. Dalam konsep pemerintahan Islam Imam Khomeini, kaum ulama menduduki
baik sebagai pengawal Guardian Vali, penafsir Interpreters, maupun pelaksana Executors hukum-hukum Tuhan. Oleh sebab itu, pemerintahan yang
demikian merupakan pemerintahan Islam yang sebenarnya dan adil.
31
Konsep Wilayatul Faqih dicantumkan dalam Konstitusi Republik Islam Iran RII 1979 dan ditulis ; “Rencana pemerintahan Islam yang berdasarkan Wilayatul
Faqih yang diwakili oleh Imam Khomeini..”, juga disebutkan bahwa,
“…berdasarkan prinsip-prinsip wilayatul amr, dan kepemimpinan yang terus menerus Imamah, maka konstitusi mempersiapkan lahan bagi terwujudnya
kepemimpinan oleh faqih …”.
32
Konsep Wilayatul Faqih tidak terlepas dari kecaman golongan-golongan minoritas di Iran dengan berbaragam alasan
33
, tetapi bagaimanapun Wilayatul
31
Izzatun Ni‟mah, Tokoh Agama Syiah Dalam Perkembangan Politik Iran Masa dan Pasca Revolusi TH 1978-1989, Yogyakarta: Institut Agama Islam Negeri Yogyakarta, 2002, h.
58.
32
Undang-undang Dasar RII, Humas Kedutaan Besar Iran, 1985.
33
Izzatun Ni‟mah, Tokoh Agama Syiah Dalam Perkembangan Politik Iran Masa dan Pasca Revolusi TH 1978-1989, Yogyakarta: Institut Agama Islam Negeri Yogyakarta, 2002, h.
66-70.
Faqih tetap berjalan sampai saat ini. Menurut Ayatullah Ni‟matullah Shalihi-
Najafabadi, dalam karyanya yang diberi judul Wilayat I Faqih : Hukumat Shalihan Perwakilan Faqih : Pemerintahan Orang-orang sholeh, yang diterbitkan
di Teheran pada tahun 1984 menyatakan bahwa sifat yuridis Wilayat merupakan “kontrak sosial” antara rakyat dan faqih yang dipercaya. Dalam rangka
mendekatkan kepentingan dan peranan rakyat dengan lembaga pemegang kekuasaan hukum, ia mencoba memadukan konsep modern seperti pemerintahan
mayoritas, kontrak sosial dan perwakilan representation, dengan prinsip-prinsip pemerintahan Islam. Salah satu perwujudan dari kontrak sosial tersebut adalah
melalui baiat antara rakyat dengan pemimpin faqih. Akan tetapi, Shalihi menafsirkan baiat secara dua arah : bukan hanya rakyat yang wajib menaati
pemimpin, tapi juga sebaliknya. Baiat semacam ini mengakibatkan kewajiban yang sama, baik bagi rakyat maupun pemimpin.
34
Wilayatul Faqih, menurut pasal 110 konstitusi diberi tugas dan kekuasaan untuk menunjuk fuqaha pada dewan perwalian Shuraye-Nigahban, wewenang
pengadilan tertinggi, angkatan bersenjata, dan panglima tertinggi pasukan pengawal revolusi Islam, untuk menyatakan keadaan perang dan damai, untuk
menyetujui kelayakan calon-calon presiden dan untuk memberhentikan presiden Republik berdasarkan rasa hormat terhadap kepentingan negara. Oleh karena itu
konstitusi 1979 memberikan wewenang negara yang tertinggi dan terakhir kepada Wilayatul Faqih atau Dewan fuqaha bila tidak ada Wilayatul Faqih.
35
34
Izzatun Ni‟mah, Tokoh Agama Syiah Dalam Perkembangan Politik Iran Masa dan Pasca Revolusi TH 1978-1989, Yogyakarta: Institut Agama Islam Negeri Yogyakarta, 2002, h.
71.
35
Undang-undang Dasar RII, Humas Kedutaan Besar Iran, 1985.
Dalam hal ini, peran ulama pasca revolusi sangat urgen dalam segi keagamaan, perpolitikan dan kenegaraan Iran apalagi ketika memasuki fase
ujicoba penerapan konsep Wilayatul Faqih tahun 1979-1989.
36
1. Kelembagaan Negara
Keberagaman peta pemikiran politik Iran banyak bermunculan pasca revolusi. Secara umum, terdapat tiga pandangan terkemuka. pertama, pandangan yang
mendukung diberlakukannya pemerintahan demokrasi terkendali yang sesuai dengan ideology Islam revolusioner, sebagaimana yang dikemukakan Ali Syariati.
Kedua, pandangan yang mendukung demokrasi konstitusional yang pernah dianut pasca revolusi Konstitusi 1906, dimana ulama hanya berfungsi sebagai pengawas
legislasi, seperti yang diajukan oleh Mahmud Taliqani dan Mahdi Bazargan. Ketiga, pandangan yang mengusung demokrasi agama dalam bentuk Wilayatul
faqih, yang digagas oleh Khomeini. Namun demikian, Khomeini tidak memaksakan pandangannya sendiri, meskipun dengan posisinya sebagai
pemimpin besar revolusi Islam. Hal tersebut dibuktikan dengan pengadaan referendum pada 29-10 Maret 1979 tentang bentuk negara Iran yang hasilnya 98
rakyat Iran menyetujui Iran sebagai negara republik Islam.
37
Adapun sistem kelembagaan Iran menganut asas Trias Politika. Lembaga eksekutif terdiri dari presiden, menteri dan pasdaran korps garda revolusi. Tugas
pasdaran adalah
mempersatukan kelompok-kelompok
bersenjata yang
36
Izzatun Ni‟mah, Tokoh Agama Syiah Dalam Perkembangan Politik Iran Masa dan Pasca Revolusi TH 1978-1989, Yogyakarta: Institut Agama Islam Negeri Yogyakarta, 2002, h.
75.
37
Muhammad Anis, Politik Syiah dan Demokrasi Pengalaman Iran Pasca Revolusi Islam 1979, Disertasi Sekolah Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2013, h. 150-151.
bermunculan pada akhir kekuatan Syah, membantu angkatan bersenjata Iran dalam memelihara perdamaian negara, kemerdekaan negara, dan melawan musuh-
musuh dari luar, serta menumpas gerakan kontrarevolusi seperti kelompok Mujahidin Khalq dan Fedayen Khalq yang beraliran marxis-leninis. Presiden
dipilih melalui pemilu langsung, sedangkan para menteri dipilih oleh presiden dengan persetujuan Dewan Syura.
Lembaga Legislatif terdiri dari dua dewan. Pertama, Dewan Syura yang berfungsi sebagai parlemen. Kedua, Dewab Garda, yang terdiri dari enam fuqaha
adil yang mengenal kebutuhan zamannya dan enam pakar hukum umum. Dewan ini bertugas untuk memastikan bahwa undang-undang yang dibuat oleh Dewan
Syura tidak keluar dari koridor Syariat Islam dan konstitusi, menyeleksi kandidat presiden dan anggota Dewan Syura, serta mengawasi pemilu dan referendum.
Enam fuqaha adil ditunjuk langsung oleh wali al-faqih, sedangkan enam pakar hukum umum disahkan oleh Dewan Syura melalui usulan Dewan Pengadilan
Tinggi. Lembaga Yudikatif merupakan lembaga kehakiman yang independen,
melindungi hak individu dan masyarakat, serta bertanggung jawab terhadap penegakan keadilan. Lembaga ini diketuai oleh seorang mujtahid adil yang benar-
benar mengerti urusan hukum, bijaksana dan memiliki kemampuan administrative, yang ditunjuk oleh wali al-faqih untuk jangka waktu lima tahun.
38
38
Muhammad Anis, Politik Syiah dan Demokrasi Pengalaman Iran Pasca Revolusi Islam 1979, Disertasi Sekolah Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2013, h. 154-156.