berusaha  melakukan  perlawanan  sehingga  Naharwan  berubah  menjadi  medan pertempuran.
20
Selanjutnya  Muawiyah  menjadi  khalifah  dan  mengubah  sistem pemerintahan Khulafaurrasyidin  menjadi  sistem  Monarki atau  turun  menurun di
kalangan  keluarganya.  Dapat  diduga,  perubahan  corak  pemerintahan  seperti  ini ditunjukkan  untuk  membuat  kekuasaannya  bertahan  lama  seperti  yang  terjadi
pada kekuasaan kekaisaran Persia dan kekuasaan Romawi Timur di Byzantium.
21
Pemberontakan-pemberontakan tersebut terjadi karena adanya fitnah yang disebarkan  oleh  musuh-musuh  Islam  yang  ingin  menghancurkan  umat  Islam
pasca  Nabi  Muhammad  wafat.  Beberapa  gerakan  tersebut  terbilang  revolusi walaupun tidak merubah semua nilai-nilai Islam.
2. Revolusi  Islam abad modern
Seperti  yang  penulis  uraikan  pada  pendahuluan  bahwasanya  pada  abad modern  mulai  muncul  berbagai  gerakan,  pemikiran  dan  pembaharuan  yang
ditujukan  untuk  merevolusi  keadaan  umat  Islam  pada  waktu  itu.  Gerakan  ini muncul  disebabkan  kolonialisme  dan  cengkraman  pihak  asing  diberbagai
wilayah-wilayah  Islam  yang  mengancam  kemajuan  umat  Islam.  Revolusi  Islam abad  modern  bisa  dikatakan  berawal  dari  revolusi  pemikiran  untuk  memajukan
umat Islam yang boleh dikatakan mundur secara politik, ekonomi dan budaya.
20
Jabir Qomaihah, Beroposisi Menurut Islam, Jakarta: Gema Insani Press, 1995, h. 106.
21
Didin Saefudi Buchori, Sejarah Politik Islam, Jakarta :Pustaka Intermasa, 2009, h. 52.
Menjelang abad  ke-19  Masehi,  muncul  suatu gerakan reformasi di  dunia Islam,  yang  meliputi  Iran,  Mesir,  Syria,  Libanon,  Afrika  Utara,  Turki,
Afghanistan  dan  Indonesia.  Orang-orang  yang  mengaku  sebagai  reformator  dan yang  mengemukakan  ide  dan  teori  reformasi,  muncul  di  gelanggang  pada  abad
ini.  Gerakan  ini  timbul  setelah  masa  stagnasi  yang  panjang  yang  meliputi beberapa abad. Hingga ukuran tertentu gerakan-gerakan ini merefleksikan reaksi
terhadap  penjajahan  politik,  ekonomi  dan  kultural  Barat,  dan  dalam  suatu  cara dikenal sebagai suatu kebangkitan atau kelahiran kembali dalam dunia Islam.
22
Murthada  muthahhari  menyebut  Sayyid  Jamaluddin  Al-Afghani  sebagai pelopor  rangkaian  gerakan-gerakan  reformasi  sepanjang  seratus  tahun  terakhir.
Dialah  yang  membangunkan  negara  Islam  tentang  perlunya  reformasi,  dia membuat  suatu  penilaian  yang  obyektif  tentang    penyakit-penyakit  sosial  kaum
Muslimin  dan  menunjukkan  kepada  mereka  jalan  perbaikan  serta  obat  bagi penyakit-penyakit itu.
23
Ciri  khas  yang  dibawa  Sayyid  Jamaluddin  Al-Afghani  ialah  bahwa sekalipun  ia  merupakan  seorang  reformator  yang  mendorong  kaum  muslimin
untuk  mempelajari  sains  mutakhir  serta teknologi  modern  dari peradaban Barat, untuk  berjuang  melawan  buta  huruf,  kebodohan,  dan  mengatasi  kekurangan-
kekurangan   mereka dalam bidang teknologi dan industri, namun  ia sepenuhnya menyadari akan bahaya-bahaya ektrimisme dalam modernisasi. Dengan kata-kata
lain ia tidak menghendaki kaum muslim terbawa oleh arus kecermerlangan Barat dan memulai memandang dunia luar bukan dari segi pandangan Islam tetapi dari
22
Murthada Muthahhari, M. Hasyem Penerjemah Gerakan Islam Abad XX, Jakarta: Beunebi Cipta, 1986, h. 37.
23
Murthada Muthahhari, Gerakan Islam Abad XX,  h. 39.
sudut  pandangan  Barat.  Sayyid  Jamaluddin  bukan  saja  memerangi  kolonialisme politik  Barat,  tetapi  juga  melawan  kolonialisme  kultural.
24
Selain  Sayyid Jamaluddin  al-Afghani,  terkenal  juga  murid  beliau  yaitu  Muhammad  Abduh
sebagai seorang reformator dan pembaharu Islam. Pada  dewasa  ini  di  Libanon,  Libya,  Syiria,  dan  Yaman  selatan  tetap
menggunakan  ideologi  keagamaan  sebagai  elemen-elemen  politik  dalam berjuang  melawan  kelas-kelas  imperialisme  dan  feudal  kapitalisme.  Mereka
meyakini  bahwa  sejak  awal  permulaannya,  Islam  merupakan  gerakan revolusioner. Islam membebaskan rakyat lemah pada masa lalu.
25
Gerakan  revolusi  Islam  paling  spektakuler  adalah  revolusi  Islam  Iran. Revolusi ini merupakan langkah pertama Islam dalam peranannya sebagai suatu
peradaban besar dan terakhir di dunia. Islam telah  mengambil langkah ini,  yang merupakan  langkah  pertama  dalam  perjalanannya  yang  panjang  menuju
panggung sejarah.
26
Kalim  Siddiqui  mengatakan  bahwa  Revolusi  Islam  di  Iran  merupakan revolusi yang dilatarbelakangi iklim dunia yang ditentukan oleh sistem imperialis
yang  universal  dan  global.  Sistem  imperialis  tersebut  merupakan  sistem  yang padu.  Sistem  ini  adalah  sistem  kapitalis,  sistem  eksploitatif,  dan  sistem  yang
mempunyai kesatuan global. Dengan kata lain, semua rezim lain di dunia dewasa ini  berhubungan  erat  dengan  kekuatan-kekuatan  imperialis  internasional.  Yang
24
Murthada Muthahhari, M. Hasyem Penerjemah Gerakan Islam Abad XX, Jakarta: Beunebi Cipta, 1986, h. 45.
25
Zialul Haque, Revolusi Islam di Bawah Bendera Laailahaillah, Jakarta :Darul Falah, 2000, h. 199.
26
Kalim Siddiqui , dkk, Gerbang Kebangkitan Revolusi Islam dan Khomeini dalam Perbincangan, Yogyakarta Shalahudin Press:, 1984, h. 13.
mendukung mereka adalah golongan kaya di negara-negara kaya yang bersekutu dengan  golongan  kaya  di  negara-negara  miskin.  Hal  ni  merupakan  persekutuan
dari sistem impreialis di dunia.
27
Gerakan dan pemikiran diatas menjadi awal gerakan kebangkitan Islam yang membawa  misi  menghidupkan  kembali  nilai-nilai  Islam.  Dalam  Islam  ada  dua
golongan  Sunni  dan  Syi‟ah.  Penjelasan  diatas  termasuk  golongan  Sunni  yang merupakan  revolusi  pemikiran  semata,  sementara  Syi
‟ah  yang  mempunyai sejarah  panjang  keterkaitan  agama  dan  politik  mempunyai  latarbelakang  sendiri
dalam menghidupkan nilai-nilai Islam dengan jalan revolusi.
3. Pandangan revolusi dalam khazanah Syiah
Imam  Khomeini  adalah  seorang  ulama  yang  berasa  dari  Iran.  Kurang lebih  98  adalah  orang  Islam,  dan  mayoritas  mereka  adalah  kaum  syiah
Itsna’asyari. Ketika membicarakan konsep revolusi Islam Imam Khomeini maka Syi‟ah otomatis menjadi bagiannya.
Revolusi  Islam  Iran  telah  membuktikan  keseriusan  dan  kekhawatiran pengaruh  politik,  ekonomi  serta  budaya  Islam  khususnya  di  Iran.  Revolusi  ini
juga telah menempatkan madzhab Syiah sebagai salah satu faktor yang dominan. Pertama, karena penggerak utama revolusi Iran adalah para tokoh agama kaum
mullah;  dan  kedua,  karena  mayoritas  penduduk  Iran  menganut  madzhab  ini
28
. Syiah  yang  merupakan  idiologi  mayoritas  penduduk  Iran secara  langsung    telah
memunculkan pertanyaan bagaimana Syiah memandang revolusi.
27
Kalim Siddiqui DKK, Gerbang Kebangkitan Revolusi Islam dan Khomeini dalam Perbincangan, Yogyakarta :Shalahudin Press, 1984, h. 9.
28
M. Riza Sihbudi, Dinamika Revolusi Islam Iran dari Jatuhnya Syah hingga Wafatnya Ayatullah Khomeini, Jakarta: Pustaka Hidayah, 1989, h. 41.
Murthada  Mutahhari  secara  hati-hati  mencoba  menganalisa  mengapa pemimpin  keagamaan  dari  kalangan  Sunni  tidak  mampu  melaksanakan  suatu
gerakan revolusi Islam melawan kolonialisme dan ekploitasi Barat terhadap umat Islam.  Beliau  menganggap  bahwa  sistem  keagamaan  dalam  Sunni  mempunyai
suatu  metode  yang  menjadi  sandiwara  di  tangan-tangan  para  pemerintahannya yang  diperkenalkannya  sebagai  pemegang  utama  kekuasaan.  Secara  tidak
langsung Muthada  Muthahhari menilai  bahwa kaum agama dari kalangan Sunni tidak  independen  dari  pemegang  kekuasaan.  Tetapi  tata  keagamaan  di  kalangan
Syiah  merupakan  suatu  lembaga  yang  independen,  yang  mengambil  kekuatan- dari sudut pandangan  kerohanian-hanya dari Allah saja dan- dari segi pandangan
sosial –  dari  kekuatan  massa  rakyat.  Kalangan  madzhab  Syiah  telah  menjadi
independen dari  lembaga-lembaga  para penguasa selain  kalangan  ulama  Syiah diktator.
29
Syiah  mempunyai  akar  yang  dalam  dan  luas  dalam  gerakan  melawan absolutisme  dan  kolonialisme.  Dalam  kasus  Iran  contohnya  para  ulama  Syiah
melakukan  gerakan  anti  tembakau  yang  membebaskan  Iran  dari  belenggu penjajahan  Inggris.  Kaum  agamawan  Syiah  juga  berhasil  membatasi  kekuasaan
raja pada dinasti Qajar dengan melakukan gerakan konstitusionalisme yang pada akhirnya membatasi kekuasaan otokrasi di Iran.
30
Dalam Syiah, sejarah penindasan sangat kental. mereka selalu mengaitkan kedzaliman  penguasa  dengan  penindasan.  Ali  Syariati  dalam  bukunya
“Pemimpin Mustadh‟afin” mengungkapkan bahwa Muhammad Saw mengaitkan
29
Murthada  Muthahhari,  M.  Hasyem  Penerjemah  Gerakan  Islam  Abad  XX,  Jakarta: Beunebi Cipta, 1986, h. 91-93.
30
Murthada Muthahhari, Gerakan Islam Abad XX, h. 90.
gerakan  Islami  dengan  gerakan-gerakan  lain  yang,  sepanjang  sejarah,  berjuang membebaskan rakyat. mereka bangkit menentang si kuat, si kaya dan pengecoh.
31
Bahkan  Imam  Khomeini  mengatakan  bahwa  revolusi  Islam  Iran  merupakan revolusi kaum
mustadh’afin.
32
Kalim  Siddiqui  mengatakan  bahwa  pembentuk  internal  pergerakan  atau revolusi di Iran adalah berakar dalam tradisi Islam Syiah. Tradisi ini menganggap
segala  kekuasaan  politik  sebagai  tidak  sah,  terutama  kekuasaan  monarki  dan bangsawan.  Menurut  kepercayaan  khusus  mereka,  selama  ghaibnya  Imam,
dengan  sendirinya segala kekuasaan adalah  tidak sah.  Dan  hal  ini  menyebabkan para  ulama  Syiah  menuntut  perubahan-perubahan  konstitusional  yang  dikenal
dengan  sebutan  Revolusi  Konstitusional    pada  tahun  1906-1911  di  Iran.  Usaha tersebut  bukan  untuk  mensahkan  system  tersebut  tetapi  untuk  meminimkan
derajat ketidakabsahan sistem politik tersebut.
33
Penuntutan pemerintahan Imam Husein terhadap Yazid Bin  Muawiyah  yang membawa  kepada  peristiwa  karbala  merupakan  wujud  dari  pembangkangan
terhadap  penguasa  karena  Yazid  bin  Muawiyah  dianggap  lalim,  tiran  dan penindas.  Pembangkangan  tersebut
juga oleh beberapa kalangan Syi‟ah modern seperti Dr. Ali Syariati sebagi tindakan yang revolusioner.
31
Ali Syari‟ati, Para Pemimpin Mustadh’afin, Bandung:  Muthahhari Paperbacks, 2001, h.19.
32
Panitia Peringatan Haul ke 11 Imam Khomeini, Imam Khomeini; Pandangan, Hidup dan Perjuangan. h.26.
33
Kalim  Siddiqui,  dkk,  Gerbang  Kebangkitan  Revolusi  Islam  dan  Khomeini  dalam Perbincangan, Yogyakarta :Shalahudin Press, 1984, h. 16.
56
BAB IV Konsep Revolusi Islam Menurut Imam Khomeini
A. Revolusi Islam : Ulama sebagai Pemimpin Politik
Pada revolusi Islam Iran, Imam Khomeini mengubah sistem monarki Iran ke  republik  dan  menyatakan  bahwa  disamping  sebagai  pemimpin  agama  ulama
juga  sebagai  pemimpin  politik.  Hal  tersebut  beliau  paparkan  secara  jelas  dalam bukunya  yang  yang  berjudul  Al-Hukumat  Al-Islamiyah.  Untuk  memahami
kerangka  pemikiran  politik  Imam  Khomeini,  ada  baiknya  penulis  memaparkan latar belakang madzhab Syiah yang merupakan mayoritas yang dianut oleh rakyat
Iran termasuk Imam Khomeini. Berbeda  dengan  Sunni,  Madzhab  Syi‟ah  memandang  bahwa  agama  dan
politik  merupakan  satu  kesatuan.  Di  kalangan  komunitas  Syiah  hampir  tidak dikenal  istilah  pemisahan  agama  dan  politik.  Baik  dalam  tatanan  konseptual,
maupun  praktek  politik.  Riza  Sihbudi  dalam  bukunya  Biografi  politik  Imam Khomeini mengutip tulisan S. Husain M. Jafri bahwa pada dasarnya Islam bersifat
religious  karena  status  yang  diperoleh  Muhammad  sebagai  Rasul  Allah  yang ditunjuk dan dikirim oleh Dia untuk menyampaikan risalah Nya kepada manusia,
dan bersifat politis karena lingkungan dan keadaan tempat ia timbul dan tumbuh. Sebaliknya madzhab Syi‟ah, dalam watak yang dibawanya, selalu bersifat religius
dan politis, dan aspek-aspek ini ditemukan berdampingan sepanjang sejarahnya.
1
1
M.  Riza  Sihbudi,  Biografi  Politik  Imam  Khomeini,  Jakarta:  PT  Gramedia  Pustaka Utama, 1996, h. 18.
Imam Khomeini mengatakan bahwa propoganda yang mengatakan bahwa Islam adalah agama spiritual semata  yang lepas dari nilai-nilai sosial dan politik,
atau bahwa ajaran hanya untuk abad-abad pertama Islam, bukan untuk masa kini adalah propaganda yang sesat.
2
Imam  Khomeini  sangat  mengecam  pemerintahan  monarki  yang  dibentuk oleh  Bani  Umayyah  dan  Bani  Abbasiyah  .  Pemerintahan  tersebut  juga  dibangun
oleh  Raja  Iran,  para  kaisar  Roma  dan  para  fir‟aun  Mesir.  Beliau  mengatakan bahwasanya bentuk pemerintahan tersebut bersifat non-Islami. Bani Umayyah dan
Bani  Abbasiyah  telah  mengubah  seluruh  asas  pemerintahan  dan  metode pemerintahan  mereka  telah  sangat  merusak  metode  Islam.  Menurut  Imam
Khomeini hal ini  dikarenakan Bani Umayyah dan Bani Abbasiyah telah menolak kepemimpinan Ali bin Abi Thalib yang diridhai Allah SWT dan Rasulullah Saw.
Menurut beliau keberadaan tatanan politik yang tidak Islami mengakibatkan tidak terlaksananya  tatanan  politik  Islam  karenanya  sistem  pemerintahan  non-Islami
adalah  system  kufr.  Hal  ini  didukung  oleh  kenyataan  bahwa  pemimpin pemerintahannya adalah thagut.
3
Imam Khomeini menyatakan bahwa lingkungan sosial yang rusak pada waktu itu disebabkan oleh sistem pemerintahan yang kufr.
Secara  tidak  langsung  dengan  pernyataan  tersebut  Imam  Khomeini  menganggap bahwa pemerintahan dinasti Syah merupakan pemerintahan yang kufr.
Imam Khomeini mengatakan bahwa sebab-sebab kemerosotan kedaulatan Islam  pada  masyarakat,  perpecahan  umat  Islam  tertundanya  penerapan  hukum-
2
Panitia  Peringatan  Haul  Ke  11  Imam  Khomeini,  Imam  Khomeini:  Pandangan,  Hidup, dan Perjuangan, h. 35.
3
Imam  Khomeini,  Pemikiran  Politik  Islam  dalam  Pemerintahan:  Konsep  Wilayatul Faqih Sebagai Epistemologi Pemerintahan Islam, Jakarta: Shadra Press, 2010, h. 50-51.
hukum  Islam,  menyebarnya  budaya  dan  hukum-hukum  asing  adalah pemerintahan dinasti Syah yang zalim, rusak dan sangat tidak cakap.
4
Bentuk  pemerintahan  yang  sah  menurut  Imam  Khomeini  adalah  bentuk pemerintahan  Islam  yaitu  pemerintahan  yang  tidak  bersifat  tirani  dan  juga  tidak
absolut  kekuasaannya,  melainkan  bersifat  konstitusional  yaitu  berdasarkan persetujuan  yang  disahkan  oleh  hukum  dengan  berdasarkan  suara  mayoritas.
Pengertian  konstitusional    yang  sesungguhnya  adalah  bahwa  pemimpin  adalah suatu  subjek  dari  kondisi-kondisi  tertentu  yang  berlaku  di  dalam  kegiatan
memerintah  dan  mengatur  negara  yang  dijalankan  oleh  pemimpin  tersebut,  yaitu kondisi-kondisi  yang  telah  dinyatakan  oleh  Al-Quran  dan  as-Sunah.  Kondisi-
kondisi tersebut merupakan hukum dan aturan Islam yang juga terdiri dari kondisi yang  harus  diperhatikan  dan  dipraktekan.  Pemerintahan  Islam  karenanya  dapat
didefinisikan  sebagai  pemerintahan  yang  berdasarkan  hukum-hukum  Ilahi  atas manusia.
5
Prinsip  yang  ditegakkan  adalah  bahwa  fuqaha  atau  para  fakih  memiliki kewenangan  yang  lebih  atas  penyelenggara  pemerintahan.  Jika  seorang
penyelenggara  pemerintahan  taat  kepada  ajaran  Islam,  maka  ia  wajib  kepada fuqaha  dan  seharusnya  bertanya  kepada  mereka  tentang  hukum-hukum  dan
aturan-aturan  Islam  yang  akan  dilaksanakan.  Sehingga  dalam  hal  ini, penyelenggara  pemerintahan  yang  sesunggunhya  adalah  fuqaha  itu  sendiri  dan
kepemimpinan  secara  resmi  seharusnya  menjadi  milik  mereka,  bukan  milik
4
Imam  Khomeini,  Pemikiran  Politik  Islam  dalam  Pemerintahan:  Konsep  Wilayatul Faqih Sebagai Epistemologi Pemerintahan Islam, Jakarta: Shadra Press, 2010, h. 65.
5
Imam  Khomeini,  Pemikiran  Politik  Islam  dalam  Pemerintahan:  Konsep  Wilayatul Faqih Sebagai Epistemologi Pemerintahan Islam, h. 68.
mereka  yang  diwajibkan  untuk  mengikuti  petunjuk  fuqaha  dikarenakan ketidaktahuan mereka akan hukum Islam.
6
Dalam  memberikan  argument  bahwa  ulama  sebagai  pemimpin  politik, Imam  Khomeini  mengambil  perkataan  Ali
bin  Abi  Thalib  bahwa  “..  kaum mukmin  yang  tergolong  sebagai  fuqaha
adalah  benteng  Islam..”. Beliau  lanjut menjelaskan sebenarnya  tugas  yang  harus  dijalankan  oleh  fuqaha  adalah  sebagai
para penjaga akidah, hukum-hukum, dan tatanan Islam. Jika seorang fakih hanya duduk  disudut  rumahnya  dan  tidak  mau  turut  campur  dalam  permasalahan
masyarakat,  tidak  menjaga  ajaran-ajaran  Islam  dan  tidak  menyebarkan  hukum- hukumnya serta tidak berpartisipasi dengan cara apa pun yang ia mampu dalam
permasalahan  masyarakat  muslim  atau  tidak  peduli  maka  apakah mereka  disebut “benteng Islam” seperti yang dikatakan Ali bin Abi Thalib.
7
Imam  Khomeini  juga  memakai  hadis  yang  beliau  kutip  dari  kitab  Ushul Kafi jilid 1  yang diriwayatkan oleh Ali, dari ayahnya, dari An-Naufali, dari As-
Sukuni, dari Abi Abdillah as. bahwa Nabi bersabda: .
“ Fuqaha adalah pemegang amanat Rosul, selama mereka tidak masuk  ke  dunia.”  seseorang  bertanya,  “ya  Rasulullah,  apa  maksud  dari
mereka masuk ke dunia?” lalu Rasul menjawab, “mengikuti penguasa, jika mereka  melakukannya,  maka khawatirkanlah keselamatan  agama kalian
dan menjauhlah kalian dari mereka.”
Dari  hadis  tersebut,  Imam  Khomeini  menitikberatkan  ungkapan  Rasul bahwa  “fuqaha  adalah  pemegang  amanat  Rosul.”  Beliau  mengatakan  bahwa
6
Imam  Khomeini,  Pemikiran  Politik  Islam  dalam  Pemerintahan:  Konsep  Wilayatul Faqih Sebagai Epistemologi Pemerintahan Islam, Jakarta : Shadra Press, 2010, h. 80.
7
Imam  Khomeini,  Pemikiran  Politik  Islam  dalam  Pemerintahan:  Konsep  Wilayatul Faqih Sebagai Epistemologi Pemerintahan Islam, h. 112.