Tabel 13 Indikator Proyek
Berdasarkan tabel di atas, diketahui bahwa kondisi A harga per jam Rp. 200.000 memiliki nilai NPV terkecil, yaitu sebesar Rp. 18.736.197. Sedangkan
kondisi C harga per jam Rp. 250.000 memiliki nilai NPV terbesar, yaitu sebesar Rp. 760.493.657. Jadi, berdasarkan nilai NPV, kondisi A, B, dan C memenuhi
kriteria yang layak yaitu memiliki nilai yang positif. Berikut grafik nilai NPV yang disajikan pada Gambar 13.
Gambar 13 Nilai Net Present Value pada Tiap Kondisi. Untuk nilai IRR, kondisi A memiliki nilai IRR yang terendah, yaitu 15,
sedangkan yang tertinggi adalah kondisi C sebesar 27. Nilai IRR harus lebih besar dari suku bunga bank, sehingga dimaksudkan bahwa dengan berinvestasi
jasa kontraktor akan lebih menguntungkan daripada menyimpan uang di bank. Dari asumsi suku bunga bank yang digunakan adalah 15. Jadi, hanya kondisi B
harga per jam Rp. 225.000 dan C harga per jam 250.000 yang memenuhi kriteria layak untuk IRR. Berikut grafik nilai IRR yang disajikan pada Gambar 14.
Suku bunga bank 15
Gambar 14 Nilai Internal Rate of Return pada Tiap Kondisi. Untuk nilai BCR, kondisi A memiliki nilai BCR yang terendah, yaitu
sebesar 1,01, sedangkan yang tertinggi adalah kondisi C sebesar 1,34. Dari ketiga kondisi A,B, dan C, semuanya memenuhi kriteria yang layak, yaitu nilai BCR
lebih besar dari satu. Dan untuk nilai payback period, semakin cepat maka semakin baik untuk suatu proyek. Kondisi C memiliki payback period tercepat
yaitu 4,25 tahun, sedangkan kondisi A memiliki payback period terlama yaitu 5,93 tahun. Pada Gambar 15 dan 16 dapat dilihat dengan grafik nilai BCR dan
Payback Period.
Gambar 15 Nilai Benefit Cost Ratio pada Tiap Kondisi.
Gambar 16 Nilai Payback Period pada Tiap Kondisi.
Jadi, berdasarkan nilai NPV, IRR, BCR, dan payback period, hanya kondisi B harga per jam Rp. 225.000 dan kondisi C harga per jam Rp. 250.000
yang dinyatakan layak. Sedangkan kondisi A harga per jam Rp. 200.000 dinyatakan tidak layak karena nilai IRR kurang atau sama dengan suku bunga
bank, yaitu sebesar15. Dengan mengetahui kondisi yang layak secara finansial, maka kontraktor
akan mengambil kebijakan harga sekitar Rp. 225.000 per jam – Rp. 250.000 per
jam. Mengenai apakah harga Rp. 225.000 per jam atau Rp. 250.000 per jam, akan ditentukan dalam negosiasi antara kontraktor dengan pemilik kebun.
5.6 Analisis Dampak Kegiatan Penanaman Kembali terhadap Deforestasi
Deforestasi merupakan perubahan kondisi penutupan lahan dari kelas penutupan lahan kategori hutan berhutan menjadi kelas penutupan lahan
kategori non hutan. Yang termasuk kategori non hutan adalah semak belukar, savanapadang rumput, perkebunan, pertanian lahan kering campur semak,
transmigrasi, sawah, tambak, tanah terbuka, pertambangan, permukiman, pelabuhan udaralaut Dephut, 2008. Berdasarkan uraian tersebut dikatakan
bahwa perkebunan termasuk ke dalam kategori non-hutan. Menurut Ditjenbun 2010 diperkirakan tahun 2010 luas kebun sawit di
Indonesia sebesar 7,8 juta ha. Adanya pembukaan perkebunan ini berpotensi meningkatkan debit sungai yang akan menjadi bencana banjir. Selain itu juga
menyebabkan erosi serta terancam punahnya satwa langka karena habitatnya di konversi menjadi sawit.
Untuk menganalisis pengaruh kegiatan penanaman kembali terhadap deforestasi di Sulawesi Barat khususnya di Mamuju Utara dilakukan secara
deskriptif. Menurut Dinas Perkebunan, Kehutanan, dan Lingkungan Hidup dalam BPS Mamuju Utara 2009, luas hutan di Mamuju Utara adalah 208.258,25 ha.
Berkaitan dengan perkembangan areal kelapa sawit seiring meningkatnya konsumsi minyak di dunia, keberadaan areal hutan memiliki potensi untuk di
konversi menjadi areal non hutan seperti sawit. Berikut perkembangan areal kelapa sawit di Indonesia menurut Ditjenbun yang disajikan pada Gambar 17.
Kecamatan 2007
2008 2009
2010 2011
2012
Sarudu 2.825
3.071 3.338
3.628 3.944
4.287
Baras 8.940
9.718 10.563
11.482 12.481
13.567
Pasangkayu 27.797
30.215 32.844
35.702 38.808
42.184
Bambalamotu 39.709
43.164 46.919
51.001 55.438
60.261
Jumlah
79.271 86.168
93.664 101.813
110.671 120.299
Asumsi perkiraan pertambahan luas sebesar 8.7 per tahun
Luas Sawit Ha
1.000.000 2.000.000
3.000.000 4.000.000
5.000.000 6.000.000
7.000.000 8.000.000
1980 1985
1990 1995
2000 2005
2010
Ha
Tahun
Luas Kelapa Sawit
Series1
Gambar 17 Perkembangan Areal Kelapa Sawit di Indonesia Dari grafik perkembangan di atas, diketahui bahwa dari tahun 2005 hingga
2010 areal sawit melakukan perluasan dari 5.453.817 ha menjadi 7.824.623 ha. Dari jumlah tersebut maka setiap tahunnya, dari tahun 2005-2010 telah terjadi
ekspansi sawit sebesar 8.7. Untuk wilayah Mamuju Utara, berdasarkan data Dinas Perkebunan,
Kehutanan, dan Lingkungan Hidup dalam BPS Mamuju Utara 2007 memiliki luas kelapa sawit seluas 79,271 ha. Sehingga dapat diperoleh perkiraan luas areal
kelapa sawit hingga tahun 2012 yang tersaji pada Tabel 14. Tabel 14 Luas Areal Kelapa Sawit di Mamuju Utara Tahun 2007-2012
Jika terjadi ekspansi areal sawit secara terus-menerus maka tahun 2012 luas areal sawit di Mamuju Utara diperkirakan akan meningkat menjadi 120.299
hektar atau terjadi perluasan sebesar 41.028 ha dari tahun 2007. Luasan tersebut tentunya akan berpotensi diperoleh dari areal hutan yang luasnya 208.258,17 ha.
Oleh karena itu perluasan areal sawit yang mengkonversi hutan harus dicegah. Dari data di lapangan tentang penanaman kembali, diharapkan hasil produksi buah
sawit tandan buah segar penanaman kembali akan meningkat, dari 15 tonhatahun menjadi 25 tonhatahun hampir dua kali lebih besar. Menurut