jangka waktu 35 tahun. Akan tetapi birokrasi mengurus HGU yang terlalu panjang dan berbelit-belit menimbulkan masalah bagi para pengusaha kebun. Faktor
selanjutnya yaitu, ketersediaan modal. Untuk membangun kebun kelapa sawit diperlukan investasi dan modal yang besar serta waktu pengembalian yang lama.
Ketersediaan infrastruktur dan faktor keamanan juga merupakan faktor yang dapat mempengaruhi kinerja subsistem produksi primer.
Faktor yang mempengaruhi derajat keterkaitan subsistem pengolahan dan pemasaran dari internal perusahaan yaitu mutu produk, dimana produk yang
memiliki mutu tinggi dikaitkan dengan standar mutu seperti internasional standardization organization ISO menyebabkan produk lebih mudah diterima
pasar. Faktor internal yang juga mempengaruhi yaitu portofolio produk, semakin banyak barang yang dihasilkan maka akan mempermudah proses penjualannya.
Skala ekonomi dan efisiensi operasional, semakin besar kapasitas pengolahan, akan menyebabkan unit biaya semakin murah karena tercapainya skala ekonomi.
Faktor internal akses terhadap bahan baku sehingga ketersediaan bahan baku terjamin dengan harga yang murah dan mutu yang baik. Faktor eksternal yang
mempengaruhi kinerja subsistem pengolahan dan pemasaran yaitu permintaan produk, dimana permintaan produk akhir kelapa sawit yang ramah lingkungan
disebabkan oleh meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya lingkungan hidup. Keamanan produk harus disesuaikan dengan perkembangan zaman dan
perkembangan isu global. Hambatan tarif dan konsolidasi pelaku agribisnis, misalnya pajak ekspor maupun bea masuk produk ke suatu negara. Konsolidasi
yang dilakukan seperti merger atau akuisisi yang dilakukan perusahaan untuk menguasai pasar.
2.3 Konsep dan Pola Kemitraan
Sistem pertanian kontrak merupakan satu mekanisme yang dapat meningkatkan kehidupan petani kecil di daerah pedesaan dan memberikan
manfaat liberalisasi ekonomi bagi mereka. Melalui kontrak, agro-industri dapat membantu petani kecil beralih dari pertanian tradisional ke produksi hasi-hasil
pertanian yang bernilai tinggi dan bernilai ekspor. Pertanian kontrak adalah sistem produksi dan pemasaran berskala menengah dimana terjadi pembagian beban
risiko produksi dan pemasaran diantara pelaku agribisnis. Sistem ini dapat dilihat
sebagai suatu terobosan untuk mengurangi biaya transaksi yang tinggi akibat kegagalan pasar dan atau kegagalan pemerintah dalam menyediakan sarana
input yang diperlukan misalnya kredit, asuransi, informasi, prasarana, dan faktor-faktor produksi lainnya dan lembaga-lembaga pemasaran. Penilaian
terhadap sistem pertanian kontrak pada umumnya menunjukkan hasil yang positif dimana petani kecil memperoleh manfaat dalam bentuk laba yang lebih tinggi.
Keikutsertaan dalam kontrak dapat pula meningkatkan kemampuan dalam mengelola risiko, dan memberikan kesempatan kerja SPKS 2009.
Usahatani konrak berawal dari terjadinya kegagalan pasar yang dialami oleh para petani yang memiliki lahan sempit karena ada beberapa aktivitas bisnis
yang tidak bisa diakses oleh petani kecil Key dan Runsten 1999, diacu dalam SPKS 2009 berkaitan dengan beberapa aspek:
1. Kredit. Produksi komoditas yang bernilai tinggi memerlukan biaya yang lebih
tinggi daripada komoditas tradisional. Hal ini mendorong munculnya berbagai bentuk lembaga perkreditan. Syarat perkreditan memberatkan bagi petani yang
memproduksi tanaman yang memiliki masa tanam dan panen cukup lama, usaha yang dijalankan petani juga harus bersifat bankable. Pasar gagal
melayani petani, hal ini memaksa petani untuk berbagi beban dengan pihak lain perusahaan swasta, negara, sponsor lain. Perusahaan agribisnis berada pada
posisi yang paling baik untuk bertindak sebagai pemberi pinjaman karena mereka bisa menggunakan hasil panen petani sebagai jaminan pembayaran
hutangnya. 2.
Asuransi. Tanaman non-tradisional biasanya menghadapi risiko pendapatan yang relatif tinggi dibandingkan dengan tanaman tradisional karena 1 biaya
yang telah dikeluarkan tinggi, 2 tanaman tersebut cenderung rentan terhadap hama, sehingga hasil dan haranya bisa berubah. Biaya transaksi yang cukup
tinggi menyebabkan para petani tidak menerima tawaran ikut dalam asuransi. Karena mempunyai banyak kegiatan dan tidak fokus pada komoditi tertentu,
perusahaan agroindustri mempunyai peran yang tepat untuk mengambil alih risiko yang dihadapi oleh petani dengan imbalan pasokan bahan baku.
3. Informasi-informasi yang tepat tentang teknologi, kuantitas, kualitas dan harga
sangat penting dalam perdagangan komoditas perkebunan yang umumnya
untuk tujuan ekspor. Informasi pasar yang tidak tepat bisa memperlambat aliran informasi yang merugikan. Hal ini sering dihadapi oleh petani lahan
sempit, sementara untuk perusahaan informasi pasar relatif mudah diperoleh. Dalam hal ini maka perusahaan agribisnis bisa mengkomunikasikan informasi
yang dimilikinya kepada petani dengan imbalan pasokan bahan baku dari petani.
4. Faktor produksi. Pasar faktor produksi mesin, benih, pupuk, pestisida untuk
tanaman komersial dengan kualifikasi tertentu umumnya tidak bisa diakses oleh petani secara individual. Pasar cenderung gagal dalam memenuhi
kebutuhan petani lahan sempit. Hal ini dapat dimanfaatkan bagi perusahaan perkebunan untuk menawarkan faktor produksi yang dikuasainya lewat
program kemitraan. 5.
Pasar produk. Petani biasanya tidak bisa memenuhi kualifikasi yang diperlukan dalam pemasaran global, baik berkaitan dengan kualitas, kuantitas dan
ketepatan waktu. Perusahaan agribisnis yang telah berpengalaman bisa mengisi peran tersebut.
Ketidakmampuan menangani proses produksi, pengolahan, penyediaan input, dan faktor produksi, serta masalah pemasaran yang dihadapi oleh petani,
mendorong munculnya pola kemitraan dalam usahatani. Dalam kemitraan ada pihak yang disponsori dan menjadi sponsor. Sponsor bisa datang dari
perusahaan multinasional, korporasi, perusahaan perseorangan maupun dalam kasus tertentu koperasi pertanian yang bertindak menyediakan dana,
manajemen dan bertanggung jawab terhadap proses produksi dan pengenalan inovasi. Pihak yang disponsori adalah para petani yang skalanya kecil
cenderung tidak mempunyai akses yang luas terhadap inovasi, pasar dan modal. Usaha tani kemitraan biasanya mengikuti lima pola Revrisond, diacu
dalam SPKS 2009 yaitu: 2.3.1 Pola Sentralisasi
Kontrak model ini dikoordinasikan secara vertikal dimana pihak perusahaan sebagai pembeli hasil pertanian dari para petani kemudian mengolah,
mengepak, dan memasarkan barang ke konsumen. Petani mendapatkan jatah, yang sudah ditentukan sejak awal pelaksanaan penanaman. Karena terpusat maka
perusahaan bisa melakukan pembelian komoditas dari ribuan bahkan puluhan ribu petani berlahan sempit. Karakteristik pola sentralisasi yaitu:
1. Melibatkan pihak pabrik yang membeli dan memproses komoditas hasil
dari ribuan atau puluhan ribu patani. 2.
Pola ini digunakan untuk komoditas tanaman keras, tanaman tahunan, peternakan unggas, dan penggemukan sapi.
3. Komoditas yang dihasilkan umumnya memerlukan syarat adanya
pemprosesan modern. 4.
Dilakukan dengan melakukan koordinasi secara vertikal dengan memberikan alokasi kuota dan kontrol kualitas yang ketat.
Keterlibatan pabrik sebagai sponsor beragam, dari yang minimal berupa pemberian bibit atau input sampai mengontrol hampir semua aspek produksi
komoditas tersebut. 2.3.2 Pola Perkebunan Inti Rakyat PIR Plasma Nutfah
Pola perkebunan inti rakyat merupakan variasi lain dari pola sentralisasi. Pihak investor dalam pola PIR biasanya memiliki dan mengelola perkebunan
sebagaimana dilakukan oleh petani. Perkebunan yang dikelola biasanya berdekatan dengan pabrik yang mengolah komoditas perkebunan tersebut.
Perkebunan yang dikelola biasanya cukup luas sehingga mampu memberikan jaminan atas pasokan bahan baku bagi pabrik yang didirikan, bisa juga
perkebunan yang ada kurang besar sehingga memerlukan pasokan dari luar perkebunan yang dimiliki. Perkebunan yang secara langsung dikelola biasanya
dijadikan sebagai jaminan bagi pabrik pengolah. 2.3.3 The Multipartite Model
Pola multipartit biasanya melibatkan perusahaan swasta dalam melakukan kerjasama dengan petani. Pola multipartit bisa mempunyai organisasi yang
terpisah dan bertanggung jawab pada masalah pengembalian kredit, produksi, manajemen, pengolahan dan pemasaran. Pola ini bisa melibatkan organisasi, juga
bisa berkembang dari pola sentralisasi atau PIR. 2.3.4 Pola Kemitraan Informal
Pola Informal biasanya dilakukan oleh pengusaha-pengusaha kecil menengah yang umumnya dibuat secara sederhana pada komoditas tertentu
seperti sayuran segar dan buah-buahan. Jenis komoditas tersebut umumnya memerlukan proses produksi yang sederhana serta kebutuhan akan bahan baku
umumnya terbatas pada penyediaan benih, pupuk, obat-obatan, serta kebutuhan teknis terbatas sekedar pada masalah kontrol kualitas dan grading. Pihak investor
akan membeli komoditas petani, menyortir dan mengemas untuk kemudian dipasarkan lewat jaringan pasar modern super market. Pola ini informal,karena
tidak ada ikatan yang tegas antara petani dan investor. Masing-masing bisa bekerjasama jika diperlukan, namun juga bisa memutuskan hubungan jika
dirasakan tidak menguntungkan. Konsekuensinya adalah masing-masing akan menanggung risiko yang mungkin muncul baik berupa gagal panen maupun
fluktuasi harga. 2.3.5 Pola Intermediary
Pola ini melibatkan sponsor dalam jaringan subkontrak dengan petani dan intermediary. Masalah bisa muncul ketika pihak perusahaan yang mensponsori
kehilangan kontrol atas kualitas dan produksi. Ragam pola kemitraan di Indonesia bisa disebutkan antara lain berupa pola
inti rakyat, sub-kontrak, panen dan bayar, kerjasama operasional Patrick 2004, diacu dalam SPKS 2009
- Pola PIR Plasma Nutfah
Perusahaan agribisnis dengan pola kemitraan ini bertindak sebagai penyedia input bagi petani atau kelompok tani dan akhirnya membeli produk yang
dihasilkan petani. PIR mendapatkan dukungan pembiayaan dari World Bank dimana perusahaan perkebunan didorong untuk mengembangkan kebun sawit di
daerah plasma yang ada di sekitar perkebunan milik inti. Secara ringkas berbagai pola PIR yang pernah diterapkan di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7 . Berbagai Macam Pola Kemitraan PIR
Kriteria NES
Pir-Khusus Pir-Bantuan
Pir-Trans
Tanaman Pokok 2 ha
2 ha 2 ha
2 ha Tanaman
Pangan 0 ha
0,75 ha 0,75 ha
0,50 ha Lahan
Pekarangan 0 ha
0,25 ha 0,25 ha
0,50 ha Peserta
Penduduk setempat Transmigran
Penduduk lokal Transmigran
penduduk lokal Rumah M
2
Tidak ada 36
36 36
Lokasi Sekitar perkebunan
yang sudah ada Bukaan Baru
Bukaan Baru Bukaan baru
Sumber Dana Bank Dunia
Swadana Bantuan Luar
Negeri Kredit Khusus
Sumber: SPKS 2009
- Pola Sub Kontrak
Melibatkan satu perusahaan agribisnis yang mempunyai kontrak untuk memasok barang pada pihak ketiga. Dengan persyaratan kualitas dan kuantitas
tertentu perusahaan itu kemudian mensubkontrakkan pada petani lahan sempit maupun kelompok tani. Diantara keuntungan menggunakan pola ini yaitu
perusahaan bisa menekan fluktuasi pasokan, sedangkan bagi petani dapat meminimalisasi biaya transport dan adanya jaminan harga yang menarik bagi
tanaman yang berkualitas tinggi. -
Pola Bayar waktu Panen Hanya terjadi dalam sistem produksi skala kecil. Perusahaan setempat
memberikan kredit kepada petani lahan sempit untuk membeli input yang diperlukan dengan syarat petani harus menjual produknya kepada perusahaan
tersebut. Uang itu akan dibayar ketika panen, dengan harga yang dirundingkan bersama. Pembayaran dapat berupa uang tunai maupun natura hasil panen.
Sis tem ini populer dengan nama “ijon” dan masih berkembang hingga sekarang.
- Kerjasama Operasional
Pola kerjasama operasional melibatkan satu perusahaan yang memberikan seluruh input yang diperlukan oleh petani dan mengeluarkan pembayaran pada
petani berupa imbalan penggunaan lahan IPL untuk satu atau dua musim tanam. IPL dibayarkan pada awal masa kontrak, yang diberikan sebagai pembayaran
awal. Keuntungan bagi petani peserta kerjasama operasional adalah adanya jaminan penerimaan lewat insentif yang diberikan untuk tanaman yang
berkualitas. Sedangkan bagi perusahaan mitra adalah adanya jaminan pasokan bahan baku bagi produksi pabrik.
Berbeda halnya pola kemitraan menurut Sunarko 2009. Sunarko membagi pola kemitraan secara garis besar. Menurut sunarko di Indonesia
terdapat tiga pola kemitraan, yaitu: 1.
Kemitraan Pola PIR Kemitraan Perusahaan Inti Rakyat PIR merupakan kemitraan
perkebunan generasi pertama yang dimulai pada tahun 1980-an. Pola PIR-TRANS didasarkan pada Kepres No. 1 tahun 1986. Program PIR merupakan pola
pengembangan perkebunan rakyat dengan menggunakan perkebunan besar sebagai inti dan sekaligus sebagai pelaksana pengembangan kebun plasma.
Pekerjaan pembangunan program PIR meliputi tiga tahap. Tahap pertama, perusahaan inti melaksanakan pembangunan kebun. Pada tahap kedua, dilakukan
pengalihan kebun kepada petani plasma dan akad kredit konversi. Selanjutnya tahap ketiga, dilakukan pengembalian atau pelunasan kredit hutang petani.
Program PIR mampu menggerakkan perekonomian di daerah pedalaman karena berputarnya uang dalam jumlah besar. Akan tetapi dilapangan, program
PIR menemui banyak kendala, baik kendala teknis budidaya perawatan kebun seperti perilaku petani yang tidak sesuai aturan teknis budidaya tanaman yang
berakibat pada produktivitas kebun plasma yang rendah menyebabkan PKS kekurangan bahan baku. Hal tersebut mengakibatkan PKS terpaksa mengurangi
waktu pengolahan. Selain itu kualitas TBS petani yang rendah rendemen minyak di bawah 20 menyebabkan pendapatan petani kurang dan tidak mampu
membiayai pemeliharaan kebun dengan baik. Kendala non teknis yang terjadi, seperti macetnya pengembalian kredit dari petani yang merupakan efek dari
terjadinya masalah teknis. Beberapa petani memilih menjual lahannya atau menjual hasil kebunnya kepada pihak lain untuk menghindari pembayaran kredit.
2. Kemitraan Pola KKPA
Pola KKPA didasarkan atas keputusan Bersama Menteri Pertanian dan Menteri Koperasi dan Pembinaan Pengusaha Kecil No.73KptsKB.51021998
dan No. 01SKBM1198. Kemitraan KKPA merupakan pola kemitraan perusahaan inti dan petani dalam wadah koperasi untuk meningkatkan pendapatan
dan kesejahteraan para anggota melalui kredit jangka panjang dari bank. Perusahaan inti sebagai pengembang melaksanakan pembangunan kebun kelapa
sawit untuk petani peserta dengan biaya pembangunan dari kredit bank hingga tanaman kelapa sawit menghasilkan TBS. Perusahaan inti juga membangun
kelembagaan petani sebagai wadah pembinaan dan bimbingan bagi petani peserta mengenai budidaya dan manajemen perkebunan kelapa sawit. Pembinaan
minimum dilakukan selama satu siklus tanam. Pada pola kemitraan KKPA, perusahaan inti bertanggung jawab atas
pengembalian kredit bank. Angsuran kredit ini diambil pemotongan hasil jual TBS dari petani plasma. Petani wajib menjual hasil kebunnya pada perusahaan
inti. Dan perusahaan inti wajib membeli TBS hasil petani plasma dengan harga yang telah ditetapkan oleh instansi yang berwenang. Setelah semua kewajiban
petani anggota terselesaikan, perusahaan inti wajib menyerahkan sertifikasi kebun kepada petani.
3. Kemitraan Program Revitalisasi Perkebunan
Pemerintah mempersiapkan Program Revitalisasi Perkebunan PRP merupakan kemitraan perkebunan generasi II pada tahun 2006. Berdasarkan
pedoman umum program revitalisasi perkebunan, konsep kemitraannya adalah kerjasama usaha antara petani plasma dengan perusahaan inti sebagai mitra usaha
dengan prinsip yang saling memerlukan, memperkuat, dan menguntungkan. Program Revitalisasi Perkebunan diharapkan dapat lebih mensejahterakan
petani plasma dan mampu mengamankan kepentingan perusahaan inti dan pihak perbankan, baik produksi maupun angsuran kreditnya. Perusahaan inti ditetapkan
sebagai develover dan avalis. Inti bertanggung jawab untuk membangun kebun dan menyediakan atau mencairkan dana untuk petani. Perusahaan inti
mendapatkan jaminan produksi TBS untuk PKS dan kelancaran angsuran kredit. Sementara itu, petani memiliki jaminan pendapatan. Program Revitalisasi
Perkebunan mendapat subsidi bunga perbankan dari pemerintah sehingga beban petani dapat lebih ringan. Selisih antara bunga komersial dengan bunga yang
ditetapkan pemerintah untuk petani sebesar 10 persen. Penelitian mengenai kemitraan antara perusahaan agribisnis dengan petani
telah banyak dilakukan. Widyastuti 2006 meneliti tentang evaluasi pelaksanaan
PIR pada PT Inti Indosawit Subur kasus PIR di pabrik minyak kelapa sawit buatan, Kabupaten Pelalawan, Provinsi Riau. Penelitian yang dilakukan pada PT
Inti Indosawit Subur PT.IIS merupakan salah satu perusahaan agroindustri kelapa sawit yang menerapkan kemitraan dalam pengadaan bahan baku. Agar
dapat meningkatkan produksi dalam rangka memenuhi permintaan, PT IIS memerlukan bahan baku TBS dengan kualitas, kuantitas, dan kontinuitas yang
terjamin. Namun pada kenyataannya, kemitraan tidak selalu berjalan sesuai harapan. PT IIS mengalami penurunan volume pasokan TBS dari petani plasma
yang menunjukkan bahwa kinerja kemitraan PIR belum mencapai manfaat yang optimal. Berdasarkan hal ini maka peneliti melakukan evaluasi terhadap
pelaksanaan kemitraan PIR antara PT IIS dengan petani plasma. Penelitian tersebut memiliki tujuan mengkaji evalusi pelaksanaan
kemitraan PIR antara PT IIS dengan petani plasma, mengukur tingkat kepuasan petani plasma terhadap pelaksanaan kemitraan PIR, menganalisis dampak
kemitraan PIR terhadap pendapatan usahatani petani plasma dibandingkan dengan petani nonplasma, dan merumuskan alternatif strategi perbaikan kinerja kemitraan
PIR antara PT IIS dengan petani plasma. Metode analisis yang digunakan dalam penelitian tersebut yaitu mengkaji evaluasi pelaksanaan kemitraan adalah dengan
analisis deskriftif. Analisis tingkat kepuasan petani plasma terhadap pelaksanaan kemitraan menggunakan metode rata-rata dan untuk mengetahui prioritas
perbaikan atribut pelayanan inti dalam kemitraan digunakan metode importance performence analysis IPA. Analisis pendapatan usahatani dan uji statistik
dengan metode uji-T digunakan untuk menganalisis dampak kemitraan terhadap pendapatan usahatani petani plasma.
Hasil penelitian menjelaskan kemitraan yang dikembangkan oleh PT IIS adalah berpola PIR Trans dan telah memasuki tahap pasca konversi. Kemitraan
mencakup kegiatan pembinaan, pemeliharaan tanaman, dan pengolahan kebun petani plasma. Berdasarkan matriks pelaksanaan hak dan kewajiban, kemitraan
belum sepenuhnya sesuai dengan aturan dalam perjanjian kerjasama. Hal ini terlihat dari adanya petani plasma yang tidak melaksanakan panen sesuai dengan
petunjuk inti, kurangnya perhatian petani plasma terhadap pemeliharaan jalan, dan keterlambatan pembayaran hasil produksi kepada petani.
Berdasarkan analisis atribut tingkat kepuasan petani plasma terlihat bahwa atribut kualitas sarana produksi merupakan atribut terpenting dan memiliki
nilai kepuasan tetinggi. Atribut penetapan denda sortasi merupakan atribut dengan nilai kepentingan dan nilai kepuasan terendah. Dimensi pelayanan inti yang
memiliki bobot kepentingan tertinggi adalah dimensi reliability dan yang paling rendah adalah dimensi empathy. Dimensi tangible adalah dimensi pelayanan
dengan nilai kepuasan terendah. Analisis matriks kepentingan dan pelaksanaan menghasilkan atribut harga
beli TBS, harga sarana produksi, dan ketanggapan inti dalam menyelesaikan keluhan petani berada pada kuadran I prioritas utama, dan sebagainya.
Berdasarkan analisis pendapatan diperoleh hasil bahwa pendapatan petani kelapa sawit petani plasma lebih tinggi dibandingkan petani nonplasma. Rasio BC
terlihat bahwa usahatani kelapa sawit petani plasma memberikan lebih banyak keuntungan. Hasil uji statistik dengan uji T membuktikan bahwa pendapatan
usahatani petani plasma dan non plasma berbeda nyata. Achmad 2008 meneliti tentang manfaat kemitraan agribisnis bagi petani
kasus: kemitraan PT Pupuk Kujang dengan kelompok tani Sri Mandiri yang berlokasi di Desa Majalaya, Kecamatan Majalaya, Kabupaten Karawang, Provinsi
Jawa Barat. PT Pupuk Kujang melakukan kemitraan dengan petani khususnya yang dekat dengan lokasi PT Pupuk Kujang. Tujuan dari penelitian tersebut
adalah: menganalisis pola kemitraan yang dilakukan antara PT Pupuk Kujang dengan petani mitra, menganalisis manfaat kemitraan agribisnis bagi petani mitra,
mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi manfaat kemitraan agribisnis bagi petani mitra baik berupa input internal maupun input eksternal.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pola kemitraan yang dilakukan perusahaan dengan petani yaitu kemitraan saham. Hasil analisis kuantitatif
menggunakan regresi berganda dengan bantuan sofware SPSS 13, menunjukkan bahwa variabel-variabel yang sangat kuat mempengaruhi manfaat kemitraan bagi
petani mitra yaitu luas lahan, jarak tempuh rumah ke lahan, sumber informasi yang digunakan, ketersediaan modal kredit, dan proses manajemen kemitraan.
Manfaat ekonomi yang diperoleh petani mitra dari pola kemitraan yaitu produktivitas yang lebih tinggi, pendapatan yang lebih tinggi, harga produk yang
lebih baik dan meningkatkan teknologi pertanian pangan melalui penggunaan pupuk yang merupakan produk perusahaan mitra. Manfaat sosial yang diperoleh
petani yaitu keberlanjutan kerjasama antara perusahaan dengan petani, dan juga pola kemitraan yang dilaksanakan berhubungan dengan kelestarian lingkungan.
Evaluasi kemitraan dan analisis pendapatan usahatani ubi kuningan dan ubi jalar jepang dilakukan oleh Prastiwi 2010. Penelitian dilakukan pada PT
Galih Estetika dan petani mitra di Kabupaten Kuningan. PT GE yang merupakan perusahaan pengolahan dan pasta ubi jalar di Indonesia tidak memiliki luasan
lahan budidaya yang mencukupi untuk memproduksi sendiri bahan bakunya. Permasalahan yang muncul kemudian adalah ketika kemitraan yang dijalin
dengan petani ubi jalar tidak berjalan sebagaimana mestinya dan pada gilirannya berakibat pada terganggunya penyediaan bahan baku perusahaan.
Tujuan dari penelitian adalah: mengidentifikasi mekanisme pelaksanaan kemitraan antara PT GE dengan petani mitranya, menganalisis kinerja atribut
kepuasan kemitraan yang disarankan petani mitra, dan menganalisis perbandingan pendapatan usahatani ubi jalar kuningan dengan ubi jalar jepang. Analisis
deskriptif digunakan untuk menggambarkan pelaksanaan kemitraan serta gambaran keragaan usahatani yang dilakukan petani mitra. Analisis kuantitatif
dalam penelitian ini meliputi analisis pendapatan usahatani, R-C rasio, serta analisis kinerja atribut kepuasan petani terhadap kemitraan. Data yang diperoleh
berasal dari kuesioner dan diolah menggunakan bantuan software komputer microsoft excel dan minitab 14.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pola kemitraan yang dilakukan yaitu Kerjasama Operasional Agribisnis KOA. Enam atribut yang tidak memiliki
kesesuaian antara ketentuan dan realisasi adalah kontinuitas suplai komoditi dari petani ke perusahaan, penyediaan sarana produksi, pendampingan teknis,
peningkatan keterampilan petani, respon terhadap segala keluhan, dan bantuan biaya garap. Analisis terhadap tingkat kesesuaian antara harapan dan kinerja
atribut menunjukkan bahwa petani mitra tidak puas terhadap kinerja seluruh atribut yang diteliti. Dari analisis pendapatan usahatani dapat diketahui bahwa
usahatani ubi jalar kuningan memberikan pendapatan atas biayatunai dan pendapatan tunai yang lebih tinggi dari ubi jalar jepang. Analisis RC
menunjukkan bahwa kedua usahatani layak untuk diusahakan jika dihitung atas biaya tunainya.
Morintara 2008 meneliti tentang analisis biaya pengolahan CPO dan evaluasi kinerja kemitraan pasca konversi kasus PT Perkebunan Nusantara V
pabrik kelapa sawit Sei. Pagar, Kabupaten Kampar, Riau. Kemitraan PIR trans dilihat sebagai suatu sistem pengadaan bahan baku agroindustri, maka posisi
petani plasma sebagai pemasok bahan baku ke perusahaan inti menjadi salah satu faktor yang menetukan keunggulan bersaing perusahaan dalam industri. Penelitian
yang dilakukan Morintara menunjukkan hasil bahwa kemitraan yang dilaksanakan tidak berjalan sesuai harapan. Terjadi penurunan volume pasokan TBS dari petani
plasma ke PKS menunjukkan kemitraan pemasok sebagai sistem pengadaan bahan baku belum mencapai manfaat yang optimal.
Tujuan penelitian adalah untuk mendeskripsikan perkembangan biaya pengolahan pabrik, menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi biaya
pengolahan CPO, dan mengkaji kemitraan yang terjadi antara petani plasma dan PTPN V Sei. Pagar pada tahap pasca konversi. Pengambalian data untuk evaluasi
kemitraan yang terjadi antara petani plasma dan PTPN V dilakukan dengan wawancara kepada pihak karyawan inti sebanyak 10 orang dan kepada petani
plasma sebanyak 30 orang. Pengambilan sampel dilakukan secara acidental sampling karena keterbatasan waktu dan kesulitan menyeleksi observasi. Analisis
yang digunakan adalah analisis kuantitatif dan kualitatif. Analisis kuantitatif digunakan untuk mendeskripsikan perkembangan biaya pengolahan CPO,
sedangkan analisis kualitatif digunakan untuk mengkaji evaluasi kemitraan PTPN V.
Komponen biaya tetap yang terbesar adalah gaji karyawan pimpinan dan pelaksanaan, sedangkan komponen biaya variabel terbesar adalah pembelian
bahan baku, pada tahun 2007 terjadi peningkatan harga TBS sebesar 44,25 persen dibanding tahun 2006. Secara ekonomis belum efisien, sedangkan dari segi
efisiensi teknis PTPN V dapat disimpulkan sudah cukup baik. Tapi perlu dilakukan peningatan jumlah produksi TBS agar sesuai dengan kapasitas pabrik
yaitu 30 tonjam.
Dari hasil analisis regresi diperoleh faktor biaya yang mempengaruhi biaya pengolahan CPO secara nyata yaitu gaji karyawan, biaya pemiliharaan
bangunan dan mesin, premi asuransi pabrik, pembelian TBS, biaya listrik, biaya air, dan biaya angkut. Nilai elastisitas menunjukkan bahwa kenaikan penggunaan
faktor biaya memberikan pengaruh positif terhadap kenaikan jumlah biaya pengolahan CPO.
Kemitraan PIR trans antara perusahaan dan petani plasma telah memasuki tahap pasca konversi. Sepuluh indikator evaluasi kinerja kemitraan diperoleh
kesimpulan bahwa kemitraan masih dikategorikan sedang. Hal ini ditunjukkan oleh enam indikator dari sepuluh indikator kinerja kemitraan tergolong sedang
yaitu pengetahuan mengenai penyetoran TBS ke inti 80 persen, komunikasi yang dibangun pihak inti dan plasma 73,33 persen, haga beli TBS 70 persen,
waktu penbayaran TBS 74,44 persen, ketanggapan inti dalam menyelesaikan keluhan petani 67,78 persen dan sikap inti terhadap kesejahteraan petani 71,11
persen. PTPN V disarankan peneliti untuk mencari alternatif strategi guna
melakukan pendekatan kepada petani plasma misalkan melalui pengadaan pupuk dan pestisida kembali seperti pada tahap persiapan kemitraan yang
pembayarannya dapat diberikan melalui kredit dari hasil panen petani plasma, memberikan penyuluhan dan menjalin hubungan baik dengan plasma. Saran yang
diberikan dalam penelitian tersebut, digunakan dalam penelitian ini serta beberapa atribut yang telah digunakan Morintara juga digunakan dalam penelitian ini. PT
Agrowiyana dan PTPN V, sama-sama telah memasuki tahap pasca konversi. Penelitian Ardiansyah 2009 berjudul faktor-faktor yang berhubungan
dengan produktivitas kerja petani kebun plasma kelapa sawit studi kasus kebun plasma PTP Mitra Ogan, Kecamatan Paninjauan, Sumatera selatan. Tujuan dari
penelitian tersebut adalah mengkaji karakteristik umum petani kebun plasma di PTP Mitra Ogan, mengkaji kemitraan inti plasma di PTP Mitra Ogan,
menganalisis faktor-faktor yang berhubungan dengan tingkat produktivitas kerja petani kebun plasma. Penelitian dilakukan di PT Rajawali Nusantara Indonesia
RNI Jakarta dan PTP Mitra Ogan Sumatera Selatan. Waktu penelitian dilakukan
selama bulan November 2008 hingga Februari 2009. Responden penelitian adalah petani plasma sebanyak 100 orang. Penelitian ini menggunakan Rank Spearman.
Faktor yang berhubungan dengan produktivitas kerja petani plasma di PTP Mitra Ogan adalah usia, keadaan fisik petani, pelatihan, hubungan dengan inti,
dan pendapatan. Faktor yang paling berhubungan adalah hubungan petani dengan inti. Oleh karena itu PTP Mitra Ogan diharapkan lebih proaktif dalam melakukan
pendekatan dengan oetani khususnya dalam melakukan pembinaan. Faktor-faktor produktivitas kerja yang dilakukan Ardiansyah digunakan peneliti dalam
memberikan gambaran tentang karakteristik petani plasma seperti usia dan hubungan dengan inti.
Penelitian ini akan mengkaji tentang kemitraan pada PT Agrowiyana. Penelitian ditinjau dari aspek pelaksanaan kemitraan secara keseluruhan dalam
melaksanakan hak dan kewajiban pihak-pihak dalam kontrak kemitraan. Tingkat kepuasan petani akan diukur melalui penilaian dari kualitas pelaksanaan
kemitraan pada petani dan perusahaan menggunakan IPA. Atribut-atribut yang digunakan dalam penelitian diperoleh dari penelitian terdahulu, literature, dan
berdasarkan pada hak dan kewajiban masing-masing pihak dalam kontrak perjanjian kemitraan. waktu dan lokasi penelitian merupakan hal yang
membedakan penelitian ini dengan penelitian terdahulu. Berdasarkan kajian kemitraan yang dilakukan, dapat diketahui alternatif strategi perbaikan kinerja
kemitraan antara petani dan PT Agrowiyana.
III KERANGKA PEMIKIRAN
3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis