Latar Belakang Kajian Kemitraan pada PT Agrowiyana Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Provinsi Jambi

I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Isu nasional yang sedang menjadi perhatian saat ini adalah mengenai ketahanan pangan. Dengan jumlah penduduk yang besar seperti Indonesia, menjadi alasan sensitif jika kelangkaan pangan terjadi. Pangan menjadi kebutuhan dasar manusia, sehingga ketidakstabilan persediaan pangan akan berdampak pada banyak aspek seperti sosial, ekonomi, politik, pendidikan, dan ketersediaan lapangan kerja. Tanaman kelapa sawit merupakan penghasil minyak kelapa sawit dan minyak inti sawit yang dapat digunakan untuk keperluan pangan. Minyak inti kelapa sawit dan minyak sawit digunakan sebagai pembuat minyak goreng, lemak khusus, lemak pangan, margarin, es krim, biskuit, dan kue. Konsumsi domestik terhadap pangan yang tinggi merupakan faktor pendorong untuk meningkatkan produktivitas. Minyak kelapa sawit MKS dan inti kelapa sawit IKS sebagai bahan baku pembuatan minyak goreng merupakan permintaan utama bagi konsumen rumah tangga. Keseimbangan penawaran dan permintaan MKS Indonesia menunjukkan peran Indonesia yang semakin dominan sebagai negara yang mempengaruhi pola penawaran dan permintaan MKS dunia, pada tahun 2005 sebesar 32,50 juta ton. Indonesia merupakan negara produsen nomor dua dengan produksi 12,60 juta ton 38,77 persen pangsa pasar dunia. Faktor-faktor yang mempengaruhi volume permintaan MKS pasar domestik dan dunia sebagai berikut: 1 pertambahan penduduk dan pertumbuhan gross domestic bruto GDP, 2 kepentingan politik masing-masing negara, 3 letak geografis suatu negara dan biaya transportasi MKS ke negara tersebut, 4 akses informasi, dan 5 tingkat substitusi produk. Kelapa sawit merupakan salah satu komoditas perkebunan yang menjadi unggulan di Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari luas perkebunan kelapa sawit yang semakin meningkat dan produksi crude palm oil CPO yang semakin meningkat juga, guna memenuhi permintaan industri pangan dan non pangan. Di dalam negeri, dalam rentang waktu selama 14 tahun dari tahun 1990 hingga 2003 konsumsi CPO setiap tahunnya mengalami peningkatan, pada tahun 1990 konsumsinya baru 1,2 juta ton, pada tahun 2003 meningkat menjadi 3,2 juta. Dengan rata-rata pertumbuhan tahunannya sebesar 11,30 persen, pada tahun 2010 konsumsi CPO di dalam negeri diperkirakan mencapai 5,6 juta ton, sedangkan di pasar internasional dunia, peningkatan permintaan CPO setiap tahunnya diperkirakan tidak kurang dari 2,2 juta ton PPKS 2004. Peluang peningkatan produksi yang juga berarti meningkatkan sumbangan agribisnis kelapa sawit terhadap Produk Domestik Regional Bruto PDRB, serta mendukung upaya Indonesia untuk menjadi produsen dan pemasok terbesar produk agribisnis di pasar internasional adalah cukup besar. Menurut Pahan 2006 diacu dalam Pahan 2010 keragaman kualitas minyak kelapa sawit ditentukan oleh kegiatan panen, transportasi, pengolahan dan penimbunan. Produksi minyak sawit mentah merupakan rangkaian kegiatan yang diawali dengan mengolah tandan buah segar TBS. Selain sistem panen TBS, manajemen produksi juga akan mempengaruhi kualitas CPO yang dihasilkan. Agar kemampuan daya saing agroindustri CPO meningkat, maka diperlukan pengelolaan yang terintegrasi mulai dari pasokan bahan baku, perencanaan produksi dan pengendalian persediaan bahan baku. Sebuah sistem perencanaan dan pengendalian produksi dibutuhkan untuk mencapai hal ini. Sistem perencanaan dan pengendalian produksi sangat diperlukan untuk bisa mengantisipasi faktor kualitas. Disamping itu, karakteristik panen TBS mengharuskan pengelolaan sumber daya pabrik yang efisien dan efektif agar kualitas minyak yang dihasilkan terpenuhi. Dalam perkembangan perkebunan kelapa sawit di Indonesia, sejak tahun 1980-an, program Perkebunan Inti Rakyat PIR mulai dikembangkan pemerintah. Serangkaian program PIR dan Kredit kepada Koperasi Primer untuk Anggota KKPA menggunakan bantuan modal asing, maka muncul percepatan pembukaan areal-areal baru. Program pembangunan perkebunan melalui pola PIR Trans didasarkan pada Kepres No. 1 tahun 1986, sedangkan pola KKPA didasarkan atas keputusan Bersama Menteri Pertanian dan Menteri Koperasi dan Pembinaan Pengusaha Kecil No.73KptsKB.51021998 dan No. 01SKBM1198 yang masa kedua pola ini bertujuan sama yaitu meningkatkan produksi non migas, meningkatkan pendapatan petani, membantu pengembangan wilayah, serta menunjang pengembangan perkebunan, meningkatkan dan memberdayakan KUD di wilayah plasma. Model kategori perkebuanan di Indonesia terbagi menjadi dua kategori yakni perkebunan besar yang dimiliki oleh perkebunan nasional dan perkebunan swasta serta perkebunan kecil yang dimiliki oleh rakyat. Perkebunan nasional adalah hasil nasionalisasi dari perkebunan-perkebunan swasta asing yang berlaku pada masa pemerintahan Presiden Soekarno. Dalam Tabel 1 menunjukkan bahwa perkebunan swasta mengalami pertumbuhan yang lebih tinggi dibandingkan jenis perkebunan lain. Rata-rata perkembangan luas areal untuk perkebunan swasta mencapai 51,1 persen. Sedangkan perkebunan rakyat dan negara masing-masing sebesar 40,2 persen dan 8,7 persen. Pertumbuhan perkebunan swasta lebih tinggi jika dibandingkan perkebunan rakyat dan negara. Tabel 1 . Luas Areal Kelapa Sawit di Indonesia antara Pekebunan Rakyat, Perkebunan Besar Negara, dan Perkebunan Besar Swasta, 2006-2010 1000 ha Tahun Perkebunan Nasional Rakyat Besar Negara Besar Swasta 2006 2.550 38,7 687 10,4 3.358 50,9 6.595 2007 2.752 40,7 606 8,9 3.409 50,4 6.767 2008 2.882 39,1 603 8,2 3.879 52,7 7.364 2009 3.014 40,1 608 8,1 3.885 51,8 7.507 2010 3.315 42,4 617 7,9 3.893 49,8 7.825 Keterangan : = angka sementara Sumber: Departemen Pertanian 2011 Jika luas areal perkebunan mengalami peningkatan, maka produksi CPO dan minyak sawit juga mengalami peningkatan. Konsumsi domestik untuk MKS dan IKS didorong oleh permintaan turunan dari permintaan minyak goreng yang merupakan permintaan utama konsumen rumah tangga dan industri hilir. Dari Tabel 2 dan Tabel 3 dapat diketahui bahwa kebutuhan minyak goreng dalam negeri dapat dipenuhi dari pasokan MKS. Namun peningkatan kontribusi MKS dan IKS terhadap produksi minyak goreng dunia akan menyebabkan peningkatan permintaan MKS dan IKS di pasar internasional. Tabel 2 . Produksi, Konsumsi, Ekspor, Impor dan Stok Minyak Sawit Indonesia Tahun 2006-2010 1000 ton 2006 2007 2008 2009 2010 Stok Awal 1.110 960 1.690 2.040 1.300 Produksi 16.070 17.420 19.400 21.000 22.100 Impor 31 25 34 49 70 Ekspor 12.540 12.650 14.612 16.938 16.480 Konsumsi 3.711 4.065 4.472 4.851 5.240 Stok Akhir 960 1.690 2.040 1.300 1.750 Keterangan:Estimasi Sumber : Oil World Database, September 2010, diacu dalam Deptan Indonesia 2011 Tabel 3 . Produksi, Konsumsi, Ekspor, Impor dan Stok Minyak Inti Sawit Indonesia Tahun 2006-2010 1000 ton 2008 2009 2010 Stok Awal 61 150 140 Produksi 2.063 2.283 2.381 Impor 2 1 1 Ekspor 1.397 1.703 1.725 Konsumsi 575 591 625 Stok Akhir 150 140 173 Keterangan : Estimasi Sumber : Oil World Database, September 2010, diacu dalam Deptan Indonesia 2011 Perkebunan kelapa sawit plasma adalah perkebunan rakyat, dalam pengembangannya diintegrasikan dengan Perkebunan Besar Swasta Nasional PBSN maupun Perkebunan Besar Nasional PBN, dimana dana usaha ditanggung oleh pemerintah. Program ini mulai dilaksanakan pada tahun 1977 dengan dicanangkannya Perusahaan Inti Rakyat PIR yang terdiri dari PIR-Lokal dan PIR-Khusus Direktorat Jendral Perkebunan 1992, diacu dalam Wigena 2009. Program PIR yang telah dijalankan oleh beberapa perusahaan mengalami kendala dimana petani plasma lebih fokus pada usaha mengejar pendapatan maksimal jangka pendek dan kurang peduli terhadap risiko jangka panjang seperti, penurunan produktiviitas lahan, pencemaran lingkungan dan konflik sosial Hasibuan 2005, diacu dalam Wigena 2009. Beberapa isu pokok yang berkembang adalah 1 pemeliharaan tanaman tidak dilaksanakan secara baik, 2 rendahnya mutu produk komoditas perkebunan karena rendahnya kemampuan penyerapan inovasi teknologi, 3 tingginya tingkat penjualan tandan buah segar TBS ke pabrik kelapa sawit PKS non inti sehingga menyebabkan kredit petani macet, 4 banyak petani terjebak dengan hutang di luar kebun sawit ke KUD, 5 posisi tawar menawar petani lemah dalam penentuan harga produksi, 6 lemahnya kerjasama antar institusi terkait dalam memberdayakan sumberdaya alam dan sumberdaya manusia, dan 7 terjadi degradasi lahan akibat aplikasi pemupukan yang belum tepat. Kelapa sawit merupakan salah satu komoditas yang penting dan strategis di daerah Jambi karena peranannya yang cukup besar dalam mendorong perekonomian rakyat, terutama bagi petani perkebunan. Hal ini cukup beralasan karena daerah Jambi potensial untuk pembangunan pertanian perkebunan. Perkebunan kelapa sawit merupakan areal perkebunan kedua terluas setelah perkebunan karet di provinsi Jambi dengan luas lahan 574,514 ha, namun merupakan penghasil produksi pertanian terbesar, yaitu 1.297.620 ton. Pada tahun 2005 pertumbuhan luas areal kelapa sawit ini masih berada pada urutan ketiga dari komoditas unggulan perkebunan lainnya Tabel 4. Pada tabel tersebut pertumbuhan luas areal empat komoditas unggulan perkebunan lainnya relatif kecil, tiga diantaranya mengalami pertumbuhan negatif. Pertumbuhan areal kelapa sawit mengalami penurunan pada tahun 2005, dari sisi pertumbuhan produksi, dan pertumbuhan produksi minyak kelapa sawit CPO selama periode yang sama menduduki urutan ketiga di bawah pertumbuhan produksi kayu manis dan kopi. Tabel 4 . Luas Areal dan Produksi Lima Komoditas Unggulan Perkebunan Provinsi Jambi pada Tahun 2000 dan 2005 Komoditas Luas areal ha Produksi ton 2000 2005 R 2000 2005 R 1. Karet 558.570 622.192 2,30 238.884 247.568 0,74 2. Kelapa 296.010 403.467 6,49 540.240 936.240 11,97 3. Kelapa Sawit 135.113 121.169 -1,04 122.061 126.746 0,81 4. Kopi 28.775 24.638 -2,92 5.106 9.208 14,95 5. Kayu Manis 60.776 50.402 -0,47 22.462 69.618 25,76 Sumber : Departemen pertanian 2006 Pengusahaan dan pengembangan agribisnis kelapa sawit di Provinsi Jambi sebagai bagian dari pengusahaan dan pengembangan agribisnis secara nasional memiliki prospek yang baik. Hal ini terkait dengan: 1 permintaan pasar konsumsi terhadap CPO semakin meningkat dan produk turunannya baik dari pasar dalam negeri domestik maupun dari pasar internasional dunia, seiring dengan pertambahan penduduk, 2 memiliki keunggulan komparatif, berupa tersedianya lahan yang sesuai dan tenaga kerja yang cukup, 3 memiliki daya saing yang tinggi dibandingkan dengan minyak nabati dari tanaman lain, dan 4 memiliki fleksibilitas yang tinggi dari produk akhir yang dapat diproduksi sesuai dengan kondisi pasar, diantaranya sebagai bahan baku alternatif untuk pembuatan biodiesel PPKS 2011. Ada banyak Pabrik Kelapa Sawit PKS yang operasional di provinsi Jambi. Ketersediaan PKS di Jambi mendorong berkembangnya industri pengolahan TBS di Jambi dan membantu para petani dalam memasarkan dan pengolahan TBS mereka, selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Pabrik Kelapa Sawit PKS yang Operasional di Provinsi Jambi Tahun 2008 Kabupaten Jumlah Kapasitas produksi PKS unit Perusahaan Izin Terpasang Terpakai Batang Hari Muaro Jambi Bungo Sarolangun Merangin Tanjab Barat Tebo 3 10 4 1 5 6 4 3 8 4 1 2 5 3 205 450 225 60 300 350 165 205 450 195 60 270 280 165 145 405 135 57 215 254 150 Jumlah 33 26 1755 1625 1361 Sumber: Pemerintah Provinsi Jambi 2010 PT Agrowiyana merupakan salah satu perusahaan pengolahan kelapa sawit dengan menggunakan pola kemitraan Inti Rakyat. Membina dua pola mitra tani yaitu PIR dan KKPA kelapa sawit dengan kontrak perjanjian antara perusahaan dengan petani yang memiliki lahan untuk digunakan sebagai lahan memproduksi kelapa sawit bagi perusahaan. Dalam perjalanannya kinerja kedua belah pihak yang diharapkan bisa saling menguntungkan, terkendala beberapa masalah. Kendala yang terjadi dalam kinerja kemitraan menjadi bahan kajian bagi peneliti untuk melihat kinerja kemitraan yang telah dilaksankan perusahaan selama ini.

1.2. Perumusan Masalah