Kinerja Keuangan Daerah, Infrastruktur, dan Kemiskinan : Analisis Kabupaten/Kota di Indonesia 2006-2009

(1)

1.1. Latar Belakang

Implementasi desentralisasi fiskal yang efektif dimulai sejak Januari 2001 telah memberikan kewenangan yang luas kepada pemerintah daerah untuk merencanakan dan melaksanakan pengelolaan keuangan daerahnya masing-masing. Kewenangan dalam pengelolaan keuangan ini sejalan dengan pelimpahan kewenangan dalam beberapa bidang pemerintahan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Disahkannya Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang pemerintah daerah dan Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah daerah dan pusat sebagai perubahan Undang-Undang No. 22 tahun 1999 dan Undang-Undang No. 25 tahun 1999 dimaksudkan untuk lebih menyempurnakan pelaksanaan desentralisasi fiskal di Indonesia (Kurnia, 2006).

Desentralisasi seharusnya dapat meningkatkan efisiensi dan kinerja pengeluaran daerah sehingga terjadi percepatan pencapaian sasaran pembangunan. Dengan demikian anggaran merupakan instrumen perencanaan pembangunan yang sangat strategis untuk mencapai sasaran-sasaran pembangunan. Ekawarna, Sam, Rahayu (2009) menyatakan bahwa anggaran daerah merupakan rencana keuangan yang menjadi dasar dalam pelaksanaan pelayanan publik. Di Indonesia, dokumen anggaran daerah disebut Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), baik untuk provinsi maupun kabupaten/kota.

Seperti yang bisa dipelajari dalam situs-situs (websites) resmi kementerian dan lembaga pemerintah lainnya, misalnya Unit Kerja Presiden


(2)

Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4), Kementerian Keuangan, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), dan sebagainya, salah satu masalah serius dalam pengelolaan keuangan negara dewasa ini adalah rendahnya kemampuan penyerapan anggaran lembaga-lembaga pemerintah termasuk pemerintah daerah. Dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir, belanja kementerian dan lembaga telah menghasilkan pola belanja dengan karakteristik penyerapan yang rendah di semester pertama dan menumpuk pada akhir tahun anggaran berjalan. Pola demikian terjadi di tingkat pemerintah pusat dan daerah. Sedemikian seriusnya masalah ini sehingga Presiden perlu membentuk Tim Evaluasi dan Pengawasan Penyerapan Anggaran (EPPA) yang melibatkan UKP4, Kementerian Keuangan, dan BPKP.

Di samping itu, besarnya komitmen pemerintah daerah dalam menyediakan layanan publik melalui pengeluaran belanja tampak dari alokasi pengeluaran belanja pemerintah daerah, khususnya belanja modal. Anggaran belanja daerah menjadi tidak logis jika proporsi anggarannya lebih banyak digunakan untuk membiayai belanja rutin (Abimanyu, 2005). Namun kondisi di Indonesia menunjukkan bahwa pada tahun 2007 sampai dengan 2011 belanja daerah didominasi oleh belanja pegawai (Gambar 1.1).

Komposisi belanja daerah secara nasional dari tahun 2007 hingga 2011 menunjukkan bahwa porsi belanja pegawai dominan bila dibandingkan dengan jenis belanja yang lainnya. Belanja pegawai mengalami peningkatan yang cukup tajam pada tahun 2010 yaitu sebesar 46,52 persen tetapi pada tahun 2011 mengalami sedikit penurunan menjadi 46,25 persen. Belanja barang dan jasa juga


(3)

meningkat menjadi 21,04 persen pada tahun 2011, sedangkan porsi belanja modal terus mengalami penurunan.

Sumber : DJPK Kementerian Keuangan RI, 2011

Gambar 1.1. Trend Belanja Daerah Tahun Anggaran 2007–2011

Belanja modal ditambah belanja barang dan jasa merupakan belanja pemerintah yang memiliki pengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi suatu daerah selain dari sektor swasta, rumah tangga, dan luar negeri (DJPK Kementerian Keuangan RI, 2011). Belanja modal yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah daerah diantaranya adalah pembangunan dan perbaikan sektor pendidikan, kesehatan, dan transportasi sehingga masyarakat juga dapat menikmati manfaat dari pembangunan daerah (Abimanyu, 2005).

Rasio belanja modal terhadap total belanja daerah mencerminkan porsi belanja daerah yang dibelanjakan untuk belanja modal. Semakin tinggi angka rasionya, semakin baik pengaruhnya terhadap pertumbuhan ekonomi. Gambar 1.2. berikut menunjukkan rasio belanja modal terhadap total belanja secara agregat provinsi, kabupaten dan kota di Indonesia pada tahun 2011. Persentase rasio seluruh provinsi masih di bawah 40,0 persen dan rata-rata agregat provinsi,


(4)

kabupaten dan kota sebesar 22,9 persen. Dari jumlah tersebut, sebanyak 13 provinsi masih memiliki rasio dibawah rata-rata agregat, sedangkan 20 provinsi berada di atas rata-rata agregat provinsi, kabupaten dan kota.

Sumber : DJPK Kementerian Keuangan RI, 2011

Gambar 1.2. Rasio Belanja Modal Terhadap Belanja Daerah Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota

Belanja modal yang dilakukan oleh pemerintah daerah dapat berkontribusi pada perekonomian regional apabila benar-benar diprioritaskan untuk pembangunan infrastruktur di daerahnya. Infrastruktur merupakan investasi penunjang yang menjadi salah satu faktor penentu pembangunan ekonomi yang sama pentingnya dengan faktor-faktor produksi lainnya yakni modal dan tenaga kerja (Tambunan, 2006). Pembangunan infrastruktur diyakini mampu menggerakkan sektor riil, menyerap tenaga kerja, meningkatkan konsumsi masyarakat dan pemerintah, serta memicu kegiatan produksi. Sektor infrastruktur dipahami secara luas sebagai enabler terjadinya kegiatan ekonomi produktif di sektor-sektor lain.


(5)

Tabel 1.1. Peringkat Growth Competitiveness Index/GCI(20032008) Menurut World Competitiveness Report, 2008–2009 (134 negara)

Indonesia Philippines Brazil Korea China Vietnam Thailand Malaysia

Infrastructure 96 94 98 18 58 97 35 19

Roads 105 94 110 13 51 102 32 17

Railroad 58 85 86 7 28 66 48 17

Port 104 100 123 29 54 112 48 16

Air Transport 75 89 101 26 74 92 28 20

Electricity 82 82 58 21 68 104 43 71

Telephone 100 105 62 17 47 37 86 31

Sumber : Bappenas, 2008

Karena keberadaan infrastruktur sangat penting, maka pembangunan infrastruktur layak mendapatkan prioritas dalam pembangunan nasional. Akan tetapi kenyataan di Indonesia menunjukkan bahwa kondisi infrastruktur masih kurang memadai. Banyak indikator infrastruktur telah mengalami penurunan dalam satu dekade terakhir dan posisi Indonesia tertinggal dari negara tetangga. Tabel 1.1. tersebut menunjukkan peringkat daya saing infrastruktur Indonesia pada tahun 2008. Tingkat akses rumah tangga terhadap listrik masih rendah dan perluasan jaringan terhambat oleh kebijakan harga yang berlaku saat ini. Mutu jalan nasional Indonesia relatif tinggi, tetapi banyak jalan daerah yang pemeliharaannya sangat buruk. Proporsi jalan nasional yang dalam keadaan baik mengalami penurunan sejak tahun 2000 sementara mutu rata-rata jalan daerah tidak mengalami perubahan sejak tahun 2002. Beberapa daerah paling miskin di kawasan Indonesia timur masih tidak memiliki akses terhadap jalan (World Bank, 2007).


(6)

Selain berperan penting bagi pertumbuhan ekonomi, infrastruktur berpeluang juga untuk memiliki dampak langsung pada perbaikan pemerataan pendapatan. Ketika orang-orang mendapatkan akses ke jalan dan listrik serta telekomunikasi, mereka memiliki peluang yang lebih baik untuk mendapatkan lebih banyak pendapatan, dan karenanya orang-orang yang berada pada pendapatan yang rendah mendapatkan lebih banyak daripada mereka yang berpenghasilan tinggi.

Infrastruktur juga penting bagi kesejahteraan masyarakat dan prakondisi yang penting untuk menanggulangi kemiskinan. Oleh karena itu, salah satu cara untuk mengatasi permasalahan kemiskinan adalah dengan pembangunan infrastruktur di daerah. Di Indonesia, kemiskinan masih menjadi permasalahan yang belum bisa diatasi secara optimal oleh pemerintah.

Sumber : Data dan Informasi Kemiskinan 2009, diolah

Gambar 1.3. Persentase Penduduk Miskin di Indonesia Tahun 2009 Sampai tahun 2009, rata-rata tingkat kemiskinan di Indonesia sebesar 14,43 persen. Daerah dengan tingkat kemiskinan tertinggi adalah Provinsi Papua

0.00 5.00 10.00 15.00 20.00 25.00 30.00 35.00 40.00

Persentase penduduk miskin


(7)

sebesar 34,77 persen. Sedangkan DKI Jakarta menjadi provinsi dengan tingkat kemiskinan terendah, yaitu 3,8 persen. Dari 33 provinsi yang ada di Indonesia, 16 di antaranya memiliki tingkat kemiskinan yang lebih tinggi dari rata-rata tingkat kemiskinan nasional (Gambar 1.3).

Penyediaan layanan publik yang maksimal seharusnya menjadi tujuan dari setiap unit uang yang dibelanjakan oleh pemerintah daerah. Dengan demikian, diharapkan local government spending akan benar-benar bermanfaat dan menjadi stimulus fiskal bagi perekonomian di daerah dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Keberhasilan suatu daerah dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat sangat tergantung pada Pemerintah Daerah dalam mengalokasikan belanjanya pada program dan kegiatan yang berorientasi pada kebutuhan masyarakat (kepentingan publik) termasuk pembangunan infrastruktur, sehingga dapat menciptakan lapangan kerja dan mengurangi jumlah penduduk miskin.

1.2. Perumusan Masalah

Dari latar belakang permasalahan yang telah diuraikan di atas, maka perumusan masalah dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Bagaimanakah kinerja keuangan daerah di Indonesia berdasarkan indikator penyerapan belanja modal dan proporsi belanja modal?

2. Bagaimanakah keterkaitan antara kinerja keuangan daerah dan ketersediaan infrastruktur listrik, air bersih, dan jalan di Indonesia?

3. Bagaimanakah keterkaitan antara ketersediaan infrastruktur dan tingkat kemiskinan di Indonesia?


(8)

1.3. Tujuan Penelitian

Dari perumusan masalah yang telah diuraikan di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Menganalisis kinerja keuangan daerah di Indonesia berdasarkan indikator penyerapan belanja modal dan proporsi belanja modal.

2. Menganalisis keterkaitan antara kinerja keuangan daerah dan ketersediaan infrastruktur listrik, air bersih, dan jalan di Indonesia.

3. Menganalisis keterkaitan antara ketersediaan infrastruktur dan tingkat kemiskinan di Indonesia.

1.4. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut :

1. Sebagai bahan masukan dan informasi bagi pemerintah-pemerintah daerah kabupaten/kota di Indonesia dalam meningkatkan kinerja keuangan dan pentingnya melaksanakan pembangunan infrastruktur untuk mengatasi kemiskinan di daerah.

2. Sebagai wawasan dan pengetahuan mengenai keterkaitan antara kinerja keuangan daerah, infrastruktur, dan kemiskinan di kabupaten/kota di Indonesia.

3. Sebagai bahan pustaka informasi dan referensi bagi pihak yang membutuhkan serta rujukan bagi penelitian selanjutnya.

1.5. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian

Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis kinerja keuangan daerah, ketersediaan infrastruktur, dan tingkat kemiskinan di kabupaten/kota di Indonesia.


(9)

Analisis dilakukan terbatas pada 200 kabupaten/kota dengan menggunakan metode analisis boxplot dan data panel. Metode boxplot digunakan untuk menganalisis secara deskriptif kinerja keuangan 200 kabupaten/kota di Indonesia periode 2006-2009. Analisis kinerja keuangan daerah hanya dilakukan dari sisi pengeluaran yaitu dengan pendekatan belanja modal, sehingga dalam penelitian ini tidak dapat dianalisis kinerja keuangan daerah dari sisi penerimaan. Kinerja keuangan daerah dianalisis berdasarkan penyerapan belanja modal dan proporsi belanja modal dari total belanja daerah. Sedangkan ketersediaan infrastruktur yang dianalisis terbatas hanya pada infrastruktur listrik, air bersih, dan jalan yang termasuk dalam infrastruktur dasar.


(10)

2.1. Tinjauan Teoretis 2.1.1. Keuangan Daerah

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 pasal 1 ayat 5, keuangan daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah yang dapat dinilai dengan uang termasuk di dalamnya segala bentuk kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban daerah tersebut. Keuangan daerah sebagai alat fiskal pemerintah daerah merupakan bagian integral dari keuangan negara dalam mengalokasikan sumber-sumber ekonomi, meratakan hasil pembangunan dan menciptakan stabilitas ekonomi serta stabilitas sosial politik. Peranan keuangan daerah semakin penting bukan hanya karena keterbatasan dana yang dapat dialihkan ke daerah berupa Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK), tetapi juga karena makin kompleksnya persoalan yang dihadapi daerah dan pemecahannya membutuhkan partisipasi aktif masyarakat daerah. Selain itu, peranan keuangan daerah yang makin meningkat akan mendorong terwujudnya otonomi daerah yang nyata dan bertanggungjawab (Radianto, 1997).

Pada pasal 1 ayat 6 Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 dijelaskan bahwa pengelolaan keuangan daerah merupakan keseluruhan kegiatan yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, pertanggungjawaban, dan pengawasan keuangan daerah. Keuangan daerah dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan asas keadilan,


(11)

kepatutan, dan manfaat untuk masyarakat. Pengelolaan keuangan daerah dilaksanakan dalam suatu sistem terintegrasi yang diwujudkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang setiap tahun ditetapkan dengan peraturan daerah.

2.1.1.1. Definisi Anggaran

Mardiasmo (2002) mendefinisikan anggaran sebagai sebuah proses yang dilakukan oleh organisasi sektor publik untuk mengalokasikan sumber daya yang dimilikinya pada kebutuhan-kebutuhan yang tidak terbatas. Pengertian tersebut mengungkapkan peran strategis anggaran dalam pengelolaan kekayaan sebuah organisasi sektor publik yang bertujuan untuk memberikan pelayanan maksimal kepada masyarakat. Anggaran dapat juga dikatakan sebagai pernyataan mengenai estimasi kinerja yang hendak dicapai selama periode waktu tertentu dalam ukuran finansial. Sedangkan menurut Suparmoko (2002), anggaran merupakan suatu alat perencanaan mengenai pengeluaran dan pendapatan pada masa yang akan datang, umumnya disusun untuk masa satu tahun. Anggaran juga berfungsi sebagai alat kontrol atau pengawasan, baik terhadap pendapatan maupun pengeluaran pada masa yang akan datang.

Anggaran publik berisi rencana kegiatan yang direpresentasikan dalam bentuk rencana perolehan pendapatan dan belanja dalam satuan moneter. Anggaran sektor publik merupakan instrumen akuntabilitas atas pengelolaan dana publik dan pelaksanaan program-program yang dibiayai dengan uang publik. Anggaran sektor publik menggambarkan kegiatan pemerintah dalam upaya memenuhi kebutuhan masyarakat sebagai stakeholder. Oleh sebab itu setiap anggaran publik harus berpihak kepada kepentingan rakyat. Anggaran menjadi


(12)

sangat esensial dalam upaya menghapus kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Penyusunan anggaran harus sesuai dengan prinsip-prinsip yang diterima secara umum (Mardiasmo, 2002).

Di Indonesia, anggaran publik direpresentasikan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah menurut Mamesah dalam Purbadharmaja (2007) didefinisikan sebagai rencana operasional keuangan pemerintah daerah. APBD tersebut di satu pihak menggambarkan perkiraan pengeluaraan guna membiayai kegiatan-kegiatan dan proyek-proyek dalam satu tahun anggaran tertentu. Di pihak lain, APBD juga menggambarkan perkiraan pendapatan dan sumber-sumber pendapatan daerah guna menutupi pengeluaran-pengeluaran yang dimaksud.

Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah harus disiapkan oleh pemerintah daerah dan ditetapkan dengan Peraturan Daerah (Perda) atas persetujuan DPRD selambat-lambatnya satu bulan setelah ditetapkannya APBN. Perubahan APBD dimungkinkan dan ditetapkan dengan Perda selambat-lambatnya tiga bulan sebelum tahun anggaran berakhir. Selanjutnya perhitungan APBD ditetapkan dengan Perda selambat-lambatnya tiga bulan setelah berakhirnya tahun anggaran yang bersangkutan. Akhirnya, APBD yang telah ditetapkan dengan Perda disampaikan kepada gubernur bagi pemerintah kabupaten/kota dan kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri bagi pemerintah provinsi untuk diketahui (Purbadharmaja, 2007).

Tabel 2.1. berikut menunjukkan struktur APBD yang terdiri dari tiga bagian besar, yaitu pendapatan, belanja, dan pembiayaan. Berdasarkan Undang-Undang No. 33 Tahun 2004, Pendapatan Daerah merupakan hak pemerintah


(13)

daerah yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih dalam periode tahun bersangkutan. Belanja daerah merupakan semua kewajiban daerah yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih dalam periode tahun anggaran yang bersangkutan. Sedangkan pembiayaan adalah setiap penerimaan yang perlu dibayar kembali dan/atau pengeluaran yang akan diterima kembali, baik pada tahun anggaran yang bersangkutan maupun tahun-tahun anggaran berikutnya.

Tabel 2.1. Struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)

Pendapatan Belanja

Pendapatan Asli Daerah Belanja Tidak Langsung

Pajak Daerah Belanja Pegawai

Retribusi Daerah Belanja Bunga

Hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan

Belanja Subsidi Belanja Hibah

Lain-lain PAD yang sah Belanja Bantuan Sosial Dana Perimbangan

Dana bagi hasil pajak/bagi hasil bukan pajak

Belanja Bagi Hasil kepada Prop/Kab/Kota dan Pemdes

Belanja Tidak Terduga Belanja Langsung

Belanja Pegawai

Belanja Barang dan Jasa Belanja Modal

Dana alokasi umum Dana alokasi khusus

Lain-lain pendapatan daerah yang sah Hibah

Dana darurat

Dana bagi hasil pajak dari propinsi dan Pemda lainnya

Dana penyesuaian dan otonomi khusus

Bantuan keuangan dari propinsi atau Pemda lainnya

Lain-lain PAD yang sah

Pembiayaan

Penerimaan Pengeluaran Sisa Lebih Perhitungan Anggaran

(SiLPA) tahun anggaran sebelumnya

Pembentukan dana cadangan Penyertaan modal (investasi) daerah Pembayaran pokok utang

Pemberian pinjaman daerah Pembayaran kegiatan lanjutan Pengeluaran perhitungan pihak ketiga

Pencairan dana cadangan

Hasil penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan

Penerimaan pinjaman daerah dan obligasi daerah

Penerimaan kembali pemberian pinjaman


(14)

APBD merupakan instrumen kebijakan yang utama bagi pemerintah daerah. Sebagai instrumen kebijakan, APBD menduduki posisi sentral dalam upaya pengembangan kapabilitas dan efektivitas pemerintah daerah. APBD digunakan sebagai alat untuk menentukan besarnya pengembangan pendapatan dan pengeluaran, membantu pengambilan keputusan dan perencanaan pembangunan, otorisasi pengeluaran di masa-masa yang akan datang, dan sumber pengembangan ukuran-ukuran standar untuk evaluasi kinerja (Samadara, 2007).

Berdasarkan Undang-Undang No. 33 Tahun 2004, APBD memiliki fungsi alokasi (efisiensi alokasi). Fungsi alokasi berkaitan dengan penggunaan sumber daya yang dimiliki oleh pemerintah daerah. Dengan alokasi penggunaan sumber daya yang diserahkan kepada daerah, maka pertumbuhan ekonomi akan dapat dipercepat. Secara sederhana efisiensi alokasi akan terwujud jika kebijakan publik dalam penganggaran sudah sesuai dengan aspirasi masyarakat.

2.1.2. Belanja Daerah

Berdasarkan UU Nomor 33 Tahun 2004, belanja daerah adalah semua kewajiban daerah yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih dalam periode tahun anggaran yang bersangkutan. Pemerintah Daerah harus mengalokasikan belanja daerah secara adil dan merata agar relatif dapat dinikmati oleh seluruh kelompok masyarakat tanpa diskriminasi, khususnya dalam pemberian pelayanan umum. Dana yang tersedia harus dimanfaatkan sebaik mungkin untuk dapat menghasilkan peningkatan pelayanan dan kesejahteraan yang maksimal guna kepentingan masyarakat.

Belanja daerah dipergunakan dalam rangka pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan provinsi atau kabupaten/kota yang terdiri


(15)

dari urusan wajib dan urusan pilihan yang ditetapkan dengan ketentuan perundang–undangan. Belanja penyelenggaraan urusan wajib diprioritaskan untuk melindungi dan meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat dalam upaya memenuhi kewajiban daerah yang diwujudkan dalam bentuk peningkatan pelayanan dasar, pendidikan, kesehatan, fasilitas sosial, dan fasilitas umum yang layak serta mengembangkan sistem jaminan sosial (PP Nomor 58 Tahun 2005). Komponen belanja daerah menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 terdiri dari belanja tidak langsung dan belanja langsung.

1. Belanja Tidak Langsung

Belanja tidak langsung adalah belanja yang tidak terikat langsung dengan program dan kegiatan yang dipergunakan untuk mendanai belanja pegawai, belanja barang, bunga, subsidi, hibah, bantuan sosial, bagi hasil kepada provinsi, kabupaten/kota dan pemerintah desa serta belanja tak terduga.

2. Belanja Langsung

Belanja langsung adalah belanja yang terikat langsung dengan program dan kegiatan yang digunakan untuk membiayai belanja pegawai, belanja barang dan jasa dan belanja modal.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan, keseluruhan jenis belanja daerah tersebut dikonversi dalam penyajian laporan keuangan dan dikelompokkan menjadi belanja operasi, belanja modal, belanja tak terduga serta belanja transfer.

1. Belanja operasi terdiri dari belanja pegawai, belanja barang, belanja bunga, belanja subsidi, belanja hibah dan belanja bantuan.


(16)

2. Belanja modal terdiri dari belanja tanah, belanja peralatan dan mesin, belanja gedung dan bangunan, belanja jalan, irigasi dan jaringan, serta belanja modal fisik lainnya.

3. Belanja tak terduga adalah belanja yang dianggarkan untuk mendanai kegiatan yang sifatnya darurat dan belum dapat diperkirakan sebelumnya. 4. Belanja transfer/bagi hasil ke desa meliputi bagi hasil pajak, bagi hasil

retribusi dan bagi hasil pendapatan lainnya. 2.1.2.1. Belanja Modal

Dalam PMK Nomor 91/PMK.06/2007 tentang Bagan Akun Standar (BAS), definisi belanja modal merupakan pengeluaran anggaran yang digunakan dalam rangka memperoleh atau menambah aset tetap dan aset lainnya yang memberi manfaat lebih dari satu periode akuntansi serta melebihi batasan minimal kapitalisasi aset tetap atau aset lainnya yang ditetapkan pemerintah. Aset tetap tersebut dipergunakan untuk operasional kegiatan sehari-hari suatu satuan kerja, bukan untuk dijual.

Belanja modal juga dapat didefinisikan sebagai belanja pemerintah daerah yang manfaatnya melebihi satu tahun anggaran dan akan menambah aset atau kekayaan daerah dan selanjutnya akan menambah belanja yang bersifat rutin seperti biaya pemeliharaan pada kelompok belanja administrasi umum (Halim, 2004). Klasifikasi belanja modal berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 24 tahun 2005 yang sekarang diatur dalam PP No. 71 tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan terdiri dari :

1. Belanja modal tanah, yaitu semua biaya yang diperlukan untuk pengadaan/pembelian/pembebasan/penyelesaian, balik nama dan sewa


(17)

tanah, pengosongan, perataan, pematangan tanah, pembuatan sertifikat tanah dan pengeluaran-pengeluaran lain yang bersifat administratif sehubungan dengan perolehan hak dan kewajiban atas tanah pada saat pembebasan/pembayaran ganti rugi tanah.

2. Belanja modal peralatan dan mesin, yaitu jumlah biaya untuk pengadaan alat-alat dan mesin yang dipergunakan dalam pelaksanaan kegiatan sampai siap untuk digunakan. Dalam jumlah belanja ini termasuk biaya untuk penambahan, penggantian, dan peningkatan kapasitas peralatan dan mesin yang diharapkan dapat meningkatkan nilai aktiva, serta seluruh biaya pendukung yang diperlukan.

3. Belanja modal gedung dan bangunan meliputi jumlah biaya yang digunakan untuk perencanaan, pengawasan dan pengelolaan kegiatan pembangunan gedung yang persentasenya mengikuti Keputusan Direktur Jenderal Cipta Karya untuk pembangunan gedung dan bangunan.

4. Belanja modal jalan, irigasi dan jaringan yaitu biaya untuk pengembalian, penggantian, peningkatan pembangunan, pembuatan prasarana dan sarana yang berfungsi atau merupakan bagian dari jaringan pengairan (termasuk jaringan air bersih), jaringan instalasi distribusi listrik dan jaringan telekomunikasi serta jaringan lain yang berfungsi sebagai prasarana dan sarana fisik distribusi instalasi.

5. Belanja modal fisik lainnya, yaitu jumlah biaya yang digunakan untuk pengadaan/pembangunan belanja fisik lainnya yang tidak dapat diklasifikasikan dalam perkiraan belanja modal tanah, peralatan dan mesin, gedung dan bangunan, jaringan (jalan, irigasi) dan belanja modal


(18)

non fisik. Yang termasuk dalam belanja modal non fisik antara lain: kontrak sewa beli, pengadaan/pembelian barang-barang kesenian, barang-barang purbakala dan barang-barang musium, hewan ternak, serta buku-buku dan jurnal ilmiah.

2.1.3. Pengertian Kinerja Keuangan

Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 2005 dan Permendagri No. 13 Tahun 2006, kinerja adalah keluaran/hasil dari kegiatan/program yang akan atau telah dicapai sehubungan dengan penggunaan anggaran dengan kuantitas dan kualitas yang terukur. Sedangkan dalam penjelasan pasal 39 ayat 2 PP No. 58 Tahun 2005 menyatakan bahwa yang dimaksud dengan capaian kinerja adalah ukuran prestasi kerja yang akan dicapai dari keadaan semula dengan mempertimbangkan faktor kualitas, kuantitas, efisiensi, dan efektivitas pelaksanaan dari setiap program dan kegiatan. Kinerja (performance) juga dapat dinyatakan sebagai hasil kerja seorang pekerja, sebuah proses manajemen atau suatu organisasi secara keseluruhan, dimana hasil kerja tersebut harus dapat diukur dan dibandingkan dengan standar yang telah ditentukan (Sedarmayanti, 2003).

Adapun kinerja keuangan pemerintah daerah merupakan tingkat pencapaian dari suatu hasil kerja di bidang keuangan daerah yang meliputi penerimaan dan belanja daerah dengan menggunakan indikator keuangan yang ditetapkan melalui suatu kebijakan atau ketentuan perundang-undangan selama satu periode anggaran. Menurut Ekawarna, Sam, Rahayu (2009), pengukuran kinerja anggaran keuangan daerah (APBD) sangat penting karena merupakan suatu metode yang digunakan untuk mencatat dan menilai pencapaian


(19)

pelaksanaan kegiatan berdasarkan tujuan, sasaran, dan strategi sehingga dapat diketahui kemajuan organisasi serta tingkat efektivitas dan efisiensi anggaran.

Salah satu alat untuk menganalisis kinerja pemerintah daerah dalam mengelola keuangan daerahnya adalah dengan melakukan analisis rasio keuangan terhadap APBD yang telah ditetapkan dan dilaksanakannya. Analisis rasio keuangan daerah merupakan inti dari pengukuran kinerja sekaligus konsep pengelolaan organisasi pemerintah untuk menjamin dilakukannya pertanggungjawaban publik oleh lembaga-lembaga pemerintah kepada masyarakat luas (Halim, 2002).

Kinerja keuangan pemerintah daerah juga dapat dilihat dari proporsi belanja modal. Belanja modal ditambah belanja barang dan jasa merupakan belanja pemerintah yang memiliki pengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi suatu daerah selain dari sektor swasta, rumah tangga, dan luar negeri. Oleh karena itu, anggaran daerah yang didominasi belanja pegawai (dulu biasa disebut sebagai bagian dari anggaran rutin) dapat dianggap mempunyai daya ungkit atau dampak pengganda yang lebih kecil daripada yang dihasilkan oleh anggaran yang didominasi oleh belanja modal (misalnya untuk kepentingan pembangunan infrastruktur).

Indikator proporsi belanja modal menunjukkan arah pengelolaan belanja pemerintah pada manfaat jangka panjang yang dapat memberikan multiplier yang lebih besar terhadap perekonomian. Semakin tinggi proporsi belanja modal, semakin baik pengaruhnya terhadap pertumbuhan ekonomi. Sebaliknya, semakin rendah proporsinya, semakin buruk pengaruhnya terhadap pertumbuhan ekonomi (DPJK Kementerian Keuangan, 2011). Dengan pertimbangan ini maka proporsi


(20)

belanja modal dalam anggaran pemerintah daerah dapat menjadi indikator kinerja pengelolaan keuangan pemerintah kota/kabupaten.

Indikator ini dirumuskan sebagai persentase dari belanja modal dalam total belanja pada anggaran daerah yang secara matematis dapat dituliskan sebagai berikut (Bappenas dan UNDP, 2008):

Proporsi Belanja Modal = x 100% (2.1)

Dalam perekonomian suatu negara, belanja pemerintah memainkan peranan yang sangat penting dalam pencapaian tujuan nasional, terutama dalam meningkatkan dan memelihara kesejahteraan rakyat. Hal ini terutama karena besaran dan komposisi anggaran belanja pemerintah mempunyai dampak yang signifikan pada permintaan agregat dan output nasional, serta mempengaruhi alokasi sumberdaya dalam perekonomian. Sumbangan belanja pemerintah dalam produk domestik bruto (PDB) Indonesia dewasa ini tergolong cukup besar. Dengan demikian apabila anggaran belanja pemerintah gagal direalisasikan maka timbul dampak negatif bagi pertumbuhan ekonomi. Dana yang telah tersedia menjadi menganggur (iddle money), sehingga berbagai infrastruktur yang semestinya terbangun menjadi terhambat perwujudannya.

Dalam kaitannya dengan pelaksanaan desentralisasi fiskal di Indonesia, pada tahun 2008, penyerapan anggaran yang cepat, efisien dan efektif telah menjadi salah satu agenda reformasi manajemen keuangan pemerintah. Penyerapan anggaran merupakan salah satu indikator yang dapat menunjukkan berhasilnya program atau kebijakan yang dilakukan pemerintah. Rasio realisasi terhadap pagu anggaran mencerminkan terserapnya anggaran dalam melakukan berbagai program yang telah ditetapkan. Dengan pertimbangan ini maka


(21)

kemampuan menyerap anggaran oleh pemerintah daerah dapat menjadi indikator kinerja pengelolaan keuangan pemerintah kota/kabupaten. Penyerapan anggaran, khususnya belanja modal dapat diformulasikan sebagai berikut :

Penyerapan Belanja Modal = x 100% (2.2)

2.1.4. Infrastruktur

Infrastruktur merupakan barang komplementer yang sangat penting bagi investasi swasta karena dapat menurunkan biaya angkut dan meningkatkan volume perdagangan serta merupakan faktor penentu pertumbuhan jangka panjang yang dominan (Jhingan, 2004). Infrastruktur tergolong sebagai social overhead capital. Berbeda dengan modal yang berpengaruh secara langsung terhadap kegiatan produksi, perluasan infrastruktur tidak hanya menambah stok dari modal tetapi juga meningkatkan produktivitas perekonomian dan taraf hidup masyarakat luas.

Infrastruktur dibedakan menjadi dua jenis, yaitu infrastruktur ekonomi dan infrastruktur sosial. Infrastruktur ekonomi adalah infrastruktur fisik, baik yang digunakan dalam proses produksi maupun yang dimanfaatkan oleh masyarakat luas. Dalam pengertian ini infrastruktur ekonomi meliputi semua prasarana umum seperti tenaga listrik, telekomunikasi, perhubungan, irigasi, air bersih, sanitasi, serta pembuangan limbah. Sedangkan infrastruktur sosial antara lain meliputi prasarana kesehatan dan pendidikan (Ramelan, 1997).

Ketersediaan infrastruktur seperti jalan, pelabuhan, bandara, sistem penyediaan tenaga listrik, irigasi, sistem penyediaan air bersih, sanitasi, dan sebagainya memiliki keterkaitan yang sangat kuat dengan tingkat perkembangan


(22)

wilayah, yang antara lain dicirikan oleh laju pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Hal tersebut dapat dilihat dari kenyataan bahwa daerah yang mempunyai kelengkapan sistem infrastruktur yang lebih baik mempunyai laju pertumbuhan ekonomi dan tingkat kesejahteraan yang lebih baik pula dibandingkan dengan daerah yang mempunyai kelengkapan infrastruktur yang terbatas. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa penyediaan infrastruktur merupakan faktor kunci dalam mendukung pembangunan nasional (Bappenas, 2003).

Dampak dari kekurangan infrastruktur serta kualitasnya yang rendah menyebabkan perlambatan pertumbuhan ekonomi dan tenaga kerja. Sehingga pada akhirnya banyak perusahaan akan keluar dari bisnis atau membatalkan ekspansinya. Oleh karena itu, infrastruktur sangat berperan dalam proses produksi dan merupakan prakondisi yang sangat diperlukan untuk menarik akumulasi modal sektor swasta.

2.1.5. Pentingnya Peran Pemerintah dalam Menyediakan Infrastruktur Dasar

Dalam setiap sistem perekonomian, pemerintah senantiasa mempunyai peranan yang penting. Intervensi pemerintah ini menjadi sangat penting jika terjadi kegagalan pasar yang menyebabkan mekanisme pasar gagal dalam mengalokasikan sumber-sumber ekonomi secara efisien dalam menghasilkan barang dan jasa. Oleh karena itu, dibutuhkan campur tangan pemerintah untuk dapat memperbaiki alokasi sumber-sumber ekonomi sehingga kondisi Pareto optimum dapat tercapai kembali. Dalam kaitannya dengan penyediaan


(23)

infrastruktur dasar, kegagalan pasar disebabkan oleh beberapa hal, yaitu adanya barang publik, eksternalitas, serta monopoli alamiah (Mangkoesoebroto, 2000). 1. Barang Publik

Barang publik merupakan jenis barang dan jasa yang yang tidak dapat disediakan oleh sistem pasar dalam perekonomian. Barang publik murni memiliki dua karakteristik utama, yaitu penggunaannya tidak bersaingan (nonrivalry) dan tidak dapat diterapkan prinsip pengecualian (nonexcludability). Oleh karena pihak swasta tidak mau menghasilkan barang publik murni, maka pemerintahlah yang harus menyediakan barang tersebut agar kesejahteraan seluruh masyarakat dapat ditingkatkan. Ada pula jenis barang publik yang tidak murni (impure public goods), yaitu barang yang hanya memiliki salah satu dari karakteristik utama barang publik murni (Mangkoesoebroto, 2000).

Barang publik dapat dikecualikan secara ekonomis, akan tetapi biaya untuk mengecualikan segolongan masyarakat segolongan masyarakat dari manfaat suatu barang sangat besar dibandingkan dengan biaya untuk menyediakan barang tersebut. Selain itu pada barang publik juga timbul masalah reveal preference. Dalam hal ini, tidak ada seorangpun yang bersedia mengemukakan nilai kesukaannya terhadap suatu barang publik sehingga sistem pasar gagal menyediakan barang tersebut. Oleh karena itu, teori ini mampu menjelaskan mengapa jaringan jalan raya sebagai salah satu barang publik semestinya dibangun oleh pemerintah.

2. Eksternalitas

Dalam suatu perekonomian modern, setiap aktivitas mempunyai keterkaitan dengan aktivitas lainnya. Semakin modern suatu perekonomian, maka


(24)

semakin besar dan semakin banyak kaitannya dengan kegiatan-kegiatan lainnya. Apabila semua keterkaitan antara suatu kegiatan dengan kegiatan lainnya dilaksanakan melalui mekanisme pasar atau melalui suatu sistem, maka keterkaitan antara berbagai aktivitas tersebut tidak menimbulkan masalah. Akan tetapi banyak pula keterkaitan antar kegiatan yang tidak melalui mekanisme pasar sehingga timbul berbagai masalah.

Keterkaitan suatu kegiatan dengan kegiatan lain yang tidak melalui mekanisme pasar tersebut dikenal sebagai eksternalitas. Eksternalitas terjadi apabila tindakan seseorang mempunyai dampak terhadap orang lain (atau segolongan orang) tanpa adanya kompensasi apapun sehingga menimbulkan inefisiensi dalam alokasi faktor-faktor produksi. Ditinjau dari dampaknya, eksternalitas dapat dibagi dua, yakni eksternalitas positif dan eksternalitas negatif (Mangkoesoebroto, 2000).

Eksternalitas positif merupakan dampak yang menguntungkan dari suatu tindakan yang dilakukan oleh suatu pihak terhadap pihak lain tanpa adanya kompensasi dari pihak yang diuntungkan. Barang/jasa yang menimbulkan eksternalitas positif diproduksi terlalu sedikit (under-supplied), sehingga perlu campur tangan pemerintah agar situasi optimum Pareto dapat tercapai kembali (McTaggart, Findlay, Parkin, 2007). Tergolong dalam kategori ini adalah produk/jasa kesehatan atau sanitasi, termasuk air bersih. Sehingga teori ini dapat menjelaskan mengapa air bersih harus disediakan oleh pemerintah.

Pada kasus eksternalitas positif, MEB (Marginal External Benefits) = 0 sehingga tingkat produksi akan terlalu rendah jika dilihat dari efisiensi seluruh masyarakat. Hal tersebut dikarenakan tingkat produksi ditentukan pada saat PMC


(25)

= MPB, sedangkan bagi seluruh masyarakat tingkat produksi yang efisien terjadi pada saat MSB = MPB + MEB = MSC = PMC + MEC. Dengan asumsi MEC = 0, maka terlihat bahwa MSB > MPB sedangkan MSC = PMC. Selama MSB > MSC, produksi seharusnya ditingkatkan sampai MSB = MSC. Adanya eksternalitas positif menyebabkan kurva MSC di bawah kurva PMC (MSC < PMC). Perpotongan antara kurva MSC dab MSB terjadi di titik E dan jumlah produksi yang optimum adalah sebesar OQ1 yang lebih besar dari OQ0 yang merupakan jumlah yang optimal berdasarkan perhitungan secara mikro oleh produsen (Gambar 2.1).

Gambar 2.1. Eksternalitas Positif

(MPB = Marginal Private Benefits, MSB = Marginal Social Benefits, PMC = Private Marginal Cost, MSC = Marginal Social Cost)

Adapun eksternalitas negatif terjadi apabila dampak yang diterima oleh orang lain yang tidak menerima kompensasi sifatnya merugikan. Barang/jasa yang menimbulkan eksternalitas negatif diproduksi terlalu banyak (misalnya polusi udara) sehingga diperlukan intervensi pemerintah untuk dapat mencapai kondisi optimum Pareto. Efisiensi ekonomi akan tercapai apabila MSC = MSB, padahal produsen tidak pernah memperhitungkan MEC dan MEB dalam menentukan

E

Q1

0 Q0

P0 P1 P

Jumlah MPB MSC PMC


(26)

harga dan jumlah barang yang dihasilkannya. Karena itu, produsen akan menentukan harga dan tingkat produksi pada suatu tingkat dimana PMC = MPB (MEC = 0; dan MEB = 0).

Gambar 2.2. Eksternalitas Negatif

(MSB = Marginal Social Benefits, MEC = Marginal External Benefits, PMC = Private Marginal Cost, MSC = Marginal Social Cost)

Apabila dalam melakukan kegiatan produksi timbul suatu eksternalitas negatif, maka MEC > 0 sedangkan MEB = 0. Ini berarti PMC < MSC, sehingga ada tingkat produksi akan berada pada tingkat yang lebih besar karena perhitungan biayanya menjadi terlalu murah dibandingkan dengan biaya yang harus ditanggung oleh seluruh masyarakat. Sehingga pada kasus eksternalitas negatif MSC = PMC + MEC > MSB dan tingkat produksi harus dikurangi agar efisiensi produksi yang ditinjau dari seluruh masyarakat mencapai optimum. Pada Gambar 2.2. berikut, kurva permintaan menunjukkan manfaat masyarakat (MSB) atas suatu produksi barang/jasa. Tingkat output yang optimum terjadi pada tingkat produksi sebesar OQ1, sedangkan produsen akan cenderung menetapkan tingkat produksi sebesar OQ2 dimana kurva permintaan (MSB) memotong kurva PMC,

MEC

MSB Q2

0 Q1

P2 P1 P

Jumlah PMC MSC = PMC+MEC


(27)

sehingga tampak bahwa jumlah yang diproduksi terlalu banyak dibandingkan tingkat produksi yang optimum.

3. Monopoli Alamiah

Beberapa jenis barang yang hanya dapat diproduksi oleh satu produsen. Meskipun pemerintah telah berusaha untuk menghapus monopoli pada produksi suatu industri, persaingan di antara produsen yang ada akan menyebabkan hanya satu produsen yang mampu bertahan. Jadi, secara alamiah monopoli tersebut terjadi di masyarakat. Hal tersebut dikarenakan pasar akan barang tersebut terlalu kecil atau investasi yang dibutuhkan sangat besar sehingga skala ekonomi yang efisien baru dapat terjadi pada tingkat produksi yang besar. contoh industri yang berada pada kondisi monopoli alamiah adalah industri listrik (Mangkoesoebroto, 2000).

Industri listrik digolongkan sebagai industri dengan biaya produksi rata-rata yang selalu menurun dengan semakin banyaknya produk yang dihasilkan dan ditransmisikan. Industri yang demikian mempunyai kurva biaya marginal yang selalu berada di bawah kurva biaya rata-rata sehingga produk yang dihasilkan harus dalam volume yang sangat besar agar tidak merugi. Akibatnya industri listrik tidak dapat dihasilkan oleh perusahaan-perusahaan yang kecil karena tidak menguntungkan dan sebaiknya diusahakan oleh sebuah perusahaan raksasa dan bersifat monopoli. Di samping itu, industri pelistrikan termasuk dalam industri yang produknya ditujukan untuk kepentingan umum (public utilities) sehingga pemerintah memiliki tanggung jawab utama dalam mengelola dan menyediakan listrik (Suparmoko, 2002).


(28)

Pada Gambar 2.3. berikut, dapat dilihat bahwa permintaan akan barang X sangat kecil sehingga kurva permintaan memotong kurva biaya rata-rata (AR) pada bagian yang menurun. Apabila produsen berproduksi pada tingkat produksi yang oleh masyarakat dianggap efisien, yaitu pada MC = AR, maka produsen akan menghasilkan OX1 unit barang dengan harga OP0. Akan tetapi pada tingkat produksi tersebut produsen akan rugi sehingga tingkat produksi OX1 tidak dapat berlangsung dalam jangka panjang. Apabila barang X merupakan barang yang penting bagi masyarakat sehingga barang tersebut harus diproduksi sebanyak OX1 unit, maka tidak ada seorang produsen pun yang bersedia menghasilkannya. Oleh karena itu, pemerintah harus campur tangan yang dapat diwujudkan dalam beberapa bentuk, antara lain produksi barang tersebut dapat dilakukan oleh pemerintah.

Gambar 2.3. Industri pada Keadaan Monopoli Alamiah

P0 P1 P3 P2

X2 X1

0 MR AR

MC AC

Jumlah Harga


(29)

2.1.6. Kemiskinan

2.1.6.1. Definisi Kemiskinan

Kemiskinan dapat diartikan sebagai ketidakmampuan untuk memenuhi berbagai kebutuhan seperti pangan, perumahan, pakaian, pendidikan, kesehatan, dan sebagainya. Kemiskinan adalah suatu kondisi yang dialami seseorang atau kelompok orang yang tidak mampu menyelenggarakan hidupnya sampai suatu taraf yang dianggap manusiawi. Menurut Suparlan dalam Hudaya (2009), kemiskinan merupakan suatu standar tingkat hidup yang rendah yaitu adanya tingkat kekurangan materi pada sejumlah atau golongan orang dibandingkan dengan standar kehidupan yang umum berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.

Terdapat lima klasifikasi kemiskinan menurut Sumodiningrat (1999), yaitu :

1. Kemiskinan Absolut

Kemiskinan absolut selain dilihat dari pemenuhan kebutuhan dasar minimum yang memungkinkan seseorang dapat hidup layak, juga ditentukan oleh tingkat pendapatan untuk memenuhi kebutuhan. Dengan demikian, tingkat pendapatan minimum merupakan pembatas antara keadaan yang disebut miskin atau sering disebut dengan istilah garis kemiskinan. Seseorang termasuk golongan miskin absolut apabila hasil pendapatannya yang berada di bawah garis kemiskinan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup minimum seperti pangan, sandang, kesehatan, papan, dan pendidikan.


(30)

2. Kemiskinan Relatif

Sekelompok orang dalam masyarakat dikatakan mengalami kemiskinan relatif apabila pendapatannya lebih rendah dibandingkan kelompok lain tanpa memperhatikan apakah mereka masuk dalam kategori miskin absolut atau tidak. Penekanan dalam kemiskinan relatif adalah adanya ketimpangan pendapatan dalam masyarakat antara yang kaya dan yang miskin atau dikenal dengan istilah ketimpangan distribusi pendapatan. Kemiskinan relatif untuk menunjukkan ketimpangan pendapatan berguna untuk mengukur ketimpangan pada suatu wilayah. Kemiskinan relatif juga dapat digunakan untuk mengukur ketimpangan antar wilayah yang dilakukan pada suatu wilayah tertentu. Pengukuran kemiskinan relatif diukur berdasarkan tingkat pendapatan, ketimpangan sumberdaya manusia berupa kualitas pendidikan, kesehatan, dan perumahan.

3. Kemiskinan Struktural

Kemiskinan struktural mengacu pada sikap seseorang atau masyarakat yang disebabkan oleh faktor budaya yang tidak mau berusaha untuk memperbaiki tingkat kehidupan meskipun ada usaha dari pihak luar untuk membantunya. Alfian dalam Hudaya (2009) mendefinisikan kemiskinan struktural sebagai kemiskinan yang diderita oleh suatu golongan masyarakat karena struktur sosial masyarakat tidak dapat ikut menggunakan sumber-sumber pendapatan yang sebenarnya tersedia bagi mereka. Kemiskinan struktural meliputi kekurangan fasilitas pemukiman yang sehat, kekurangan pendidikan, dan kekurangan komunikasi dengan dunia sekitarnya. Kemiskinan struktural juga dapat diukur dari kurangnya perlindungan dari hukum dan pemerintah sebagai birokrasi atau peraturan resmi yang mencegah seseorang memanfaatkan kesempatan yang ada.


(31)

4. Kemiskinan Kronis

Kemiskinan kronis disebabkan oleh beberapa hal, yaitu :

a. Kondisi sosial budaya yang mendorong sikap dan kebiasaan hidup masyarakat yang tidak produktif.

b. Keterbatasan sumberdaya dan keterisolasian (daerah-daerah yang kritis akan sumberdaya alam dan daerah terpencil).

c. Rendahnya derajat pendidikan dan perawatan kesehatan, terbatasnya lapangan kerja dan ketidakberdayaan masyarakat dalam mengikuti ekonomi pasar.

5. Kemiskinan Sementara

Kemiskinan sementara terjadi akibat beberapa hal, yaitu perubahan siklus ekonomi dari kondisi normal menjadi krisis ekonomi, perubahan yang bersifat musiman, dan bencana alam atau dampak dari sesuatu yang menyebabkan menurunnya tingkat kesejahteraan masyarakat.

2.1.6.2. Perhitungan Garis Kemiskinan

Teknik perhitungan garis kemiskinan yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) terbagi ke dalam dua kurun waktu, yaitu sebelum tahun 2008 dan setelah tahun 2008.

1. Sebelum tahun 2008

Untuk menghitung penduduk miskin tingkat kabupaten/kota digunakan metode yang didasarkan pada hukum Engel. Dasar dari hukum Engel adalah semakin miskin seseorang maka semakin tinggi proporsi pengeluaran untuk makanan.


(32)

2. Setelah tahun 2008

Tahap pertama dalam perhitungan penduduk miskin yang dilakukan BPS setelah tahun 2008 adalah menentukan penduduk referensi yaitu 20 persen penduduk yang berada di atas Garis Kemiskinan Sementara (GKS). GKS adalah garis kemiskinan periode sebelumnya yang di-inflate dengan inflasi umum (IHK). Dari penduduk referensi tersebut kemudian dihitung Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Non-Makanan (GKNM). Garis Kemiskinan (GK) dapat diperoleh dengan menjumlahkan GKM dan GKNM. Penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah GK dikategorikan sebagai penduduk miskin.

GKM merupakan jumlah nilai pengeluaran dari 52 komoditi dasar makanan yang riil dikonsumsi penduduk referensi yang kemudian disetarakan dengan 2100 kilokalori perkapita perhari. Penyetaraan nilai pengeluaran kebutuhan minimum makanan dilakukan dengan menghitung harga rata-rata kalori dari ke-52 komoditi tersebut. Selanjutnya GKM disetarakan dengan 2100 kilokalori dengan cara mengalikan 2100 terhadap harga implisit rata-rata kalori menurut daerah dari penduduk referensi.

Sedangkan GKNM merupakan penjumlahan nilai kebutuhan minimum dari komoditi-komoditi non-makanan terpilih yang meliputi perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan. Nilai kebutuhan minimum per komoditi/sub-kelompok non-makanan dihitung dengan menggunakan suatu rasio pengeluaran kelompok tersebut terhadap total pengeluaran komoditi/sub-kelompok yang tercatat dalam data Susenas modul konsumsi.


(33)

2.2. Tinjauan Empiris

Untuk mendukung penelitian yang akan dilakukan, maka ada beberapa penelitian terdahulu yang relevan dengan penelitian ini. Penelitian terdahulu bertujuan untuk membandingkan dan memperkuat hasil analisis yang dilakukan yang merujuk dari beberapa studi, baik yang berkaitan langsung maupun tidak langsung.

Studi mengenai kinerja keuangan pemerintah daerah pernah dilakukan oleh Ekawarna, Sam, Rahayu (2009) terhadap kinerja APBD Kabupaten Muaro Jambi. Dari studi tersebut diperoleh hasil bahwa rasio efektivitas tinggi, rasio efisiensi rendah, rasio pertumbuhan semakin meningkat, sedangkan rasio kemandirian dan rasio aktivitas masih rendah. Sehingga dapat disimpulkan bahwa kinerja APBD pemerintah daerah Kabupaten Muaro Jambi belum baik. Selain itu ada pula studi yang dilakukan oleh Ronald dan Sarmiyatiningsih (2010) terhadap kinerja keuangan dan pertumbuhan ekonomi di Kabupaten Kulon Progo. Hasil studi tersebut menyatakan bahwa setelah diberlakukannya otonomi daerah, rasio efisiensi belanja cenderung menurun. Artinya belanja daerah cenderung efisien sehingga pertumbuhan ekonomi mengalami peningkatan meskipun dalam angka yang relatif kecil.

Ada beberapa studi mengenai peran infrastruktur dalam perekonomian. Pertama, studi yang dilakukan oleh Bernt dan Hansson (1991) yang mengemukakan bahwa peningkatan pelayanan infrastruktur dapat mengurangi biaya produksi. selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh World Bank (1994) menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi sebesar satu persen ternyata terkait erat


(34)

dengan pertumbuhan ketersediaan pelayanan infrastruktur sebesar satu persen pula.

Penelitian-penelitian yang mengukur elastisitas ketersediaan infrastruktur terhadap perekonomian dilakukan Canning (1999), Calderon dan Serven (2002) serta Marianne Fay dan Tito Yepes (2003). Berbagai studi tersebut menunjukkan bahwa investasi infrastruktur berdampak signifikan dan positif terhadap perekonomian. Kemudian penelitian mengenai dampak infrastruktur terhadap perekonomian di Indonesia dilakukan oleh Purnomo (2009), khususnya di Kabupaten Bekasi. Dari penelitian yang menggunakan metode OLS tersebut diperoleh hasil bahwa infrastuktur berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi Kabupaten Bekasi.

Adapun studi mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi kemiskinan di Indonesia dilakukan oleh Usman, Sinaga, Siregar (2006). Studi tersebut menunjukkan bahwa adanya penurunan kualitas infrastruktur jalan mengakibatkan kemiskinan semakin bertambah. Faktor komunitas infrastruktur yang juga penting adalah akses listrik. Hasil analisis membuktikan bahwa baik di tahun 1999 maupun 2002 rumah tangga yang tidak memiliki akses terhadap listrik akan menambah peluang menjadi miskin. Sehingga salah satu hal yang harus mendapat perhatian pemerintah pusat maupun daerah dalam penanggulangan kemiskinan adalah infrastruktur. Studi lainnya dilakukan oleh Tumiwa dan Imelda (2011) mengenai kemiskinan energi. Dari studi tersebut diperoleh hasil bahwa pembangunan secara sosial dan ekonomi hanya akan tercipta jika dan hanya jika akses kepada energi tersedia dengan kualitas yang baik, harga terjangkau, pasokan


(35)

terjamin, serta teknologi yang digunakan dapat diterima oleh masyarakat pengguna.

2.3. Kerangka Penelitian Konseptual

Penelitian ini akan berusaha untuk mengonfirmasi hubungan antara kinerja keuangan pemerintah daerah, ketersediaan infrastruktur, dan kemiskinan di 200 kabupaten/kota di Indonesia selama periode 2006-2009. Untuk menganalisis hubungan antara kinerja keuangan daerah pemerintah daerah dengan ketersediaan infrastruktur, maka indikator kinerja keuangan pemerintah daerah yang digunakan adalah penyerapan belanja modal dan proporsi belanja modal. Namun karena ketersediaan infrastruktur tidak hanya dipengaruhi oleh kinerja keuangan daerah, maka ada pula faktor-faktor lain yang memengaruhi ketersediaan infrastruktur. Akan tetapi faktor-faktor lain tersebut tidak dibahas dalam penelitian ini.

Ketersediaan infrastruktur yang akan diteliti adalah beberapa macam infrastruktur dasar yakni listrik, air bersih, dan jalan. Selanjutnya akan dianalisis

Tingkat Kemiskinan

Faktor-Faktor lain yang memengaruhi kemiskinan Penyerapan Belanja

Modal

Proporsi Belanja Modal

Ketersediaan Infrastruktur (Listrik, Air,

Jalan)

Faktor-Faktor lain yang memengaruhi ketersediaan infrastruktur


(36)

pengaruh dari ketersediaan infrastruktur listrik, air bersih, serta jalan terhadap tingkat kemiskinan di kabupaten/kota di Indonesia. Mengingat ada banyak faktor-faktor lain yang memengaruhi tingkat kemiskinan selain ketersediaan infrastruktur, maka dalam kerangka penelitian tersebut dimasukkan pula faktor-faktor lain yang memengaruhi tingkat kemiskinan namun tidak dibahas secara mendalam dalam penelitian ini.

2.4. Hipotesis Penelitian

Berdasarkan beberapa landasan teori dan penelitian terdahulu serta kerangka konseptual yang telah dijelaskan sebelumnya, maka dapat dirumuskan beberapa hipotesis dalam penelitian ini, yaitu sebagai berikut :

1. Semakin baik kinerja keuangan pemerintah daerah, maka semakin baik pula ketersediaan infrastruktur daerah.

2. Semakin tinggi ketersediaan infrastruktur di daerah, maka tingkat kemiskinan akan semakin rendah.


(37)

III. METODE PENELITIAN

Metode penelitian merupakan pendekatan umum untuk membangun topik penelitian secara keseluruhan. Dalam kaitannya dengan hal ini, metode penelitian merupakan sistem atas peraturan-peraturan dan prosedur-prosedur, sebagai dasar penelitian dan bertentangan dengan klaim atas pengetahuan yang secara menyeluruh dievaluasi (Imaduddin, 2006). Bagian ini akan menjelaskan mengenai metode yang digunakan dalam penelitian.

3.1. Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder 200 kabupaten/kota di Indonesia dalam bentuk data panel, yaitu gabungan data deret waktu tahunan periode 2006 sampai dengan 2009 dan data cross-section yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik dan Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan Republik Indonesia. Selain itu penulis juga melakukan studi pustaka dengan membaca jurnal, artikel internet serta literatur-literatur yang berkaitan dengan masalah yang diteliti. Data sekunder tersebut meliputi :

a) Data Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) dan realisasi APBD, data APBD yang akan digunakan adalah :

1. Belanja modal 2. Total belanja


(38)

b) Data indikator infrastruktur dasar :

1. Infrastruktur listrik. Ukuran yang digunakan adalah persentase rumah tangga dengan sumber penerangan utama berasal dari listrik PLN.

2. Infrastruktur air bersih. Ukuran yang digunakan adalah persentase rumah tangga dengan sumber air minum yang berasal dari air kemasan dan ledeng. 3. Infrastruktur jalan. Ukuran yang digunakan adalah persentase panjang jalan

dengan kondisi baik per luas wilayah.

c) Data kemiskinan persentase penduduk miskin di tiap kabupaten/kota di Indonesia.

3.2. Metode Analisis

Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif dan analisis inferensia, yaitu analisis regresi berganda dengan data panel. Analisis perkembangan kinerja keuangan pemerintah daerah dilakukan dengan menggunakan analisis deskriptif yang akan disajikan dengan bantuan diagram boxplot dan tabel. Sementara metode data panel digunakan untuk menganalisis keterkaitan antara kinerja keuangan pemerintah daerah, ketersediaan infrastruktur, dan kemiskinan. Metode data panel merupakan suatu metode yang digunakan untuk melakukan analisis empirik yang tidak mungkin dilakukan jika hanya menggunakan data time series saja atau data cross section saja (Gujarati, 2003). Sedangkan untuk pengolahan data dilakukan dengan menggunakan program Eviews 6.1 dan Microsoft Excel 2007.


(39)

3.2.1. Analisis Boxplot

Analisis deskriptif yang digunakan dalam penelitian ini didasarkan pada grafik dalam bentuk diagram boxplot. Sebagaimana diketahui, data memiliki karakteristik untuk setiap tahun maupun setiap wilayah. Oleh karena itu langkah awal dalam menganalisis data adalah mempelajari karakteristik dari data tersebut. Untuk itu, perlu diketahui pemusatan dan penyebaran data dari nilai tengahnya, nilai ekstrim atau pencilan dan beberapa pengukuran lainnya. Boxplot adalah salah satu teknik untuk mempelajari karakteristik dan distribusi data tersebut (Agustina, 2010). Beberapa manfaat dari penggunaan analisis boxplot adalah :

1. Melihat derajat penyebaran data yang dapat dilihat dari tinggi atau lebar box. Jika data menyebar, maka box semakin tinggi atau lebar.

2. Menilai kesimetrisan data. Jika data simetris, garis median akan berada di tengah box dan whisker pada bagian atas dan bagian bawah akan memiliki panjang yang sama. Jika data tidak simetris (condong), median tidak akan berada di tengah box dan salah satu dari whisker lebih panjang dari yang lainnya.

Boxplot adalah salah satu cara dalam statistik deskriptif untuk menggambarkan secara grafik dari data numeris melalui lima ukuran sebagai berikut :

1. Nilai observasi terkecil

2. Kuartil pertama (Q1) yang memotong 25% dari data terendah 3. Median (Q2) atau nilai pertengahan

4. Kuartil ketiga (Q3) yang memotong 25% dari data tertinggi 5. Nilai observasi terbesar


(40)

Boxplot juga menunjukkan adanya nilai pencilan (outlier) dari observasi. Boxplot dapat digunakan untuk menunjukkan perbedaan antara populasi tanpa menggunakan asumsi distribusi statistik yang mendasarinya. Karenanya, boxplot tergolong dalam statistik non-parametrik. Jarak antara bagian-bagian dari box menunjukkan derajat penyebaran dan skewness (kecondongan) dalam data. Boxplot dapat digambarkan secara horizontal maupun vertikal. Hasil pengolahan analisis boxplot dapat diilustrasikan pada Gambar 3.1 berikut.

Gambar 3.1. Diagram Boxplot

Dari Gambar 3.1. tersebut dapat dijelaskan beberapa hal sebagai berikut :

1. Garis horisontal bagian bawah box menyajikan kuartil pertama (Q1), sementara bagian atas menyajikan kuartil ketiga (Q3). Bagian dari box adalah bidang yang menyajikan interquartile range (IQR), atau bagian pertengahan dari 50% observasi. Panjang box ditentukan oleh IQR tersebut. IQR adalah ukuran yang terkenal untuk mengukur penyebaran data. Semakin tinggi (jika

outlier

Kuartil ketiga (Q3) Median (Q2)

Perpanjangan whisker, nilai terendah dalam batas bawah

Kuartil pertama (Q1) Perpanjangan whisker, nilai


(41)

boxplot vertikal) atau semakin lebar (jika boxplot horisontal) bidang IQR ini, menunjukkan data semakin menyebar.

2. Garis tengah yang melewati box menyatakan median dari data. Median adalah ukuran yang terkenal untuk lokasi variabel (nilai pusat atau rata-rata).

3. Garis yang memperpanjang box dinamakan dengan whiskers. Whiskers menunjukkan nilai yang lebih rendah dan lebih tinggi dari kumpulan data yang berada dalam IQR (kecuali outlier). Panjang garis whisker bagian atas adalah kurang dari atau sama dengan Q3 + (1.5 x IQR). Panjang garis whisker bagian bawah adalah lebih besar atau sama dengan Q1 – (1.5 x IQR). Masing-masing garis whisker dimulai dari akhir box.

4. Nilai yang berada di atas atau di bawah whisker dinamakan nilai outlier atau ekstrim. Suatu nilai dikatakan outlier jika : Q3 + (1.5 x IQR) < outlier ≤ Q3 + (3 x IQR) atau jika Q1 – (1.5 x IQR) > outlier ≥ Q1 – (3 x IQR). Selanjutnya, suatu nilai dikatakan ekstrim jika lebih besar dari Q3 + (3 x IQR) atau lebih kecil dari Q1 – (3 x IQR).

3.2.2. Analisis Data Panel

Data panel merupakan gabungan antara data cross section dan data time series. Data cross section adalah data yang dikumpulkan dalam satu waktu terhadap banyak individu sedangkan data time series merupakan data yang dikumpulkan dari waktu ke waktu terhadap suatu individu. Data umumnya diperoleh melalui survey yang berulang atau dengan mengikuti perkembangan sample selama beberapa kurun waktu. Data panel juga biasa juga disebut dengan time series cross section data, longitudinal data, micropanel data, ataupun cohort analysis.


(42)

Menurut Baltagi (2001), kelebihan yang diperoleh dari penggunaan data panel adalah :

1. Mampu mengontrol heterogenitas individu.

2. Memberikan informasi yang lebih luas, mengurangi kolinearitas di antara variabel, memperbesar derajat bebas, dan lebih efisien.

3. Data panel lebih baik untuk studi dynamic of adjustment.

4. Dapat lebih baik untuk mengidentifikasi dan mengukur efek yang tidak dapat dideteksi dalam model data cross section maupun time series.

5. Lebih sesuai untuk mempelajari dan menguji model perilaku (behavioral models) yang kompleks dibandingkan dengan model data cross section atau time series.

Beberapa notasi yang akan digunakan dalam teknik estimasi data panel antara lain :

Yit = nilai variabel terikat (dependent variable) untuk setiap unit individu

(cross section unit) pada periode t dimana i = 1,...,n dan t = 1,...,T. Xjit = nilai variabel penjelas (explanatory variable) ke-j untuk setiap unit

individu ke-i pada periode t, dimana K variabel penjelas diberi indeks dengan j = 1,...,K.

Pembahasan pada penelitian ini dibatasi pada data panel yang bersifat balanced panel saja, yaitu data panel yang memiliki jumlah observasi yang sama untuk setiap unit individunya, sehingga total observasi yang dimiliki adalah n x T. Dalam analisis model data panel dikenal tiga macam metode yang terdiri dari metode kuadrat terkecil (pooled least square), metode efek tetap (fixed effect), dan


(43)

metode efek acak (random effect). Ketiga pendekatan yang dilakukan dalam analisis data panel tersebut akan dijelaskan pada bagian berikut ini.

3.2.2.1. Metode Pooled Least Square

Metode kuadrat terkecil biasa yang diterapkan dalam data yang berbentuk pool merupakan pendekatan yang paling sederhana dalam pengolahan data panel. Misalkan terdapat persamaan berikut ini :

untuk i = 1, 2, ..., N dan t = 1, 2, ..., T (3.1)

dimana N adalah jumlah unit cross section (individu) dan T adalah jumlah periode waktunya. Dengan mengasumsikan komponen error dalam pengolahan kuadrat terkecil biasa, maka proses estimasi dapat dilakukan secara terpisah untuk setiap unit cross section. Untuk periode t = 1, akan diperoleh persamaan regresi cross section berikut :

untuk i = 1, 2, ..., N (3.2)

yang akan berimplikasi diperolehnya sebanyak T persamaan yang sama. Begitu juga sebaliknya, akan dapat diperoleh persamaan deret waktu sebanyak N persamaan untuk setiap t observasi dengan α dan konstan sehingga akan diperoleh bentuk regresi yang leih besar dengan melibatkan NT observasi. Akan tetapi, perbedaan antar individu maupun antar waktu tidak dapat terlihat.

3.2.2.2. Metode Efek Tetap (Fixed Effect)

Masalah terbesar dalam pendekatan pooled least square adalah asumsi intersep dan slope dari persamaan regresi yang dianggap konstan baik antar individu maupun antar waktu yang mungkin tidak beralasan. Generalisasi secara umum yang sering dilakukan adalah dengan memasukkan variabel boneka


(44)

(dummy variable) untuk menghasilkan nilai parameter yang berbeda-beda baik lintas unit cross section maupun antar waktu (Baltagi, 2001).

Pendekatan fixed effect dapat dituliskan dalam persamaan berikut :

(3.3)

dimana:

= variabel terikat di waktu t untuk unit cross section i = intersep yang berubah-ubah antar cross section unit = parameter untuk variabel ke-j

= variabel bebas j di waktu t untuk unit cross section i = komponen error di waktu t untuk unit cross section i

Dengan menggunakan pendekatan ini akan terjadi degree of freedom sebesar NT-N-K. Keputusan memasukkan dummy variable ini harus didasarkan pada pertimbangan statistik. Tidak dapat dipungkiri, dengan melakukan penambahan dummy variable ini dapat mengurangi banyaknya degree of freedom yang akhirnya akan mempengaruhi keefisienan dari parameter yang diestimasi.

3.2.2.3. Metode Efek Acak (Random Effect)

Keputusan untuk memasukkan dummy variable dalam model efek tetap memiliki konsekuensi berkurangnya degree of freedom yang akhirnya dapat mengurangi efisiensi dari parameter yang diestimasi. Oleh karena itu, dalam model data panel dikenal pendekatan yang ketiga yaitu model random effect (Baltagi, 2001).

Bentuk model random effect dapat dijelaskan pada persamaan berikut :


(45)

(3.5) dimana:

~ , ) = komponen cross section error ~ , ) = komponen time series error

~ , ) = komponen error kombinasi

asumsinya adalah bahwa error secara individual juga tidak saling berkorelasi begitu juga dengan error kombinasinya.

Dengan menggunakan model random effect, maka dapat menghemat pemakaian degree of freedom dan tidak mengurangi jumlahnya seperti yang dilakukan oleh model fixed effect. Hal ini berimplikasi pada parameter hasil estimasi yang menjadi semakin efisien.

3.2.3. Pengujian Kesesuaian Model Data Panel

Untuk memilih metode serta model mana yang paling tepat dalam pengolahan data panel, maka terdapat beberapa pengujian yang dapat dilakukan, antara lain :

1. Chow Test, yaitu pengujian untuk memilih apakah model yang digunakan Pooled Least Square (PLS) atau Fixed Effect. Dalam pengujian ini hipotesisnya adalah :

H0 = Model Pooled Least Square (Restricted)

H1 = Model Fixed Effect (Unrestricted)

F statistik yang digunakan yaitu dengan menggunakan rumus berikut :


(46)

Jika nilai CHOW (F statistik) > FN-1, NT-N-K maka dapat dikatakan sudah cukup

bukti untuk menolak H0, sehingga model yang digunakan adalah model Fixed

Effect.

2. The Breusch-Pagan LM Test, dimana pengujian ini dilakukan untuk memilih antara random effect dan pooled least square. Uji hipotesisnya adalah :

H0 = Pooled Least Square

H1 = Random Effect Model

Dasar penolakan H0 adalah dengan menggunakan statistik LM test yang

berdasarkan distribusi chi square.

3. Hausman Test, yaitu pengujian statistik sebagai dasar pertimbangan dalam memilih apakah menggunakan model fixed effext atau model random effect. Hausman test dilakukan dengan hipotesis sebagai berikut :

H0 = Random Effect Model

H1 = Fixed Effect Model

Sebagai dasar penolakan hipotesis nol yaitu jika statistik Hausman > Chi Square Table atau dapat juga dengan menggunakan nilai probabilitas (p-value). Jika p-value < tingkat kritis α, maka tolak hipotesis untuk memilih random effect model. Statistik Hausman dirumuskan dengan :

~ X2 (K) (3.7)

Dimana adalah vektor untuk statistik variabel fixed effect, b adalah vektor statistik variabel random effect, (M0) adalah matriks kovarians untuk dugaan


(47)

Menurut Nachrowi dan Usman (2006), disamping dengan menggunakan uji statistik (Hausman Test) terdapat beberapa pertimbangan untuk memilih apakah menggunakan fixed effect atau random effect yaitu :

a. Bila T (banyaknya unit time series) besar sedangkan N (jumlah unit cross section) kecil maka hasil fixed effect dan random effect tidak jauh berbeda. Sehingga dapat dipilih pendekatan yang lebih mudah untuk dihitung yaitu fixed effect model.

b. Bila N besar dan T kecil, maka hasil estimasi kedua pendekatan akan berbeda jauh. Apabila unit cross section yang dipilih dalam penelitian diambil secara acak maka random effect yang harus digunakan. Sebaliknya apabila unit cross section yang dipilih dalam penelitian tidak diambil secara acak maka yang harus digunakan adalah fixed effect.

c. Apabila komponen error individual dan variabel bebas x berkorelasi maka parameter yang diperoleh dengan random effect akan bias sementara parameter yang diperoleh dengan fixed effect tidak bias.

d. Apabila N besar dan T kecil, dan apabila asumsi yang mendasari random effect dapat terpenuhi, maka random effect lebih efisien dibandingkan fixed effect.

Pemilihan model yang digunakan dalam sebuah penelitian perlu dilakukan berdasarkan perhitungan statistik. Hal ini ditujukan untuk memperoleh suatu dugaan yang efisien. Diagram pengujian statistik untuk memilih model yang digunakan diperlihatkan pada Gambar 3.2. berikut.


(48)

Sumber : Syahrial, 2004

Gambar 3.2. Pengujian Pemilihan Model dalam Pengolahan Data Panel

3.2.4. Evaluasi Model

3.2.4.1. Uji Kriteria Statistik a. Koefisien Determinasi (R2)

Koefisien determinasi yang dilambangkan dengan R2 adalah suatu angka yang mengukur keragaman pada variabel tidak bebas yang dapat diterangkan oleh variasi pada model regresi. Nilai ini berkisar antara nol sampai satu (0< R2<1), dengan nilai yang semakin mendekati satu menunjukkan model yang terbentuk mampu menjelaskan keragaman dari variabel tidak bebas, demikian pula sebaliknya. Rumus dari koefisien determinasi adalah :

∑ (3.8)

Selain R2, terdapat pengukuran keragaman lainnya yaitu R2-adjusted. R2 -adjusted adalah nilai R2 yang telah disesuaikan terhadap banyaknya variabel bebas dan banyaknya observasi. Rumus R2-adjusted adalah :

R2-adjusted ∑ /

∑ / (3.9)

Chow Test

Fixed Effect

Random Effect

Pooled Least Square

Hausman Test


(49)

dimana,

R2-adjusted = koefisien determinasi yang telah disesuaikan

k = jumlah variabel bebas

n = jumlah observasi

b. Uji Hipotesis

Uji hipotesis berguna untuk memeriksa atau menguji apakah variabel-variabel yang digunakan dalam model regresi signifikan atau tidak. Maksud dari signifikan disini adalah suatu nilai dari parameter regresi yang secara statistik tidak sama dengan nol. Jika nilai koefisien sama dengan nol, maka dapat dikatakan bahwa tidak cukup bukti untuk menyatakan suatu variabel bebas tersebut berpengaruh terhadap variabel tak bebasnya.

Ada dua jenis uji hipotesis yang dapat dilakukan terhadap variabel regresi. Uji tersebut adalah Uji-F dan Uji-t. Uji-F digunakan untuk menguji parameter dalam variabel regresi secara bersama-sama, sedangkan Uji-t digunakan untuk menguji parameter-parameter tersebut, termasuk intercept, secara individu.

1. Uji-F

Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui apakah semua variabel bebas di dalam model secara bersama-sama berpengaruh terhadap variabel tidak bebas. Pengujian dilakukan dengan menggunakan Uji-F, yaitu perbandingan nilai kritis F dengan hasil F-hitung. Pengujian pengaruh variabel bebas terhadap variabel tidak bebas dilakukan melalui pengujian besar perubahan dari variabel tidak bebas yang dapat dijelaskan oleh perubahan nilai semua variabel bebas. Analisis pengujian tersebut adalah sebagai berikut :


(50)

Perumusan Hipotesis

H0 : 1 = 2 = 3 = k = 0

H1 : minimal ada satu nilai yang tidak sama dengan nol

Uji statistik yang digunakan :

Fhitung = /

/

(3.10)

dimana :

e2 = jumlah kuadrat regresi (1- e2) = jumlah kuadrat sisa

n = jumlah pengamatan

k = jumlah parameter

Kriteria uji :

Fhitung > Ftabel,(k-1)(n-k) maka tolak H0

Jika tolak H0 berarti secara bersama-sama variabel bebas dalam model

berpengaruh nyata terhadap variabel tidak bebas pada taraf nyata α persen, demikian pula sebaliknya.

2. Uji-t

Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui apakah variabel bebas secara individu (masing-masing) berpengaruh signifikan atau tidak terhadap variabel tidak bebas.

Hipotesis :

H0 : k = 0

H1 : k≠ 0


(51)

thitung =

(3.11)

ttabel = tα,(n-k)

dimana :

S(bi) = standar deviasi parameter untuk bi

bi = koefisien ke-i yang diduga

n = jumlah pengamatan k = jumlah parameter Kriteria uji :

thitung > ttabel(n-k) maka tolak H0

Jika tolak H0 berarti secara statistik variabel bebas dalam model

berpengaruh nyata terhadap variabel tidak bebas pada taraf nyata α persen, demikian pula sebaliknya.

3.2.4.2. Uji Asumsi atau Uji Kriteria Ekonometrik 1. Uji Multikolinearitas

Asumsi ini menyatakan bahwa tidak adanya keterkaitan atau hubungan linier antar variabel bebas penyusun model. Jika ada hubungan linier antara dua atau lebih variabel bebas maka dikatakan terjadi multikolinearitas, dan hal tersebut merupakan penyimpangan asumsi. Tingkat multikolinearitas dapat dilihat melalui besarnya nilai VIF (Variance Inflation Factor). Jika nilai VIF sangat besar (mendekati sepuluh) maka terjadi hubungan linier antar variabel. Rumus dari VIF yaitu :


(52)

dimana :

VIF = Variance Inflation Factor

Rj2 = koefisien determinasi dari regresi variabel bebas ke-j

2. Uji Autokorelasi

Autokorelasi adalah adanya korelasi antara serangkaian observasi yang diurutkan menurut waktu. Autokorelasi pada umumnya lebih sering terjadi pada data deret waktu (time series) walaupun dapat terjadi pada data cross section. Autokorelasi dapat mempengaruhi efisiensi dari estimatornya. Ada tidaknya autokorelasi dapat diketahui dengan membandingkan nilai Durbin-Watson (DW) statistik dengan DW-tabel. Kerangka identifikasi autokorelasi terangkum dalam Tabel 3.1. berikut ini.

Tabel 3.1. Selang Nilai Statistik Durbin-Watson serta Keputusannya

Nilai DW Keputusan

4-dL < DW < 4 Tolak H0; ada autokorelasi negatif

4-dU < DW < 4-dL Tidak tentu, coba uji yang lain

dU < DW < 4-dU Terima H0

dL < DW < dU Tidak tentu, coba uji yang lain

0 < DW < dL Tolak H0; ada autokorelasi positif

Sumber : Juanda, 2009

3. Uji Heteroskedastisitas

Dalam regresi linear ganda, salah satu asumsi yang harus dipenuhi agar penduga parameter dalam model tersebut bersifat BLUE (Best, Linear, Unbiased estimator) adalah Var (ui) = σ2 (konstan), yang berarti bahwa semua varian


(53)

mempunyai variasi yang sama. Pada umumnya heteroskedastisitas sering ditemukan pada data cross section. Jika pada model ditemukan masalah heteroskedastisitas, maka model menjadi tidak efisien meskipun tidak bias dan konsisten.

3.3. Model Statistika untuk Pengujian Hipotesis

3.3.1. Model Analisis Dampak Kinerja Keuangan Daerah terhadap Ketersediaan Infrastruktur

Data panel yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari 200 wilayah kabupaten/kota sebagai unit cross section dan empat periode (2006-2009) sebagai unit time series sehingga dihasilkan 800 unit observasi. Untuk menganalisis keterkaitan antara kinerja keuangan daerah dan ketersediaan infrastruktur, maka digunakan tiga variabel dependen yakni ketersediaan infrastruktur yang meliputi infrastruktur listrik, air bersih, dan jalan. Sedangkan variabel independennya adalah kinerja anggaran daerah yang meliputi belanja modal per kapita dan penyerapan belanja modal. Estimasi parameter dilakukan untuk tiap persamaan, masing-masing dengan variabel dependen tersebut. Sehingga ada tiga model yang diestimasi dalam analisis dampak kinerja keuangan daerah terhadap ketersediaan infrastruktur, yaitu:

1. Model untuk menganalisis dampak kinerja keuangan daerah terhadap infrastruktur listrik

ELECTRICITYit = αi + 1ABSORPTIONit + 2CAPEXit + it (3.13)

Dimana :


(54)

ABSORPTIONit = rasio realisasi belanja modal terhadap anggaran

belanja modal (persen)

CAPEXit = rasio belanja modal terhadap total penduduk

(Rp/kapita)

αi = intersep model yang berubah-ubah tiap kabupaten

1 = slope variabel ABSORPTION

2 = slope variabel CAPEX

it = error term

i = kabupaten/kota; i = 1,2,3,...,200

t = banyaknya time series; t = 1,2,3,4 (mewakili

tahun-tahun 2006-2009)

2. Model untuk menganalisis dampak kinerja keuangan daerah terhadap infrastruktur air bersih

WATERit = i + 1ABSORPTIONit + 2CAPEXit + it (3.14)

Dimana :

WATERit = akses rumah tangga terhadap air bersih (persen)

ABSORPTIONit = rasio realisasi belanja modal terhadap anggaran

belanja modal (persen)

CAPEXit = rasio belanja modal terhadap total penduduk

(Rp/kapita)

i = intersep model yang berubah-ubah tiap kabupaten

1 = slope variabel ABSORPTION

2 = slope variabel CAPEX


(55)

i = kabupaten/kota; i = 1,2,3,...,200

t = banyaknya time series; t = 1,2,3,4 (mewakili

tahun-tahun 2006-2009)

3. Model untuk menganalisis dampak kinerja keuangan daerah terhadap infrastruktur jalan

ROADit = i + 1ABSORPTIONit + 2CAPEXit + it (3.15)

Dimana :

ROADit = panjang jalan dengan kondisi baik per luas

wilayah (km/km2)

ABSORPTIONit = rasio realisasi belanja modal terhadap anggaran

belanja modal (persen)

CAPEXit = rasio belanja modal terhadap total penduduk

(Rp/kapita)

i = intersep model yang berubah-ubah tiap kabupaten

1 = slope variabel ABSORPTION

2 = slope variabel CAPEX

it = error term

i = kabupaten/kota; i = 1,2,3,...,200

t = banyaknya time series; t = 1,2,3,4 (mewakili

tahun-tahun 2006-2009)

3.3.2. Model Analisis Dampak Ketersediaan Infrastruktur terhadap Tingkat Kemiskinan

Untuk menganalisis dampak ketersediaan infrastruktur terhadap tingkat kemiskinan daerah, maka digunakan satu variabel dependen dan tiga variabel


(56)

independen. Variabel dependen yang diamati adalah tingkat kemiskinan daerah dengan variabel independennya adalah infrastruktur listrik, air bersih, dan jalan. Model yang diestimasi adalah sebagai berikut :

POVERTYit = σi + θ1ELECTRICITYit + θ2WATERit + θ3ROAD it + it

Dimana :

POVERTYit = persentase penduduk miskin (persen)

ELECTRICITYit = akses rumah tangga terhadap listrik (persen)

WATERit = akses rumah tangga terhadap air bersih (persen)

ROADit = panjang jalan dengan kondisi baik per luas

wilayah (km/km2)

σi = intersep model yang berubah-ubah tiap kabupaten

θ1 = slope variabel ELECTRICITY

θ2 = slope variabel WATER

θ3 = slope variabel ROAD

it = error term

i = kabupaten/kota; i = 1,2,3,...,200

t = banyaknya time series; t = 1,2,3,4 (mewakili

tahun-tahun 2006-2009)


(57)

4.1. Perkembangan Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota Pembahasan mengenai kinerja keuangan pemerintah daerah ditinjau dari beberapa hal. Pertama, proporsi belanja modal dari total belanja daerah. Kedua, penyerapan belanja modal yang diukur dengan membandingkan besarnya realisasi belanja modal terhadap anggaran belanja modal.

4.1.1. Perkembangan Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Ditinjau dari Proporsi Belanja Modal

Indikator proporsi belanja modal menunjukkan arah pengelolaan belanja pemerintah pada manfaat jangka panjang, sehingga dapat memberikan multiplier yang lebih besar terhadap perekonomian. Ditinjau dari proporsi belanja modal terhadap total belanja daerah, kinerja keuangan 200 kabupaten/kota di Indonesia relatif rendah. Hal tersebut dikarenakan proporsi belanja modal yang dialokasikan oleh daerah relatif kecil, yaitu kurang dari 50 persen. Padahal belanja modal memiliki peran penting untuk pembangunan infrastruktur. Perkembangan proporsi belanja modal daerah dari tahun 2006 sampai 2009 dapat dilihat pada Gambar 4.1. berikut ini.

Dari Gambar 4.1. berikut, dapat dilihat bahwa besarnya belanja daerah yang dialokasikan untuk belanja modal memiliki nilai yang fluktuatif dari tahun 2006 sampai dengan 2009. Pada tahun 2006 rata-rata proporsi belanja modal kabupaten/kota sebesar 25,09 persen yang kemudian mengalami peningkatan menjadi 30,33 persen pada tahun 2007. Di tahun 2008 rata-rata proporsi belanja


(58)

modal mengalami peningkatan lagi menjadi 37,03 persen namun kemudian mengalami penurunan pada tahun 2009 menjadi 31,09 persen.

2006 2007 2008 2009

Rata-rata 25,09 30,33 37,03 31,09

Minimum 6,94 5,93 8,83 3,42

Q1 17,27 23,19 28,13 20,81

Median 23,55 28,25 37,09 29,55

Q3 31,21 36,69 45,09 40,83

Maximum 64,55 69,83 77,07 69,44

IQR 13,94 13,50 16,95 20,01

Sumber : DJPK Kementerian Keuangan, diolah

Gambar 4.1. Perkembangan Proporsi Belanja Modal Kabupaten/Kota di Indonesia periode 2006-2009

Belanja modal yang dialokasikan oleh masing-masing pemerintah daerah memiliki proporsi yang berbeda-beda. Alokasi tersebut dipengaruhi oleh prioritas kebijakan dan sasaran-sasaran pembangunan yang ingin dicapai oleh masing-masing pemerintah daerah. Oleh karena itu, pada tahun 2006 kabupaten yang memiliki proporsi belanja modal tertinggi adalah Kabupaten Penajam Paser Utara, yakni sebesar 64,55 persen dari total belanja daerah tersebut. Sedangkan

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100

2006 2007 2008 2009

Persen

Tahun

Medan Karawang Sabang

Luwu Timur Penajam P.U.

Wonosobo Binjai


(1)

Lampiran 17 Hasil pengujian dengan metode Pooled Least Square untuk mengestimasi keterkaitan antara ketersediaan infrastruktur dan tingkat kemiskinan

Dependent Variable: POVERTY Method: Panel Least Squares Date: 06/18/12 Time: 09:54 Sample: 2006 2009

Periods included: 4

Cross-sections included: 200

Total panel (balanced) observations: 800

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

C 26.30053 1.219301 21.57017 0.0000

ELECTRICITY -0.069641 0.014564 -4.781633 0.0000 WATER -0.129349 0.013461 -9.608821 0.0000

ROAD -0.536617 0.194525 -2.758603 0.0059 R-squared 0.217958 Mean dependent var 16.70376

Adjusted R-squared 0.215011 S.D. dependent var 8.244527 S.E. of regression 7.304620 Akaike info criterion 6.819879 Sum squared resid 42472.55 Schwarz criterion 6.843302 Log likelihood -2723.951 Hannan-Quinn criter. 6.828877 F-statistic 73.94942 Durbin-Watson stat 0.129010 Prob(F-statistic) 0.000000


(2)

102   

Lampiran 18 Hasil pengujian dengan metode Fixed Effect untuk mengestimasi keterkaitan antara ketersediaan infrastruktur dan tingkat kemiskinan

   

Dependent Variable: POVERTY

Method: Panel EGLS (Cross-section weights) Date: 04/26/12 Time: 12:30

Sample: 2006 2009 Periods included: 4

Cross-sections included: 200

Total panel (balanced) observations: 800

Linear estimation after one-step weighting matrix

White cross-section standard errors & covariance (d.f. corrected) WARNING: estimated coefficient covariance matrix is of reduced rank

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

C 34.69851 2.206820 15.72331 0.0000

ELECTRICITY -0.198271 0.026831 -7.389530 0.0000 WATER -0.034060 0.003911 -8.708742 0.0000

ROAD -0.136356 0.064540 -2.112730 0.0350

Effects Specification

Cross-section fixed (dummy variables)

Weighted Statistics

R-squared 0.979109 Mean dependent var 24.44866 Adjusted R-squared 0.972040 S.D. dependent var 14.11898 S.E. of regression 2.634002 Sum squared resid 4141.965 F-statistic 138.5146 Durbin-Watson stat 1.862749 Prob(F-statistic) 0.000000

Unweighted Statistics

R-squared 0.923448 Mean dependent var 16.70376 Sum squared resid 4157.515 Durbin-Watson stat 1.216034  

               


(3)

Lampiran 19 Hasil pengujian dengan metode Random Effect untuk mengestimasi keterkaitan antara ketersediaan infrastruktur dan tingkat kemiskinan

 

Dependent Variable: POVERTY

Method: Panel EGLS (Cross-section random effects) Date: 06/18/12 Time: 09:55

Sample: 2006 2009 Periods included: 4

Cross-sections included: 200

Total panel (balanced) observations: 800

Swamy and Arora estimator of component variances

White cross-section standard errors & covariance (d.f. corrected) WARNING: estimated coefficient covariance matrix is of reduced rank

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

C 31.75047 8.426190 3.768070 0.0002

ELECTRICITY -0.153869 0.049779 -3.091043 0.0021 WATER -0.065790 0.021277 -3.092064 0.0021

ROAD -0.245740 0.211961 -1.159365 0.2467

Effects Specification

S.D. Rho

Cross-section random 6.823290 0.8700

Idiosyncratic random 2.637863 0.1300

Weighted Statistics

R-squared 0.128973 Mean dependent var 3.170130 Adjusted R-squared 0.125690 S.D. dependent var 2.860288 S.E. of regression 2.674500 Sum squared resid 5693.748 F-statistic 39.28776 Durbin-Watson stat 0.881810 Prob(F-statistic) 0.000000

Unweighted Statistics

R-squared 0.168352 Mean dependent var 16.70376 Sum squared resid 45166.64 Durbin-Watson stat 0.111162

   

       


(4)

104   

Lampiran 20 Hasil pengujian Hausman test untuk mengestimasi keterkaitan antara ketersediaan infrastruktur dan tingkat kemiskinan

Correlated Random Effects - Hausman Test Equation: Untitled

Test cross-section random effects

Test Summary

Chi-Sq.

Statistic Chi-Sq. d.f. Prob. Cross-section random 25.264796 3 0.0000

Lampiran 21 Hasil pengujian Chow test untuk mengestimasi keterkaitan antara ketersediaan infrastruktur dan tingkat kemiskinan

   

Redundant Fixed Effects Tests Equation: Untitled

Test cross-section fixed effects

Effects Test Statistic d.f. Prob. Cross-section F 86.408739 (199,597) 0.0000  


(5)

Kemiskinan : Analisis Kabupaten/Kota di Indonesia Tahun 2006-2009 (dibimbing oleh D.S. PRIYARSONO)

Implementasi desentralisasi fiskal yang efektif dimulai sejak Januari 2001 telah memberikan kewenangan yang luas kepada pemerintah daerah untuk merencanakan dan melaksanakan pengelolaan keuangan daerahnya masing-masing. Disahkannya Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang pemerintah daerah dan Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah daerah dan pusat sebagai perubahan Undang-Undang No. 22 tahun 1999 dan Undang-Undang No. 25 tahun 1999 dimaksudkan untuk lebih menyempurnakan pelaksanaan desentralisasi fiskal di Indonesia (Kurnia, 2006).

Desentralisasi seharusnya dapat meningkatkan efisiensi dan kinerja pengeluaran daerah sehingga terjadi percepatan pencapaian sasaran pembangunan. Dengan demikian anggaran merupakan instrumen perencanaan pembangunan yang sangat strategis untuk mencapai sasaran-sasaran pembangunan. Di Indonesia, dokumen anggaran daerah disebut Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), baik untuk propinsi maupun kabupaten/kota. Kinerja anggaran pemerintah daerah selalu dikaitkan dengan bagaimana sebuah unit kerja pemerintah daerah dapat mencapai tujuan kerja dengan alokasi anggaran yang tersedia.

Besarnya komitmen pemerintah daerah dalam menyediakan layanan publik melalui pengeluaran belanja tampak dari alokasi pengeluaran belanja pemerintah daerah, khusunya belanja modal. Belanja modal yang dilakukan oleh pemerintah daerah dapat berkontribusi pada perekonomian regional apabila benar-benar diprioritaskan untuk pembangunan infrastruktur di daerahnya. Pembangunan infrastruktur diyakini mampu menggerakkan sektor riil, menyerap tenaga kerja, meningkatkan konsumsi masyarakat dan pemerintah, serta memicu kegiatan produksi. Sektor infrastruktur dipahami secara luas sebagai enabler terjadinya kegiatan ekonomi produktif di sektor-sektor lain. Selain berperan penting bagi pertumbuhan ekonomi, infrastruktur berpeluang juga untuk memiliki dampak langsung pada perbaikan pemerataan pendapatan. Infrastruktur juga penting bagi kesejahteraan masyarakat dan prakondisi yang penting untuk menanggulangi kemiskinan. Oleh karena itu, salah satu cara untuk mengatasi permasalahan kemiskinan adalah dengan pembangunan infrastruktur di daerah.

Metode analisis yang digunakan dalam studi ini adalah analisis boxplot dan analisis data panel terhadap 200 kabupaten/kota dengan periode penelitian 2006-2009. Hasil analisis deskriptif dengan menggunakan boxplot menunjukkan bahwa kinerja keuangan pemerintah daerah 200 kabupaten/kota di Indonesia relatif rendah jika ditinjau dari proporsi belanja modalnya. Hal tersebut dikarenakan proporsi belanja modal yang dialokasikan oleh daerah relatif kecil, yaitu kurang dari 50 persen selama periode 2006-2009. Sedangkan dari sisi penyerapan belanja modal, kinerja keuangan 200 kabupaten/kota di Indonesia relatif tinggi karena rata-rata belanja modal yang mampu diserap oleh daerah setiap tahunnya relatif besar, yaitu lebih dari 90 persen.

Dengan menggunakan metode data panel, studi ini mengonfirmasi hubungan positif antara kinerja pengelolaan keuangan daerah dengan penyediaan


(6)

infrastruktur dasar (khususnya jalan dan listrik, namun tidak berlaku untuk air bersih). Hal ini mengindikasikan bahwa pengelolaan keuangan daerah belum sepenuhnya efektif menjamin ketersediaan infrastruktur dasar. Adapun hubungan antara penyediaan infrastruktur dasar dengan angka kemiskinan adalah negatif. Temuan ini memperkuat keyakinan perlunya mendorong lebih kuat lagi pembangunan infrastruktur dasar untuk mengurangi angka kemiskinan.