Perhitungan Garis Kemiskinan Kemiskinan

4. Kemiskinan Kronis Kemiskinan kronis disebabkan oleh beberapa hal, yaitu : a. Kondisi sosial budaya yang mendorong sikap dan kebiasaan hidup masyarakat yang tidak produktif. b. Keterbatasan sumberdaya dan keterisolasian daerah-daerah yang kritis akan sumberdaya alam dan daerah terpencil. c. Rendahnya derajat pendidikan dan perawatan kesehatan, terbatasnya lapangan kerja dan ketidakberdayaan masyarakat dalam mengikuti ekonomi pasar. 5. Kemiskinan Sementara Kemiskinan sementara terjadi akibat beberapa hal, yaitu perubahan siklus ekonomi dari kondisi normal menjadi krisis ekonomi, perubahan yang bersifat musiman, dan bencana alam atau dampak dari sesuatu yang menyebabkan menurunnya tingkat kesejahteraan masyarakat.

2.1.6.2. Perhitungan Garis Kemiskinan

Teknik perhitungan garis kemiskinan yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik BPS terbagi ke dalam dua kurun waktu, yaitu sebelum tahun 2008 dan setelah tahun 2008. 1. Sebelum tahun 2008 Untuk menghitung penduduk miskin tingkat kabupatenkota digunakan metode yang didasarkan pada hukum Engel. Dasar dari hukum Engel adalah semakin miskin seseorang maka semakin tinggi proporsi pengeluaran untuk makanan. 2. Setelah tahun 2008 Tahap pertama dalam perhitungan penduduk miskin yang dilakukan BPS setelah tahun 2008 adalah menentukan penduduk referensi yaitu 20 persen penduduk yang berada di atas Garis Kemiskinan Sementara GKS. GKS adalah garis kemiskinan periode sebelumnya yang di-inflate dengan inflasi umum IHK. Dari penduduk referensi tersebut kemudian dihitung Garis Kemiskinan Makanan GKM dan Garis Kemiskinan Non-Makanan GKNM. Garis Kemiskinan GK dapat diperoleh dengan menjumlahkan GKM dan GKNM. Penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah GK dikategorikan sebagai penduduk miskin. GKM merupakan jumlah nilai pengeluaran dari 52 komoditi dasar makanan yang riil dikonsumsi penduduk referensi yang kemudian disetarakan dengan 2100 kilokalori perkapita perhari. Penyetaraan nilai pengeluaran kebutuhan minimum makanan dilakukan dengan menghitung harga rata-rata kalori dari ke-52 komoditi tersebut. Selanjutnya GKM disetarakan dengan 2100 kilokalori dengan cara mengalikan 2100 terhadap harga implisit rata-rata kalori menurut daerah dari penduduk referensi. Sedangkan GKNM merupakan penjumlahan nilai kebutuhan minimum dari komoditi-komoditi non-makanan terpilih yang meliputi perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan. Nilai kebutuhan minimum per komoditisub-kelompok non-makanan dihitung dengan menggunakan suatu rasio pengeluaran komoditisub-kelompok tersebut terhadap total pengeluaran komoditisub- kelompok yang tercatat dalam data Susenas modul konsumsi.

2.2. Tinjauan Empiris

Untuk mendukung penelitian yang akan dilakukan, maka ada beberapa penelitian terdahulu yang relevan dengan penelitian ini. Penelitian terdahulu bertujuan untuk membandingkan dan memperkuat hasil analisis yang dilakukan yang merujuk dari beberapa studi, baik yang berkaitan langsung maupun tidak langsung. Studi mengenai kinerja keuangan pemerintah daerah pernah dilakukan oleh Ekawarna, Sam, Rahayu 2009 terhadap kinerja APBD Kabupaten Muaro Jambi. Dari studi tersebut diperoleh hasil bahwa rasio efektivitas tinggi, rasio efisiensi rendah, rasio pertumbuhan semakin meningkat, sedangkan rasio kemandirian dan rasio aktivitas masih rendah. Sehingga dapat disimpulkan bahwa kinerja APBD pemerintah daerah Kabupaten Muaro Jambi belum baik. Selain itu ada pula studi yang dilakukan oleh Ronald dan Sarmiyatiningsih 2010 terhadap kinerja keuangan dan pertumbuhan ekonomi di Kabupaten Kulon Progo. Hasil studi tersebut menyatakan bahwa setelah diberlakukannya otonomi daerah, rasio efisiensi belanja cenderung menurun. Artinya belanja daerah cenderung efisien sehingga pertumbuhan ekonomi mengalami peningkatan meskipun dalam angka yang relatif kecil. Ada beberapa studi mengenai peran infrastruktur dalam perekonomian. Pertama, studi yang dilakukan oleh Bernt dan Hansson 1991 yang mengemukakan bahwa peningkatan pelayanan infrastruktur dapat mengurangi biaya produksi. selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh World Bank 1994 menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi sebesar satu persen ternyata terkait erat