Proses esterifikasi transesterifikasi in situ minyak sawit dalam tanah pemucat bekas untuk proses produksi biodiesel

(1)

PROSES ESTERIFIKASI TRANSESTERIFIKASI

IN SITU

MINYAK SAWIT DALAM TANAH PEMUCAT BEKAS

UNTUK PROSES PRODUKSI BIODIESEL

SKRIPSI

Nur Widi Kusumaningtyas

F 34070005

2011

DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR


(2)

Nur Widi Kusumaningtyas. F34070005. Proses Esterifikasi Transesterifikasi In Situ Minyak Sawit Dalam Tanah Pemucat Bekas Untuk Proses Produksi Biodiesel. Di bawah bimbingan Ani Suryani dan Muhammad Romli. 2011.

RINGKASAN

Pada umumnya proses pembuatan biodiesel melalui tahapan ekstraksi minyak, pemurnian minyak dan tahapan esterifikasi-transesterifikasi minyak menjadi biodiesel. Tahapan-tahapan proses yang harus dilalui menyebabkan rendahnya efisiensi dan tingginya konsumsi energi, yang mengakibatkan tinginya biaya produksi biodiesel. Sehingga, perlu dikembangkan proses pembuatan biodiesel yang lebih efisien melalui proses esterifikasi-transesterifikasi in situ. Esterifikasi atau transesterifikasi in situ adalah proses ekstraksi minyak dan reaksi esterifikasi atau transesterifikasi dilangsungkan secara simultan. Selain lebih efisien proses ini juga akan mempersingkat waktu karena proses konversi bahan baku menjadi biodiesel dilakukan secara simultan dengan proses ekstraksi minyak.

Tujuan penelitian ini adalah mengetahui proses esterifikasi-transesterifikasi in situ tanah pemucat bekas pada berbagai kondisi proses dengan mengetahui pengaruh rasio metanol dan kecepatan pengadukan terhadap rendemen dan kualitas biodiesel yang dihasilkan. Penelitian ini mencakup dua tahapan yaitu tahap penentuan tahapan proses dan tahap penelitian utama. Pada tahap penentuan tahapan proses diperoleh tahapan proses optimum melalui dua tahap yaitu reaksi esterifikasi dilanjutkan dengan tahap transesterifikasi. Proses esterifikasi in situ maksimum dilakukan selama 3 jam dilanjutkan dengan transesterifikasi in situ selama 1 jam. Tahapan proses ini dapat menurunkan kadar asam lemak bebas dalam bahan dari 4,97% menjadi 1,79%.

Proses produksi biodiesel kemudian dilakukan dengan menggunakan variasi rasio metanol terhadap bahan (v/b) yaitu 2:1, 4:1 dan 6:1 serta kecepatan pengadukan 490 rpm, 625 rpm dan 730 rpm. Proses produksi berlangsung pada suhu 65oC dengan menggunakan katalis asam sulfat dan natrium hidroksida pada konsentrasi 1,5% terhadap bahan. Analisis ragam menunjukkan bahwa rasio metanol, kecepatan pengadukan dan interaksi antara faktor rasio metanol dan kecepatan pengadukan memberikan pengaruh yang nyata terhadap rendemen, densitas, viskositas, bilangan asam dan bilangan penyabunan. Sedangkan terhadap kadar ester alkil, perlakuan yang diberikan dan interaksinya tidak memberikan pengaruh yang nyata.

Berdasarkan hasil penelitian, kondisi proses esterifikasi-transesterifikasi in situ yang terbaik adalah rasio metanol terhadap bahan (v/b) sebesar 6:1 dan kecepatan pengadukan 625 rpm (A3B2). Kondisi ini dipilih karena dapat menghasilkan biodiesel dengan karakteristik terbaik. dapat menghasilkan rendemen sebesar 29,64%. Karakteristik biodiesel yang dihasilkan pada kondisi proses ini yaitu densitas 0,871 gr/cm3, viskositas 4,69 cSt, bilangan asam 0,54 mg KOH/gram, bilangan penyabunan 416,67 mg KOH/gram, kadar gliserol total 0,0017% dan kadar ester alkil 99,87%. Kata kunci : biodiesel, esterifikasi transesterifikasi in situ, tanah pemucat bekas


(3)

PROSES ESTERIFIKASI TRANSESTERIFIKASI

IN SITU

MINYAK SAWIT DALAM TANAH PEMUCAT BEKAS

UNTUK PROSES PRODUKSI BIODIESEL

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN

Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian

Fakultas Teknologi Pertanian

Institut Pertanian Bogor

Oleh

Nur Widi Kusumaningtyas

F 34070005

2011

DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR


(4)

Judul Skripsi

:Proses Esterifikasi Transesterifikasi In Situ Minyak Sawit Dalam

Tanah Pemucat Bekas Untuk Proses Produksi Biodiesel

Nama

: Nur Widi Kusumaningtyas

NIM

: F34070005

Menyetujui,

Pembimbing I,

Pembimbing II,

Prof. Dr. Ir. Ani Suryani, DEA

Dr. Ir. Muhammad Romli, MSc. St

NIP. 19581026 198303 2 003

NIP. 19601205 198609 1 001

Mengetahui :

Ketua Departemen

Prof. Dr. Ir. Nastiti Siswi Indrasti

NIP. 19621009 198903 2 001


(5)

HALAMAN PERNYATAAN

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi yang berjudul

“Proses

Esterifikasi-Transesterifikasi In Situ Minyak Sawit Dalam Tanah Pemucat

Bekas Untuk Proses Produksi Biodiesel”

adalah hasil karya saya sendiri dengan

arahan dosen pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya.

Bogor, Juni 2011

Yang membuat Pernyataan,

Nur Widi Kusumaningtyas

NIM. F34070005


(6)

© Hak cipta milik Nur Widi Kusumaningtyas, tahun 2011

Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari

Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seleruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak,

foto kopi, mikrofilm dan sebagainya.


(7)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian sampai dengan penyusunan skripsi. Skripsi ini tidak akan berarti tanpa bantuan, arahan, bimbingan, dorongan motivasi dan doa dari berbagai pihak. Melalui kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada :

1. Prof. Dr. Ir. Ani Suryani, DEA selaku pembimbing akademik I atas segala bantuan, bimbingan, kritik dan sarannya yang sangat berguna sehingga dapat tersusunnya laporan ini. 2. Dr. Ir. Muhammad Romli, MSc. St selaku pembimbing akademik II atas segala bantuan,

bimbingan, kritik dan sarannya yang sangat berguna sehingga dapat tersusunnya laporan ini. 3. Dr. Dwi Setyaningsih, MSi selaku dosen penguji yang telah memberikan saran dan arahan

kepada penulis untuk perbaikani penyusunan laporan ini.

4. Kedua orang tua penulis, Mbak Nety, Mbak Diah, Mas Edy, Nabiel Arya serta keluarga besar yang telah memberikan motivasi, inspirasi dan bantuannya kepada penulis.

5. Nur Asma Deli, MSi dan Fatmayanti, MSi yang telah membantu memberikan arahan, nasehat dan bantuan kepada penulis dalam pelaksanaan penelitian hingga penyusunan skripsi.

6. Zuhelmi Tazora yang telah meminjamkan sejumlah peralatan dan memberikan saran serta arahan selama proses penelitian berlangsung.

7. Bapak Yance Atan dan segenap karyawan PT. Sinar Meadow International Indonesia atas bantuan dalam memperoleh bahan baku dan kelancaran penelitian.

8. Anza, Tiara , Gigii, Eny, Icha, Ditta, Sabila atas semangat, dorongan dan doa yang telah diberikan kepada penulis.

9. Seluruh teman-teman TIN 44 yang selalu memberikan motivasi dan dorongan baik secara langsung maupun tidak langsung.

10. Bu Ega, Pak Gun, Pak Sugi, Bu Sri, Pak Edi, Pak Dicky dan Pak Yogi selaku teknisi laboratorium TIN yang telah membantu penulis selama penelitian.

11. Bu Tetty, Pak Mul, Pak Ichsan dan segenap karyawan Departemen Teknologi Industri Pertanian yang telah membantu.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna sehingga saran dan kritik yang membangun sangat diharapkan untuk perbaikan di masa mendatang. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi orang-orang yang membutuhkannya dan menambah wawasan bagi yang membacanya.

Bogor, Juni 2011


(8)

DAFTAR ISI

HALAMAN

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... ii

DAFTAR TABEL ... iv

DAFTAR GAMBAR ... v

DAFTAR LAMPIRAN ... vi

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Tujuan... 2

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Bleaching Earth ... 3

B. Biodiesel ... 4

C. Proses Produksi ... 5

1. Esterifikasi ... 6

2. Transesterifikasi ... 6

3. Metode In Situ ... 7

E. Karakteristik Biodiesel ... 10

III.METODOLOGI PENELITIAN A. Alat dan Bahan ... 14

B. Metode Penelitian ... 14

C. Rancangan Percobaan ... 17

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Penelitian Pendahuluan 1. Karakteristik Bahan Baku ... 18

2. Penentuan Tahapan Proses Produksi ... 19

B. Penelitian Utama 1. Rendemen ... 23

2. Densitas ... 24

3. Viskositas Kinematik ... 26

4. Bilangan Asam ... 27

5. Bilangan Penyabunan ... 28

6. Kadar Gliserol Total ... 30

7. Kadar Ester alkil ... 31


(9)

9. Kadar Air dan Sedimen ... 33

V. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 35

B. Saran ... 35

DAFTAR PUSTAKA ... 36


(10)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Komposisi kimia tanah pemucat ... 3

Tabel 2. Perbandingan Karakteristik Biodiesel dan Solar (Petrodiesel) ... 5

Tabel 3. Standarisasi Biodiesel Nasional (SBI 04-7182: 2006) ... 10

Tabel 4. Karakteristik Tanah Pemucat Bekas ... 18

Tabel 5. Perbandingan karakteristik biodiesel pada kondisi proses A3B2 dengan Standar Biodiesel Indonesia... 33


(11)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Struktur Montmorillonit ... 3

Gambar 2. Reaksi Esterifikasi ... 6

Gambar 3. Reaksi Transesterifikasi ... 7

Gambar 4. Mekanisme reaksi transesterifikasi ... 7

Gambar 5. Diagram Alir Metode Produksi Biodiesel ... 16

Gambar 6. Rendemen dan kadar asam lemak bebas pada berbagai kondisi reaksi ... 20

Gambar 7. Rendemen dan kadar asam lemak bebas pada berbagai kondisi reaksi ... 21

Gambar 8. Rendemen biodiesel pada berbagai kondisi operasi ... 23

Gambar 9. Densitas biodiesel pada berbagai kondisi operasi... 25

Gambar 10. Viskositas kinematik biodiesel pada berbagai kondisi operasi ... 26

Gambar 11. Bilangan asam biodiesel pada berbagai kondisi operasi ... 28

Gambar 12. Bilangan penyabunan biodiesel pada berbagai kondisi operasi ... 29

Gambar 13. Kadar gliserol total biodiesel pada berbagai kondisi operasi ... 30

Gambar 14. Kadar ester alkil biodiesel pada berbagai kondisi operasi ... 31


(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Prosedur analisis sifat fisiko kimia tanah pemucat bekas ... 40

Lampiran 2. Prosedur analisis sifat fisiko kimia biodiesel ... 41

Lampiran 3. Rekapitulasi data hasil penelitian pendahuluan ... 44

Lampiran 4. Karakteristik mutu biodiesel hasil esterifikasi-transesterifikasi in situ ... 45

Lampiran 5. Analisis ragam dan uji lanjut Duncan pada penelitian pendahuluan ... 46

Lampiran 6. Analisis ragam dan uji lanjut Duncan untuk rendemen biodiesel ... 48

Lampiran 7. Analisis ragam dan uji lanjut Duncan untuk densitas ... 50

Lampiran 8. Analisis ragam dan uji lanjut Duncan untuk viskositas ... 52

Lampiran 9. Analisis ragam dan uji lanjut Duncan untuk bilangan asam ... 54

Lampiran 10. Analisis ragam dan uji lanjut Duncan untuk bilangan penyabunan ... 56

Lampiran 11. Analisis ragam dan uji lanjut Duncan untuk kadar ester alkil biodiesel ... 58

Lampiran 12. Analisis ragam dan uji lanjut Duncan untuk kadar lemak ampas biodiesel ... 59

Lampiran 13. Hasil analisa gas chromatography terhadap larutan standar ... 60

Lampiran 14. Hasil analisis gas cromatography ... 61


(13)

1

I.

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Bahan bakar merupakan salah satu sumber energi yang memiliki peranan penting dalam kehidupan manusia. Semakin menipisnya ketersediaan energi fosil dan meningkatnya jumlah permintaan bahan bakar mengakibatkan meningkatnya harga minyak dunia. Pada tahun 2006 harga minyak dunia US$ 65,52 per barel (Anonim, 2006) dan meningkat pada tahun 2008 (Desember 2008) menjadi US$92,06 per barel (Anonim,2006). Harga minyak dunia kembali naik pada tahun 2011 (Februari 2011) menjadi US$103,37 per barel (Djumena, Erlangga). Dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia merupakan negara importir minyak bukan lagi negara eksportir minyak (netto). Kondisi ini dipengaruhi oleh laju peningkatan konsumsi serta terbatasnya kilang minyak nasional.

Produksi minyak saat ini tidak mampu memenuhi kebutuhan minyak nasional, baik untuk kepentingan industri maupun transportasi. Sedangkan jumlah penduduk Indonesia semakin meningkat. Cadangan minyak Indonesia diperkirakan hanya sebesar 0,6% dari cadangan minyak dunia, sementara jumlah penduduk Indonesia mencapai 3,5% populasi dunia. Mengingat sifat dari bahan bakar fosil yang tidak terbarukan maka harus ditemukan sumber minyak baru sehingga tidak terjadi kelangkaan bahan bakar. Untuk menghindari terjadinya krisis energi, pemerintah mengeluarkan kebijakan mengenai penghematan bahan bakar dalam Instruksi Presiden No.10 tahun 2005. Kebijakan ini mengatur tentang langkah-langkah yang harus dilakukan dalam upaya untuk menghemat bahan bakar minyak (BBM). Selain melakukan penghematan, salah satu upaya untuk mengatasi krisis energi adalah penggantian bahan bakar fosil dengan bahan bakar alternatif yang terbarukan.

Biodiesel adalah bahan bakar alternatif yang diproduksi dari sumber daya hayati terbarukan seperti minyak nabati atau lemak hewani (Ma dan Hanna, 2001). Biodiesel dihasilkan dari proses transesterifikasi trigliserida dengan pereaksi metanol atau etanol dan katalisator asam atau basa. Biodiesel dari minyak nabati pada umumnya mempunyai karakteristik yang mendekati bahan bakar yang berasal dari minyak bumi. Selain itu, biodiesel dari minyak nabati bersifat dapat diperbaharui sehingga ketersediaannya lebih terjamin dan produksinya dapat terus ditingkatkan.

Indonesia merupakan negara dengan tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi, dimana salah satunya adalah tanaman kelapa sawit. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Perkebunan (2009), luas budidaya tanaman kelapa sawit pada tahun 2009 mencapai 7.508.023 hektar dan pada tahun 2010 meningkat menjadi 7.824.623 hektar. Produksi CPO di Indonesia juga semakin meningkat pada tahun 2009 produksi CPO Indonesia mencapai 18.640.881 ton dan tahun 2010 mencapai 19.844.901 ton. Menurut Prasetiyani (2009) sebanyak 60% produksi CPO dieksport sedangkan sisanya digunakan untuk konsumsi dalam negeri. Sebanyak 31,20% digunakan untuk produksi minyak goreng dan turunannya serta 10,4% sisanya dimanfaatkan pada industri oleokimia dan sabun.

Sebagian besar CPO yang dihasilkan diproses lebih lanjut menjadi produk minyak goreng. Dimana pada proses produksi minyak goreng terdapat beberapa tahapan untuk memurnikan CPO yaitu adanya proses pendahuluan terhadap minyak mentah/ kasar menggunakan asam fosfat (degumming) dan dilanjutkan dengan proses pemucatan (bleaching) serta proses penghilangan bau (deodorisasi). Proses pemucatan CPO menggunakan bleaching earth dengan kadar antara 0,5% hingga 2% dari massa CPO (Young, 1987). Apabila pada tahun 2010 CPO yang dimanfaatkan menjadi minyak goreng sebesar 6,2 juta ton, maka dalam proses pemurnian CPO diperlukan bleaching earth sebesar 124.000 ton per tahun.

Kebutuhan akan bleaching earth khususnya bentonit setiap tahun meningkat dengan berkembangnya industri minyak nabati, namun di sisi lain bentonit tidak dapat diperbaharui. Komposisi limbah terbesar pada industri minyak goreng adalah spent bleaching earth, yaitu bahan limbah padat yang dihasilkan dari pemurnian minyak goreng. Bleaching earth atau tanah pemucat merupakan sejenis tanah liat dengan komposisi utama terdiri dari SiO2, Al2O3, air terikat serta ion Ca2+, magnesium oksida dan besi oksida yang memiliki kemampuan untuk mengadsorpsi zat


(14)

2

warna pada minyak sawit. Limbah ini masih mengandung 20-30% minyak nabati (Kheang, 2006). Tingginya kandungan minyak nabati pada spent bleaching earth sangat potensial untuk dimanfaatkan sebagai biodiesel.

Pada umumnya proses pembuatan biodiesel melalui tahapan ekstraksi minyak, pemurnian minyak dan tahapan esterifikasi-transesterifikasi minyak menjadi biodiesel. Tahapan-tahapan panjang yang harus dilalui menyebabkan rendahnya efisiensi dan tingginya konsumsi energi, yang mengakibatkan tinginya biaya produksi biodiesel. Sehingga, perlu dikembangkan proses pembuatan biodiesel yang lebih efektif, efisien dan hemat energi serta dapat menghasilkan biodiesel berkualitas tinggi melalui proses esterifikasi-transesterifikasi in situ . Proses esterifikasi-transesterifikasi in situ merupakan langkah yang lebih sederhana dalam memproduksi biodiesel dengan mengeliminasi proses ekstraksi dan pemurnian sehingga dapat menurunkan biaya produksi (Haas et al., 2004). Esterifikasi atau transesterifikasi in situ adalah proses ekstraksi minyak dan reaksi esterifikasi atau transesterifikasi dilangsungkan secara simultan. Selain lebih efisien proses ini juga akan mempersingkat waktu karena proses konversi bahan baku menjadi biodiesel dilakukan secara simultan dengan proses ekstraksi minyak. Esterifikasi atau transesterifikasi in situ

adalah proses ekstraksi minyak dan reaksi esterifikasi atau transesterifikasi dilangsungkan secara simultan. Selain lebih efisien proses ini juga akan mempersingkat waktu karena proses konversi bahan baku menjadi biodiesel dilakukan secara simultan dengan proses ekstraksi minyak.

Berdasarkan kelebihan-kelebihan tersebut, pada penelitian ini akan dipelajari proses produksi biodiesel dari tanah pemucat bekas melelui proses esterifikasi-transesterifikasi in situ . Proses esterifikasi-transesterifikasi in situ dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain suhu, kecepatan pengadukan rasio pelarut yang digunakan dan lama proses. Oleh karena itu, dalam penelitian ini akan dipelajari pengaruh dari kecepatan pengadukan dan rasio metanol yang digunakan terhadap rendemen dan kualitas biodiesel yang dihasilkan.

B. TUJUAN PENELITIAN

Tujuan penelitian ini adalah mengetahui proses esterifikasi-transesterifikasi in situ tanah pemucat bekas pada berbagai kondisi proses dengan mengetahui pengaruh rasio metanol dan kecepatan pengadukan terhadap rendemen dan kualitas biodiesel yang dihasilkan.


(15)

3

II. TINJAUAN PUSTAKA

A.

TANAH PEMUCAT (

BLEACHING EARTH)

Tanah pemucat (bleaching earth) merupakan sejenis tanah liat dengan komposisi utama terdiri dari SiO2, Al2O3, air terikat serta ion Ca2+, magnesium oksida dan besi oksida. Daya pemucat bleaching earth disebabkan oleh ion Al3+ pada permukaan partikel penjerap sehingga dapat mengadsorbsi zat warna dan tergantung perbandingan Al2O3 dan SiO3 dalam bleaching

earth (Ketaren, 1986). Mineral ini memiliki rumus umum Al2O3.4SiO2.xH2O dan sifat yang mudah menyerap air, mengembang, tidak tahan terhadap pengocokan dan tekanan yang kuat. Selain itu, tanah pemucat memiliki warna yang bervariasi mulai dari putih krem, abu-abu, kuning sampai coklat kehitaman. Adapun komposisi kimia bahan dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Komposisi kimia tanah pemucat Komponen Komposisi (%)

SiO2 Al2O3 Fe2O3 MgO CaO Na2O

K2O TiO2 MnO2

P2O5 Lainnya

65.24 15.12 5.27 2.04 1.67 2.71 2.07 0.68 0.21 0.06 4.92 Sumber: Zhansheng et al. 2006

Tanah pemucat merupakan salah satu jenis tanah lempung yang mengandung mineral montmorillonit sekitar 85% dan fragmen sisanya terdiri dari campuran mineral kuarsa, gipsum, kolinit, plagiklas dan lain-lain (Supeno, 2008). Mineral-mineral montmorillonit umumnya berupa butiran sangat halus dengan lapisan-lapisan penyusun yang tidak terikat kuat. Montmorillonit yang terdapat dalam bentonit merupakan mineral liat yang dapat mengembang dan mengerut yang tergolong ke dalam kelompok smektit serta mempunyai komposisi kimia yang beragam. Potensi mengembang-mengerut dan adanya muatan negatif yang tinggi merupakan penyebab mineral ini dapat menerima dan menjerap ion-ion logam dan kation-kation organik. Montmorillonit mempunyai Mg dan ion Fe2+ dalam posisi oktahedral (Tan, 1993). Struktur montmorillonit disajikan pada Gambar 1.


(16)

4

Terdapat dua jenis bentonit yang banyak dijumpai, yaitu Na-bentonit dan Ca-bentonit. Na-bentonit termasuk dalam jenis Swelling Bentonite (bentonit yang dapat mengembang) yaitu jenis mineral montmorillonit yang mempunyai partikel lapisan air tunggal yang mengandung kation Na+ yang dapat dipertukarkan. Bentonit jenis ini mempunyai kemampuan mengembang hingga delapan kali apabila dicelupkan ke dalam air dan tetap terdispersi beberapa waktu dalam air. Sedangkan Ca-bentonit termasuk dalam Non Swelling Bentonite (bentonit yang kurang dapat mengembang), yaitu jenis mineral montmorilonit yang kurang dapat mengembang apabila dicelupkan di dalam air, namun setelah diaktifkan dengan asam akan memiliki sifat menyerap sedikit air dan akan cepat mengendap tanpa membentuk suspensi (Supeno, 2007).

Tanah pemucat (bleaching earth) terdiri dari tanah pemucat alami dan yang telah diaktivasi. Tanah pemucat hasil aktivasi adalah hasil perlakuan tanah pemucat alami dengan asam mineral, umumnya asam sulfat. Perlakuan dengan asam meningkatkan daya adsorbsi tanah tersebut sedemikian sehingga untuk menghilangkan zat warna dengan jumlah yang sama, tanah pemucat aktif dibutuhkan hanya setengah dari tanah pemucat netral. Untuk beberapa jenis minyak tertentu seperti minyak kelapa sawit, warna hanya dapat dihilangkan secara efektif dengan tanah pemucat aktif (Devine dan Williams, 1961).

Tanah pemucat yang telah digunakan pada proses bleaching pada minyak kelapa sawit disebut tanah pemucat bekas. Dalam tanah pemucat bekas ini terkandung zat warna betakaroten dan sejumlah minyak yang terserap. Menurut Kheang (2006) kandungan minyak dalam tanah pemucat bekas sebesar 20-30%. Pada umumnya, industri minyak goreng tidak memanfaatkan kembali limbah tersebut.

B.

BIODIESEL

Biodiesel adalah bahan bakar diesel alternatif yang terbuat dari sumber daya hayati terbarukan seperti minyak nabati atau lemak hewani (Ma dan Hanna, 1999). Menurut Vicente et al.(2006 dalam Murniasih 2009) biodiesel didefinisikan sebagai metil ester yang diproduksi dari minyak tumbuhan atau lemak hewan dan memenuhi kualitas untuk digunakan sebagai bahan bakar di dalam mesin diesel. Secara kimiawi, biodiesel merupakan turunan lipid dari golongan monoalkil ester asam lemak dengan panjang rantai karbon 12-20 (Darnoko et al., 2000). Biodiesel dapat berupa minyak kasar atau monoalkil ester asam lemaknya, umumnya merupakan metil ester. Metil ester atau etil ester adalah senyawa yang relatif stabil, cair pada suhu ruang (titik leleh antara 4-18oC), non korosif dan titik didihnya rendah (Allen et al., 1999). Bahan-bahan yang dapat digunakan untuk memproduksi biodiesel adalah trigliserida-trigliserida (komponen utama minyak dan lemak) dan asam-asam lemak produk samping dari industri pemurnian minyak dan lemak (Knothe,2004). Metil ester lebih stabil secara pirolitik dalam proses distilasi fraksional dan lebih ekonomis sehingga lebih disukai daripada etil ester (Sonntag, 1982 dalam Murniasih 2009).

Biodiesel dapat dibuat menggunakan minyak hewani maupun minyak nabati. Namun, minyak nabati lebih banyak digunakan karena lebih ekonomis dibandingkan dengan minyak hewani. Di sisi lain penggunaan minyak nabati sebagai bahan baku biodiesel memiliki kerugian yaitu viskositasnya yang tinggi sehingga dapat meyebabkan penyumbatan pada pompa penginjeksi bahan bakar mesin diesel sehingga mesin diesel tidak mampu menghasilkan pengkabutan yang baik pada ruang pembakaran. Selain itu, biodiesel berbahan baku minyak nabati memiliki bilangan setana yang lebih rendah dibandingkan dengan petrodiesel sehingga tenaga yang dapat dihasilkan lebih rendah juga. Meskipun memiliki beberapa kekurangan akan tetapi minyak nabati masih sangat potensial untuk dikembangkan menjadi bahan baku biodiesel karena perbedaan karakteristik tersebut dapat diatasi dengan proses esterifikasi maupun transesterifikasi.

Keuntungan penggunaan biodiesel, antara lain sifat bahan bakunya yang dapat diperbaharui (renewable), pengguanaan energi lebih efisien, dapat menggantikan bahan bakar diesel dan turunannya dari petroleum, dapat digunakan kebanyakan peralatan diesel dengan tidak ada modifikasi atau hanya modifikasi kecil, dapat mengurangi emisi/pancaran gas yang


(17)

5

menyebabkan pemanasan global, dapat mengurangi emisi udara beracun, bersifat biodegradable,

cocok untuk lingkungan sensitif dan mudah digunakan (Tyson, 2004). Sifat fisiko kimia biodiesel memiliki kemiripan dengan bahan bakar solar (petrodiesel), tetapi pada beberapa hal biodiesel lebih unggul. Biodiesel memiliki sifat ramah lingkungan dibandingkan dengan petrodiesel karena biodiesel tidak mengandung sulfur dan senyawa benzena. Kandungan energi, viskositas dan perubahan fase pada biodiesel relatif sama dengan petrodiesel. Penggunaan biodiesel pada mesin dapat digunakan secara murni atau dicampur dengan petrodiesel dalam rasio tertentu, seperti B10, B20 atau B30 yang artinya kadar pencampuran antara metil ester dengan petrodiesel yakni dengan kadar 10%, 20% dan 30%. Tabel 2. berikut menunjukkan perbandingan karakteristik biodiesel dan petrodiesel.

Tabel 2. Perbandingan Karakteristik Biodiesel dan Solar (Petrodiesel)

Fisika Kimia Biodiesel Solar (Petrodiesel)

Kelembaban (%) 0,1 0,3

Engine power Energi yang dihasilkan 128.000 BTU Energi yang dihasilkan 130.000 BTU

Viskositas 4,8 cSt 4,6 cSt

Densitas 0,8624 g/mL 0,8750 g/mL

Bilangan setana 62,4 53

Engine torque Sama Sama

Modifikasi engine Tidak diperlukan -

Konsumsi bahan bakar Sama Sama

Lubrikasi Lebih tinggi Lebih rendah

Emisi CO rendah, total hidrokarbon, sulfur dioksida dan nitroksida

CO rendah, total hidrokarbon, sulfur dioksida dan nitroksida

Penanganan Flamable lebih rendah Flamable lebih tinggi Lingkungan Toksisitas rendah Toksisitas 10 kali lebih tinggi Keberadaan Terbarukan (renewable) Tak terbarukan

Sumber : Pakpahan, 2001 dalam Sahirman 2009

C.

PROSES PRODUKSI BIODIESEL

Pada proses produksi biodiesel dilakukan rekayasa proses untuk mengubah karakteristik minyak nabati sehingga memiliki viskositas yang lebih rendah dan memiliki kemiripan dengan karakteristik petrodiesel dan biodiesel. Teknologi proses produksi biodiesel secara konvensional umumnya dilakukan dengan melakukan reaksi transesterifikasi dibantu dengan katalis basa. Akan tetapi proses satu tahap ini tidak cocok dilakukan pada minyak dengan kadar asam lemak bebas yang tinggi karena akan menyebabkan timbulnya sabun sehingga sulit dipisahkan dengan biodiesel yang dihasilkan. Proses transesterifikasi hanya akan berjalan baik pada minyak dengan kadar lemak bebas kurang dari 2% (Sharma et al. 2008). Proses pembuatan biodiesel dengan minyak yang mengandung kadar asam lemak bebas tinggi sebaiknya menggunakan proses dua tahap yaitu proses esterifikasi yang dilanjutkan dengan proses transesterifikasi. Proses esterifikasi menggunakan katalis asam bertujuan untuk mengkonversi asam lemak bebas menjadi biodiesel dan dilanjutkan dengan proses transesterifikasi yang menggunakan katalis basa untuk mengkonversi trigliserida menjadi biodiesel (Wang et al. 2007).


(18)

6

1.

ESTERIFIKASI

Esterifikasi adalah reaksi antara metanol dengan asam lemak bebas membentuk metil ester menggunakan katalis asam. Katalis asam yang sering digunakan pada proses esterifikasi, antara lain asam klorida (HCl) dan asam sulfat (H2SO4). Reaksi esterifikasi tidak hanya mengkonversi asam lemak bebas menjadi metil ester tetapi juga mengubahnya menjadi trigliserida meskipun dengan kecepatan reaksi yang lebih rendah dibandingkan dengan katalis basa (Freedman

et al., 1984). Untuk mendorong reaksi dapat mengkonversi sempurna pada suhu rendah (65oC) reaktan metanol Reaksi esterifikasi pada asam lemak bebas dapat dilihat pada Gambar 2.

RCOOH + CH

3

OH

RCOOCH

3

+ H

2

O

Gambar 2. Reaksi Esterifikasi

Reaksi esterifikasi biasanya dilakukan pada tahap pembuatan biodiesel dengan menggunakan minyak yang memiliki kadar asam lemak bebas lebih dari 2%. Reaksi ini bertujuan untuk menurunkan kadar asam lemak bebas dari minyak nabati tersebut sehingga memiliki kadar asam lemak bebas ≤ 2%. Faktor-faktor yang mempengaruhi reaksi esterifikasi adalah jumlah pelarut, waktu reaksi, suhu, konsentrasi katalis dan kandungan air pada minyak. (Ozgul dan Turkay, 2002). Reaktan metanol perlu ditambahkan berlebih (biasanya lebih dari 10 kali rasio stoikhiometri) supaya proses konversi dapat berjalan sempurna. Selain itu, sisa katalis dan air pada produk hasil esterifikasi harus dihilangkan sebelum dilanjutkan dengan reaksi transesterifikasi supaya reaksi dapat berjalan sempurna. .

Berchmans. et.al. (2008) telah melakukan proses esterifikasi minyak jarak menggunakan rasio metanol dan minyak 6:1 (b/b) dan menggunakan katalis asam sulfat dapat menurunkan kadar asam lemak bebas minyak hingga kurang dari 1% dan menghasilkan yield biodiesel sebesar 90%. Reaksi ini berlangsung selama 1 jam pada suhu 50oC.. Proses esterifikasi palm fatty acid distilate

(PFAD) menggunakan rasio mol metanol:PFAD 8:1 dan katalis asam sulfat 1.834 (%-b) terhadap PFAD mampu menurunkan kadar asam lemak bebas dari 93% menjadi kurang dari 2% yang diproses selama 1 jam pada suhu 70 0C (Chongkong et al. 2007).

2.

TRANSESTERIFIKASI

Transesterifikasi adalah tahap konversi trigliserida menjadi alkil ester melalui reaksi dengan alkohol dan menghasilkan produk samping gliserol. Katalis yang biasa digunakan pada reaksi transesterifikasi adalah katalis basa seperti NaOH, KOH, NaOCH3 dan KOCH3 (Canakci & Sanli 2008). Pada prinsipnya transesterifikasi adalah mengeluarkan gliserin dari minyak dan mereaksikan asam lemak bebasnya dengan alkohol (metanol) menjadi metil ester. Reaksi transeseterifikasi merupakan reaksi yang bersifat reversible dengan kalor reaksi kecil. Pergeserannya reaksi ke arah produk biasanya dilakukan dengan menggunakan alkohol berlebih. Metanol, etanol, propanol dan butanol banyak digunakan dalam reaksi ini (Freedman et al. 1984). Pelarut metanol lebih sering digunakan karena harganya lebih murah dibandingkan dengan alkohol jenis lainnya dan dapat bereaksi cepat dengan trigliserida serta dapat melarutkan katalis asam dan basa. Selain itu, secara fisiko-kimia metanol bersifat polar dan memiliki rantai paling pendek.

Rendemen transesterifikasi juga dapat diperbaiki dengan penggunaan katalis basa yang berlebih untuk minyak yang mengandung asam lemak bebas tinggi, karena asam lemak bebas yang tidak teresterifikasi dapat dikonversi menjadi garam alkalinya/sabun (Haas et al.,2003). Tetapi terbentuknya sabun menyulitkan proses pencucian dan memungkinkan hilangnya produk yang berguna. Alternatifnya, proses dilakukan dengan dua tahapan proses yang menggunakan katalis asam dan katalis basa (Canakci dan Gerpen, 2001). Reaksi transesterifikasi dengan katalis basa


(19)

7

harus dilakukan pada minyak yang bersih, bebas air dan tidak mengandung katalis. Menurut Freedman et al. (1984), kandungan asam lemak bebas dan air yang lebih dari 0,3% dapat menurunkan rendemen transesterifikasi. Berdasarkan penelitian Lee et al. (2002) rendemen transesterifikasi dapat ditingkatkan dari 25% menjadi 96% dengan memurnikan minyak jelantah yaitu menurunkan kadar asam lemak bebas dari 10% menjadi 0,23% dan kadar air dari 0,2% menjadi 0,02%. Mekanisme reaksi transesterifikasi dapat dilihat pada Gambar 3.

CH

2

-OOC-R

1

R

1

-COO- CH

3

CH

2

-OH

CH-OOC-R

2

+ 3 CH

3

OH

R

2

-COO- CH

3

+ CH

- OH

CH

2

-OOC-R

3

R

3

-COO- CH

3

'

CH

2

-OH

Trigliserida Metanol Alkil ester Gliserol Gambar 3. Reaksi transesterifikasi

Proses transesterifikasi yang umumnya dilakukan pada minyak hasil ekstraksi bahan alami dilakukan pada rasio mol metanol:minyak 6:1 dengan 1% katalis basa (NaOH atau KOH) pada 60 0C selama 1 jam (Canakci & Van Gerpen 2003; Wang et al. 2007). Transesterifikasi merupakan reaksi yang berlangsung dalam 3 tahap. Pertama, trigliserida (TG) dihidrolisis menjadi digliserida (DG), selanjutnya digliserida dihidrolisis menjadi monogliserida (MG) yang akhirnya membentuk alkil ester dan gliserol (Darnoko & Cheryan 2000).

Trigliserida + R'OH Digliserida + R1COOR' Digliserida + R'OH Monogliserida + R2COOR'

Monogliserida + R'OH Gliserol + R3COOR' Gambar 4. Mekanisme reaksi transesterifikasi

Proses konversi pada reaksi transesterifikasi dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal merupakan kondisi yang berasal dari minyak, seperti kadar air dan asam lemak bebas. Sedangkan faktor eksternal merupakan kondisi yang berasal dari luar bahan, seperti suhu reaksi, waktu reaksi, kecepatan pengadukan, rasio metanol dan jenis katalis yang digunakan.

3.

METODE

IN SITU

Pada proses pembuatan biodiesel secara konvensional, proses transesterifikasi dilakukan setelah proses ekstraksi dan pemurnian minyak. Tahapan-tahapan proses yang harus dilalui dalam pembuatan biodiesel ini menyebabkan rendahnya efisiensi dan tingginya konsumsi energi, yang mengakibatkan tingginya biaya produksi biodiesel. Oleh karena itu perlu dikembangkan proses pembuatan biodiesel yang bersifat sederhana, efisien, hemat energi dan dapat menghasilkan biodiesel yang berkualitas tinggi melalui proses transesterifikasi in situ .

Metode in situ merupakan salah satu metode yang diterapkan dalam proses pembuatan biodiesel dengan melakukan ekstraksi langsung pada sumber bahan baku yang mengandung minyak atau lemak. Pada proses in situ bahan baku yang digunakan adalah bahan padatan yang mengandung minyak atau lemak. Proses ini dikenal dengan nama esterifikasi atau transesterifikasi

in situ . Esterifikasi atau transesterifikasi in situ adalah proses ekstraksi minyak dan reaksi esterifikasi atau transesterifikasi dilangsungkan secara simultan dalam satu reaktor (Shiu et al. 2010).


(20)

8

Mekanisme proses in situ dimulai dengan terjadinya kontak antara alkohol dan katalis asam atau basa. Selanjutnya alkohol masuk ke dalam sel dan menghancurkan bagian-bagian sel kemudian melarutkan minyak yang terkandung dalam bahan baku. Minyak yang telah terekstrak bereaksi dengan alkohol menghasilkan alkil ester dengan bantuan katalis asam atau basa (Haas et al. 2004).

Haas et al. (2004) melakukan proses transesterifikasi in situ terhadap kacang kedelai menunjukkan 84% terkonversi menjadi metil ester pada 60 0C dengan perbandingan mol metanol:minyak:NaOH 226:1:1,6 selama 8 jam. Metil ester yang dihasilkan memiliki kadar asam lemak bebas 0,72%.

Qian et al. (2008) mempelajari pengaruh variabel proses transestrifikasi in situ biji kapas terhadap yield metil ester yang dihasilkan. Hasil penelitian menunjukkan 99% minyak larut dalam metanol dan 98% terkonversi menjadi metil ester dengan kondisi operasi sebagai berikut: kadar air bahan baku kurang dari 2%, ukuran partikel 0.3-0.335 mm, konsentrasi katalis 0.1 mol/L NaOH dalam metanol, rasio mol methanol:minyak 135:1 pada 40 0C dan diproses selama 3 jam.

Seperti halnya reaksi transesterifikasi atau esterifikasi yang dilakukan secara konvensional, proses berlangsungnya reaksi esterifikasi atau transesterifikasi in situ juga dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain kadar air dan asam lemak bebas bahan baku, jenis pelarut, rasio pelarut terhadap bahan baku, jenis katalis, konsentrasi katalis, waktu reaksi, suhu reaksi, ukuran bahan dan kecepatan pengadukan. Pengaruh faktor-faktor tersebut dalam reaksi esterifikasi atau transesterifikasi in situ , sebagai berikut :

1. Kadar air dan asam lemak bahan

Kandungan air dan asam lemak bebas dalam bahan sangat berpengaruh terhadap yield

biodiesel yang dihasilkan. Kandungan asam lemak bebas dan air yang lebih dari 0,3% dapat menurunkan rendemen biodiesel yang dihasilkan. Menurut Goff et al (2004) minyak dengan kadar air kurang dari 0,1% dapat menghasilkan metil ester lebih dari 90%. Penurunan kadar air dalam bahan baku dari 8.7% menjadi 1.9% dapat meningkatkan kelarutan minyak dalam metanol dari 92.2% menjadi 99.7% dan meningkatkan konversi transesterifikasi dari 80% menjadi 98% pada proses transesterifikasi in situ biji kapas dengan metanol dan katalis NaOH. Pengurangan kadar air dibawah 1.9% tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap kelarutan minyak dan konversi transesterifikasi (Qian et al. 2008).

Proses transesterifikasi hanya akan berjalan baik pada minyak dengan kadar asam lemak bebas kurang dari 2% (Sharma et al. 2008). Berdasarkan penelitian Choo (2004) dinyatakan bahwa penurunan kadar asam lemak bebas dari 6,75% menjadi 3,9% dapat meningkatkan yield

biodiesel yang dihasilkan pada proses transesterifikasi dari 67% menjadi 92%. Peningkatan yield

metil ester dari < 20% menjadi 98% pada reaksi transesterikasi merupakan akibat dari penurunan kadar asam lemak bebas dari 5,5% menjadi < 1%. (Sharma,2008).

2. Ukuran bahan

Ukuran bahan yang akan diekstrak sangat berpengaruh terhadap laju reaksi yang terjadi. Ukuran pori-pori bahan sangat berpengaruh terhadap proses ekstraksi yang berlangsung pada metode in situ . Semakin kecil ukuran partikel bahan yang akan diekstrak maka akan semakin tinggi rendemen minyak yang dihasilkan. Hali ini dikarenakan luas area kontak semakin luas sehingga memudahkan pelarut untuk mengekstrak minyak yang terkandung dalam bahan.

3. Jenis dan rasio pelarut terhadap bahan baku

Beberapa jenis alkohol berantai pendek yang digunakan untuk proses esterifikasi dan transesterifikasi in situ adalah metanol, etanol, propanol, iso-propanol dan butanol. Metanol bukan pelarut yang baik untuk minyak, namun kebanyakan peneliti menggunakan metanol sebagai media


(21)

9

pengekstrak. Pemilihan ini lebih didasarkan pada harganya yang lebih murah, rantai paling pendek sehingga paling reaktif untuk reaksi esterifikasi dan transesterifikasi (Qian et al. 2008).

Pada reaksi transesterifikasi memerlukan 3 mol alkohol dan 1 mol trigliserida untuk menghasilkan 3 mol metil ester dan 1 mol gliserol. Peningkatan rasio molar akan menghasilkan konversi ester yang lebih tinggi dalam waktu yang singkat (Ma et al., 2001). Giorgianni et al. (2008) menggunakan rasio metanol terhadap bahan sebesar 10:1 pada kasus transesterifikasi in situ

biji bunga matahari, sedangkan Shiu et al. (2010) menggunakan perbandingan rasio metanol terhadap bahan sebesar 15:1 (v/b). Choo (2004) menggunakan perbandingan volume alkohol terhadap massa bahan baku yang lebih rendah yaitu 4:1 dan 3:1 pada transestrifikasi minyak sawit.

4. Jenis katalis

Katalis juga dapat didefinisikan sebagai suatu zat yang mempercepat laju reaksi kimia pada suhu tertentu, tanpa mengalami perubahan atau terpakai oleh reaksi itu sendiri. Berdasarkan fasanya, katalis digolongkan menjadi katalis homogen dan katalis heterogen. Katalis homogen merupakan katalis yang mempunyai fasa sama dengan fasa campuran reaksinya, sedangkan katalis heterogen adalah katalis yang berada pada fasa yang berbeda dengan fasa campuran reaksinya.

Katalis yang digunakan pada proses in situ adalah katalis basa, katalis asam dan katalis enzim. Katalis asam digunakan pada proses esterifikasi dimana umpan yang digunakan adalah asam lemak bebas. Sedangkan katalis basa sering digunakan pada reaksi transesterifikasi dengan menggunakan umpan berupa trigliserida dengan kandungan asam lemak bebas <2%.

Katalis basa akan mempercepat reaksi transesterifikasi bila dibandingkan dengan katalis asam. Katalis basa yang paling populer untuk reaksi transesterifikasi adalah natrium hidroksida (NaOH), kalium hidroksida (KOH), natrium metoksida (NaOCH

3), dan kalium metoksida (KOCH

3). Katalis NaOH lebih reaktif dan lebih murah dibanding KOH, katalis NaOCH3 lebih baik namun harganya sangat mahal. Sedangkan katalis asam yang biasa digunakan adalah asam sulfat dan asam klorida (Choo 2004)

Katalis sejati bagi reaksi sebenarnya adalah ion metilat (metoksida). Ion metoksida bertindak sebagai nukleofil dalam transesterifikasi. Laju reaksi sebanding dengan konsentrasi metoksida. Namun, dalam kasus penggunaan hidroksida, ion metoksida diperoleh dari kesetimbangan hidroksida dalam metanol. Dengan kata lain, konsentrasi ion metoksida sebanding dengan konsentrasi hidroksida dalam metanol. Meskipun demikian, penggunaan metoksida lebih baik dibandingkan dengan hidroksida, karena kesetimbangan hidroksida dalam metanol menghasilkan air yang menghambat reaksi transesterifikasi.

5. Konsentrasi katalis yang digunakan

Dengan metode konvensional, reaksi transesterifikasi akan menghasilkan konversi yang maksimum dengan jumlah katalis 0.5-1.5% terhadap minyak nabati. Produksi biodiesel dengan metode in situ membutuhkan jumlah katalis yang lebih besar untuk mencapai konversi maksimum. Hal ini disebabkan oleh besarnya volume campuran reaksi metode in situ

dibandingkan metode konvensional (Shiu et al. 2010). 6. Waktu reaksi

Lamanya reaksi sangat berpengaruh terhadap yield produk yang dihasilkan. Semakin lama waktu reaksi semakin banyak produk yang dihasilkan karena keadaan ini akan memberikan kesempatan terhadap molekul-molekul reaktan untuk saling bertumbukan. Setelah kesetimbangan tercapai peningkatan waktu reaksi tidak memberikan pengaruh terhadap konversi reaksi. Pada proses in situ dibutuhkan waktu konversi yang lebih lama dibandingkan dengan proses konvensional. Hal ini disebabkan pada proses in situ dibutuhkan waktu untuk melakukan ekstraksi selain terjadi konversi reaksi.


(22)

10

7. Suhu reaksi

Suhu reaksi berkaitan dengan panas yang dibutuhkan untuk mencapai energi aktivasi. Semakin tinggi suhu, maka semakin banyak energi yang digunakan reaktan untuk saling bertumbukan dalam mencapai energi aktivasi. Reaksi transesterifikasi dapat dilakukan pada suhu 25-650C (titik didih metanol sekitar 650C). Semakin tinggi suhu, konversi yang diperoleh akan semakin tinggi untuk waktu yang lebih singkat. Banyak peneliti merekomendasikan suhu optimum untuk reaksi transesterifikasi adalah 600C (Sahirman 2009). Reaksi transesterifikasi dapat dilakukan pada suhu 30 - 65°C (titik didih metanol sekitar 65°C). Semakin tinggi suhu, konversi yang diperoleh akan semakin tinggi untuk waktu yang lebih singkat. Untuk waktu 6 menit, pada suhu 60

o

C konversi telah mencapai 94% sedangkan pada 45 o

C yaitu 87% dan pada 32 o

C yaitu 64%. Suhu yang rendah akan menghasilkan konversi yang lebih tinggi namun dengan waktu reaksi yang lebih lama.

8. Kecepatan pengadukan

Kecepatan pengadukan pada proses reaksi berkaitan dengan kehomogenan campuran reaksi agar reaksi berlangsung sempurna. Semakin tinggi kecepatan pengadukan maka semakin cepat terjadinya reaksi. Kecepatan pengadukan optimum untuk proses transesterifikasi CPO adalah 150 rpm (Choo 2004), berbeda dengan Sahirman (2009) menyatakan bahwa kecepatan pengadukan optimum dari proses transesterifikasi adalah 300 rpm. Pada proses konvensional kecepatan pengadukan di atas 400 rpm tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap hasil transesterifikasi. Berdasarkan hasil penelitian Noureddini dan Zhu (1997) menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan terhadap yield yang dihasilkan pada kecepatan pengadukan 150-300 rpm akan tetapi antara 300 dan 600 rpm perbedaannya hanya sedikit. Hal ini menunjukkan bahwa kecepatan pengadukan akan berpengaruh pada hasil proses transestrifikasi, akan tetapi setelah terjadi kesetimbangan tidak akan berpengaruh nyata. Pada proses in situ

diperlukan kecepatan pengadukan yang lebih tinggi untuk menghasilkan kontak yang sempurna antara padatan dan cairan. Kecepatan pengadukan yang sering digunakan pada proses in situ yaitu 600 rpm (Deli, 2011)

D.

KARAKTERISTIK MUTU BIODIESEL

Monoalkil ester asam lemak yang diproduksi sebagai pengganti petrodiesel harus memenuhi standar kualitas biodiesel. Legowo et al (2001) menjelaskan karakteristik biodiesel secara umum meliputi densitas, viskositas kinematik, bilangan setana, kalor pembakaran, titik tuang, titik pijar dan titik awan. Adapun karakteristik-karakteristik biodiesel lainnya disajikan pada Tabel 2.

Tabel 3. Standarisasi Biodiesel Nasional (SNI 04-7182:2006)

No. Parameter Unit Value Metode

1. Densitas (40oC) mg/ml 0,850–0,890 ASTM D 1298 2. Viskositas kinematik (40oC) mm2/s (cSt) 2,3 – 6,0 ASTM D 445

3. Angka setana min. 48 ASTM D 613

4. Titik kilat (mangkok tertutup) oC min. 100 ASTM D 93

5. Titik awan/mendung oC max. 18 ASTM D 2500

6. Korosi strip tembaga max. no 3 ASTM D 130

7. Residu karbon - dalam contoh asli - dalam 10% ampas asli

% - mass max. 0,05 (max. 0,3)

ASTM D 4530

8. Air dan sedimen % - vol max. 0,05 ASTM D 2709 9. Suhu destilasi 90% oC max. 360 ASTM D 1160 10. Abu tersulfatkan % - mass max. 0,02 ASTM D 974

11. Sulfur ppm (mg/kg) max. 80 ASTM D 5453


(23)

11

13. Angka asam mg-KOH/gr max. 0,8 ASTM D 974

14. Gliserol bebas % - mass max. 0,02 AOCS Ca 14-56 15. Gliserol total % - mass max. 0,24 AOCS Ca 14-56

16. Kadar ester alkil % - mass min. 96,5 -

17. Angka iodine % - mass

(g-I2/100 gr)

max. 115 PrEN 14111

18. Uji Halphen negatif AOCS Cb 1-25

(Sumber : BSN,2006) 1. Densitas

Densitas menunjukkan perbandingan berat per satuan volume, karakteristik ini berkaitan dengan nilai kalor dan daya yang dihasilkan oleh mesin diesel per satuan volume bahan bakar. Densitas salah satu karakteristik penting dalam biodiesel karena injektor mesin diesel bekerja berdasarkan ukuran volume. Dengan demikian, saat massa jenis makin besar maka massa bahan bakar yang diinjeksikan ke ruang pembakaran juga semakin besar sehingga energi yang dihasilkan pembakaran semakin besar (energi biasanya dihitung berdasarkan basis massa). Massa jenis merupakan massa per unit volume fluida. Solar memiliki massa jenis sekitar 850 kg/m3, sedangkan biodiesel memiliki massa jenis berkisar antara 870 kg/m3 sampai 890 kg/m3. (Nurinawati,2007)

2. Viskositas Kinematik

Viskositas adalah tahanan yang dimiliki fluida yang dialirkan dalam pipa kapiler. Terhadap gaya gravitasi, biasanya dinyatakan dalam waktu yang diperlukan untuk mengalir pada jarak tertentu. Jika viskositas semakin tinggi, maka tahanan untuk mengalir akan semakin tinggi. Karakteristik ini sangat penting karena mempengaruhi kinerja injektor pada mesin diesel. Atomisasi bahan bakar sangat bergantung pada viskositas,tekanan injeksi serta ukuran lubang injektor (Shreve, 1956).

Viskositas dan tegangan permukaan merupakan faktor yang penting dalam mekanisme atomisasi bahan bakar sesaat setelah keluar dari noozzle menuju ruang pembakaran (Soerawidjaja

et al., 2005). Pada beberapa mesin dibutuhkan viskositas yang rendah karena berkaitan dengan kehilangan power pada pompa injeksi dan kebocoran injektor. Viskositas yang rendah sangat menguntungkan karena akan meningkatkan daya lumas bahan bakar terhadap mesin kendaraan diesel meskipun bahan bakar dengan viskositas tinggi tidak diharapkan karena akan menghambat proses pembakaran (Tyson, 2004). Pada umumnya, bahan bakar harus mempunyai viskositas yang relatif rendah agar dapat mudah mengalir dan teratomisasi Hal ini dikarenakan putaran mesin yang cepat membutuhkan injeksi bahan bakar yang cepat pula. Namun tetap ada batas minimal karena diperlukan sifat pelumasan yang cukup baik untuk mencegah terjadinya keausan akibat gerakan piston yang cepat (Shreve, 1956).

Perbedaan viskositas antara minyak nabati dengan biodiesel digunakan sebagai salah satu indikator keberhasilan dalam proses produksi biodiesel (Knothe & Steidley 2005). Nilai viskositas dipengaruhi oleh komposisi dan derajat kejenuhan asam lemak serta tingkat kemurnian biodiesel. Viskositas meningkat dengan meningkatnya panajang rantai karbon dan derajat kejenuhan asam lemak penyusun biodiesel (Knothe & Steidley 2005).

3. Bilangan Setana

Bilangan setana menunjukkan seberapa cepat bahan bakar mesin diesel yang diinjeksikan ke ruang bakar bisa terbakar secara spontan setelah bercampur dengan udara. Semakin tinggi bilangan setana bahan bakar maka semakin cepat suatu bahan bakar mesin diesel terbakar setelah diinjeksikan ke dalam ruang bakar (Knothe 2010).

Biodiesel yang mengandung asam lemak jenuh (asam laurat,miristat, palmitat, stearat, arakhidat dan lain-lain) yang tinggi mempunyai bilangan setana yang tinggi sedangkan yang mengandung asam lemak ikatan rangkap 1 (palmitoleat, oleat dan erukat) yang tinggi mempunyai


(24)

12

bilangan setana sedang serta yang mengandung asam lemak dengan ikatan rangkap 2 atau lebih (linoleat, linolenat dan arakhidonat) yang tinggi mempunyai bilangan setana yang rendah (Tyson, 2004).

Angka setana yang tinggi menunjukkan bahwa bahan bakar dapat menyala pada suhu yang relatif rendah, dan sebaliknya angka setana rendah menunjukkan bahan bakar baru dapat menyala pada suhu yang relatif tinggi. Penggunaan bahan bakar mesin diesel yang mempunyai angka setana yang tinggi dapat mencegah terjadinya knocking karena begitu bahan bakar diinjeksikan ke dalam silinder pembakaran maka bahan bakar akan langsung terbakar dan tidak terakumulasi (Shreve, 1956).

4. Titik Nyala

Titik nyala adalah titik suhu terendah terbentuknya nyala api pada saat tes pengapian (flame test) (Kinast dan Tyson, 2003). Karakteristik ini berkaitan dengan keamanan dalam penyimpanan dan penanganan bahan bakar. Residu metanol dalam biodiesel yang dihasilkan akan berpengaruh terhadap titik nyala. Residu metanol dalam jumlah kecil akan mengurangi flash point

sehingga berpengaruh terhadap pompa bahan bakar, seals dan elastomers dan dapat menimbulkan kekurangan dalam proses pembakaran (Tyson, 2004).

5. Titik Kabut

Titik awan adalah suhu pada saat bahan bakar mulai tampak berawan (cloudy). Hal ini timbul karena munculnya kristal-kristal dalam bahan bakar. Bahan bakar masih bisa mengalir pada titik ini, namun keberadaan kristal di dalam bahan bakar bisa mempengaruhi kelancaran aliran bahan bakar dalam filter, pompa, dan injektor. Titik awan sangat penting untuk memastikan kinerja bahan bakar pada suhu rendah. Titik kabut biodiesel tergantung pada asam lemak penyusunnya. Biodiesel yang mengandung asam lemak jenuh (asam laurat,miristat, palmitat, stearat, arakhidat dan lain-lain) yang tinggi mempunyai titik kabut yang tinggi sedangkan yang mengandung asam lemak ikatan rangkap 1 (palmitoleat, oleat dan erukat) yang tinggi titik kabutnya sedang serta yang mengandung asam lemak dengan ikatan rangkap 2 atau lebih (linoleat, linolenat dan arakhidonat) yang tinggi titik kabutnya rendah (Tyson, 2004).

Umumnya titik awan biodiesel lebih tinggi dibandingkan dengan solar. Hal ini menimbulkan permasalahan pada negara-negara subtropis pada saat musim dingin. Untuk mengatasi hal tersebut, biasanya ditambahkan aditif tertentu pada biodiesel untuk mencegah aglomerasi kristal-kristal yang terbentuk dalam biodiesel pada suhu rendah. Teknik lain yang bisa digunakan untuk menurunkan titik awan dan titik tuang bahan bakar adalah dengan melakukan winterisasi (Knothe 2005). Pada metode ini dilakukan pendinginan pada bahan bakar hingga terbentuk kristal-kristal yang selanjutnya disaring dan dipisahkan dari bahan bakar. Proses kristalisasi parsial ini terjadi karena asam lemak tidak jenuh memiliki titik beku yang lebih rendah dibandingkan dengan asam lemak jenuh.

6. Kadar Air dan Sedimen

Menurut Tyson (2004) teknik pengeringan yang kurang baik selama proses atau adanya kontak bahan bakar dengan air selama transportasi dan penyimpanan dapat menyebabkan korosi dan mengkondisikan lingkungan yang cocok untuk media hidup mikroorganisme. Pada negara yang mempunyai musim dingin kandungan air yang terkandung dalam bahan bakar dapat membentuk kristal yang dapat menyumbat aliran bahan bakar. Selain itu, keberadaan air dapat menyebabkan korosi dan pertumbuhan mikroorganisme yang juga dapat menyumbat aliran bahan bakar. Sedimen dapat menyebabkan penyumbatan juga dan kerusakan mesin (Shreve, 1956).


(25)

13

7. Kadar Abu Tersulfatkan

Kandungan abu tersulfatkan yang tinggi menunjukkan adanya residu alkali dalam biodiesel seperti sisa penggunaan katalis NaOH. Proses pencucian biodiesel yang kurang sempurna dapat mengakibatkan tingginya kadar abu tersulfatakan pada biodiesel yang dihasilkan. Kandungan abu sulfat dalam biodiesel dapat mengakibatkan penyumbatan pada sistem bahan bakar (Tyson, 2004)

8. Sulfur

Kandungan sulfur pada biodiesel dapat mengakibatkan emisi polutan asam sulfat dan SO2 pada gas buang (Tyson, 2004). Sulfur juga dapat menimbulkan korosi yang disebabkan oksida belerang sehingga menyebabkan keausan mesin. Proses kondensasi oksida belerang juga akan membentuk air yang dapat merusak dinding logam silinder dan sistem gas buang mesin.

9. Bilangan Asam

Bilangan asam biodiesel menunjukkan kandungan asam lemak bebas yang berasal dari degradasi ester. Bilangan asam yang tinggi mengindikasikan adanya degradasi dari ester selama penyimpanan biodiesel yang kurang baik. Bilangan asam yang tinggi lebih dari 0,8 diasosiasikan terjadi deposit sistem bahan bakar dan mengurangi umur dari pompa dan filter (Tyson, 2004).

10. Kandungan Gliserol Total dan Bebas

Kandungan gliserol total dihitung dari penjumlahan gliserol total dan gliserol bebas yang terkandung dalam bahan bakar. Keberadaan gliserol dan sisa gliserida yang belum terkonversi dapat membahayakan mesin terutama karena keberadaan gugus –OH yang secara kimiawi agresif terhadap logam bukan besi dan campuran krom dan juga menyebabkan deposit pada ruang pembakaran (Soerawidjaja et al.,2005). Tingginya kandungan gliserol disebabkan oleh konversi yang tidak sempurna dari minyak atau lemak menjadi biodiesel dan pencucian terhadap crude biodiesel yang tidak sempurna. Gliserin total yang tinggi dapat menyebabkan penyumbatan (fouling) tangki penyimpanan sistem bahan bakar dan engine (Tyson, 2004).

11. Fosfor

Fosfor yang terkandung dalam biodiesel dibatasi karena kandungan fosfor yang tinggi dapat merusak catalytic converters. Kandungan fosfor yang tinggi selain dipengaruhi oleh bahan baku juga dipengaruhi oleh proses pencucian setelah degumming dan proses esterifikasi apabila kedua proses tersebut menggunakan katalis asam fosfat. Fosfor biasanya muncul dalam bentuk zat yang bersifat seperti perekat yang dapat merusak katalis yang terdapat pada mesin diesel sehingga dapat meningkatkan jumlah emisi partikulat ke udara (Soerawidjaja et al.,2005)

12. Kadar Residu Karbon

Kadar residu karbon menunjukkan kadar fraksi hidrokarbon yang mempunyai titik didih lebih tinggi dari bahan bakar . Adanya fraksi hidrokarbon ini menyebabkan menumpuknya residu karbon dalam ruang pembakaran yang dapat mengurangi kinerja mesin. Pada suhu tinggi deposit karbon ini dapat membara, sehingga menaikkan suhu silinder pembakaran (Shreve, 1956). Residu karbon terjadi berkaitan denga sejumlah gliserida, asam lemak bebas, sabun, residu katalis, metil ester dari asam lemak dengan abnyak ikatan rangkap dan adanya polimer (Mittelbach dan Remschmidt, 2004).


(26)

14

III. METODOLOGI

A. ALAT DAN BAHAN

Pada penelitian ini menggunakan bahan baku utama berupa tanah pemucat bekas yang diambil dari PT. Sinar Meadow International Indonesia. Sedangkan bahan-bahan kimia yang digunakan antara lain n-heksana, metanol, H2SO4, NaOH, Na2S2O3 0,1N, alkohol netral 95%, larutan KI jenuh, indikator phenolphtalein (PP), indikator pati 1% dan akuades.

Peralatan yang digunakan pada proses pembuatan biodiesel antara lain labu leher tiga, kondensor, termometer dan hot plate. Sedangkan peralatan yang digunakan untuk analisis antara lain gelas ukur, gelas piala, cawan porselen, erlenmeyer, kertas saring, sudip, corong, pipet tetes, pipet volumetrik, magnetic stirrer, rotary evaporator, viskosimeter ostwald, buret, centrifuse dan pompa vakum.

B. METODOLOGI

Penelitian ini dilakukan dalam dua tahap yaitu penelitian pendahuluan dan penelitian utama. Penelitian pendahuluan dilakukan untuk mengetahui karakteristik tanah pemucat bekas yang digunakan sebagai bahan baku serta menentukan tahapan proses reaksi yang akan dilakukan. Sedangkan penelitian utama dilakukan untuk menentukan rasio metanol dan kecepatan pengadukan terbaik pada proses produksi biodiesel serta melakukan analisis terhadap karakteristik biodiesel yang dihasilkan.

1. Penelitian Pendahuluan 1.1 Karakterisasi Bahan Baku

Tanah pemucat bekas yang akan digunakan sebagai bahan baku perlu diketahui karakteristiknya. Karakteristik terhadap bahan baku yang dilakukan, antara lain kadar air, kadar lemak serta kadar asam lemak bebas.Metode analisis karakteristik bahan baku dapat dilihat pada Lampiran 1.

1.2 Penentuan Tahapan Proses Produksi

Penentuan tahapan proses produksi dilakukan dengan melihat kadar asam lemak bebas dan rendemen produk yang dihasilkan. Proses penentuan dilihat dengan melakukan reaksi esterifikasi dan transesterifikasi. Pada reaksi esterifikasi, pelarut metanol sebanyak 4:1 (b/b) ditambahkan dengan 100 gram tanah pemucat bekas dan katalis H2SO4. Kemudian dilakukan pengadukan dengan kecepatan 600 rpm selama 1 jam, 2 jam serta 3 jam. Reaksi transesterifikasi dilakukan dengan memasukkan 100 gram bahan ke dalam metanol sebanyak 4:1 (b/b) serta katalis NaOH. Proses produksi yang menghasilkan kadar asam lemak bebas terendah dan rendemen produk tertinggi digunakan sebagai acuan dalam proses produksi penelitian utama.

2. Penelitian Utama 2.1 Proses Produksi Biodiesel

Proses produksi biodiesel ini terdiri dari dua tahapan yaitu proses esterifikasi in situ dan dilanjutkan dengan proses transesterifikasi in situ . Esterifikasi in situ dilakukan dengan mereaksikan 100 g tanah pemucat bekas dengan metanol dan katalis H2SO4. Perbandingan jumlah matanol/padatan adalah 2:1; 4:1; dan 6:1 (v/b). Jumlah katalis yang ditambahkan adalah 1.5% (v/b) terhadap padatan dengan kecepatan pengadukan sebesar 490 rpm, 625 rpm dan 730 rpm. Proses esterifikasi in situ dilangsungkan pada suhu 65 0C selama 3 jam. Setelah waktu reaksi tercapai reaksi dilanjutkan dengan proses transesterifikasi in situ selama 1 jam dengan menambahkan katalis NaOH. Jumlah katalis NaOH yang ditambahkan sejumlah 1,5% (b/b)


(27)

15

terhadap tanah pemucat bekas. Sebelum dimasukkan dalam labu reaksi, NaOH dilarutkan terlebih dahulu di dalam 40 ml metanol. Setelah 1 jam, reaksi dihentikan dengan menghentikan proses pemanasan dan pengadukan.

Setelah itu bahan yang direaksikan dipisahkan antara tanah pemucat bekas dengan metanol yang mengandung minyak. Setelah itu, pelarut dipisahkan dengan biodiesel yang dihasilkan dengan menggunakan rotary evaporator. Sedangkan ampas tanah pemucat diekstrak kembali menggunakan Soxhlet apparatus untuk menentukan kandungan minyak yang tersisa. Setelah biodiesel dipisahkan, dilakukan pencucian dengan air yang bersuhu 60 0C sampai air cucian netral. Pemurnian biodiesel dilakukan dengan sentrifugasi untuk memisahkan sisa air dan sabun setelah proses pencucian. Biodiesel hasil reaksi transesterifikasi selanjutnya dikarakterisasi untuk menentukan viskositas, densitas, bilangan asam, bilangan penyabunan dan kandungan air dan sedimen.

2.2 Karakterisasi Biodiesel

Biodiesel yang telah dihasilkan kemudian dianalisis untuk mengetahui karakteristik biodiesel tersebut. Analisis yang dilakukan antara lain densitas, viskositas, bilangan asam, bilangan penyabunan serta kadar air dan sedimen. Analisis ini bertujuan untuk mengetahui apakah biodiesel yang dihasilkan sesuai dengan standar yang ada. Metodologi analisis biodiesel dapat dilihat pada Lampiran 2.


(28)

16

Gambar 5. Diagram Alir Metode Produksi Biodiesel ESTERIFIKASI IN SITU

H2SO4 Metanolik

Spent Bleaching Earth

Kadar lemak FILTRASI

EVAPORASI PENDINGINAN

Analisa :

• Rendemen Biodiesel

• Densitas

• Viskositas

• Bilangan asam

• Bilangan Penyabunan

• Kadar gliserol total

• Kadar air dan sedimen Campuran metil ester dan

gliserol Filtrat

Sisa padatan

Sisa pelarut

PEMISAHAN Gliserol

PENCUCIAN

Biodiesel TRANSESTERIFIKASI

IN-SITU NaOH


(29)

17

C. RANCANGAN PERCOBAAN

Percobaan ini dirancang dengan rancangan acak lengkap faktorial dengan 2 faktor yaitu rasio pelarut dan bahan serta kecepatan pengadukan. Faktor jenis rasio pelarut dan bahan memiliki 3 taraf yaitu 2:1, 4:1 dan 6:1 dan faktor kecepatan pengadukan memiliki 3 taraf yaitu 490 rpm, 625 rpm dan 730 rpm. Percobaan ini dilakukan dalam dua kali ulangan. Model matematika yang digunakan adalah :

Yijk= µ + αi +βj+(αβ)ij+εijk dengan :

i = 1, 2 dan 3 (rasio pelarut dan bahan) j = 1, 2 dan 3 (kecepatan pengadukan) k = 1 dan 2 (ulangan)

Yijk = variabel respon karena pengaruh faktor rasio pelarut dan bahan taraf ke-i, faktor kecepatan pengadukan taraf ke-j dan ulangan ke-l

µ = rataan umum.

αi = pengaruh rasio metanol dan bahan taraf ke – i βj = pengaruh kecepatan pengadukan taraf ke – j

αβij = pengaruh interaksi antara faktor rasio metanol dan bahan taraf ke – i dengan faktor kecepatan pengadukan taraf ke – j


(30)

18

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A.

PENELITIAN PENDAHULUAN

1.

Karakteristik Tanah Pemucat Bekas

Bahan baku yang digunakan dalam suatu proses produksi sangat berpengaruh terhadap karakteristik produk yang dihasilkan. Oleh karena itu, pada proses produksi biodiesel ini perlu dilakukan pengujian lebih lanjut mengenai karakteristik bahan baku yang digunakan. Karakteristik bahan baku ini juga sangat berpengaruh terhadap tahapan proses produksi. Karakteristik bahan baku yang akan diujikan, meliputi kadar air, kadar asam lemak bebas dan kadar lemak.

Kadar air dan kadar asam lemak bebas bahan sangat berpengaruh pada tahapan proses produksi biodiesel yang dilakukan. Proses pembuatan biodiesel melalui tahapan reaksi esterifikasi dan reaksi transesterifikasi. Pada proses transesterifikasi dibutuhkan bahan baku dengan kadar air maksimal 1,9% dan kadar asam lemak bebas maksimal 2% (Qian et al. 2008). Kadar air yang tinggi dalam bahan baku akan menyebabkan timbulnya reaksi hidrolisis sehingga menghasilkan asam-asam lemak bebas. Kandungan asam lemak bebas yang tinggi akan mengakibatkan penurunan rendemen biodiesel yang dihasilkan. Berdasarkan pengujian yang telah dilakukan kadar air dan kadar asam lemak bebas yang digunakan berturut-turut adalah 0,83% dan 4,97%. Kadar air tanah pemucat bekas yang digunakan lebih rendah dibandingkan dengan kadar air tanah pemucat bekas yang digunakan Deli (2011) yaitu sebesar 1,4%. Hal ini disebabkan perbedaan proses produksi yang dilakukan pada setiap industri minyak goreng.

Kadar asam lemak bebas hasil pengujian menunjukkan bahwa tanah pemucat bekas yang digunakan sebagai bahan baku memiliki kadar asam lemak bebas yang cukup tinggi. Kadar asam lemak bebas pada tanah pemucat yang digunakan cenderung lebih rendah dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan oleh Kheang (2006) yaitu sebesar 11,5%. Rendahnya kadar asam lemak bebas tanah pemucat yang digunakan pada penelitian ini karena tanah pemucat yang digunakan merupakan tanah pemucat bekas yang baru selesai digunakan dalam proses sehingga penyimpanan tidak dilakukan dalam jangka waktu lama. Proses produksi biodiesel dengan kadar asam lemak bebas yang tinggi dilakukan dengan dua tahapan yaitu esterifikasi dan transesterifikasi (Zhang et al. 2003). Tahapan esterifikasi dilakukan untuk menurunkan kadar asam lemak bebas bahan hingga kadar asam lemak bebas bahan di bawah 2%.

Karakteristik selanjutnya yang dilakukan pengujiannya yaitu kadar lemak bahan. Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui kadar minyak dalam bahan yang dapat diekstrak dan dikonversi menjadi biodiesel. Kadar lemak pada tanah pemucat bekas yang digunakan yaitu sebesar 29,65%. Hasil yang diperoleh sesuai dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Kheang (2006) yang melaporkan bahwa kadar lemak dalam tanah pemucat bekas berkisar antara 20-30%. Tingginya kadar lemak dalam bahan disebabkan oleh tanah pemucat yang digunakan untuk proses pemurnian memiliki daya serap yang tinggi.

Tabel 4. Karakteristik Tanah Pemucat Bekas

Karakteristik Mutu Nilai

Kadar Air 0,83 %

Kadar Lemak 29,65 %


(31)

19

2.

Penentuan Tahapan Proses Produksi

Karakteristik tanah pemucat bekas yang digunakan pada penelitian ini memiliki kadar air yang memenuhi syarat untuk dilakukan proses transesterifikasi. Akan tetapi, kadar asam lemak bebasnya sebesar 4,97% sehingga tidak memenuhi syarat untuk dilakukan proses transesterifikasi karena untuk dapat melakukan reaksi transesterifikasi harus memiliki kadar asam lemak bebas dibawah 2%. Tahapan proses produksi biodiesel yang tepat akan menghasilkan rendemen biodiesel maksimal. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai tahapan proses produksi biodiesel yang sesuai untuk tanah pemucat bekas dengan karakteristik tersebut.

Tahapan penelitian ini dilakukan untuk mengetahui tahapan proses yang sesuai untuk memperoleh hasil biodiesel terbaik. Pada tahapan penelitian ini dilakukan perlakuan reaksi yang dilakukan dan waktu reaksi. Perlakuan yang dilakukan, meliputi reaksi esterifikasi in situ selama 1 jam, esterifikasi in situ selama 2 jam, esterifikasi in situ selama 3 jam dan transesterifikasi in situ selama 1 jam. Reaksi esterifikasi merupakan reaksi yang mengkonversi asam lemak bebas menjadi metil ester dengan penggunakan katalis asam sehingga kadar asam lemak bebas pada bahan dapat berkurang hingga mencapai kurang dari 2%. Katalis asam yang digunakan yaitu asam sulfat (H2SO4). Sedangkan reaksi transesterifikasi adalah reaksi yan mengkonversi trigliserida menjadi metil ester dengan menggunakan katalis basa. Berdasarkan penelitian Deli (2011), pada proses esterifikasi-transestrifikasi in situ digunakan katalis dengan konsentrasi maksimum baik NaOH dan H2SO4 yaitu sebesar 1,5% dapat menghasilkan yield biodiesel sebesar 93,3%.

Waktu reaksi yang divariasikan pada tahapan penelitian ini yaitu 1,2 dan 3 jam untuk reaksi esterifikasi serta 1 jam untuk reaksi transestrifikasi. Waktu reaksi pada proses in situ

merupakan waktu yang dibutukan untuk mengekstraksi minyak yang terkandung dalam bahan serta mengkonversinya menjadi alkil ester. Proses ekstraksi minyak dari bahan baku dengan menggunakan pelarut metanol dibutuhkan waktu 2-3 jam (Shiu et al., 2010). Sedangkan proses esterifikasi konvensional umumnya berlangsung selama 1 jam.

Pelarut yang digunakan pada tahapan penelitian ini adalah metanol. Pelarut jenis ini dipilih karena harganya lebih ekonomis dan juga memiliki rantai pendek sehingga kereaktifannya lebih tinggi. Biodiesel yang dihasilkan dengan menggunakan metanol memiliki kemurnian paling tinggi dibandingkan penggunaan alkohol jenis lainnya seperti etanol, propanol, iso-propanol dan butanol (Haas et al. 2004). Pada tahapan penelitian ini semua perlakuan menggunakan rasio metanol terhadap bahan yang sama yaitu sebesar 4:1 (v/b). Pemilihan rasio metanol ini didasarkan pada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Deli (2011) mengenai proses esterifikasi-transesterifikasi in situ terhadap tanah pemucat bekas. Selain itu Ozgul dan Turkay (2002) menggunakan rasio metanol terhadap bahan sebesar 4:1 (v/b) pada proses esterifikasi in situ

terhadap dedak padi. Sedangkan Shuit et al. (2010) menggunakan perbandingan metanol/bahan baku 7.5/1 (v/b) untuk esterifikasi in situ biji jarak.

Kecepatan pengadukan berpengaruh terhadap kehomogenan antara pelarut dengan bahan. Berdasarkan hasil penelitian Noureddini dan Zhu (1997) menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan terhadap yield yang dihasilkan pada kecepatan pengadukan 150-300 rpm akan tetapi antara 300 dan 600 rpm perbedaannya hanya sedikit. Umumnya transesterifikasi in situ

dilakukan pada 600 rpm (Shiu et al. 2010).

Suhu yang digunakan pada penelitian ini yaitu 65oC. Suhu ini dipilih karena mendekati titik didih metanol yaitu sebesar 65oC. Semakin tinggi suhu, maka semakin banyak energi yang digunakan reaktan untuk saling bertumbukan dalam mencapai energi aktivasi. Banyak peneliti merekomendasikan suhu optimum untuk reaksi transesterifikasi adalah 60 0C (Van Gerpen 2005; Sahirman 2009).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan, kadar asam lemak bebas yang memenuhi syarat untuk melakukan reaksi transesterifikasi yaitu perlakuan reaksi esterifikasi in situ 3 jam dan transesterifikasi in situ 1 jam (Lampiran 3). Reaksi esterfikasi in situ 3 jam dan transesterifikasi


(32)

20

dan 1,08%. Kadar asam lemak bebas tersebut memenuhi syarat untuk melakukan reaksi transesterifikasi karena syarat untuk melakukan transesterifikasi yaitu memiliki kadar asam lemak bebas tidak lebih dari 2% (Sharma et al. 2008).Sedangkan pada reaksi esterifikasi in situ 1 jam dan esterifikasi in situ 2 jam kadar asam lemak bebas yang dihasilkan lebih dari 2% yaitu sebesar 3,66% dan 2,79%. Reaksi optimum yang dipilih yaitu esterifikasi in situ 3 jam. Meskipun reaksi transesterifikasi in situ 1 jam menghasilkan kadar asam lemak bebas yang lebih rendah akan tetapi rendemen pada transesterifikasi in situ 1 jam jauh lebih rendah yaitu sebesar 6,66%. Rendemen ini jauh lebih rendah dibandingkan dengan rendemen yang dihasilkan pada reaksi transesterifikasi

in situ 3 jam yaitu sebesar 16,40%. Pada reaksi esterifikasi in situ 3 jam menghasilkan rendemen yang lebih tinggi karena pada proses in situ dibutuhkan waktu yang lebih lama untuk melakukan proses ekstraksi minyak dalam bahan.

Berdasarkan sidik ragam yang telah dilakukan terhadap rendemen yang dihasilkan diketahui bahwa perlakuan reaksi ini memberikan pengaruh nyata pada rendemen produk yang dihasilkan (Lampiran 5). Akan tetapi pada reaksi esterifikasi in situ 1 jam tidak berbeda nyata dengan reaksi transesterifikasi in situ 1 jam. Rendemen yang dihasilkan oleh kedua perlakuan ini tidak berbeda jauh karena lama waktu reaksi sama yaitu 1 jam. Waktu reaksi berpengaruh terhadap rendemen yang dihasilkan karena pada metode in situ dibutuhkan waktu yang lebih lama untuk ekstraksi minyak dalam bahan serta mengkonversi minyak tersebut menjadi alkil ester. Analisis ragam yang dilakukan menunjukkan bahwa 99,49% rendemen yang dihasilkan dipengaruhi oleh reaksi yang dilakukan sedangkan 0,51% dipengaruhi oleh faktor lainnya.

Hasil sidik ragam dan uji lanjut Duncan pada kandungan kadar asam lemak bebas menunjukkan bahwa 99,67% kadar asam lemak bebas yang dihasilkan dipengaruhi oleh reaksi yang dilakukan sedangkan sisanya dipengaruhi oleh faktor lainnya. Reaksi yang dilakukan sangat berpengaruh nyata terhadap kadar asam lemak bebas produk. Berdasarkan gambar di atas dapat diketahui bahwa kadar asam lemak bebas dipengaruhi oleh waktu reaksi dan penggunaan jenis katalis. Kadar asam lemak bebas menurun seiring dengan lama waktu reaksi. Semakin lama waktu reaksi maka akan semakin lama waktu kontak antara bahan dengan katalis sehingga dapat meningkatkan konversi asam lemak bebas dalam minyak menjadi alkil ester. Kadar asam lemak bebas terendah yaitu hasil transesterifikasi in situ selama 1 jam sebesar 1,08%. Sedangkan kadar asam lemak bebas tertinggi dihasilkan pada reaksi esterifikasi in situ selama 1 jam yaitu sebesar 3,66%. Penggunaan jenis katalis juga berpengaruh terhadap kadar asam lemak bebas dalam minyak. Pada reaksi esterifikasi digunakan katalis asam yaitu asam sulfat (H2SO4) sedangkan pada reaksi transesterifikasi digunakan katalis basa yaitu NaOH.

Gambar 6. Rendemen dan kadar asam lemak bebas pada berbagai kondisi reaksi

0 3 6 9 12 15 18

1 jam 2 jam 3 jam 1 jam

Esterifikasi R e n d e m e n d a n K a d a r F F A ( % ) Rendemen Kadar FFA


(33)

21

Parameter lain yang digunakan yaitu kadar lemak dari ampas biodiesel. Kadar lemak dalam ampas menunjukkan kandungan trigliserida yang tidak terekstrak dalam proses esterifikasi atau transesterifikasi in situ . Berdasarkan hasil sidik ragam yang telah dilakukan perlakuan rekasi yang diberikan berpengaruh nyata terhadap kadar lemak ampas biodiesel. Hal ini menunjukkan bahwa reaksi yang dilakukan berpengaruh terhadap kadar bahan yang mampu diekstrak. Semakin tinggi rendemen biodiesel yang dihasilkan maka akan semakin rendah kadar bahan yang tidak terekstrak. Kadar lemak ampas biodiesel 94,09% dipengaruhi oleh perlakuan kondisi reaksi yang digunakan sedangkan 5,91% sisanya dipengaruhi oleh faktor lain di luar perlakuan yang diberikan. Pengujian Duncan menunjukkan bahwa kadar lemak ampas pada reaksi esterifikasi 1 jam tidak berbeda nyata dengan kadar lemak ampas pada reaksi esterifikasi 2 jam. Sedangkan Kadar lemak ampas pada reaksi esterifikasi 3 jam tidak berbeda nyata dengan kadar lemak ampas pada reaksi transestrifikasi 1 jam. Hal ini dapat disebabkan perbedaan yang tidak nyata antara rendemen minyak yang dihasilkan pada reaksi esterifikasi 1 jam dan reaksi esterifikasi 2 jam sehingga kadar lemak yang tertinggal dalam ampas yang dihasilkan tidak memiliki perbedaan yang signifikan. Begitu pula pada reaksi esterifikasi 3 jam dan reaksi transesterifikasi 1 jam.

Berdasarkan analisis sidik ragam dan uji lanjut Duncan, reaksi yang paling optimum yaitu reaksi esterifikasi 3 jam. Pada reaksi esterifikasi selama 3 jam diperoleh rendemen tertinggi yaitu sebesar 16,40% dengan kadar asam lemak bebas 1,79% dan memiliki kadar lemak ampas terendah yaitu sebesar 19,63%. Karakteristik yang ditunjukkan pada hasil reaksi esterifikasi selama 3 jam menunjukkan bahwa reaksi ini dapat menurunkan kadar asam lemak bebas hingga kurang dari 2%. Sehingga, memenuhi syarat untuk melakukan reaksi transesterifikasi. Selain itu waktu 3 jam merupakan waktu paling optimum untuk menurunkan kadar asam lemak bebas dan untuk mengekstrak minyak dalam bahan dengan menggunakan katalis asam sulfat (H2SO4).

17 18 19 20 21 22 23 24

ES 1 ES 2 ES 3 TS 1

Perlakuan Reaksi

K

adar

L

e

m

ak A

m

pas

(

%

)


(34)

22

B.

PENELITIAN UTAMA

Pada penelitian pendahuluan mencakup proses pembuatan alkil ester melalui proses esterifikasi-transesterifikasi in situ dengan berbagai kondisi proses. Alkil ester yang dihasilkan kemudian dilakukan karakterisasi untuk melihat kualitas alkil ester pada tiap kondisi proses. Pada peenilitian ini faktor yang dipelajari adalah kecepatan pengadukan serta rasio metanol terhadap bahan serta pengaruh faktor-faktor tersebut terhadap rendemen dan kualitas alkil ester yang dihasilkan.

Proses produksi biodiesel secara konvensional berbeda dengan proses produksi biodiesel dengan metode in situ . Pada proses produksi secara konvensional bahan baku yang digunakan minyak yang telah diekstrak, sedangkan metode in situ menggunakan bahan baku sumber minyak secara langsung. Produksi biodiesel dengan metode in situ membutuhkan jumlah katalis yang lebih besar untuk mencapai konversi maksimum. Pada proses transestrifikasi in situ jarak pagar diperlukan katalis basa 1% (b/b) dan perbandingan metanol terhadap bahan 5:1 dengan suhu reaksi 60oC dapat menghasilkan rendemen tertinggi 87% (Achten et al., 2008). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Deli (2011), pada proses esterifikasi transesterifikasi in situ tanah pemucat bekas penggunaan katalis sebanyak 1,5% memberikan yield biodiesel optimum sebesar 93,3%. Pada proses pembuatan biodiesel ini menggunakan katalis asam yaitu H2SO4 dan katalis basa NaOH dengan konsentrasi katalis 1,5% terhadap bahan. Kedua katalis ini dipilih karena sifatnya yang lebih reakstif dan harganya lebih ekonomis.

Esterifikasi-transestrifikasi in situ dalam penelitian ini menggunakn pelarut metanol. Pelarut jenis ini dipilih karena harganya lebih ekonomis dan juga memiliki rantai pendek sehingga kereaktifannya lebih tinggi. Pada proses produksi biodiesel secara in situ rasio metanol yang digunakan sangat berpengaruh terhadap rendemen yang dihasilkan karena metanol sangat berperan penting dalam proses ekstraksi minyak dalam bahan. Ozgul dan Turkay (2002) menggunakan rasio metanol terhadap bahan sebesar 4:1 (v/b) pada proses esterifikasi in situ terhadap dedak padi. Sedangkan Shuit et al. (2010) menggunakan perbandingan metanol/bahan baku 7.5/1 (v/b) untuk esterifikasi in situ biji jarak sedangkan Shiu et al. (2010) menggunakan perbandingan metanol/bahan baku 15/1 (v/b) untuk esterifikasi dan transesterifikasi in situ dedak padi.

Suhu sangat dibutuhkan untuk mencapai kondisi reaksi. Semakin tinggi suhu, berarti semakin tinggi intensitas tumbukan antar molekul-molekul reaktan sehingga energi yang dihasilkan semakin tinggi. Semakin tinggi energi yang dihasilkan maka semakin banyak energi yang digunakan untuk mencapai energi aktivasi. Proses esterifikasi transesetrifikasi in situ pada penelitian ini menggunakan suhu 65oC. Pemilihan ini berdasarkan pada titik didih metanol yaitu 65oC sehingga mudah dalam pengendalian proses reaksi. Semakin tinggi suhu reaksi maka konversi yang diperoleh akan semakin tinggi dalam waktu yang lebih singkat. Sebaliknya, pada suhu rendah dapat menghasilkan konversi yang lebih tinggi tetapi dalam jangka waktu yang lebih lama.

Selain suhu, kecepatan pengadukan berpengaruh terhadap kehomogenan campuran reaksi. Semakin tinggi kecepatan pengadukan maka akan semakin sering intensitas tumbukan antar molekul sehingga dapat mencapai energi aktivasi lebih cepat. Pada proses produksi biodiesel dengan metode in situ kecepatan pengadukan cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan proses produksi konvensional. Hal ini disebabkan pada metode in situ kontak antara pelarut dengan bahan membuat viskositas latutan menjadi lebih tinggi sehingga untuk menjadikan campuran reaksi dapat homogen dibutuhkan kecepatan pengadukan yang lebih tinggi. Umumnya kecepatan pengadukan esterifikasi dan transesterifikasi in situ dilakukan pada 600 rpm (Shiu et al. 2010). Kecepatan pengadukan ini cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan kecepatan pengadukan yang digunakan pada proses produksi biodiesel secara konvensional. Sahirman (2009) melaporkan bahwa kecepatan pengadukan optimum dari proses transesterifikasi minyak biji nyamplung adalah 300 rpm.


(1)

59 Uji lanjut Duncan untuk interaksi antar faktor kecepatan pengadukan dan rasio

metanol

Gugus Duncan Mean N Kecepatan Pengadukan*rasio

metanol

A 19,6950 2 A1B1

B 16,8175 2 A1B2

C 11,5800 2 A1B3

D 9,8575 2 A2B3

D

D 9,3650 2 A2B2

E 6,8000 2 A2B1

F 3,0450 2 A3B3

F

G F 2,7025 2 A3B1

G


(2)

60 Lampiran 13. Hasil analisa gas chromatography terhadap larutan standar


(3)

61 Lampiran 14. Hasil analisa gas chromatography terhadap biodiesel


(4)

62 • Biodiesel A3B2 Ulangan 1


(5)

63

Parameter Unit Hasil Pengujian

Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-rata

Caprilic acid % w/w 0,01 0,01 0,01

Capric acid % w/w 0,01 0,01 0,01

Lauric acid % w/w 0,13 0,12 0,125

Myristic acid % w/w 0,59 0,59 0,59

Pentadecanoic acid % w/w 0,03 0,03 0,03

Palmitic acid % w/w 29,02 29,87 29,445

Palmitoleic acid % w/w 0,08 0,08 0,08

Heptadecanoic acid % w/w 0,08 0,08 0,08

Cis-10-Heptadecanoic acid % w/w 0,03 0,03 0,03

Stearic acid % w/w 3,11 3,26 3,185

Elaidic acid % w/w 2,73 2,83 2,78

Oleic acid % w/w 20,25 21,11 20,68

Linoleic acid % w/w 5,08 5,29 5,185

Arachidic acid % w/w 0,25 0,26 0,255

Cis-11-eicosenoic acid % w/w 0,06 0,06 0,06

Linoleic acid % w/w 0,11 0,12 0,115

Cis-11,14-eicosedienoic acid % w/w 0,03 0,04 0,035


(6)

64 Lampiran 14. Dokumentasi penelitian

Tanah Pemucat Bekas Reaksi Esterifikasi Reaksi Transesterifikasi

Proses Evaporasi Proses Pemisahan Proses Pencucian

Filtrat Ampas Biodiesel Biodiesel