75
5.3. Analisis Kontibusi Pekerja Anak Terhadap Sosial Ekonomi
Menurut Becker 1976, anak dapat dianggap sebagai salah satu barang ekonomi. Diakui bahwa mengklasifikasikan anak sebagai barang ekonomi,
agaknya kurang etis. Namun kerangka konsep berfikir cara pandang ini memudahkan analisa ekonomi terhadap apa yang dimaksud dengan nilai anak.
Dengan mengasumsikan anak sebagai barang ekonomi, maka keputusan untuk memiliki anakpun dapat dianggap sebagai keputusan ekonomis. Dengan demikian
dapat diturunkan kurva permintaan demand terhadap anak. Gambaran tentang permintaan terhadap anak ini, secara agregat dapat menjelaskan tingkat fertilitas
suatu negara. Keputusan keluarga untuk memiliki anak tidak hanya berdasarkan
‟selera‟ terhadap anak keinginan yang kuat untuk memiliki anak saja tetapi juga
mempertimbangkan kualitas anak yang diinginkan. Inilah yang menjadi dasar analisis fertilitas, tidak hanya mempertimbangkan berapa anak yang akan dimiliki,
tetapi berapa yang harus dikeluarkan untuk membiayai anak tersebut. Dalam hal ini, pendapatan keluarga menjadi kendala bagi orang tua untuk mencapai tingkat
kepuasan utility yang setinggi tingginya dalam memiliki anak, baik dalam jumlah maupun kualitasnya. Berdasarkan kurva indiferen tentang pemilikan anak
ini, dapat diturunkan fungsi permintaan demand terhadap anak. Efek pendapatan dan efek substitusi juga berlaku pada anak. Kaitan
dengan fenomena pekerja anak adalah kenyataan bahwa pekerja anak adalah anak anak yang lahir dari perhitungan teoritis dalam keluarga miskin. Dimana
Universitas Sumatera Utara
76 mekanisme pemilihan jumlah anak dalam keluarga sudah memperhitungkan
”pendapatanpenghasilan” dari pekerja anak ini, bahkan seolah olah jauh sebelum dilahirkan. Fakta menunjukkan bahwa para pekerja anak umumnya berasal dari
keluarga besar yang berarti teori ini mendekati kenyataan. Karena rata-rata keluarga pekerja anak memiliki 5 sampai 6 anak.
Di sisi lain, biaya oportunitas ibu dari keluarga miskin berupa penghasilan yang diperolehnya bila ia tidak memelihara anak juga rendah, karena
sebagai tenaga tak berpendidikan dan tidak terampil dalam kondisi tingkat pengangguran tinggi di negara berkembang maka peluang baginya untuk bekerja
hampir tidak ada. Sehingga tidak ada kendala untuk membatasi besarnya jumlah anak pada keluarga miskin, disamping itu biaya pemeliharaan anak bagi keluarga
miskin relatif rendah karena pendidikan rendah, makanan, pakaian yang diberikan kepada anak cukup seadanya. Pertimbangan lainnya anak keluarga miskin
cenderung lebih cepat bekerja membantu mencari nafkah orang tuanya menjadi pekerja anak. Sehingga secara teoritis, keluarga para pekerja anak cenderung
untuk memiliki anak banyak. Kondisi-kondisi sosial dan ekonomi yang ada di sekitar mereka membuat
sebagian besar dari mereka memandang setiap tambahan anak dari sudut kepentingan sosial ekonomi, yakni sebagai tambahan tenagakerja cuma-cuma bagi
keluarga, maupun sebagai jaminan sosial ekonomi di hari tua guna bertahan hidup di tengah-tengah masyarakat yang minim perlindungan sosial dan cenderung
diatur oleh hanya mereka yang berada.
Universitas Sumatera Utara
77 Dengan demikian dalam terminologi ekonomi dapat dikatakan bahwa anak
merupakan suatu barang konsumsi. Namun pada sisi lain, anak juga dapat memberikan penghasilan baik berupa uang, barang, maupun jasa tenaga.
Sehingga anak juga merupakan suatu barang produksi. Sehingga nilai anak adalah kepuasanutilitas bagi orangtua. Kepuasan dalam memiliki anak ini secara relatif
dapat dibandingkan dengan kepuasan memiliki barang ekonomi lainnya. Untuk keluarga miskin di perkotaan dengan tuntutan kebutuhan ekonomi
keluarga yang semakin meningkat dan dihadapkan dengan kemampuan ekonomi orangtua yang sangat terbatas atau pendapatannya yang rendah maka untuk
menutupi kebutuhan tersebut dengan terpaksa melibatkan anaknya dalam usia yang dini untuk membantu mencari nafkah misalnya dengan mengamen,
meminta-minta, penjual asongan, atau pekerjaan lainnya di jalanan yang sering disebut sebagai pekerja anak jalanan.
Di dalam kehidupan masyarakat, terdapat tiga bentuk tentang kerja anak-anak Tjandradiningsih dan Didi, 1995, yaitu:
1.
Anak-anak yang bekerja membantu orangtua Faktor sosial kultural sering mendasari bentuk pekerja anak membantu orangtua.
Roger dan Standing 1981, yang dikutip oleh Indrasari dan Harjadi, menunjukkan bahwa dalam skala yang lebih besar, peran anak selalu dikaitkan dengan nilai
anak yang dipengaruhi bermacam-bermacam alasan mempunyai anak, diantaranya adalah pembawa kebahagian, teman dan membawa keuntungan-keuntungan
psikologis. Kombinasi bermacam-macam alasan kehadiran anak, berpengaruh
Universitas Sumatera Utara
78 besar terhadap sikap orang tua terhadap anaknya. Anak bekerja untuk orangtua
pada umumnya tidak dibayar atau dibayar dengan imbalan sekedarnya. Ini berarti sebagai tenagakerja semu. Hal seperti ini, sering menjadi alat untuk memperoleh
tenaga murah.
2.
Anak-anak yang berkerja dengan status magang atau belajar sambil bekerja.
Magang merupakan salah satu cara untuk dapat menguasai keterampilan yang dibutuhkan individu dalam dunia kerja. Magang sering dianggap sebagai suatu
proses sosialisasi yang didasarkan pada suatu mekanisme learning by doing belajar sambil bekerja.
3.
Anak-anak yang bekerja sebagai buruh Dalam bentuk ini tenagakerja anak-anak terikat dalam hubungan kerja buruh
dengan majikan. Artinya anak-anak bekerja sebagai buruh pada orang lain bukan keluarga atau kerabat, dan untuk hubungan kerja tersebut pekerja anak-
anak menerima upah dalam bentuk uang, baik yang bersifat harian lepas maupun borongan. Sebagai buruh mereka bekerja seperti halnya buruh dewasa dan
menikmati fasilitas yang sama dengan buruh dewasa. Namun, khusus dalam hal upah, seringkali jumlah yang mereka terima lebih kecil dari upah buruh dewasa.
Jenis pekerjaan yang dilakukan anak dapat pula dipetakan berdasarkan jarak lokasi bekerja dengan tempat tinggalnya. Studi Puslit Atma Jaya tahun 1994
menunjukkan bahwa penyebaran lokasi kerja berbeda berdasarkan jenis pekerjaan dari para pekerja anak. Anak yang bekerja sebagai pemulung hanya bekerja di
Universitas Sumatera Utara
79 sekitar lokasi tempat tinggalnya. Sedangkan katagori pekerja anak lainnya,
seperti: anak jalanan, buruh pasar, dan buruh pabrik, lokasi pekerjaannya tersebar. Ada beberapa faktor yang diduga melatarbelakangi seorang anak untuk
bekerja antara lain: 1. timbulnya pekerja anak adalah sebagai akibat kemiskinan,
ketidakmampuan ekonomi keluarga dalam mencukupi kebutuhan sehari-hari. 2. kemiskinan merupakan faktor yang mendorong anak-anak ke dalam
pekerjaan yang membahayakan. Budaya yang semakin berorientasi konsumtif juga merupakan pendorong anak untuk bekerja dan menjauhi sekolah karena anak
beranggapan sudah mendapatkan uang dari usaha sendiri. 3. penyebab anak bekerja antara lain: a. faktor kultural yang menuntut
mereka membantu ekonomi keluarga, b. faktor demand dan supply anak dibayar untuk mengakumulasikan keuntungan lebih banyak bagi pemilik
modalperusahaan, c. faktor sosial ekonomi keluarga, d. penurunan pendapatan masyarakat di sektor ekonomi yang terjadi di pedesaan, e. rapuhnya perangkat
hukum untuk perlindungan anak. Dalam penelitian ini tentang analisis kontribusi anak bekerja terhadap
pendapatan keluarga yang merupakan studi kasus pada pekerja anak di kilang batu bata jalanan menunjukkan bahwa anak yang bekerja sebagian besar dapat
memberikan kontribusi sebesar 20 persen terhadap pendapatan keluarga. Dan hampir semua anak melakukan aktivitas ekonomi karena kemiskinan orangtua,
dan karena hambatan hubungan sosio-psikologis dengan orangtua broken home.
Universitas Sumatera Utara
80 Hal ini membuktikan bahwa faktor ekonomi keluarga merupakan faktor yang
paling dominan dalam melibatkan anak di pasar kerja sebagai pekerja anak di berbagai sektor perekonomian
Universitas Sumatera Utara
81
BAB VI PENUTUP
Permasalahan pekerja anak merupakan permasalahan yang sangat kompleks karena menyangkut berbagai aspek baik sosial budaya maupun ekonomi, serta
dipengaruhi oleh aspek mikro ketahanan keluarga, budaya kemiskinan, rendahnya pendidikan dan ketrampilan, kebutuhan akan pekerja anak, dan lain-
lain maupun makro kemiskinan, pengangguran, ketimpangan pembangunan desa dan kota, dan lain-lain.
Pada bab ini dikemukakan beberapa kesimpulan yang diperoleh dari hasil penelitian. Kesimpulan yang terdapat di dalam penelitian ini adalah kesimpulan