Konflik aset di daerah pemekaran studi konflik serah terima aset pasar tradisional di Tangerang Selatan

(1)

KONFLIK ASET DI DAERAH PEMEKARAN

Studi Konflik Serah Terima Aset Pasar Tradisional di

Tangerang Selatan

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)

Oleh:

Muhamad Rizky

1110112000043

PROGRAM STUDI ILMU POLITIK

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(2)

i

PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME

Skripsi yang Berjudul :

KONFLIK ASET DI DAERAH PEMEKARAN: Studi Konflik Serah Terima Aset Pasar Tradisional di Tangerang Selatan

Dengan ini menyatakan bahwa :

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya saya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 7 Oktober 2014


(3)

ii

KONFLIK ASET DI DAERAH PEMEKARAN: Studi Konflik Serah Terima Aset Pasar Tradisional di Tangerang Selatan

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh

Gelar Sarjana Ilmu Sosial (S.Sos)

Oleh : Muhamad Rizky NIM : 1110112000043

Dibawah Bimbingan

Dr. Haniah Hanafie, M.Si NIP. 19610524 200003 2 002

JURUSAN ILMU POLITIK

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA


(4)

iii

PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI

Dengan ini, Pembimbing Skripsi menyatakan bahwa mahasiswa : Nama : Muhamad Rizky

NIM : 1110112000043

Progam Studi : Ilmu Politik

Telah menyelesaikan penulisan Skripsi dengan judul :

KONFLIK ASET DI DAERAH PEMEKARAN: Studi Konflik Serah Terima Aset Pasar Tradisional di Tangerang Selatan

dan telah memenuhi persyaratan untuk diuji :

Jakarta, 7 Oktober 2014

Mengetahui, Menyetujui,

Ketua Program Studi Pembimbing

Ali Munhanif, Ph. D Dr. Haniah Hanafie M.Si


(5)

iv

PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI SKRIPSI

KONFLIK ASET DI DAERAH PEMEKARAN

Studi Konflik Serah Terima Aset Pasar Tradisional di Tangerang Selatan Oleh :

Muhamad Rizky 1110112000043

Telah dipertahankan dalam sidang ujian skripsi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 13 November 2014. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Sosial (S.Sos) pada Program Studi Ilmu Politik.

Ketua Sekretaris

Ali Munhanif, Ph.D M. Zaki Mubarak, M.Si

NIP. 19651212 199203 1 004 NIP. 19730927 200501 1 008

Penguji I Penguji II

Dr. Agus Nugraha, M.Si Suryani, M.Si

NIP. 19680801 200003 1 001 NIP. 19770424 200710 2 003

Diterima dan dinyatakan memenuhi syarat kelulusan pada tanggal 13 November 2014.

Ketua Program Studi FISIP UIN Jakarta,

Ali Munhanif, Ph.D


(6)

v ABSTRAK

Skripsi ini membahas tentang konflik aset di daerah pemekaran yaitu terkendalanya serah terima aset daerah khususnya aset pasar tradisional di Kota Tangerang Selatan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor penyebab, dampak yang ditimbulkan, dan proses penyelesaian dari serah terima aset pasar tradisional di Kota Tangerang Selatan.

Peneliti menggunakan Teori Konflik dan Konsep Pemekaran Wilayah. Peneliti menemukan bahwa setelah pemekaran daerah Kota Tangerang Selatan terdapat kendala dalam serah terima aset daerah khususnya badan usaha milik daerah (BUMD) yang salah satunya adalah pasar tradisional. Metodologi yang digunakan adalah kualitatif. Penelitian dilakukan di wilayah Kabupaten Tangerang dan Kota Tangerang Selatan, tepatnya di Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Kabupaten Tangerang, Dinas Pengelolaan Pendapatan Keuangan dan Aset Daerah (DPPKAD) Kota Tangerang Selatan dan PD.Pasar Niaga Kerta Raharja Kabupaten Tangerang. Teknik pengumpulan data pada penelitian ini adalah dengan wawancara, observasi, dan dokumentasi.

Dari penelitian yang dilakukan berdasarkan studi lapangan dalam bentuk wawancara dan observasi, peneliti menemukan bahwa faktor penghambat dalam serah terima aset tersebut terdiri dari beberapa faktor diantaranya faktor struktural yaitu perdebatan dalam undang-undang dan peraturan yang digunakan oleh kedua Pemerintah Daerah, faktor kepentingan yaitu kepentingan dalam pengelolaan badan usaha milik daerah (BUMD) yang mempunyai pendapatan yang dapat dijadikan pendapatan asli daerah (PAD), faktor hubungan antar manusia yaitu perbedaan pendapan antara elit kedua Pemerintah Daerah dan faktor data yaitu ketidak sesuaian data yang dibutuhkan untuk dilakukannya serah terima aset pasar tradisional. Akibat yang ditimbulkan adalah pengelolaan pasar tradisional yang tidak optimal mengakibatkan kesemrawutan, kemacetan, dan penumpukan sampah sehingga pasar tradisional di Tangerang Selatan tidak tertata dengan baik yang menghambat pembangunan Kota Tangerang Selatan. Proses penyelesaian sampai saat ini yang dilakukan adalah pertemuan antara pihak yang bersangkutan untuk membahas permasalahan dalam kelanjutan serah terima aset BUMD PD.Pasar dan Pemerintah Kota Tangerang Selatan terakhir akan meminta bantuan kepada Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk membantu dalam memfasilitasi serah terima aset daerah yang berupa badan usaha milik daerah (BUMD) termasuk didalamnya aset pasar tradisional yang berada di Kota Tangerang Selatan.


(7)

vi

KATA PENGANTAR

Puji Syukur peneliti panjatkan atas kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat dan hidayah-Nya peneliti dapat menyelesaikan Skripsi dengan judul “Konflik Aset di Daerah Pemekaran: Studi Konflik Serah Terima Aset Pasar Tradisional di Tangerang Selatan”. Shalawat serta salam tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga, para sahabat, dan para pengikutnya dari awal hingga akhir zaman.

Peneliti menyadari dalam penyusunan skripsi ini masih banyak kekurangan didalamnya. Oleh karena itu peneliti mengaharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pihak. Penulisan skripsi ini juga tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu, peneliti menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Bahtiar Effendi, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

2. Bapak Ali Munhanif, Ph.D selaku Ketua Program Studi Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

3. Bapak M. Zaki Mubarak, M.Si selaku sekretaris Program Studi Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

4. Ibu Dr. Haniah Hanafie M.Si selaku dosen pembimbing. Terima kasih telah sabar dan ikhlas, serta meluangkan waktu, tenaga dan pikiran untuk membimbing dan memberikan masukan serta nasehat kepada peneliti, dan memberikan motivasi sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini. 5. Bapak Dr. Agus Nugraha, M.Si dan Ibu Suryani M.Si sebagai Dosen

penguji skripsi yang telah menguji dan memberi masukan kepada peneliti. 6. Bapak Sugeng Setiarso selaku Kasi Mutasi Aset Dinas Pendapatan

Pengelolaan Keuangan Aset Daerah (DPPKAD) Kota Tangerang Selatan, Bapak Sutono sebagai Kasubag Inventarisasi bidang aset Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Kabupaten Tangerang dan Bapak Nurachman sebagai Humas PD.Pasar Niaga Kerta Raharja Kabupaten


(8)

vii

Tangerang. Terima kasih telah meluangkan waktunya untuk diwawancari dan meminta data untuk keperluan penelitian.

7. Orang tua tercinta Alm. Bapak Sagimin dan Ibu Miyem serta Nenek tercinta Mbah Ketip yang memberikan segala bentuk dukungan berupa finansial dan moral sehingga skripsi ini dapat selesai.

8. Kakak dan adik peneliti, Purwowidodo, Purwaningsihati dan Adi Surya Muhammad Kurniawan serta keponakan peneliti, Carissa Aqila Maheswari Widodo dan Bima Kafaf Faiz Jabar Sa’adan yang selalu memberikan dukungan dan hiburan kepada peneliti.

9. Ryandi Hermawan, M. Rizal Habibi, Novian Dwi Cahyo, Galih Priyo Jatmiko, Rizki Andika, Wahyu Windiasko, M. Erdiansyah, Dara Amalia dan teman-teman SMAN 90 Jakarta serta Warlux. Terima kasih telah menjadi sahabat baik peneliti dan memberi semangat selama penelitian. 10.Choir, Angga, Ikbal, Dona, Faisal, Yosep, Febrian, Ferdian, Indra, Ismet,

Fadil, Imam, Ramdhan, Enda, Ujang, Abdau, Ade, Adi, Sandi, Ikhsan Sopyan, Adeandri dan seluruh sahabat Ilmu Politik 2010. Terima kasih telah memberikan semangat dan tidak pernah lelah membantu skripsi peneliti dari awal sampai akhir.

11.Keluarga KKN AGORITMA 2013, yang selalu memberikan semangat kepada peneliti.

12.Seluruh pihak yang membantu yang tidak dapat peneliti sebutkan satu persatu.

Semoga Skripsi ini dapat bermanfaat dan memberikan sumbangan pemikiran bagi para pembaca sekalian.

Jakarta, 7 Oktober 2014


(9)

viii DAFTAR ISI

LEMBAR PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME... i

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBINGAN... iii

LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI... iv

ABSTRAK... v

KATA PENGANTAR... vi

DAFTAR ISI... viii

DAFTAR TABEL... x

BAB I PENDAHULUAN A. Pernyataan Masalah... 1

B. Pertanyaan Penelitian... 7

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian... 8

D. Tinjauan Pustaka... 9

E. Metodelogi Penelitian... 12

F. Sistematika Penelitian... 15

BAB II LANDAAN TEORI A. Konflik ... 18

1. Pengertian Konflik……... 19

2. Penyelesaian Konflik... 21

B. Pemekaran Wilayah ... 24

1. Konsep Pemekaran Wilayah... 24

2. Hak dan Kewajiban Daerah ... 30

3. Aset Daerah... 40

BAB III GAMBARAN UMUM KABUPATEN TANGERANG DAN KOTA TANGERANG SELATAN A. Kabupaten Tangerang... 43

1. Sejarah...… 43

2. Letak Geografis... ... 46

B. Kota Tangerang Selatan... 47

1. Sejarah... 47

2. Letak Geografis... 49

BAB IV KONFLIK ASET DI DAERAH PEMEKARAN A. Konflik Serah Terima Aset Daerah Kota Tangerang Selatan... 50

1. Aset Daerah Kota Tangerang Selatan ... 50

2. Konflik Serah Terima Aset Pasar Tradisional di Kota Tangerang Selatan... 53


(10)

ix

B. Faktor Penghambat Serah Terima Aset Pasar Tradisional

Kota Tangerang Selatan... 57

1. Faktor Stuktural... 58

2. Faktor Kepentingan... 63

3. Faktor Nilai... 65

4. Faktor Hubungan Antar Manusia... 66

5. Faktor Data... 67

C. Dampak Terkendalanya Serah Terima Aset Pasar Tradisional di Kota Tangerang Selatan ... 69

D. Proses Penyelesaian Serah Terima Aset Pasar Tradisional di Kota Tangerang Selatan dari Kabupaten Tangerang…………..… 74

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 79

B. Saran ... 82

DAFTAR PUSTAKA... xi LAMPIRAN


(11)

x

DAFTAR TABEL

Tabel IV.I. Nilai Aset Daerah yang Diserahkan Kabupaten Tangerang kepada

Kota Tangerang Selatan... 55 Tabel IV.II Aset PD.Pasar Niaga Kerta Raharja

Kabupaten Tangerang di Wilayah

Tangerang Selatan…... 63 Tabel IV.III Pendapatan, Biaya, dan Laba (Rugi)

PD. Pasar Niaga Kerta Raharja


(12)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Pernyataan Masalah

Negara Republik Indonesia sebagai Negara kesatuan yang mempunyai daerah begitu luas, menganut asas desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan dengan memberikan kesempatan daerah untuk menyelengarakan otonomi daerah. Persoalan kebijakan otonomi daerah merupakan salah satu aspek yang mendapat perhatian hingga saat ini. Dalam salah satu kebijakan desentralisasi politik, pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian di revisi ke dalam Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Sebagaimana yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Proses peralihan dari sistem dekonsentrasi ke sistem desentralisasi disebut pemerintah daerah dengan otonomi, yaitu dengan diserahkannya urusan pemerintah kepada pemerintah daerah yang bersifat operasional dalam rangka sistem birokrasi pemerintahan. Tujuan yang hendak dicapai dalam penyerahan tugas ini antara lain menumbuhkembangkan daerah dalam berbagai bidang, meningkatkan pelayanan


(13)

2

kepada masyarakat, menumbuhkan kemandirian daerah dan meningkatkan daya saing daerah dalam proses pertumbuhan.1

Kebijakan desentralisasi melalui otonomi daerah yang diikuti dengan kebijakan pemekaran daerah mengakibatkan perubahan pola perkembangan wilayah. Dalam kurun waktu sepuluh tahun sejak keluarnya Undang-Undang Otonomi Daerah tahun 1999 dan Peraturan Pemerintah Pemekaran Daerah tahun 2000 jumlah daerah otonom bertambah hampir dua kali lipat.2 Saat ini jumlah Daerah Otonom di Indonesia sampai dengan bulan Juli 2013 berjumlah 539, yang terdiri atas 34 provinsi, 412 kabupaten, dan 93 kota (tidak termasuk 5 kota administratif dan 1 kabupaten administratif di Provinsi DKI Jakarta).3 Semakin banyaknya daerah otonom yang diikuti oleh rendahnya pencapaian tujuan pemekaran daerah menjadikan suatu permasalahan akibat semakin besarnya beban pendanaan otonomi.

Pemekaran wilayah biasanya merupakan wujud dari keinginan masyarakat di suatu daerah untuk lebih tumbuh dan berkembang dari segi ekonomi, politik, sosial, budaya dan keamanan. Pemekaran wilayah dipandang sebagai sebuah solusi untuk mempercepat proses pembangunan melalui peningkatan kualitas dan kemudahan memperoleh pelayanan yang lebih baik bagi masyarakat. Pemekaran wilayah juga merupakan bagian dari upaya untuk meningkatkan kemampuan

1

HAW. Widjaja, Penyelenggaraan Otonomi di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2005), h. 17.

2

Djoko Harmantyo, Desentralisasi, Otonomi, Pemekaran Daerah dan Pola

Perkembangan Wilayah di Indonesia, artikel diakses dari http://geografi.ui.ac.id/portal/sivitas-geografi/dosen/makalah-seminar/496-2/ pada tanggal 27 Januari 2013.

3

Diakses dari http://otda.kemendagri.go.id/index.php/data-otda/data-provkabkota?format=pdf pada 18 Desember 2014.


(14)

3

pemerintah daerah dalam meningkatkan efektifitas penyelenggaraan pemerintah dan pengelolaan pembangunan.

Berkembangnya wilayah administratif yang berbatasan dengan kota-kota besar menjadi cikal bakal terbentuknya daerah otonom baru dari pemekaran daerah induknya. Salah satu daerah hasil pemekaran yang berbatasan langsung dengan DKI Jakarta dan menjadi daerah termuda di Provinsi Banten adalah Kota Tangerang Selatan yang merupakan hasil dari proses pemekaran wilayah Kabupaten Tangerang. Kota Tangerang Selatan resmi menjadi daerah otonom baru pada 29 Oktober 2008 dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2008 tentang Pembentukan Kota Tangerang Selatan yang ditandatangani oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 26 November 2008.4 Kota Tangerang Selatan meliputi 7 Kecamatan yaitu Kecamatan Ciputat, Ciputat Timur, Pamulang, Pondok Aren, Serpong, Serpong Utara dan Setu.

Sebagai daerah otonom baru, Pemerintah Kota Tangerang Selatan menyelenggarakan pemerintahan daerah yang mencakup bidang pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakatan. Untuk menjalankan berbagai kegiatan pemerintahan tersebut, diperlukan penanganan yang baik dalam rangka pembangunan daerah dan jika perlu daerah dapat melakukan kerjasama yang saling menguntungkan. Tetapi bisa saja terjadi permasalahan-permasalahan kepentingan antara daerah dengan pihak lain, yang mengakibatkan terjadinya perselisihan. Perselisihan itu sendiri dapat muncul karena adanya kepentingan

4

Abdul Rojak, Sirojudin, M. Istijar Nusantara, Sejarah Berdirinya Kota Tangerang Selatan (Tangsel: Green Komunika, 2010), h. 21.


(15)

4

masing-masing daerah yang berkaitan dengan Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang terjadi antara pemerintah kabupaten/kota, yang berada dalam satu provinsi.5

Proses pelaksanaan pemerintahan daerah setelah pembentukan daerah otonom baru memang tidak semudah yang dibayangkan. Harapan yang cukup besar akan terlaksanannya pelayanan yang baik bagi masyarakat dan meningkatnya kesejahteraan masyarakat di daerah otonomi baru tidak serta merta dapat dirasakan sepenuhnya oleh masyarakat. Pemekaran Kabupaten Tangerang dengan membentuk Kota Tangerang Selatan pada tahun 2008 sampai saat ini masih saja menyimpan masalah, salah satunya adalah masalah pembagian aset milik daerah dan proses penyerahannya dari Kabupaten Tangerang kepada Kota Tangerang Selatan.

Permasalahan pembagian dan penyerahan aset daerah yang mendapat sorotan sampai saat ini adalah belum diserahkannya 6 pasar tradisional yang berada di Kota Tangerang selatan. Keenam pasar tradisional tersebut adalah Pasar Ciputat, Pasar Jombang, Pasar Serpong, Pasar Bintaro, Pasar Cimanggis dan Pasar Gedung Hijau.6 Proses penyerahan aset daerah sebenarnya sudah diatur didalam Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2008 tentang Pembentukan Kota Tangerang Selatan. Dimana didalam pasal 13 yang membahas tentang Personel, Aset dan Dokumen di jelaskan bahwa penyerahan aset dan dokumen dilakukan paling lambat 5 (lima) tahun sejak pelantikan pejabat Walikota. Apabila penyerahan dan

5

M. Aries Djanuri, dkk, Sistem Pemerintahan Daerah (Jakarta: Universitas Terbuka, 2010), h. 8.17.

6“Pemkot Tunggu Surat Bupati Zaki Soal Aset Pasar,” Tangsel Pos

, 13 Desember 2013, h. 3.


(16)

5

pemindahan aset serta dokumen tidak dilaksanakan oleh Bupati Tangerang, Gubernur Banten selaku wakil Pemerintah wajib menyelesaikannya.

Merujuk pada Undang-Undang pembentukan Kota Tangerang Selatan, nampaknya masih menyimpan masalah yang belum dapat terselesaikan untuk mengurusi aset daerah Kabupaten Tangerang yang seharusnya diserahkan kepada Kota Tangerang Selatan. Penyerahan aset daerah khususnya aset 6 pasar tradisional yang berada di dalam teritorial Kota Tangerang Selatan yang akan mendukung terselenggaranya pelayanan masyarakat dalam bidang perdagangan diharapkan sudah terselesaikan sebelum peringatan hari jadi Kota Tangerang selatan yang ke-5. Namun pada kenyataannya sampai saat ini setelah 5 tahun berdirinya Kota Tangerang Selatan yang bertepatan pada tanggal 29 Oktober 2013 aset ini belum juga diserahkan oleh pihak Pemerintah Kabupaten Tangerang.

Aset 6 pasar tradisional ini masih menjadi perebutan yang belum jelas arah penyelesaian yang menguntungkan bagi kedua belah pihak. Secara normatif Kabupaten Tangerang diharuskan menyerahkan aset daerah tersebut sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 13 Undang-Undang No. 51 Tentang Pembentukan Kota Tangerang Selatan. Jika sampai saat ini Pemerintah Kabupaten Tangerang belum menyerahkan aset tersebut, bisa dikatakan Bupati Tangerang melanggar UU yang akan menjadi sengketa dan itu harus dimediasi oleh pihak provinsi. Pemkot Tangerang Selatan melalui Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan Aset Daerah (DPPKAD) akan mengambil alternatif dengan meminta bantuan kepada Gubernur Banten untuk memfasilitasi penyelesaian masalah aset ini.7

7


(17)

6

Kondisi pasar-pasar tersebut saat ini menjadi sangat tidak layak dan sulit untuk dilakukan penataan. Bahkan, pembersihan sampah pasar pun menjadi terkendala karena sering kali tidak terangkut oleh petugas. Dengan masih dikelolanya pasar tradisional oleh Kabupaten Tangerang, Pendapatan Asli daerah (PAD) dari retribusi pasar tidak masuk ke Kota Tangerang Selatan melainkan masuk ke Kabupaten Tangerang. Seharusnya pendapatan dari retribusi pasar bisa dimanfaatkan kembali untuk melakukan penataan pasar. Faktor ekonomi seperti ini yang diduga kuat menjadi salah satu hal yang meyebabkan terjadinya sengketa aset daerah pasca pemekaran wilayah. Pihak Kabupaten Tangerang selaku daerah induk hingga saat ini masih melakukan kajian terkait penyerahan aset tersebut terutama dengan masalah kontrak dengan pihak ketiga, dalam hal ini adalah pihak swasta.

Peneliti tertarik melakukan penelitian ini karena melihat realita di era otonomi daerah seperti sekarang ini, yang seharusnya daerah mempunyai kewenangan untuk mengatur urusan rumah tangganya sendiri dalam memberikan pelayanan dan mempercepat pembangunan masih harus terganjal dengan masalah-masalah seperti sengketa aset daerah. Aset daerah seharusnya menjadi salah satu pemasukan keuangan daerah yang dapat digunakan untuk pembangunan di daerah otonom baru. Konflik atas aset daerah ini terjadi antara dua Kota/Kabupaten yang berada dalam satu provinsi dimana kedua belah pihak sama-sama ingin memperoleh dan mempertahankan kepentingan daerahnya, Pemerintah Kabupaten Tangerang sebagai daerah induk seharusnya menjalin kerjasama yang baik dengan Pemerintah Kota Tangerang Selatan guna meningkatkan kesejahteraan bersama


(18)

7

dan mencegah ketimpangan antar daerah. Maka dari uraian pernyataan masalah diatas, peneliti melakukan penelitian tentang permasalahan aset di daerah pemekaran karena belum diserahkannya aset daerah berupa 6 pasar tradisional (Pasar Ciputat, Pasar Jombang, Pasar Serpong, Pasar Bintaro, Pasar Cimanggis dan Pasar Gedung Hijau) selama 5 tahun berdirinya Kota Tangerang Selatan oleh Pemerintah Kabupaten Tangerang.

B. Pertanyaan Penelitian

Skripsi ini secara umum ingin memberikan analisa tentang permasalahan aset daerah yang terjadi di Kota Tangerang Selatan. Peneliti membatasi penulisan sengketa aset yang dimaksud khususnya pada permasalahan dalam serah terima 6 aset pasar tradisional yaitu Pasar Ciputat, Pasar Jombang, Pasar Serpong, Pasar Bintaro, Pasar Cimanggis dan Pasar Gedung Hijau yang sampai saat ini belum diserahkan oleh Pemerintah Kabupaten Tangerang. Peneliti memfokuskan untuk mengetahui jawaban dari pertanyaan sebagai berikut:

1. Mengapa serah terima aset pasar tradisional di Kota Tangerang Selatan mengalami kendala?

2. Apa dampak yang ditimbulkan dari terkendalanya serah terima aset pasar tradisional di Kota Tangerang Selatan?

3. Bagaimanakah proses penyelesaian serah terima aset pasar tradisional antara Pemerintah Kabupaten Tangerang dengan Kota Tangerang selatan?


(19)

8 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan penelitian:

a. Untuk mengetahui mengapa serah terima aset pasar tradisional di Kota Tangerang Selatan mengalami kendala.

b. Untuk mengetahui dampak yang ditimbulkan dari terkendalanya serah terima aset pasar tradisional di Kota Tangerang Selatan.

c. Untuk mengetahui bagaimana proses penyelesaian serah terima aset pasar tradisional antara Pemerintah Kabupaten Tangerang dengan Kota Tangerang selatan.

2. Manfaat penelitian:

Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat yang terdiri dari manfaat akademis dan manfaat praktis.

a. Manfaat Akademis

1) Penelitian ini bermanfaat memberi informasi mengapa serah terima aset pasar tradisional di Kota Tangerang Selatan mengalami kendala. 2) Penelitian ini bermanfaat memberi informasi dampak yang

ditimbulkan dari terkendalanya serah terima aset pasar tradisional di Kota Tangerang Selatan.

3) Penelitian ini bermanfaat memberi informasi bagaimana proses penyelesaian serah terima aset pasar tradisional antara Pemerintah Kabupaten Tangerang dengan Pemerintah Kota Tangerang Selatan. 4) Penelitian ini memberi manfaat bagi pengembangan Ilmu Politik


(20)

9

wilayah, yang menggambarkan tentang realita setelah pemekaran wilayah yang masih meninggalkan masalah seperti sengketa aset daerah.

b. Manfaat Praktis

1) Penelitian ini diharapkan memberikan kontribusi literatur keilmuan serta menjadikan penulisan ini sebagai literatur dalam bidang Ilmu Politik.

2) Menambah informasi bagi penulisan skripsi yang serupa di waktu yang akan datang.

D. Tinjauan Pustaka

Dalam penelitian ini, sebelumnya telah terdapat penelitian yang mengkaji tentang permasalahan aset daerah di era otonomi. Pertama, Jurnal ilmiah yang berjudul “Sengketa Wilayah Perbatasan Gunung Kelud antara Pemerintah Kabupaten Blitar dengan Kabupaten Kediri ditinjau dari Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 jo Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Pemerintahan

Daerah” dengan nama peneliti Ade Laurens mahasiswa Universitas Surabaya.

Dalam penelitian ini, peneliti menemukan perbedaan dengan penelitian yang penulis buat diantaranya mengenai aset daerah yang menjadi sengketa dan daerah yang bersengketa yang diteliti oleh penulis sebelumnya adalah sengketa perbatasan objek pariwisata Gunung Kelud yang merupakan salah satu sumber pendapatan daerah antara Kabupaten Blitar dengan Kabupaten Kediri. Dalam pengelolaan aset ini antara Pemerintah Kabupaten Blitar dengan Pemerintah Kabupaten Kediri tidak membangun kerjasama antar daerah untuk meningkatkan


(21)

10

kesejahteraan bersama dan mencegah ketimpangan antar daerah, melainkan kedua daerah ini mempermasalahkannya sehingga menjadikan konflik antar wilayah. Sedangkan pada penelitian ini peneliti memfokuskan pada permasalahan serah terima aset pasar tradisional di Kota Tangerang Selatan.

Kedua, penelitian yang berjudul “Sengketa Pasca Pemekaran Kota dan Kabupaten Tasikmalaya” yang dilakukan oleh Fitriyani Yuliawati, S.IP dan Subhan Agung, S.IP, MA dari laboratorium ilmu politik FISIP Universitas Siliwangi Tasikmalaya. Dalam penelitian ini menunjukan bahwa sengketa aset daerah antara Kabupaten Tasikmalaya dan Kota Tasikmalaya terjadi karena masing-masing pihak mempunyai kepentingan yang berbeda dalam sengketa tersebut. Kabupaten Tasikmalaya menginginkan agar penyerahan aset tersebut dibarengi dengan ganti rugi untuk Kabupaten Tasikmalaya, sedangkan pihak Kota Tasikmalaya berpegang pada peraturan yang ada tentang pembentukan Kota Tasikmalaya. Dari penelitian ini yang membedakan adalah peneliti lebih terfokus pada permasalahan serah terima aset pasar tradisional di Kota Tangerang Selatan.

Ketiga, Peneliti membahas buku yang terkait dengan Otonomi Daerah yang di dalamnya juga terdapat konflik dalam Otonomi Daerah diantaranya konflik sumber pendapatan dan pengelolaan aset daerah yaitu buku yang ditulis

oleh Pheni Chalid berjudul “Otonomi Daerah: Masalah, Pemberdayaan, dan

Konflik”. Dalam buku ini dijelaskan bahwa konflik pengelolaan sumber

pendapatan daerah terjadi karena kekurangpahaman daerah atas pembagian kepemilikan aset daerah antara provinsi dan kabupaten/kota. Sebagai contoh Kabupaten Sidoarjo merupakan daerah tingkat II yang tidak memiliki sumber


(22)

11

daya alam (SDA). Untuk itu pemerintah Kabupaten Sidoarjo berupaya menginvetarisasi peluang-peluang yang dapat meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD). Salah satu peluang yang coba dibidik adalah kawasan Bandara Juanda yang secara geografis berada di wilayah Kabupaten Sidoarjo, namun sebenarnya merupakan aset provinsi. Selain itu Pemerintah Daerah Sidoarjo juga menuntut adanya pembagian dari pajak dan retribusi pajak kendaraan bermotor (PKB) dan bea balik nama kendaraan bermotor (BBNKB) yang ditarik oleh provinsi.

Konflik pengelolaan aset yang menjadi sumber pendapatan asli daerah tidak hanya terjadi antara daerah, tapi juga antara pusat dan daerah, karena ketidakjelasan pembagian aset. Seperti yang terjadi antara pemerintah DKI Jakarta dengan Pemerintah Pusat dalam hal pengelolaan Bandara Internasional Soekarno-Hatta, jalan tol, dan kawasan Pelabuhan Tanjung Priok, kawasan Kemayoran dan Senayan. Pengelolaan kelima aset tersebut berdasarkan UU 25/1999 seharusnya berada dalam kewenangan pemerintah daerah DKI, namun demikian dalam praktiknya pemerintah pusat masih enggan menyerahkan pengelolaan kelima aset tersebut ke tangan pemerintah daerah DKI Jakarta. Adapun hal yang membedakan dari buku ini terletak pada aset daerah dan daerah yang bermasalah, yaitu peneliti memfokuskan pada permasalahan serah terima aset pasar tradisional di Kota Tangerang Selatan.


(23)

12 E. Metodelogi Penelitian

1. Pendekatan Penelitian

Penelitian kualitatif akan menghasilkan prosedur analisis dan tidak menggunakan analisis data statistik atau cara kuantifikasi lainnya. Secara prosedur menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis dari orang-orang dan perilaku yang diamati, seperti dinyatakan oleh Lexy J. Moleong dalam buku metode penelitian kualitatif.8 Metode penelitian yang digunakan peneliti dalam mengkaji permasalahan ini adalah pendekatan kualitatif, karena sesuai dengan penelitian yang diambil oleh peneliti yaitu melihat sedetail mungkin permasalahan aset daerah di Kota Tangerang Selatan yang terfokus pada serah terima 6 aset pasar tradisional (Pasar Ciputat, Pasar Jombang, Pasar Serpong, Pasar Bintaro, Pasar Cimanggis dan Pasar Gedung Hijau).

2. Tempat dan Waktu Penelitian

Sesuai dengan fokus penelitian yang telah disebutkan maka pelaksanaan dalam penelitian ini dilakukan di wilayah Kota Tangerang Selatan dan Kabupaten Tangerang, khususnya pada institusi Pemerintah Daerah yang berwenang menangani aset daerah. Sedangkan waktu penelitian dilakukan secara bertahap hingga penelitian selesai.

3. Teknik Pengumpulan Data a. Wawancara

Wawancara (interview) adalah pertemuan antara peneliti dan responden, dimana pengumpulan data dilakukan dengan mengajukan pertanyaan langsung

8


(24)

13

oleh pewawancara kepada responden, dan jawaban-jawaban responden dicatat atau direkam dengan alat perekam (tape recorder). Teknik wawancara juga dapat dilakukan dengan telepon.9 Dalam penelitian ini, Peneliti melakukan wawancara dengan informan sejumlah 3 (tiga) orang yang berasal dari dinas dan perusahaan yang mengelola aset daerah yaitu: 1). Sugeng Setiarso sebagai Kasi Mutasi Aset Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan Aset Daerah (DPPKAD) Kota Tangerang Selatan, 2). Sutono sebagai Kasubag Inventarisasi bidang aset Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Kabupaten Tangerang dan 3). Nurachman sebagai Humas PD.Pasar Niaga Kerta Raharja Kabupaten Tangerang. Kedua dinas dan perusahaan daerah tersebut adalah pihak yang berwenang dalam mengurusi aset daerah khususnya pasar tradisional yang diharapkan dapat memberikan informasi sedetail mungkin kepada peneliti dalam menyelesaikan penelitian tentang permasalahan aset daerah yang terjadi antara Kota Tangerang Selatan dan Kabupaten Tangerang. Maka dalam pemilihan narasumber, peneliti menggunakan purposive sampling. Informan ditentukan selaras dengan maksud dan tujuan penelitian yaitu untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan dalam penelitian ini.10

Instrumen pengumpulan data dalam penelitian ini adalah pedoman wawancara, recorder dan buku catatan. Pedoman wawancara digunakan agar peneliti dapat menyaring apa saja yang seharusnya ditanyakan agar fokus pada permasalahan yang diteliti. Recorder digunakan untuk merekam subjek yang difokuskan yaitu Pemerintah Kota Tangerang Selatan dan Pemerintah Kabupaten

9

Irawan Soehartono, Metode Penelitian Sosial, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2008), h. 67.

10


(25)

14

Tangerang yang menangani aset daerah. Buku catatan dipergunakan untuk mencatat hal-hal yang tidak direkam.

b. Dokumentasi

Pengumpulan data melalui dokumentasi dilakukan untuk memeroleh data sekunder melalui literatur dengan tujuan untuk memeroleh bahan-bahan yang memberikan penjelasan dari bahan primer maupun hasil penelitian, jurnal, karya tulis, dokumen-dokumen resmi seperti: Undang-Undang pembentukan daerah, surat-surat resmi dan sebagainya.

4. Sumber dan Jenis Data

Sumber data diperoleh dari telaah dokumen-dokumen yang peneliti masukan serta hasil dari observasi dan wawancara yang akan dilakukan oleh peneliti. Sebelum digunakan dalam proses analisis, data dikelompokan terlebih dahulu sesuai dengan jenis dan karakteristik yang menyertainya. Berdasarkan sumber pengambilannya, data dibedakan atas dua macam, yaitu data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh atau dikumpulkan langsung dari wawancara.11 Data sekunder adalah data yang diperoleh atau dikumpulkan oleh orang yang melakukan penelitian dan dari dokumen-dokumen yang ada.

5. Analisis Data Penelitian

Analisis data penelitian dilakukan untuk mengelola data yang sudah dikumpulkan, peneliti menggunakan metode deskriptif. Penelitian deskriptif adalah suatu penelitian yang diupayakan untuk mengamati permasalahan secara

11

Pupuh Fathurahman, Metode Penelitian Pendidikan (Bandung: CV Pustaka Setia, 2011), h. 146.


(26)

15

sistematis dan akurat mengenai fakta dan sifat objek tertentu.12 Analisis deskriptif dalam kualitatif fokusnya pada penunjukan makna, deskripsi, penjernihan dan penempatan data pada konteksnya masing-masing, dan seringkali digambarkan di dalam kata-kata dari pada di dalam angka-angka. Untuk itu data perlu disusun kedalam pola tertentu, kategori tertentu, tema tertentu atau pokok permasalahan tertentu. Karenanya setiap hasil dari pengumpulan data, baik itu dari hasil wawancara, observasi ataupun dari sejumlah dokumen perlu di reduksi dan dimasukan kedalam pola, kategori, fokus, atau tema tertentu yang sesuai. Hasil reduksi tersebut perlu di tampilkan secara tertentu untuk masing-masing pola, kategori, fokus, atau tema yang hendak dipahami dan dimengerti permasalahannya. Pada akhirnya peneliti dapat mengambil kesimpulan-kesimpulan tertentu dari hasil pemahaman dan pengertiannya.13

Adapun untuk panduan penulisan, penelitian ini berdasarkan pada buku

Panduan Penyusunan Proposal & Penulisan Skripsi, yang di terbitkan oleh Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 2012.

F. Sistematika Penulisan

Untuk memudahkan penulisan, maka dalam skripsi ini pembahasannya akan terbagi menjadi lima bab dan masing-masing bab akan terbagi lagi menjadi sub-sub bab yang terdiri sebagai berikut:

12Ibid

., h. 100.

13

Sanapiah Faisal, Format-Format Penelitian Sosial, (Jakarta: Rajawali Pers, 2003), h. 256.


(27)

16

BAB I PENDAHULUAN

Dalam bab ini berisi pernyataan masalah, pertanyaan penelitian, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, metodelogi penelitian dan sistematika penulisan.

BAB II LANDASAN TEORI

Dalam bab ini menjelaskan teori dan konsep yang di gunakan dalam penelitian ini yaitu teori konflik dan konsep pemekaran wilayah.

BAB III GAMBARAN UMUM KABUPATEN TANGERANG

DAN KOTA TANGERANG SELATAN

Dalam bab ini membahas gambaran umum daerah Kabupaten Tangerang sebagai daerah induk dan Kota Tangerang Selatan sebagai daerah hasil pemekaran.

BAB IV PERMASALAHAN ASET DAERAH KOTA

TANGERANG SELATAN

Dalam bab ini menjelaskan permasalahan serah terima aset pasar tradisional di Kota Tangerang Selatan yang membahas penyebab permasalahan, dampak yang ditimbulkan dan proses penyelesaiannya.


(28)

17

BAB V PENUTUP

Bab ini merupakan bab penutup yang berisi kesimpulan dari hasil penelitian yang telah dilakukan dan memberikan saran yang berkaitan dengan masalah yang dibahas untuk memperoleh solusi atas permasalahan tersebut.


(29)

18 BAB II

LANDASAN TEORI

Telah disebutkan sebelumnya bahwa fokus penelitian ini adalah permasalahan serah terima aset daerah yaitu 6 pasar tradisional antara Kota Tangerang Selatan dan Kabupaten Tangerang. Berkaitan dengan tema tersebut, permasalahan ini merupakan salah satu kasus dari sejumlah permasalahan atas aset pasca pemekaran daerah yang terjadi di daerah lain. Hal ini ditunjukan dengan beberapa bahasan ataupun studi berkaitan dengan tema tersebut yang beberapa diantaranya digunakan dalan penelitian ini sebagai referensi.

Oleh karena itu, dalam bab ini diuraikan secara teoretis mengenai konflik di era otonomi. Disamping itu juga perlu di kemukakan konsep pemekaran wilayah sebagai batasan yang digunakan dalam penelitian ini.

A. Konflik

Di dalam dunia politik, kegiatan untuk mempengaruhi proses perumusan dan pelaksanaan kebijakan umum merupakan upaya untuk mendapatkan dan/atau mempertahankan nilai-nilai. Dalam memperjuangkan upaya itu, sering terjadi perbedaan pendapat, perdebatan, persaingan bahkan pertentangan yang bersifat fisik diantara pelbagai pihak. Dalam hal ini antara pihak yang berupaya mendapatkan nilai-nilai dan mereka yang berupaya keras mempertahankan apa yang selama ini telah mereka dapatkan, antara pihak yang sama-sama berupaya


(30)

19

keras untuk mendapatkan nilai-nilai yang sama dan pihak yang sama-sama mempertahankan nilai-nilai yang selama ini mereka kuasai.14

1. Pengertian Konflik

Konflik secara sederhana dapat diartikan sebagai perselisihan atau persengketaan antara dua atau lebih kekuatan baik secara individu atau kelompok yang kedua belah pihak memiliki keinginan untuk saling menjatuhkan atau menyingkirkan atau mengalahkan atau menyisihkan.15 Di dalam dunia politik: “tiada lawan yang abadi dan tiada pula kawan abadi, kecuali kepentingan abadi.” Sehingga konflik kepentingan identik dengan konflik politik. Realitas

politik selalu diwarnai oleh dua kelompok yang memiliki kepentingan yang saling berbenturan. Benturan kepentingan tersebut disebabkan oleh gejala satu pihak ingin merebut kekuasaan dan kewenangan, di pihak lain terdapat kelompok yang berusaha mempertahankan dan mengembangkan kekuasaan yang sudah ada di tangan mereka.16

Istilah konflik dalam ilmu politik seringkali dikaitkan dengan kekerasan, seperti kerusuhan, kudeta, terorisme dan revolusi. Konflik mengandung arti benturan, seperti perbedaan pendapat, persaingan dan pertentangan antar individu dan individu, kelompok dan kelompok dengan pemerintah. Masing-masing pihak yang berkonflik berupaya untuk mendapatkan dan/atau mempertahankan sumber yang sama, yang kemudian akan menuju kearah kesepakatan dan kekerasan bukan

14

Ramlan Subakti, Memahami Ilmu Politik, (Jakarta: Grasindo, 2010), h. 10.

15

Elly M. Setiadi dan Usman Kolip, Pengantar Sosiologi (Pemahaman Fakta dan Gejala Permasalahan Sosial: Teori, Aplikasi, dan Pemecahannya), (Jakarta: Kencana, 2010), h. 348.

16


(31)

20

satu-satunya cara penyelesaian.17 Konflik politik digambarkan secara umum sebagai perbedaan pendapat, persaingan, dan pertentangan diantara sejumlah individu, kelompok ataupun organisasi dalam upaya mendapatkan dan/atau mempertahankan sumber-sumber dari keputusan yang dibuat dan dilaksanakan pemerintah.18

Otonomi daerah seperti yang dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Penyelenggaraan pemerintahan daerah dapat terlaksana dengan baik apabila penyelenggaraan urusan pemerintahan diiringi dengan sumber-sumber pendapatan yang cukup kepada daerah. Salah satu sumber pendapatan daerah adalah yang berasal dari aset-aset yang dimiliki oleh daerah tersebut. Maka aset daerah menjadi penting dalam mempengaruhi pendapatan yang diterima oleh daerah. Namun pada kenyataannya pasca pemekaran sebuah daerah, aset daerah menjadi perebutan antar daerah yang menimbulkan permasalahan. Sehingga penelitian ini menggunakan perspektif teori konflik dalam bingkai otonomi daerah.

Pada dasarnya konflik tercipta dari kompetisi memperebutkan akses terhadap otoritas (kekuasaan) dan sumber ekonomi atau kemakmuran dari aktor-aktor yang berkepentingan.19 Pada era otonomi daerah, daerah mempunyai porsi kewenangan yang sangat besar. Sehingga daerah akan merasa terancam

17

Ramlan Subakti, Memahami Ilmu Politik, (Jakarta: Grasindo, 2010), h. 191.

18Ibid

.,h. 193.

19

Syamsul Hadi, dkk, DisintegrasiPasca Orde Baru: Negara, Konflik Lokal dan Dinamika Internasional, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007), h. 272.


(32)

21

kepentingan politik dan ekonominya bila gagal mempertahankan sumber-sumber yang bisa meningkatkan pendapatan daerah. Hal tersebut dapat menjadi latar belakang timbulnya konflik dan kesalahpahaman antar daerah.

Otonomi sering diterjemahkan oleh kabupaten/kota lebih dari sekedar dapat mengatur rumah tangganya sendiri, sehingga tidak mau dicampuri oleh pihak lain walaupun dalam konteks koordinasi dan sinkronisasi antar daerah. Di samping itu, kabupaten/kota sering menerjemahkan otonomi ini sebagai kewenangan untuk menggali pendapatan daerah yang sebanyak-banyaknya melalui pajak dan retribusi serta eksploitasi sumber daya alam dengan mengabaikan kepentingan jangka panjang dan generasi mendatang.20

Pruitt dan Rubin dalam Teori Konflik Sosial21 menjelaskan bahwa konflik terjadi ketika tidak terlihat adanya alternatif yang dapat memuaskan aspirasi kedua belah pihak dan lebih jauh masing-masing pihak memiliki alasan untuk percaya bahwa mereka mampu mendapatkan sebuah objek bernilai untuk diri mereka sendiri atau mereka percaya bahwa mereka berhak memiliki obyek tersebut. Dari penjelasan tersebut, dapat dikatakan bahwa adanya obyek bernilai yang dianggap berhak dimiliki oleh masing masing pihak sehingga menimbulkan konflik.

2. Penyelesaian Konflik

Konflik merupakan gejala yang tidak mungkin dapat dihilangkan, maka konflik hanya dapat diatur mekanisme penyelesaiannya. Perbedaan, persaingan,

20Nanang Kristiyono, “Konflik Dalam Penegasan Batas Daerah antara Kota Magelang

dengan Kabupaten Magelang; Analisis terhadap Faktor-faktor Penyebab dan Dampaknya,” (Tesis

Magister Ilmu Politik, Universitas Dipinegoro Semarang, 2008), h. 11.

21

Dean G. Pruit & Jeffrey Z Rubin, Teori Konflik Sosial, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), h. 26.


(33)

22

dan pertentangan dalam upaya mendapatkan dan/atau mempertahankan nilai-nilai yang dianggap penting dapat diselesaikan melalui mekanisme yang disepakati bersama. Dialog dan musyawarah untuk mencapai mufakat, dialog untuk mengadakan pemungutan suara (voting), atau perpaduan keduanya merupakan beberapa bentuk mekanisme untuk mencapai kesepakatan berupa keputusan politik. bentuk lain dari kesepakatan itu berupa kerjasama dalam bentuk koalisi dan aliansi untuk membuat dan melaksanakan keputusan. Sebagaimana dinyatakan oleh Gaetano Mosca, pemerintahan akan dapat berjalan dengan baik dan stabil serta berhasil apabila terjadi koalisi atau kerjasama antara satu atau lebih kekuatan politik.22 Apabila pertentangan itu belum juga dapat mencapai kesepakatan antara pihak yang berkonflik dan dianggap akan menggangu kepentingan umum kalau tidak ditangani, maka permasalahan tersebut dapat dibawa ke lembaga pengadilan (lembaga pemerintah), dimana pemerintah bertindak sebagai mediator maupun sebagai arbitrator.23

Penyelesaian konflik (conflict resolution) lebih merujuk kepada sebab-sebab konflik dari pada manifestasi konflik. Maka selama ada antagonisme kepentingan didalamnya, konflik akan selalu terjadi dan konflik tidak akan pernah dapat diselesaikan. Maka dalam hal ini dibutuhkan pengaturan konflik berupa bentuk-bentuk pengendalian yang lebih diarahkan pada manifestasi konflik dari pada sebab-sebab konflik, maka konflik dapat diatur sehingga tidak menimbulkan perpecahan. Menurut Ralf Dahrendorf dalam Memahami Ilmu Politik Ramlan

22

Ramlan Subakti, Memahami Ilmu Politik, (Jakarta: Grasindo, 2010), h. 24.

23


(34)

23

Subakti, pengaturan konflik yang efektif bergantung pada tiga faktor.24 Pertama, kedua pihak harus mengakui kenyataan dan keadaan konflik yang terjadi diantara mereka (adanya pengakuan atas kepentingan yang diperjuangkan oleh pihak lain). Kedua, kepentingan-kepentingan yang diperjuangkan harus terorganisir secara rapi, tidak tercerai-berai, dan terkotak-kotak sehingga masing-masing pihak memahami dengan jelas lingkup tuntutan pihak lain. Ketiga, kedua pihak menyepakati aturan main (rules of the game) yang menjadi landasan dan pegangan dalam hubungan dan interaksi diantara mereka. Lalu Dahrendorf menyebutkan tiga bentuk pengaturan konflik, yaitu:

a. Konsiliasi, yaitu mempertemukan kedua belah pihak yang berkonflik di lembaga seperti parlemen atau kuasi-parlemen dimana semua pihak berdiskusi dan berdebat secara terbuka dan dalam mencapai kesepakatan tidak ada pihak-pihak yang memonopoli pembicaraan atau memaksakan kehendak. Kebanyakan konflik politik disalurkan dan diatur dengan bentuk konsiliasi;

b. Mediasi, yaitu kedua belah pihak yang berkonflik sepakat mencari nasihat dari pihak ketiga (seorang mediator berupa tokoh, ahli atau lembaga tertentu yang dipandang memiliki pengetahuan dan keahlian yang mendalam mengenai hal yang dipertentangkan);

c. Arbitrasi, yaitu kedua belah pihak sepakat untuk mendapatkan keputusan akhir yang bersifat legal sebagai jalan keluar konflik pada pihak ketiga sebagai arbitrator.

24


(35)

24

Ketiga bentuk pengaturan konflik ini dapat dilaksanakan salah satunya atau bahkan ketiganya secara bertahap.

B. Pemekaran Wilayah

1. Konsep Pemekaran Wilayah

Sejak diberlakukannya otonomi daerah, proses pemekaran wilayah terjadi begitu pesat dan cenderung tidak terkendali. Secara umum pemekaran wilayah adalah pembentukan wilayah administrasi baru di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota dari daerah induknya. Pemekaran wilayah dipandang sebagai sebuah terobosan untuk mempercepat pembangunan dan meningkatkan pelayanan bagi masyarakat.

Pada dasarnya pembentukan satu daerah dalam struktur Negara Indonesia sebagai subsistem dimaksudkan demi meningkatkan pelayanan publik guna mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat disamping sebagai sarana pendidikan politik di tingkat lokal.25 Pemekaran wilayah dipahami sebagai wujud kedewasaan dan harapan untuk mengurus dan mengembangkan potensi daerah dan masyarakatnya yang diharapkan mampu menjadi media untuk membuka simpul-simpul keterbelakangan akibat jangkauan pelayanan pemerintah yang terlalu luas, sehingga perlu dibuka kesempatan bagi daerah tersebut untuk mendirikan pemerintahan sendiri berdasarkan potensi yang dimiliki.26

25

B.N. Marbun, Otonomi Daerah 1945-2010 Proses dan Realita, (Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, 2010), h. 109.

26

Dede Mariana dan Caroline Paskarina, Demokrasi & Politik Desentralisasi, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2008), h. 179.


(36)

25

Djohermansyah Djohan dalam “Blue Print Otonomi Daerah Indonesia” menjelaskan konsep pemekaran daerah dari tiga dimensi, yaitu: dimensi politik, dimensi administrasi/teknis, dan dimensi kesenjangan wilayah.27

a. Dimensi Politik

Kebutuhan akan desentralisasi atau pembentukan daerah otonom sejak awal sebenarnya bukan didasarkan pada pertimbangan teknis, tetapi merupakan hasil dari tarik menarik atau konflik politik antara daerah dan pusat. Dimensi politik dari pembentukan daerah yaitu pemerintahan yang dilokalisir sebagai bagian dari suatu landasan untuk kesamaan dan kebebasan politik. Dimensi politik desentralisasi mencakup beberapa faktor, antara lain: 1). Faktor geografis, 2). Faktor sosial-budaya, 3). Faktor demografi, dan 4). Faktor sejarah.

Faktor geografi pembentukan daerah otonom adalah faktor yang terkait dengan pembentukan daerah otonom sebagai akibat munculnya ikatan-ikatan yang bermotif politik antara masyarakat yang tinggal di suatu daerah. Ikatan tersebut dapat dilatarbelakangi oleh kesatuan geografis maupun sejarah, sehinngga masyarakat merasa dihubungkan oleh suatu ikatan secara politis. Kuat lemahnya ikatan tersebut sangat tergantung kepada seberapa besar daya tarik politik terhadap hadirnya kesatuan masyarakat tersebut sebagai suatu kesatuan politis.

Faktor sosial budaya mengansumsikan jika suatu masyarakat terikat dengan suatu sistem budaya tersendiri yang memberi perbedaan identitas budaya dengan masyarakat lain, maka secara politis ikatan kesatuan masyarakat tersebut

27

M. Zaki Mubarak, dkk, Blue Print Otonomi Daerah Indonesia, (Jakarta: Yayasan Harkat Bangsa, 2007), h. 120-130.


(37)

26

akan lebih kuat. Faktor ini secara langsung terkait dengan persoalan etnisitas dan mungkin saja keagamaan.

Faktor demografi mengansumsikan bahwa homogenitas penduduk akan mendorong lahirnya kesatuan penduduk secara politis. Suatu masyarakat dengan penduduknya yang homogen, akan memiliki tingkat kesatuan politis yang lebih tinggi dibanding masyarakat yang heterogen, jika faktor homogenitas ini dikolaborasikan dengan kesatuan secara geografis, maka secara politis kekuatan pembentukan kesatuan masyarakat tersebut akan lebih kuat dan secara langsung akan semakin mendorong tuntutan terbentuknya daerah otonom.

Faktor sejarah memberikan asumsi bahwa struktur sejarah kepemerintahan masa lalu dari suatu masyarakat akan berpengaruh terhadap keinginan masyarakat tersebut menjadi suatu daerah otonom. Meskipun sejarah kadang-kadang berlangsung secara terputus-putus dalam kurun waktu yang cukup panjang, tetapi tetap menjadi salah satu faktor yang sering mengikuti kemunculan suatu daerah otonomi. Apalagi jika simbol-simbol sejarah tersebut masih kental dalam suatu masyarakat, walaupun hanya dalan bentuk tatanan dan upacara-upacara budaya.

Faktor-faktor di atas pada dasarnya tidak berdiri sendiri. Keempat faktor politis itu saling terkait dan saling berhubungan dalam proses pembentukan suatu daerah otonom. Biasanya salah satu faktor diantara keempat faktor tersebut ada yang lebih dominan dibanding faktor lainnya, tetapi kadang semua faktor di atas berpengaruh merata dan komperehensif dalam pembentukan suatu daerah otonom.


(38)

27 b. Dimensi Administrasi/Teknis

Kebutuhan desentralisasi dari perspektif administrasi adalah untuk membangun hubungan dengan wilayah pelayanan dengan membentuk organisasi pelaksana di wilayah kerja atau daerah untuk sejumlah tugas-tugas. Wilayah-wilayah yang diberi status otonom atau yang didesentralisasikan diyakini akan meningkatkan pelaksanaan administrasi dan pelayanan kepada masyarakat, karena desentralisasi dapat memberi peluang pada penyesuaian administrasi dan pelayanan terhadap karakteristik wilayah-wilayah yang beraneka ragam sebagai konsekuensi dari perbedaan-perbedaan yang membentuk geografis. Geografi dalam pengertian fisik menjadi dasar penentuan batas-batas administrasi, dimana suatu wilayah geografis dengan wilayah yang relaif kecil diharapkan tepat untuk:

1) Pelayanan lebih optimal, karena wilayah pelayanan relatif sempit. 2) Pemerintahan lebih responsif karena lebih dekat dengan komunitas

yang dilayani.

3) Partisipasi masyarakat lebih meluas karena akses masyarakat yang relatif terbuka.

4) Konsultasi masyarakat menjadi lebih mudah karena kedekatan instansi pemerintahan dengan masyarakat.

5) Pengawasan menjadi lebih efektif karena wilayah pengawasan yang relatif sempit.

Dari sudut pandang administrasi, pemberian desentralisasi selain menyangkut soal teknis pelaksanaan juga pembentukan kelembagaan yang obyektif. Dimensi teknis pembentukan daerah otonom juga terkait dengan


(39)

aspek-28

aspek ekonomi. pembahasan aspek-aspek ekonomi sebagai dasar pembentukan daerah otonom baru muncul setelah banyaknya berkembang kota-kota yang tumbuh sebagai akibat dari perkembangan kegiatan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi, khususnya industrialisasi telah melahirkan konsep baru tentang kemunculan daerah otonom. Menurut teori ini, daerah otonom tidak mungkin terbentuk jika daerah tidak dapat memenuhi pelayanan minimal yang dibutuhkan oleh masyarakat.

c. Dimensi Kesenjangan Wilayah

Banyak kasus dalam penyelenggaraan pemerintahan nasional dalam hubungannya dengan pemerintahan daerah sering terjadi ketidakseimbangan perkembangan antar daerah. Ada daerah yang menjadi sangat maju, tetapi sebaliknya ada daerah yang relatif tidak berkembang dan bahkan mengalami kemunduran setelah berjalannya pemerintahan.

Hubungan antar daerah yang maju dengan yang kurang maju tersebut tidaklah menimbulkan permasalahan, sepanjang hubungan tersebut bersifat komplementer. Tetapi berbeda jika hubungannya berkembang jauh menjadi kooptasi daerah maju terhadap daerah kurang maju, sehingga menimbulkan perlawanan dari daerah kurang maju. Konsep inilah yang melandasi pemikiran hubungan antara daerah dalam melihat persoalan pembentukan daerah otonom. Menurut teori ini daerah otonom terbentuk karena munculnya kesenjangan antara wilayah dalam suatu daerah.

Kota Tangerang Selatan sebagai daerah otonom baru hasil pemekaran telah memenuhi persyaratan yang telah disebutkan Peraturan Pemerintah No 78


(40)

29

Tahun 2007 Tentang Tata Cara Pembentukan, Penggabungan dan Penghapusan Daerah. Dalam pasal 4 disebutkan bahwa pembentukan daerah harus memenuhi syarat administratif, teknis dan fisik kewilayahan. Syarat administratif meliputi persetujuan DPRD kabupaten/kota induk, persetujuan Bupati/Walikota yang bersangkutan, persetujuan DPRD Provinsi dan Gubernur, serta rekomendasi dari Menteri Dalam Negeri. Sementara syarat teknis meliputi faktor kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, kependudukan, luas daerah, pertanahan, keamanan, kemampuan keuangan, tingkat kesejahteraan masyarakat, dan rentang kendali penyelenggaraan pemerintah daerah. Sedangkan persyaratan fisik meliputi paling sedikit 4 (empat) kecamatan untuk pembentukan kota, lokasi calon ibukota, sarana dan prasarana pemerintah. Dengan demikian, Kota Tangerang Selatan telah resmi menjadi daerah otonom baru dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2008 Tentang Pembentukan Kota Tangerang Selatan.

Pemekaran wilayah di satu sisi perlu di syukuri karena memberikan tempat bagi aspirasi, keberagaman dan otonomi lokal. Namun di sisi lain fenomena pemekaran wilayah dirasa cukup mengkawatirkan melihat pemekaran daerah terwujud hanya demi kepentingan politik segelintir orang, sehingga menyebabkan persoalan seperti tidak tersedianya infrastruktur, pembiayaan dan personil, dan ketergantungan kepada daerah induk dan pemerintah pusat. Bahkan dibeberapa daerah muncul konflik horizontal antar masyarakat daerah dan konflik vertikal antara daerah pemekaran dan daerah induk.28

28


(41)

30

Contoh permasalahan yang timbul di daerah-daerah pemekaran misalnya:29 1). Konflik dengan kekerasan; 2). Menurunnya jumlah penduduk dan Pendapatan Asli Daerah (PAD) secara drastis; 3). Menyempitnya luas wilayah dan beban daerah induk; 4). Perebutan wilayah dan masalah ibukota pemekaran, dan; 5). Perebutan aset daerah.

2. Hak dan Kewajiban Daerah

Setelah dilakukan pemekaran wilayah dengan disahkannya sebuah daerah menjadi daerah otonom baru, daerah mempunya hak dan kewajiban dalam menjalankan pemerintahan. Dalam menyelenggarakan pemerintahan daerah, daerah menggunakan asas otonomi dan tugas pembantuan. Dimana dalam penyelenggaraan otonomi, daerah mempunyai hak yang diatur dalam pasal 21 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 sebagai berikut:30

a. Mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya; b. Memilih pimpinan daerah;

c. Mengelola aparatur daerah; d. Mengelola kekayaan daerah;

e. Memungut pajak daerah dan retribusi daerah;

f. Mendapatkan hasil dari pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya lainnya yang berada di daerah;

g. Mendapatkan sumber-sumber-sumber pendapatan lain yang sah; dan

29

Tri Ratnawati, Pemekaran Daerah; Politik Lokal & Beberapa Isu Terseleksi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), h. 16-17.

30

B.N. Marbun, Otonomi Daerah 1945-2010 Proses dan Realita, (Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, 2010), h. 115.


(42)

31

h. Mendapatkan hak lainnya yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Sedangkan dalam pasal 22 dijelaskan dalam menyelenggarakan otonomi, daerah mempunyai kewajiban sebagai berikut:

a. melindungi masyarakat, menjaga persatuan, kesatuan dan kerukunan nasional, serta keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;

b. meningkatkan kualitas kehidupan, masyarakat; c. mengembangkan kehidupan demokrasi;

d. mewujudkan keadilan dan pemerataan; e. meningkatkan pelayanan dasar pendidikan; f. menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan;

g. menyediakan fasilitas sosial dan fasilitas umum yang layak; h. mengembangkan sistem jaminan sosial;

i. menyusun perencanaan dan tata ruang daerah; j. mengembangkan sumber daya produktif di daerah; k. melestarikan lingkungan hidup;

l. mengelola administrasi kependudukan; m. melestarikan nilai sosial budaya;

n. membentuk dan menerapkan peraturan perundang-undangan sesuai dengan kewenangannya; dan

o. kewajiban lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Daerah otonomi baru juga mendapatkan pembinaan awal dari pemerintah sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007 Tentang Tata Cara


(43)

32

Pembentukan, Penggabungan dan Penghapusan Daerah. Dijelaskan dalam pasal 24 Pemerintah melakukan pembinaan melalui fasilitasi terhadap daerah otonom baru sejak peresmian daerah dan pelantikan pejabat kepala daerah. Pemberian fasilitasi tersebut berupa:31

a. Penyusunan perangkat daerah; b. Pengisian personil;

c. Pengisian anggota DPRD; d. Penyusunan APBD;

e. Pemberian hibah dari daerah induk dan pemberian bantuan dari provinsi;

f. Pemindahan personil, pengalihan aset, pembiayaan dan dokumen; g. Penyusunan rencana umum tata ruang daerah; dan

h. Dukungan bantuan teknis infrastruktur penguatan investasi daerah. Dalam menjalankan pemerintahan, pemerintah daerah mempunyai kewenangan dalam menjalankan urusan yang menjadi urusan wajib dan urusan pilihan yang diatur dalam Undang-Undang No.32 Tahun 2004 dan Perarturan Pemerintah No. 38 Tahun 2007.

Urusan wajib adalah urusan pemerintahan yang wajib diselenggarakan oleh pemerintahan daerah provinsi dan pemerintahan kabupaten/kota yang berkaitan dengan pelayanan dasar. Dalam UU No. 32 Tahun 2004 terdapat urusan wajib, yaitu urusan wajib provinsi dan urusan wajib kabupaten/kota. Sedangkan

31

Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007 pasal 24 tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah.


(44)

33

dalam PP No.38 Tahun 2007, urusan wajib pemerintah daerah tidak dibagi dua seperti yang terdapat dalam UU No. 32 Tahun 2004.

Urusan wajib kabupaten/kota yang terdapat dalam Pasal 14 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004 meliputi:

a. Perencanaan dan pengendalian pembangunan;

b. Perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang;

c. Penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat; d. Penyediaan sarana dan prasarana umum;

e. Penanganan bidang kesehatan; f. Penyelenggaraan pendidikan; g. Penanggulangan masalah sosial; h. Pelayanan bidang ketenagakerjaan;

i. Fasilitasi pengambangan koperasi, usaha kecil dan menengah; j. Pengendalian lingkungan hidup;

k. Pelayanan pertanahan;

l. Pelayanan kependudukan, dan catatan sipil; m. Pelayanan administrasi umum pemerintahan; n. Pelayanan administrasi penanaman modal; o. Penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya; dan

p. Urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan.


(45)

34

Dalam PP No. 38 tahun 2007 pasal 7 ayat (2) urusan yang wajib diselenggarakan oleh pemerintahan daerah provinsi dan pemerintahan kabupaten/kota meliputi:

a. Pendidikan; b. Kesehatan;

c. Lingkungan hidup; d. Pekerjaan umum; e. Penataan ruang;

f. Perencanaan pembangunan; g. Perumahan;

h. Kepemudaan dan olahraga; i. Penanaman modal;

j. Koperasi, dan usaha kesil dan menengah; k. Kependudukan dan catatan sipil;

l. Ketenagakerjaan; m. Ketahanan pangan;

n. Pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak; o. Keluarga berencana dan keluarga sejahtera;

p. Perhubungan;

q. Komunikasi dan informatika; r. Pertanahan;


(46)

35

t. Otonomi daerah, pemerintahan umum, administrasi keuangan daerah, perangkat daerah, kepegawaian, dan persandian;

u. Pemberdayaan masyarakat dan desa; v. Sosial;

w. Kebudayaan; x. Statistik; y. Kearsipan; dan z. Perpustakaan.

Urusan pilihan adalah urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan. Hal ini terdapat dalam pasal 13 ayat (2) dan pasal 14 ayat (2) UU No. 32 Tahun 2004.

Sementara itu, dalam pasal 7 ayat (3) PP No. 38 Tahun 2007, urusan pilihan pemerintahan daerah meliputi:

a. Kelautan dan perikanan; b. Pertanian;

c. Kehutanan;

d. Energy dan sumber daya mineral; e. Pariwisata;

f. Industri;

g. Perdagangan; dan h. Ketransmigrasian.


(47)

36

Aset daerah menjadi salah satu hak daerah pemekaran demi kelancaran kegiatan pemerintahan daerah. Kota Tangerang Selatan mempunyai hak atas aset daerah sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2008 Tentang Pembentukan Kota Tangerang Selatan. Proses penyerahan aset daerah diatur dalam pasal 13, sebagai berikut:

1) Bupati Tangerang bersama Penjabat Walikota Tangerang Selatan menginventarisasi, mengatur, serta melaksanakan pemindahan personel, penyerahan aset dan dokumen kepada Pemerintah Kota Tangerang Selatan.

2) Pemindahan personel sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lambat 6 (enam) bulan sejak pelantikan penjabat walikota.

3) Penyerahan aset dan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lambat 5 (lima) tahun sejak pelantikan penjabat walikota. 4) Personel sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) meliputi

pegawai negeri sipil yang karena tugas dan kemampuannya diperlukan oleh Kota Tangerang Selatan.

5) Pemindahan personel serta penyerahan aset dan dokumen kepada Pemerintah Kota Tangerang Selatan difasilitasi dan dikoordinasikan oleh Gubernur Banten.

6) Gaji dan tunjangan pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (4) selama belum ditetapkannya Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kota Tangerang Selatan dibebankan pada anggaran pendapatan dan


(48)

37

belanja dari asal satuan kerja personel yang bersangkutan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

7) Aset dan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) meliputi:

a. barang milik dan/atau yang dikuasai baik barang bergerak maupun tidak bergerak dan/atau yang dimanfaatkan oleh Pemerintah Kota Tangerang Selatan yang berada dalam wilayah Kota Tangerang Selatan;

b. Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) Kabupaten Tangerang yang kedudukan, kegiatan, dan lokasinya berada di Kota Tangerang Selatan; c. utang piutang Kabupaten Tangerang yang kegunaannya untuk Kota

Tangerang Selatan; dan

d. dokumen dan arsip yang karena sifatnya diperlukan oleh Kota Tangerang Selatan.

8) Apabila penyerahan dan pemindahan aset serta dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (7) tidak dilaksanakan oleh Bupati Tangerang, Gubernur Banten selaku wakil Pemerintah wajib menyelesaikannya. 9) Pelaksanaan pemindahan personel serta penyerahan aset dan dokumen

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaporkan oleh Gubernur Banten kepada Menteri Dalam Negeri.

Daerah dalam menjalankan otonomi diberi hak, kewenangan, dan kewajiban untuk mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat, termasuk salah satunya untuk mengelola barang milik


(49)

38

daerah. Pengelolaan barang milik daerah diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 152 Tahun 2004 Tentang Pedoman Pengelolaan Barang Daerah dinyatakan dalam Pasal 2 bahwa Pengelolaan Barang Daerah, sebagai bagian dari Pengelolaan Keuangan Daerah, dilaksanakan secara terpisah dari pengelolaan barang Pemerintah.

Kabupaten Tangerang mengelola barang milik daerah salah satunya dengan mendirikan Perusahaan Daerah. Terkait dengan pasar tradisional, didirikan PD.Pasar Niaga Kerta Raharja dengan melalui Peraturan Daerah Kabupaten Tangerang No. 25 Tahun 2004 Tentang Perusahaan Daerah Niaga Kerta Raharja Kabupaten Tangerang. Pembentukan ini dijelaskan dalam pasal 2, sebagai berikut:

1) Dengan Peraturan Daerah ini dibentuk Perusahaan Daerah yang bernama Perusahaan Daerah Pasar Niaga Kerta Raharja Kabupaten Tangerang; 2) Dalam statusnya sebagai badan hukum, Perusahaan Daerah berhak

menyelenggarakan kegiatan usaha perpasaran menurut ketentuan yang berlaku;

Tempat kedudukan dan wilayah kerja PD.Pasar Niaga Kerta Raharja di jelaskan dalam pasal 3 dan pasal 4, tempat kedudukan dalam pasal 3 disebutkan Perusahaan Daerah berkedudukan di Daerah. Wilayah kerja disebutkan dalam pasal 4, sebagai berikut:

1) Untuk menyelenggarakan kegiatan dan usaha sebagaimana dimaksud pada pasal 2 ayat (2), perusahaan Daerah memiliki wilayah kerja yang meliputi seluruh Daerah.


(50)

39

2) Perusahaan Daerah dapat menyelenggarakan kegiatan dan usaha diluar wilayah kerja yang ditetapkan pada ayat (1), sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.

3) Perusahaan Daerah melakukan kegiatan secara otonom dan mandiri termasuk dengan pihak-pihak yang berkeinginan untuk kerjasama sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Asas dan tujuan dijelaskan dalam pasal 5, pasal 6, pasal 7 dan pasal 8. Dalam pasal 5 disebutkan bahwa Perusahaan Daerah dalam melaksanakan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi yang mengedepankan profesionalisme, transparansi dan akuntabilitas. Tujuan dari PD.Pasar dijelaskan dalam pasal 6, yaitu:

1) Melakukan perencanaan, pengembangan dan atau pembangunan pasar; 2) Pemeliharaan dan pengawasan terhadap pasar;

3) Pelaksanaan pembinaan terhadap para pedagang/pelaku usaha dan masyarakat pengguna pasar;

4) Pemberian fasilitas dalam rangka penciptaan stabilitas harga dan kelancaran arus distribusi barang dipasar;

5) Meningkatkan nilai ekonomi dari Pasar Pemerintah Kabupaten Tangerang. Pasal 7 menjelaskan dalam rangka pelaksanaan asas dan tujuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 dan pasal 6, Perusahaan Daerah dapat mengadakan hubungan kerjasama dengan institusi pemerintahan dan atau institusi non-pemerintahan, baik di dalam maupun diluar Daerah. Selanjutnya, Pasal 8 menjelaskan Perusahaan Daerah dapat mengadakan penganekaragaman usaha


(51)

40

dalam rangka penyelenggaraan asas dan tujuan sebagaimana dimaksud pada pasal 5 dan pasal 6.

Permodalan PD.Pasar diatur dalam pasal 9, dimana disebutkan bahwa: 1) Modal dasar Perusahaan Daerah meliputi tanah, bangunan fasilitas

penunjang pasar, alat perlengkapan kantor, barang berharga lainnya dan bagi hasil dari kerjasama pembangunan pasar dengan pihak ketiga berikut fasilitas penunjang lainnya yang saat ini dikelola dan/atau dipergunakan oleh Unit Pelaksana Teknis Pasar Kabupaten Tangerang senilai Rp. 29.057.205.900,- (dua puluh Sembilan milyar lima puluh tujuh juta dua ratus lima ribu Sembilan ratus rupiah);

2) Modal dasar Perusahaan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), merupakan aset yang dipisahkan dari kekayaan Daerah;

3) Modal Dasar yang berupa tagihan terhadap pihak ketiga hasil kerjasama sebesar Rp. 1.428.986.400,- (satu milyar empat ratus dua puluh delapan juta Sembilan ratus delapan puluh enam ribu empat ratus rupiah);

4) Modal dasar Perusahaan Daerah tersebut dapat ditambah atau dikurangi dengan melalui peraturan daerah.

3. Aset Daerah

Aset daerah atau barang milik daerah merupakan salah satu unsur penting dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan publik yang harus dikelola dengan baik, efisien, efektif, transparan, dan akuntabel. Menurut Mahmudi dalam buku “Manajemen Keuangan Daerah”32, Aset daerah adalah

32


(52)

41

semua kekayaan daerah yang dimiliki maupun yang dikuasai pemerintah daerah, yang dibeli atau diperoleh atas beban APBD atau berasal dari perolehan lainnya yang sah, misalnya sumbangan, hadiah, donasi, waqaf, hibah, swadaya, kewajiban pihak ketiga, dan sebagainya. Secara umum aset daerah dapat dikategorikan menjadi dua bentuk, yaitu aset keuangan dan aset non keuangan. Aset keuangan meliputi kas dan setara kas, piutang serta surat berharga baik berupa investasi jangka pendek maupun jangka panjang. Aset non keuangan meliputi aset tetap, aset lainnya dan persediaan.

Sementara itu jika dilihat dari penggunaannya, aset daerah dapat dikategorikan menjadi tiga, yaitu: 1) aset daerah yang digunakan untuk operasional pemerintah daerah (local government used assets), 2) aset daerah yang digunakan masyarakat dalam rangka pelayanan publik (social used assets), 3) aset daerah yang tidak digunakan untuk pemerintah maupun public (surplus property). Aset daerah jenis ketiga tersebut pada dasarnya merupakan aset yang menganggur dan perlu dioptimalkan pemanfaatannya.33

Dari penjelasan diatas, yang dimaksud dalam penelitian ini yaitu aset daerah Kota Tangerang Selatan yang berasal dari barang milik daerah Kabupaten Tangerang baik itu yang bergerak maupun tidak bergerak. Aset tersebut dapat berupa tanah, gedung dan bangunan, jalan, irigasi dan jaringan, peralatan dan mesin, BUMD dan aset tetap lainnya. Aset pasar tradisional yang merupakan permasalahan dalam penelitian ini adalah salah satu badan usaha milik daerah

33


(53)

42

(BUMD) milik Kabupaten Tangerang yang berada di Kota Tangerang Selatan yang sampai saat ini belum diserahkan kepada Kota Tangerang Selatan.

Aset Kabupaten Tangerang yang berupa barang tidak bergerak dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) yang kedudukan, kegiatan, dan lokasinya berada di Kota Tangerang Selatan wajib diserahkan seluruhnya kepada Kota Tangerang Selatan. Sedangkan aset yang bergerak disesuaikan dengan kebutuhan Kota Tangerang Selatan. Penyerahan aset ini dilakukan secara bertahap dan paling lambat 5 (lima) tahun terhitung sejak pelantikan pejabat walikota.34

34


(54)

43 BAB III

GAMBARAN UMUM KABUPATEN TANGERANG DAN KOTA TANGERANG SELATAN

A. Kabupaten Tangerang

Kabupaten Tangerang adalah salah satu bagian dari provinsi Banten yang mempunyai pemerintahan sama dengan kabupaten lainnya. Dalam menyelenggarakan pemerintahan, Kabupaten Tangerang memiliki unit pemerintahan antara lain kecamatan yang terdiri atas beberapa kelurahan dan desa. Kabupaten ini memiliki unit pemerintahan sebanyak 29 kecamatan, 28 kelurahan, dan 246 desa. Kabupaten Tangerang saat ini berada dibawah pimpinan Bupati Ahmed Zaki Iskandar, B.Bus, SE dan Wakil Bupati Drs. H. Hermasyah, MM untuk periode 2013-2018.

1. Sejarah

Sejarah menceritakan pada saat kesultanan Banten terdesak oleh Agresi Militer Belanda di pertengahan abad ke-16, ditugaskan tiga maulana yang berpangkat Tumenggung yaitu: Tumenggung Aria Yudhanegara, Aria Wangsakara, dan Aria Jaya Santika untuk membuat wilayah pertahanan dan pemerintahan yang berbatasan dengan Batavia di wilayah yang saat ini dikenal sebagai kawasan Tigaraksa. Dari legenda tersebut disimpulkan cikal bakal Kabupaten Tangerang adalah Tigaraksa yang mempunyai arti “Tiang Tiga atau


(55)

44

Tilu Tanglu”, sebuah nama sebagai penghormatan untuk ketiga Tumenggung yang menjadi pimpinan saat itu.35

Sebuah tugu prasasti dibangun di bagian barat sungai Cisadane yang saat ini diyakini berada di Kampung Gerendeng. Tugu itu dibangun oleh seorang putra Sultan Ageng Tirtayasa yaitu Pangeran Soegri yang dinamakan sebagai Tangerang, dimana dalam bahasa sunda berarti tanda. Dalam tugu itu terdapat sebuah prasasti yang bertuliskan huruf arab gundul berbahasa jawa kuno yang berbunyi ”Bismillah pget Ingkang Gusti/Diningsun juput parenah kala Sabtu/Ping Gangsal Sapar Tahun Wau/Rengsena perang netek Nangaran/Bungas wetan Cipamugas kilen Cidurian/Sakabeh Angraksa Sitingsun Parahyang”. Yang berarti ”Dengan nama Allah Yang Maha Kuasa/Dari Kami mengambil kesempatan pada hari Sabtu/Tanggal 5 Sapar Tahun Wau/Sesudah perang kita memancangkan tugu/untuk mempertahankan batas Timur Cipamungas (Cisadane) dan Barat Cidurian/Semua menjaga tanah kaum Parahyang. Sebutan ”Tangerang” yang berarti ”tanda” itu seiring berjalannya waktu berubah sebutan menjadi Tangerang sebagaimana yang kita kenal saat ini.36

Dikisahkan selanjutnya pemerintah “Tiga Maulana”,”Tiga Pimpinan” atau ”Tilu Tanglu” jatuh pada tahun 1684, sehingga terjadi perjanjian antara pasukan Belanda dan Kesultanan Banten pada 17 April 1684. Didalamnya memaksa wilayah Tangerang masuk kekuasaan penjajahan Belanda. Kemudian Belanda membentuk pemerintahan kabupaten terlepas dari Kesultanan Banten dibawah pimpinan bupati. Para Bupati yang pernah memimpin Kabupaten Tangerang di

35

Website Resmi Kabupaten Tangerang, diakses pada tanggal 19 Mei 2014 dari tangerangkab.go.id

36


(56)

45

era pemerintahan Belanda pada periode tahun 1682-1809 adalah Kyai Aria Soetadilaga I-VII. Setelah keturunan Aria Soetadilaga dirasa tidak mampu lagi memerintah Kabupaten Tangerang, Belanda mengahapus pemerintahan ini dan memindahkannya ke Batavia.37

Kemudian pada masa penjajahan Jepang status daerah Tangerang ditingkatkan menjadi Daerah Kabupaten, maka daerah Kabupaten Jakarta menjadi Daerah Khusus Ibu Kota. Pada tanggal 8 Desember 1942 bertepatan dengan peringatan Hari Pembangunan Asia Raya, pemerintah Jepang mengganti nama Batavia menjadi Jakarta. Pada akhir 1943, jumlah kabupaten di Jawa Barat mengalami perubahan, dari 18 menjadi 19 kabupaten. Hal ini disebabkan, pemerintah Jepang telah mengubah status Tangerang dari kewedanaan menjadi kabupaten. Perubahan status ini didasarkan pada dua hal; pertama, kota Jakarta ditetapkan sebagai Tokubetsusi (kota praja), dan kedua, pemerintah Kabupaten Jakarta dinilai tidak efektif membawahi Tangerang yang wilayahnya begitu luas.38

Atas dasar hal tersebut, Gunseikanbu mengeluarkan keputusan tanggal 9

November 1943 yang isinya: ”Menoeroet kepoetoesan Gunseikan tanggal 9

boelan 11 hoen syoowa 18 (2603) Osamu Sienaishi 1834 tentang pemindahan Djakarta Ken Yakusyo ke Tangerang, maka dipermakloemkan seperti di bawah ini: Pasal 1: Tangerang Ken Yakusyo bertempat di Kota Tangerang, Tangerang Son, Tangerang Gun, Tangerang Ken. Pasal 2: Nama Djakarta Ken diganti menjadi Tangerang Ken. Atoeran tambahan Oendang-Oendang ini dimulai diberlakukan tanggal 27 boelan 12 tahoen Syouwa 18 (2603). Djakarta, tanggal 27

37Ibid

.,

38


(57)

46

boelan 12 tahoen Syouwa 18 (2603). Djakarta Syuutyookan. Sejalan dengan keluarnya surat keputusan itu, Atik Soeardi yang menjabat sebagai pembantu Wakil Kepala Gunseibu Jawa Barat, Raden Pandu Suradiningrat, diangkat menjadi Bupati Tangerang (1943-1944).39

Hari jadi Kabupaten Tangerang ditetapkan tanggal 27 Desember 1943 (Peraturan Daerah Nomor 18 Tahun 1984 tanggal 25 Oktober 1984) pada masa Bupati Kabupaten Tangerang dijabat H. Tadjus Sobirin (1983-1988 dan 1988-1993) bersama DPRD Kabupaten Tangerang. Setelah pemerintah Kota Tangerang tanggal 27 Februari 1993 melakukan pemekaran berdasarkan Undang-undang Nomor 2 Tahun 1993, pusat pemerintahan Kabupaten Tangerang pindah ke Tigaraksa. Pemindahan ibukota ke Tigaraksa dinilai strategis, karena menggugah kembali cita-cita dan semangat para pendiri untuk mewujudkan sebuah tatanan kehidupan masyarakat yang bebas dari belenggu penjajahan (kemiskinan, kebodohan dan ketertinggalan) menuju masyarakat yang mandiri, maju dan sejahtera.40

2. Letak Geografis

Kabupaten Tangerang terletak di bagian Timur Propinsi Banten pada koordinat 106°20′-106°43′ Bujur Timur dan 6°00′-6°20′ Lintang Selatan. Kabupaten ini memiliki luas wilayah 959,6 km2 atau 9,93 % dari seluruh luas wilayah Propinsi Banten yang berbatasan dengan Laut Jawa di sebelah utara, berbatasan dengan Kota Tangerang Selatan dan Kota Tangerang di sebelah timur,

39Ibid

.,

40


(1)

81

yang berasal dari badan usaha pasar tradisional. Disamping itu

timbulnya permasalahan seperti kesemrawutan di sekitaran pasar-pasar

tradisional dengan tidak tertatanya pedadang kaki lima (PKL) yang

mengakibatkan kemacetan dan penumpukan sampah yang kadang

tidak terangkut oleh petugas kebersihan yang menjadi salah satu

indikator kegagalan Kota Tangerang Selatan meraih adipura di tahun

2014. Selain itu, Pemerintah Kota Tangerang Selatan terkendala untuk

melakukan penataan dan revitalisasi pasar-pasar tradisional karena

belum tercatat sebagai aset daerah Tangerang Selatan.

3. Dalam penyelesaian permasalahan serah-terima aset pasar tradisional,

Pemerintah Kota Tangerang membentuk panitia khusus (pansus) yang

mengurusi masalah aset daerah dan melakukan koordinasi dengan

mengadakan pertemuan-pertemuan yang diwakili oleh pihak terkait

yaitu dengan Pemerintah Kabupaten Tangerang dan PD.Pasar Niaga

Kerta Raharja Kabupaten Tangerang untuk membahas berbagai

permasalahan yang ada dan mencari jalan keluar terbaik dalam

menyelesaikan serah-terima aset pasar tradisional di Tangerang

Selatan. Pihak Kabupaten Tangerang sedang melakukan kajian dan

mengumpulkan data dan dokumen kelengkapan aset pasar yang

kemudian akan diserahkan ke DPRD untuk persetujuan dan

dikeluarkan Perda pencabutan dan Perda penyerahan. Dalam hal

keterkaitan dengan pihak ketiga, Pemerintah Kabupaten Tangerang


(2)

82

diserahkan untuk menghindari permasalahan dikemudian hari.

Pemerintah Kota Tangerang Selatan juga meminta Badan Pemeriksa

Keuangan (BPK) untuk memfasilitasi permasalahan dalam serah

terima aset yang berada di Tangerang Selatan.

B. SARAN

Peneliti menyarankan agar Pemerintah Kota Tangerang Selatan meminta

pihak Provinsi Banten untuk memfasilitasi permasalahan serah-terima aset-aset

yang belum diserahkan dari pihak Kabupaten Tangerang. Seharusnya pihak

Provinsi Banten juga sudah melakukan tindakan untuk menyelesaikan

permasalahan dalam serah terima aset di Kota Tangerang Selatan sebab

permasalahan ini sudah berlangsung lebih dari lima tahun. Karena mengacu

kepada Undang-Undang Nomor 51 Tentang Pembentukan Kota Tangerang

Selatan dijelaskan paling lambat penyerahan aset daerah adalah lima tahun,

apabila itu tidak dilaksanakan oleh pihak Kabupaten Tangerang, Gubernur Banten


(3)

xi

DAFTAR PUSTAKA Buku:

Djanuri, M. Aries, dkk., Sistem Pemerintahan Daerah. Jakarta: Universitas Terbuka, 2010.

Faisal, Sanapiah. Format-Format Penelitian Sosial. Jakarta: Rajawali Pers, 2003. Fathurahman, Pupuh. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: CV Pustaka Setia,

2011.

Hadi, Syamsul, dkk., Disintegrasi Pasca Orde Baru: Negara, Konflik Lokal dan Dinamika Internasional. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007.

Harrison, Lisa. Metode Penelitian Politik. Jakarta: Kencana, 2007.

Kristiyono, Nanang. “Konflik Dalam Penegasan Batas Daerah antara Kota Magelang dengan Kabupaten Magelang; Analisis terhadap Faktor-faktor Penyebab dan Dampaknya.” Tesis Magister Ilmu Politik, Universitas Dipinegoro Semarang, 2008.

Mahmudi, Manajemen Keuangan Daerah, (Jakarta: Erlangga, 2010), h. 146. Marbun, B.N. Otonomi Daerah 1945-2010 Proses dan Realita. Jakarta, Pustaka

Sinar Harapan, 2010.

Mariana, Dede. dan Caroline Paskarina, Demokrasi & Politik Desentralisasi. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2008.

Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Rosdakarya, 2006. Mubarak, M. Zaki, dkk., Blue Print Otonomi Daerah Indonesia. Jakarta: Yayasan

Harkat Bangsa, 2007.

Pruit, Dean G. dan Jeffrey Z Rubin, Teori Konflik Sosial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.

Ratnawati, Tri. Pemekaran Daerah; Politik Lokal & Beberapa Isu Terseleksi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009.

Rojak, Abdul, dkk., Sejarah Berdirinya Kota Tangerang Selatan. Tangsel: Green Komunika, 2010.


(4)

xii

Setiadi, Elly M, dan Usman Kolip. Pengantar Sosiologi (Pemahaman Fakta dan Gejala Permasalahan Sosial: Teori, Aplikasi, dan Pemecahannya). Jakarta: Kencana, 2010.

Soehartono, Irawan. Metode Penelitian Sosial. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2008.

Subakti, Ramlan. Memahami Ilmu Politik. Jakarta: Grasindo, 2010.

Widjaja, HAW. Penyelenggaraan Otonomi di Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers, 2005.

Koran/Internet:

“Airin Minta Aset, Zaki Butuh Proses,” Satelit News, 4 September 2013 diakses dari http://satelitnews.co.id/?p=22160

Arief, Kurniawan T. Pemekaran Wilayah: Menimbulkan Masalah Baru. artikel diakses dari

http://kompasiana.com/post/read/528530/2/pemekaran-wilayah-dan-kemiskinan-baru-bag2.html

“Aset Belum Diserahkan Program Kerja KPMD Tangsel Terganggu”Kabar6.com,

diakses dari

http://www.kabar6.com/tangerang-raya/tangerang-selatan/7463-aset-belum-diserahkan-program-kerja-kpmd-tangsel-terganggu.html

“Hanya 20 Persen Sampah Tangerang Selatan Terangkut,” Tempo.co.id, 4 Juni 2014 diakses dari

http://www.tempo.co/read/news/2014/06/04/083582343/Hanya-20-Persen-Sampah-Tangerang-Selatan-Terangkut

Harmantyo, Djoko. Desentralisasi, Otonomi, Pemekaran Daerah dan Pola

Perkembangan Wilayah di Indonesia. artikel diakses dari

http://geografi.ui.ac.id/portal/sivitas-geografi/dosen/makalah-seminar/496-2/

“Ini Alasan Pemkab Tangerang Tidak Serahkan Aset Ke Pemkot Tangsel,” TangselOke.com, 9 September 2013 diakses dari

http://tangseloke.com/news/2013/09/09/ini-alasan-pemkab-tangerang-tidak-serahkan-aset-ke-pemkot-tangsel/


(5)

xiii

“Pemkab Akan Putus Kontrak 3 Pasar di Tangsel,” HarianTangerang.com, 11 Desember 2013 diakses dari

http://hariantangerang.com/news/2013/12/pemkab-akan-putus-kontrak-3-pasar-di-tangsel

“Pemkot Tangsel Tuntut Penyerahan AsetPasar”Harian Umum Suara Tangsel, 30

Maret 2012 diakses dari

http://appsitangsel.wordpress.com/2012/03/30/pemkot-tangsel-tuntut-penyerahan-aset-pasar-pasar-tradisional-semrawut/

“Pemkot Tunggu Surat Bupati Zaki Soal Aset Pasar,” Tangsel Pos, 13 Desember

2013.

“Sumbang PAD Besar Pemkab Tangerang Mikir Serahkan Tiga Pasar Ke Tangsel,” Detak.co.id, diakses dari

http://www.detak.co.id/tangerang/item/524-sumbang-pad-besar-pemkab-tangerang-mikir-serahkan-tiga-pasar-ke-tangsel

“Tiga Pasar Belum Diserahkan ke Tangsel,” DetakSerang.com, 25 Oktober 2013

diakses dari http://www.detakserang.com/tangerang-selatan/item/254-tiga-pasar-belum-di-serahkan-ke-tangsel

Website Resmi Kabupaten Tangerang. tangerangkab.go.id

Website Resmi Kota Tangerang Selatan. tangerangselatankota.go.id Dokumentasi:

Dokumentasi fun bike dan talk show interaktif “Pemimpin Muda Membangun Tangerang pada 11 Mei 2014.

Notulensi rapat tentang perkembangan serah terima aset pasar tradisional pada 4 Juni 2014 di DPPKAD Tangerang Selatan.

Peraturan:

Peraturan Daerah Nomor 25 Tahun 2004 tentang Perusahaan Daerah Pasar Niaga Kerta Raharja Kabupaten Tangerang

Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah


(6)

xiv

Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerinyahan Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2008 tentang Pembentukan Kota Tangerang Selatan

Wawancara:

Wawancara langsung dengan Nurachman Humas PD.Pasar Niaga Kerta Raharja pada 19 September 2014.

Wawancara langsung dengan Sugeng Setiarso Kasi Mutasi Aset Daerah DPPKAD Tangerang Selatan pada 11 Agustus 2014.

Wawancara langsung dengan Sutono Kasubid Inventarisasi Aset Daerah BPKAD Kabupaten Tangerang pada 19 agustus 2014.