Kondisi Sosial Ekonomi Keluarga Nelayan

84 mengerjakan sampai sore hari dan terkadang hingga malam hari, dikarenakan besoknya harus dibawa kembali ke laut.

4.4 Kondisi Sosial Ekonomi Keluarga Nelayan

Pekerjaan sebagai nelayan memiliki penghasilan yang tidak pasti, hal ini disebabkan karena perubahan cuaca bisa terjadi kapan saja.Lain lagi halnya dengan datangnya musim pasang mati paceklik yang terjadi di setiap bulannya. Dalam satu bulan musim pasang mati paceklik terjadi selama 10 hari dan total dapat melaut selama 20 hari jika kondisi cuaca stabil. Pendapatan seorang nelayan dalam tiap kali melaut tidak dapat dipastikan hal ini bergantung dengan alam, baik buruknya cuaca pada saat mereka melaut. Untuk tiap pergi melaut, nelayan tradisional ini hanya mendapatkan penghasilan yang pas-pasan, terkadang kurang, dan terkadang sedikit meningkat dan sangat jarang para nelayan tradisional mendapat penghasilan yang besar dalam sekali melautnya. Bukan hanya biaya untuk makan saja yang harus dikeluarkan keluarga nelayan, akan tetapi biaya pendidikan anak-anaknya, biaya kesehatan dan biaya-biaya yang lainnya yang harus mereka penuhi setiap harinya. Hal ini membuat para isteri dan anak mereka tidak tinggal diam, mereka ikut membantu kepala keluarga dalam memenuhi kebutuhan keluarga. Hal ini diungkapkan oleh pak Ridwan, beliau mengatakan bahwa : “Kalau kelaut ne dek kadang ado kadang tak ado begaji, kadang ado dapat gaji lobih, tekadang kosong terus.Kalau dihitung-hitung tak cukuplah untuk kebutuhan sehari-hari, apolagi biaya untuk anak-anak sekolah, untuk memenuhinya isteri bapak banyak jugo ikut membantu”.Sumber : Wawancara 17 Juli 2016 Universitas Sumatera Utara 85 Hal senada juga diungkapkan oleh ibu Yusmi isteri dari pak Ishak, mengatakan bahwa : “Waah, kalau penghasilan dari laut pas-pas untuk makan sehari ajolah, itupun kadang kurang, kalau untuk biaya anak, biaya listrik tau pandai ibuklah, kadang kalau banyak jahitan lumayan jugolah untuk menutupi kekurangan tu”.Sumber : Wawancara 14 Juli 2016 Kehidupan keluarga nelayan selalu dilanda ketidakpastian. Adapun kriteria kemiskinan menurut standar BPS Biro Pusat Statistik yaitu sebanyak 14 indikator, jika minimal 9 indikator terpenuhi maka suatu rumah tangga miskin. Kemiskinan pada keluarga nelayan tradisional di Desa Perupuk dapat dilihat dari: 1. Jenis lantai tempat tinggal terbuat dari kayupapan. Rumah para nelayan tradisional ini lantainya terbuat dari papan pohon kelapa dan sudah tampak lapuk, mereka belum sanggup membangun rumah yang baru. Jika lantainya ada yang rusak mereka hanya sanggup menggantinya satu persatu. Rumah mereka sudah terlihat condong, tetapi mereka tidak mengkhawatirkan hal tersebut bagi mereka memenuhi kebutuhan sehari- hari lebih penting. Hal ini diungkapkan oleh pak Syamsuddin, yang mengatakan bahwa : “Rumah lapuk ne jugolah kami tunggu, ondak buat rumah batu duit kami bolum ado, dapat makan sehari-hari ajo udah syukur kali”.Sumber : Wawancara 22 Juni 2016 2. Jenis dinding tempat tinggal dari bamburumbiakayu berkualitas rendah, tembok tanpa diplester. Selain berlantaikan papan, rumah para nelayan ini berdindingkan tepasanyaman bambu dan papan dari pohon kelapa. Jika mereka tidak mampu untuk membeli papan, maka mereka hanya membeli Universitas Sumatera Utara 86 tepas untuk mengganti dinding rumah mereka, untuk membeli batu bata dan semen saat ini mereka belum mampu. 3. Tidak memiliki fasilitas buang air besarbersama-sama dengan rumah tangga lain. Dari beberapa informan, seperti pak Rozali, pak Johan, pak syamsudin, dan pak Tarmizi tidak memiliki WC di dalam rumah sementara kamar mandi mereka merupakan sumur galian yang terpisah dari rumah atau tepatnya berada di belakang rumah namun tidak menyatu dengan rumah dan hanya berdindinkan daun kelapa. 4. Sumber penerangan rumah tangga tidak menggunakan meteran listrik. Listrik merupakan hal mendasar yang sangat dibutuhkan setiap rumah tangga tidak terkecuali bagi keluarga nelayan. Di setiap rumah-rumah nelayan tradisional semuanya sudah menggunakan listrik, tetapi tidak memiliki meteran listrik sendiri. Alasan mereka menggunakan listrik karena jika tidak maka mereka juga harus membeli minyak tanah untuk lampu dinding yang harganya lebih mahal dibanding uang yang dibayar untuk pembayaran biaya listrik perbulannya dengan yang punya meteran, Untuk memiliki meteran listrik sendiri sulit bagi mereka. Biaya awal untuk mendapatkan meteran tersebut sangat besar bagi mereka. Dengan demikian, para keluarga nelayan hanya mampu mencangkok mengambil aliran listrik tetangga yang dibayar tiap bulannya dengan biaya sekitar Rp. 40.000,- perbulannya. Seperti yang diungkapkan oleh pak Johan yaitu : Universitas Sumatera Utara 87 “Kalau listrik kami mencangkok nak samo tetanggo, jadi kami bayar perbulan ajolah samo dio, untuk masuk meteran sendiri tak ado duit”.Sumber : Wawancara 19 Juli 2016 5. Sumber air minum berasal dari sumurmata air tidak terlindungsungaiair hujan. Bagi masyarakat di Desa Perupuk, sumber air minum mereka dapatkan dari sumur wakaf yang sudah digunakan sejak lama. Sumur yang ada di rumah masing-masing tidak dapat untuk diminum, karena tidak terjamin kebersihannya. Sumur wakaf ini terletak di tengah-tengah desa, jadi bagi mereka yang mau mengambil air minum tersebut harus menggunakan sepeda maupun sepeda motor. 6. Bahan bakar untuk memasak sehari-hari adalah kayu bakararangminyak tanah. Dalam hal memasak, para isteri nelayan sudah menggunakan kompor gas yang telah diberikan oleh pemerintah. Selain menggunakan kompor gas, mereka juga menggunakan kayu bakar untuk memasak. Ini dilakukan agar dapat menghemat dalam pembelian gas sedangkan kayu bakar dapat mereka dapatkan dengan mudah. 7. Hanya mengkonsumsi dagingsusuayam dalam satu kali seminggu. Dari hasil wawancara dengan semua informan, mereka hanya mengkonsumsi daging dua kali dalam setahun, yaitu pada saat membantai memotong hewan saat mendekati puasa dan pada saat Qurban pada idul adha. Dengan harga daging yang melambung tinggi akan sulit untuk dijangkau Universitas Sumatera Utara 88 bagi nelayan tradisional sehingga mereka hanya dapat membelinya pada hari-hari besar islam seperti yang disebutkan diatas. Seperti yang diungkapan oleh pak Mansyur yaitu : “Waah, bisa dikatakan makan daging hampir setahun sekali lah, pas waktu membantai tu lah, udah gitu pas motong rayo haji itupun kami dikasih-kasih samo orang yang berqurban”.Sumber : Wawancara 24 Juli 2016 8. Hanya membeli satu stel pakaian baru dalam setahun. Bagi keluarga nelayan tradisional yang terdiri dari isteri dan suami hanya dapat membeli pakaian satu kali dalam setahun, dan terkadang bahkan tidak ada sama sekali. Akan tetapi, saat lebaran mereka akan membelikan baju untuk anak-anaknya walaupun saat itu tidak memiliki uang, dengan sedaya upaya akan mereka usahakan walaupun itu berhutang. Selain baju lebaran, mereka juga harus membeli baju sekolah anak-anaknya pada saat masuk sekolah. Seperti yang diungkapkan oleh ibu Sahara isteri dari pak M. Salam bahwa : “Kalau beli baju bisa dibilang setahun sekali lah, kadang pun terus tak ado boli baju dalam setahun tu, kecuali untuk anak waktu lebaran, kalau untuk anak walaupun tak ado duit biasonyo kami angsuran samo orang tukang jual baju”. Sumber : Wawancara 21 Juli 2016 9. Pendidikan tertinggi kepala rumah tangga : tidak sekolahtidak tamat SDtamat SD. Dari hasil wawancara dengan semua informan, yang merupakan kepala keluarga dari keluarga nelayan, hanya dua diantaranya yang pernah mengenyam pendidikan SMA yaitu pak Tarmizi dan pak Universitas Sumatera Utara 89 Ridwan. Selebihnya hanya tamatan SD dan bahkan ada yang tidak pernah sama sekali mengenyam pendidikan seperti pak Syamsudin dan pak Nasrun. Gambar 1 : Rumah nelayan tradisional Lemahnya perekonomian nelayan tradisional berdampak pula pada pendidikan anak-anaknya, mereka hanya mampu menyekolahkan anaknya hingga tingkat SMP, dan ada juga yang sampai ke jenjang pendidikan SMA namun hanya sebagian kecil saja.Bukan hanya pendidikan, tetapi dalam segi makanan keluarga nelayan juga jauh dari kata seimbang.Selain itu, dengan kemiskinan yang melanda keluarga nelayan ini, mereka juga tidak mampu untuk membeli sebidang tanah yang ditempati oleh rumah yang saat ini mereka huni. Seperti pak Johan, pak Mansyur, pak Ishak, pak Syamsudin , dan pak Rozali yang saat ini masih status masih menumpang tanah milik orang lain maupun milik keluarga untuk mendirikan rumah mereka. Universitas Sumatera Utara 90

4.5 Strategi Keluarga Nelayan Tradisional Dalam Memenuhi Kebutuhan

Dokumen yang terkait

Pengaruh Tanggungjawab Sosial Perusahaan PT INALUM Terhadap Sosial Ekonomi Kelompok Nelayan Desa Gambus Laut, Kecamatan Lima Puluh, Kabupaten Batu Bara

1 47 156

Analisis Pekerjaan Alternatif Nelayan Kecamatan Talawi Kabupaten Batu Bara (Studi Kasus: Desa Mesjid Lama Kecamatan Talawi Kabupaten Batu Bara)

0 39 74

Analisis Masalah Kemiskinan Nelayan Tradisional Di Desa Padang Panjang Kecamatan Susoh Kabupaten Aceh Barat Daya Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam

4 53 173

BENTUK-BENTUK STRATEGI BERTAHAN HIDUP NELAYAN TRADISIONAL DALAM MENCUKUPI KEBUTUHAN KELUARGA (Study Deskriptif Nelayan Tradisional di Pantai Pulau Santen Kelurahan Karangrejo Kecamatan Banyuwangi Kabupaten Banyuwangi.)

0 8 12

Strategi Keluarga Nelayan Dalam Memenuhi Kebutuhan Hidup (Studi Pada Nelayan Tradisional di Desa Perupuk Kecamatan Lima Puluh Kabupaten Batu Bara)

0 0 10

Strategi Keluarga Nelayan Dalam Memenuhi Kebutuhan Hidup (Studi Pada Nelayan Tradisional di Desa Perupuk Kecamatan Lima Puluh Kabupaten Batu Bara)

0 0 1

Strategi Keluarga Nelayan Dalam Memenuhi Kebutuhan Hidup (Studi Pada Nelayan Tradisional di Desa Perupuk Kecamatan Lima Puluh Kabupaten Batu Bara)

0 1 10

Strategi Keluarga Nelayan Dalam Memenuhi Kebutuhan Hidup (Studi Pada Nelayan Tradisional di Desa Perupuk Kecamatan Lima Puluh Kabupaten Batu Bara)

0 0 19

Strategi Keluarga Nelayan Dalam Memenuhi Kebutuhan Hidup (Studi Pada Nelayan Tradisional di Desa Perupuk Kecamatan Lima Puluh Kabupaten Batu Bara)

0 0 5

Strategi Keluarga Nelayan Dalam Memenuhi Kebutuhan Hidup (Studi Pada Nelayan Tradisional di Desa Perupuk Kecamatan Lima Puluh Kabupaten Batu Bara)

0 0 6