Komponen Pokok dalam Katekese

83 dalam membagikan pengalaman hidupnya. Pendamping membagikan pertanyaan- pertanyaan yang jelas, terarah, tidak menyinggung harga diri seseorang, sesuai dengan latar belakang peserta, bersifat terbuka dan obyektif. Langkah ini bersikap obyektif, yakni mengungkapkan apa yang sesungguhnya tejadi. Guna membantu jalanya dialog, pendamping perlu bersikap ramah, sabar, hormat, bersahabat dan peka dengan situasi peserta. b. Langkah kedua: Refleksi Kritis atas Sharing Pengalaman Hidup Faktual Kekhasan dalam langkah ini adalah bahwa peserta diajak merefleksikan secara kritis, praksis faktual yang telah mereka komunikasikan. Peserta kembali mempertajam dan mengolah pengalaman mereka bersama. Adapun maksud utama dari refleksi kritis adalah mendorong peserta supaya sampai pada suatu proses dialektis dari refleksi pengalaman hidup mereka. Refleksi kritis ini membantu peserta untuk mengetahui dan menggali secara lebih dalam pemahaman mereka bersama pertimbangan, alasan, asumsi, ideologi, segi kenangan mempertanyakan tentang sejarah hidup, keberadaan sebagai subyek mendapat bentuk dan wujudnya dari perbuatan yang dilakukan, dan segi imajinasi menyadari konsekwensi, kemungkinan, dan tanggung jawab dari praksis faktual yang bersifat personal maupun sosial. Dengan kata lain refleksi kritis bukan semata-mata aktivitas rasiopikiran saja, tetapi mencakup seluruh keberadaan peserta sebagai subyek. Segi kenangan membantu peserta untuk sampai pada analisa kritis akan sumber dan faktor historis dari fraksis factual mereka. Refleksi kritis membantu 84 peserta menyadari konsekwnsi pengalaman hidupnya, dan mendorong mereka untuk menentukan pertimbangan dan alasan praksisnya Groome, 1997: 14-18. Adapun tujuan dari langkah ini adalah mengajak para peserta untuk memperdalam refleksi dan mengantar peserta pada suatu kesadaran kritis akan keterlibatan peserta untuk menemukan makna dari pengalaman hidupnya, serta memiliki visi hidup baru yang lebih jelas. Satu hal pokok yang tidak dapat dilupakan oleh peserta dan pendamping pada langkah kedua ini adalah tercapainya kesadaran kritis dan kreatif. Berdasarkan tema utama, refleksi kritis diarahkan supaya peserta mengadakan penegasan bersama sehingga memperoleh suatu kesadaran akan Tradisi dan visi praksis faktual mereka. Pada langkah ini, pendamping bertanggung jawab untuk menciptakan suasana saling menghormati, akrab dan mendukung setiap gagasan maupun sumbangan para peserta, agar peserta dapat sampai pada refleksi kritis atas pengalamannya. Selain itu, pendamping diharapkan mampu mendorong peserta supaya mengadakan dialog dan penegasan bersama guna memperdalam pemahaman dan imajinasi peserta. Pendamping perlu menyadari kondisi setiap peserta, terlebih mereka yang tidak bisa melakukan refleksi kritis terhadap pengalaman hidupnya. c. Langkah Ketiga: Mengusahakan supaya Tradisi dan Visi Kristiani Lebih Terjangkau Kekhasan dalam langkah ini adalah peserta diajak untuk mendialogkan “tradisi” dan “visi” hidup peserta dengan tradisi Gereja sepanjang sejarah dan visinya Groome, 1997: 19. Langkah ini bertujuan untuk mengkomunikasikan nilai-nilai Tradisi dan Visi Kristiani supaya lebih terjangkau dan lebih mengena 85 untuk kehidupan setiap peserta. Pada langkah ini, pendamping diharapkan dapat membuka jalan sehingga para peserta mempunyai peluang untuk menemukan nilai- nilai dari Tradisi dan Visi Kristiani. Tradisi adalah iman Kristiani yang dihidupi dan diperkembangkan Gereja dalam sejarah. Tradisi tidak hanya sebatas pengajaran Gereja dogma tetapi juga berkaitan dengan Kitab Suci, spritualitas, devosi, kebiasaan hidup beriman, aneka kesenian Gereja, liturgi dan lain sebagainya. Sementara itu, visi merefleksikan harapan dan janji, mandat serta tanggung jawab yang muncul dari Tradisi yang bertujuan untuk mendorong dan meneguhkan iman peserta dalam keterlibatan mewujudkan nilai-nilai Kerajaan Allah Groome, 1997: 19. Pada langkah ini, pendamping dituntut memiliki latarbelakang yang cukup untuk dapat menafsirkan Tradisi dan Visi Kristiani bagi kehidupan peserta. Secara singkat pada langkah ketiga ini, pendamping berperan menginterpretasi dan mengkomunikasikan aspek-aspek Tradisi dan Visi Kristiani dengan tradisi dan visi peserta. Pendamping menjadi jembatan penghubung antara nilai Tradisi dan visi kristiani dengan “tradisi dan visi” hidup peserta. Pendamping membuka jalan, menghilangkan segala hambatan, mendorong partisipasi aktif dan kreatif Groome 1997: 28. d. Langkah Keempat: InterpretasiTafsir Dialektis antara Tradisi dan Visi Kristiani dengan Tradisi dan Visi peserta Kekhasan langkah keempat adalah bahwa peserta diajak untuk mendialogkan hasil pengolahan mereka pada pokok-pokok penting yang telah ditemukan pada langkah pertama dan kedua. Pokok-pokok penting tersebut dikonfrontasikan dengan hasil interprestasi terhadap Tradisi dan visi Kristiani dari langkah ketiga. Dasar dialog peserta adalah mempertanyakan bagaimana nilai-nilai 86 Tradisi dan visi Kristiani meneguhkan, mengkritik atau mengundang kesadaran peserta untuk melangkah pada kehidupan baru demi terwujudnya nilai-nilai Kerajaan Allah di dunia Groome, 1997: 29. Tujuan utama dalam langkah ini yakni memampukan peserta untuk menghayati dan mensosialisasikan visi dan tradisi Kristiani menjadi miliknya sendiri atau milik peserta. Dengan demikian peserta sampai pada suatu perkembangan hidup yang lebih dewasa. Dalam langkah ini, pendamping berusaha menghargai hasil penegasan peserta serta meyakinkan bahwa mereka mampu mempertemukan nilai pengalaman hidupnya dengan visi dan tradisi Kristiani Groome, 1997: 30. Dari langkah tersebut, peserta dapat secara aktif menemukan kesadaran atau sikap baru yang hendak diwujudkan. Dengan demikian para peserta lebih bersemangat dalam mewujudkan imanya, sehingga nilai-nilai kerajaan Allah makin dapat dirasakan di tengah-tengah kehidupan bersama. Yang menjadi pokok penting dalam langkah ini adalah wujud dari kesadaran iman yang baru, dapat memperkaya Tradisi dan Visi Kristiani sehingga peserta menjadi lebih aktif, dewasa dan misioner. e. Langkah Kelima: Keterlibatan Baru demi Makin Terwujudnya Kerajaan Allah di Dunia ini Kehasan langkah ini adalah terciptanya suatu dialog dan dinamika yang secara eksplisit mengundang peserta untuk sampai pada keputusan, baik secara pribadi maupun secara bersama sebagai puncak dan hasil nyata dari model SCP ini. Keterlibatan baru demi terwujudnya nilai-nilai Kerajaan Allah mendorong peserta untuk sampai pada keputusan praktis yang dipahami sebagai tanggapan peserta terhadap pewahyuan Allah. Keputusan praktis berarti sampai pada suatu niat yang 87 akan diwujudkan secara pribadi maupun bersama ke dalam suatu tindakan konkret dan mudah dijangkau Groome, 1997: 34. Langkah ini bertujuan membantu peserta dalam mengambil keputusan secara moral, konseptual, social dan politis sesuai dengan nilai iman Kristiani, sehingga peserta dapat mewujudkan nilai Kerajaan Allah ke dalam tindakan konkret dengan jalan melakukan pertobatan setiap hari. Peran pendamping dalam langkah ini adalah mengusahakan lingkungan yang dialogis yang mendukung setiap peserta sehingga secara antusias bersedia saling menerima sumbangan dan menunjukkan sikap empati, mendengarkan dan mendukung setiap keputusan yang muncul Groome, 1997: 37.

A. Alasan Pemilihan

Shared Christian Praxis SCP Sebagai Model Katekese untuk Meningkatkan Hidup Doa dalam Karya Pelayanan Para SFD Ada banyak model katekese yang dapat digunakan dalam proses membantu para SFD dalam meningkatkan hidup doa, misalnya model Shared Christian Praxis SCP, model pengalaman hidup, model biblis, model campuran, naratif eksperensial dan lain sebagainya. Dalam bab ini penulis menawarkan model katekese SCP yang menekankan proses berkatekese bersifat dialogal dan partisipatif yang bermaksud mendorong peserta berdasarkan konfrontasi antar tradisi dan visi hidup peserta dengan Tradisi dan Visi Kristiani agar secara pribadi maupun bersama mampu mengadakan penegasan dan pengambilan keputusan demi terwujudnya nilai-nilai Kerajaan Allah Groome, 1997: 1. Shared Christian Praxis SCP menekankan keberadaan peserta sebagai subyek yang bebas dan bertanggung jawab dalam mengungkapkan pengalamannya. Berdasar pada refleksi kritis terhadap pengalaman hidupnya 88 dalam kaitannya dengan situasi konkret masyarakat dan komunikasinya dengan iman dan visi Gereja, peserta secara aktif dan kreatif menghayati imannya dalam kehidupannya. Dialog yang ditekankan dalam model ini tidak hanya terjadi antar peserta dengan pendamping, melainkan, juga antar peserta itu sendiri. Maka pendekatan ini sifatnya multi arah Groome, 1997: 1. Katekese model SCP merupakan suatu pendekatan berkatekese yang bersifat komprehensif. Dikatakan komprehensif karena memiliki dasar teologis yang kuat, mampu memanfaatkan perkembangan ilmu pendidikan dan memiliki keprihatinan dalam pelayanan pastoral. Salah satu yang ditekankan dalam model SCP ini adalah sifatnya yang dialogis partisipatif, sedangkan sarana dan prasarana SCP bukanlah hal yang utama dalam berlangsungnya katekese melainkan penghayatan iman peserta yang menjadi pusat katekese. Katekese model SCP memiliki kekhasan, dengan berpusat pada peserta. Peserta sungguh menjadi subyek katekese itu sendiri. Dalam proses pelaksanaannya, model ini menekankan pentingnya kemitraan dan peran keberadaan peserta sebagai subyek dengan harapan, hidup peserta mendapat peran penting Groome, 1997: 1. Dalam langkah-langkah SCP terlihat sangat jelas kekhasan ini. Langkah pertama menjadikan pengalaman peserta sebagai titik tolak di mana pengalaman peserta diungkapkan dengan kreatifitas masing-masing sehingga peserta semakin menyadari dan menemukan nilai-nilai dari pengalaman hidupnya. Kelima langkah model SCP ini dapat menyentuh setiap pribadi peserta baik segi pemahaman, kenangan, pemikiran, imajinasi, pelayanan maupun perwujudan. 89 Melalui pemahaman, peserta didorong mengungkapkan dan menilai pengalaman faktual aspek kognitif. Peserta memiliki kebebasan dan terbuka dalam menilai, mempertimbangkan, mengambil keputusan dan mengaktualisasikan Tradisi dan Visi Kristiani serta mengkonfrontasikan tradisi dan visi mereka dengan Tradisi dan Visi Kristiani aspek kognitif dan afektif. Peserta diajak untuk mengambil keputusan secara pribadi dan bersama dalam keterlibatan di tengah masyarakat. Hal-hal di atas mendorong penulis memilih SCP Shared Christian Praxis sebagai model berkatekese bagi para SFD dalam rangka membantu para SFD meningkatkan dan memperdalam penghayatan hidup doa St. Fransiskus dan spiritualitas kongregasi SFD. Dengan model katekese ini Tradisi dan Visi Kristiani direfleksikan dan dikomunikasikan dalam pengalaman doa dan karya pelayanan. Oleh sebab itu para SFD diharapkan semakin memahami dan menghidupi kharisma mereka. Model SCP ini salah satu contoh katekese yang tepat digunakan para SFD untuk membantu meningkatkan semangat hidup doa mereka sebab, model ini didasarkan pada kekuatan pengalaman peserta yang menjadi titik tolak utama. Peserta dilibatkan secara aktif untuk mengungkapkan pengalaman hidupnya, lalu direfleksikan dan dikonkritkan dalam aksi nyata. Di samping itu penulis melihat bahwa katekese model SCP sesuai dengan pembahasan tentang bagaimana hidup doa saling mendukung dengan karya pelayanan para SFD. Dalam realita hidup, para SFD telah menghidupi doa dengan terlibat dalam berbagai kegiatan seperti dalam karya pastoral, pendidikan, kesehatan dan sosial. Para SFD melaksanakan pekerjaannya dengan penuh kesadaran dan tanggung 90 jawab bukan karena supaya dipuji, terkenal dan dianggap lebih mampu dari saudari yang lain tetapi karena kesadaran sungguh akan tugas dan tanggung jawab sebagai seorang religius yaitu mewartakan nilai Kerajaan Allah ke seluruh dunia. Kehidupan rohani menjadi kekuatan dalam setiap karya pelayanan para SFD. Akan tetapi, tidak dapat dipungkiri bahwa terkadang ada dari sebagian para SFD melaksanakan doa sebagai rutinitas saja yang penting hadir dalam doa sehingga tidak mengherankan berbagai alasan dan cara untuk tidak hadir berdoa dengan sepenuh hati. Bahkan para SFD kadangkala kurang menyadari dan menghayati makna doa sebagai penopang dalam hidup panggilannya. Hal ini nyata dialami dan disaksikan oleh penulis ketika mengikuti doa bersama terkadang ada suster terlambat waktu berdoa, mengantuk berdoa, kurang aktif dalam mendaraskan mazmur, bernyanyi dan lain sebagainya. Bertolak dari pengalaman ini, Shared Christian Praxis merupakan salah satu katekese yang sesuai untuk membantu para SFD supaya semakin menghayati hidup doa dalam hidupnya. Melalui Shared Christian Praxis para SFD diajak untuk merubah pola hidupnya untuk lebih baik dan melakukan aksi-aksi konkret yang ditemukan melalui refleksi kehidupannya. Shared Christian Praxis sebagai model katekese yang kontekstual mampu mempertemukan pergulatan hidup para SFD dengan kekayaan iman Gereja, sehingga hidup rohani dan iman para SFD semakin diperkembangkan, dan menemukan semangat baru dan usaha untuk hidup jauh lebih baik.

B. Usulan Program Katekese

1. Pengertian Program

91 Program adalah landasan untuk menentukan isi dan urutan-urutan rencana yang akan dilakukan. Pada umumnya, istilah program ada kaitannya dengan rencana dari suatu kegiatan tertentu. Kata program pada umumnya menyangkut sesuatu yang menyeluruh, yaitu sejumlah rangkaian kegiatan. Istilah program yang dimaksud di sini ialah berupa perencanaan yang sistematis dengan tujuan dan arah yang jelas. Program ini disebut sebagai prosedur yang dijadikan landasan untuk menentukan isi dan urutan acara-acara yang akan dilaksanakan Suhardiyanto, 2010: 4. Menurut Mangunhardjana 1986: 16, program merupakan prosedur untuk menentukan isi dan urutan yang akan dilaksanakan demi pencapaian suatu tujuan. Program adalah sebuah rangkaian kegiatan yang disusun secara sistematis yang mencakup tentang tema, tujuan, isi, metode, sarana yang ingin dicapai.

2. Tujuan Program

Tujuan dari program ini adalah untuk membantu meningkatkan semangat hidup doa, agar umat beriman, secara khusus para SFD, untuk semakin bersemangat dalam melaksanakan tugas pelayanan dengan didasari oleh kasih yang berasal dari Allah sendiri. Selain itu supaya para SFD semakin mendalami dan merefleksikan panggilannya sebagai perpanjangan tangan Tuhan dalam mewujudkan nilai-nilai Kerajaan Allah melalui karya pelayanan yang ada dalam kongregasi SFD. Penulis berharap supaya para SFD mampu menyatukan hidup doa dan karya pelayanan.

3. Rumusan Tema dan Tujuan

92 Tema Umum : Doa sebagai daya kekuatan dalam hidup serta karya pelayanan para Suster Fransiskus Dina SFD Tujuan Umum : Bersama peserta mampu meningkatkan hidup doa dan pelayanan dengan mendalami dan menghidupi spiritualitas SFD yang bersumber pada warisan rohani St. Fransiskus Asisi dan para suster pendahulu. Dengan demikian, para SFD mampu melayani dengan sungguh-sungguh. Sub tema I : Relasi dengan Tuhan dijalin melalui doa-hening dan pertobatan terus-menerus seturut teladan St. Fransiskus Asisi. Tujuan : Bersama peserta, memahami dan menyadari betapa pentingnya menjalin relasi yang akrab dengan Tuhan melalui doa-hening serta pertobatan terus-menerus, untuk semakin mendekatkan diri pada Tuhan sehingga mampu bersyukur atas kebaikan-Nya. Sub tema II : Kepedulian St. Fransiskus terhadap orang kecil menjadi sumber inspirasi bagi para SFD untuk berbagi dengan orang yang membutuhkan. Tujuan : Bersama peserta, menyadari bahwa kepedulian St. Fransiskus Asisi dalam berbagi menjadi inspirasi dalam meningkatkan pelayanan para SFD dalam hidup sehari-hari. Sub tema III : Mengikuti Kristus yang miskin dalam