Sejarah Berdirinya Kongregasi SFD

44 Timmermants untuk berbicara dan mencari kesempatan untuk meneruskan hidup membiara di luar negeri. Muder Constantia menjadi penggerak utama dalam usaha ini. Pastor Antonius van Gills dari Tilburg dan Pater Kapusin, Linus van Oederode, Gardian di Leuven sangat berperan bagi mulainya kembali Reformasi Limburg di Belanda. Para suster yakin meskipun situasi politik negeri sedang kacau, namun hidup religius harus tetap hidup, bila tidak mungkin di Belgia, di Belanda saja. Sebagaimana Abraham meninggalkan negeri, sanak saudara dan rumah bapanya untuk pergi ke tanah yang akan ditunjukkan oleh Tuhan, demikian pula para pendiri SFD meninggalkan tanah kelahiran mereka dan melanjutkan `perjalanan` menuju tempat yang akan ditunjukkan oleh Tuhan. Pada tahun 1798, Muder Constantia van der Linden tiba di Belanda. Karena tidak memiliki biara, untuk sementara itu dia tinggal di Pastoran Bokhoven sebagai pembantu rumah. Tidak lama kemudian, Nyonya Olifers de Bruyn saudari kandung Pastor de Bruyn mengundang para Suster pergi ke Waalwijk untuk mencari rumah yang mungkin dapat dipakai sebagai tempat tinggal. Dalam keadaan amat miskin, mereka hanya mendiami sebuah kamar besar terbuat dari kayu di desa Besooyen. Mereka tidak mempunyai apa-apa, tidak ada kursi, meja, tempat tidur atau pun selimut. Mereka tidur di lantai tanpa selimut. Namun mereka membuat banyak orang kagum karena kesabaran, ketabahan, dan cara mereka menerima kemiskinan ini dengan gembira. Segera Muder Constantia van der Linden mulai mengajar anak-anak dengan tenaga yang ada dan segala kebutuhan yang serba kurang. Akan tetapi, meskipun hidup dalam kekurangan dan kemiskinan, masyarakat Waalwijk sungguh mencintai para Suster. 45 Pada tanggal 9 Nopember 1800, Muder Constantia dan Sr. Francoise berangkat dari Waalwijk ke Breda untuk mencari rumah yang agak besar. Pada saat itu, cuaca sangat buruk tetapi kedua suster telah merencanakan perjalanan itu maka harus terjadi. Taufan dan badai yang mengamuk selama perjalanan tidak menjadi penghalang bagi mereka. Ketika sampai di Dongen, roda kereta kuda yang mereka tumpangi putus. Kusir tidak sanggup lagi meneruskan perjalanan. Melalui peristiwa taufan dan badai yang mengamuk dalam perjalanan itu Allah berbicara. Kedua Suster berdiri di pinggir jalan waktu hujan lebat. Beberapa orang setempat menunjukkan rumah pastor paroki. Para suster pun menemui pastor paroki, menceritakan siapa mereka, dari mana tempat asalnya dan apa maksud tujuan perjalanan mereka. Mendengar kisah para suster ini, sang pastor, Pastor van Gils kemudian mengucapkan kata-kata yang bersejarah ini, Suster-suster tidak perlu pergi lebih jauh. Tempat ini sangat cocok untuk suster. Aku membutuhkan orang seperti kalian. Di sini ada kemungkinan yang sesuai dengan rencana suster Clementina, 1983: 9-11. Pada tanggal 26 Maret 1801, saat Gereja merayakan Pesta Tujuh Kedukaan Maria, keempat suster bersama seorang novis, seorang postulan dan tujuh anak asrama berangkat ke Dongen. Pada saat itulah kongregasi berdiri di Dongen. Kongregasi hidup menurut Peraturan Reformasi Limburg dari tahun 1634. Terdorong oleh keyakinan bahwa para suster harus tetap memperbarui hidup dalam roh, maka para pendiri kongregasi tidak hanya berpedoman pada apa saja yang telah mendarah daging bagi mereka, melainkan juga menjadi peka terhadap kebutuhan masyarakat zaman mereka, sampai mereka malah mengorbankan cara hidup kontemplatif yang sangat mereka cintai. 46 Setelah melewati masa-masa sulit penuh pergulatan dan perjuangan yang berat selama beberapa puluh tahun, kongregasi mulai lebih leluasa memberikan pelayanan kepada masyarakat melalui pendidikan. Selain itu, kongregasi juga mendapat peluang untuk menyebarkan hidup religius dengan membuka komunitas di Etten pada tahun 1920. Karena dituntut oleh situasi saat itu, komunitas yang baru itu menjadi komunitas mandiri, terlepas dari induknya di Dongen. Didukung oleh dana yang ada, kongregasi sanggup mengutus para Suster untuk mewartakan iman Katolik ke daerah misi, termasuk ke Indonesia Clementina, 1983: 12-15. Pada tanggal 17 Maret 1923 para suster berangkat dari Dongen dan sebulan kemudian, pada tanggal 17 April 1923 mereka tiba di Medan, Sumatera Utara. Beberapa tahun kemudian, novisiat dibuka di Kabanjahe pada tahun 1954. Empat belas tahun kemudian Kongregasi mulai melebarkan sayapnya ke Kalimantan. Pada tanggal 11 Oktober 1937, para suster tiba di Banjarmasin. Keinginan untuk mengikutsertakan pemudi-pemudi pribumi dalam pelayanan di Kalimantan mendorong pemimpin kongregasi untuk membuka novisiàt di Jawa Tengah. Pati merupakan kota pilihan tempat para calon akan dididik dan dipersiapkan. Pada tanggal 14 Juli 1958 tiga suster datang dari Banjarmasin ke Pati untuk membuka novisiat. Dengan penyebaran dan perkembangan di Indonesia, maka pada tahun 1969 status komunitas-komunitas di Indonesia ditingkatkan menjadi regio, yaitu regio Sumatera Utara dan regio Jawa-Kalimantan. Masing-masing pemimpin regio bertanggungjawab langsung kepada Pemimpin Umum di Dongen. Selama beberapa tahun di Dongen, jumlah suster tidak bertambah karena tidak ada anggota baru. Suster-suster yang masih ada semakin lanjut usia. Mengingat situasi yang demikian dan karena regio-regio di Indonesia telah 47 dianggap mampu untuk mandiri, maka Dewan Pimpinan Umum mempersiapkan para suster Indonesia agar siap untuk menangani sendiri otoritas kepemimpinan kongregasi di Indonesia Konst, 2007: 13 Roh Pemersatu yang menjiwai para pendiri kongregasi mendorong terwujudnya unifikasi Regio Sumatera Utara dan Regio Jawa-Kalimantan. Penyatuan regio dimulai pada tanggal 15 Juli 1998. Sebagai persiapan kemandirian, pada tanggal yang sama ditetapkan nama baru bagi kongregasi di Indonesia, meski kharisma dan spritualitas tetap sama. Nama yang mengungkapkan spiritualitas kongregasi seturut teladan St. Fransiskus Assisi adalah Suster-suster Fransiskus Dina. Pada tanggal 17 April 2007, Kongregasi Suster-suster Fransiskus Dina di Indonesia resmi menjadi kongregasi mandiri di bawah wewenang yurisdiksi Keuskupan Agung Semarang dan dinyatakan dalam dekrit dari Tahta Suci di Roma melalui kongregasi untuk Evangelisasi Bangsa-Bangsa, Prot. N. 1534 07 tertanggal 31 Maret 2007 Konst, 2007; 14.

A. Visi dan Misi SFD

Rumusan visi, misi, dan kharisma SFD berawal dari keprihatinan, pertanyaan, kebingungan dan kerinduan mendalam para suster SFD. Namun, sudah sejak semula pendiri kongregasi SFD percaya telah disemangati dan dijiwai oleh Roh Allah yang dikenal sebagai Roh Pemersatu. Mereka berkarya dengan berlandaskan semangat cinta kasih, kesederhanaan Kristiani yang sejati, semangat rajin dan giat, sikap lepas bebas dan semangat doa Raat, 2000; 60-62. Rumusan 48 visi, misi dan kharisma SFD itu kemudian dirumuskan pada kapitel regio 2001 di Girisonta, Semarang. Dari pertemuan itu, visi SFD pun dapat dirumuskan, yaitu “Persekutuan membangun persaudaraan yang mengimani bahwa Tuhan adalah Bapa semua orang, mencintai dan meni nggikan setiap orang” Konst, 2007 art 9. Dalam hal ini, cara hidup sederhana St. Fransiskus Asisi dan para suster pendahulu merupakan perwujudan kasih Allah sebagai Bapa bagi semua orang. Kongregasi SFD membangun persaudaraan dan persekutuan dengan saling memperhatikan, dan saling melayani dalam kebutuhan setiap hari. Dengan keyakinan bahwa persaudaraan dibangun atas iman bahwa Tuhan adalah Bapa semua orang, maka semua orang adalah saudara, semartabat dan setara. Tuhan yang diimani adalah Bapa yang mencintai setiap orang, sehingga setiap orang pun harus bersikap seperti Bapa yang mencintai setiap orang dan meninggikannya. Para SFD mencintai dan meninggikan orang bukan hanya dalam persaudaraan dalam kongregasi saja, tetapi juga semua orang yang kepada mereka para SFD diutus. Dengan meneladan sikap Yesus, para SFD diajak untuk menghargai, mengangkat harkat dan martabat manusia yang diciptakan oleh Allah dan secitra dengan-Nya SFD, 2007: 17. Berangkat dari pertimbangan di atas, maka rumusan misi SFD pun disebutkan, “Siap dan terbuka bagi kebutuhan zaman seraya meneladan Yesus Kristus dalam keprihatinan-Nya terhadap manusia dengan mendampingi, memberdayakan, menghimpun: kaum muda, perempuan, orang kecil, orang sakit b ersama saudara lain” Konst, 2007 art 11. Para suster SFD berusaha untuk membuka diri terhadap kebutuhan orang lain dan terbuka dengan situasi zaman. 49 Siap dan terbuka berarti memiliki cinta yang mendalam kepada Tuhan dan sesama. Keterbukaan terhadap kebutuhan zaman menuntut untuk tidak memilih kesenangan pribadi tetapi lebih memerhatikan kepentingan umum. Misi yang diiemban oleh para Suster Fransiskus Dina berkaitan erat dengan pesan yang terdapat dalam dalam injil Lukas 4:18-19 yang berbunyi: Roh Tuhan ada pada-Ku oleh sebab Ia telah mengurapi Aku, untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin, dan Ia telah mengutus Aku, untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan dan penglihatan bagi orang-orang buta, untuk membebaskan orang-orang yang tertindas, untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang. Hal ini menegaskan bahwa tujuan Roh Allah dianugerahkan kepada Yesus ialah demi keselamatan semua orang, terutama orang-orang lemah, miskin secara ekonomis, fisik, dan sosial. Yesus yang diurapi menampilkan tugas-Nya sebagai nabi, sebagaimana dituliskan dalam kitab Yesaya. Yesus tidak menjauh dari realita sosial, melainkan Ia mengangkat situasi ini menjadi visi dan misi pelayanan-Nya yaitu mewartakan Kerajaan Allah. Arah misi Yesus di sini adalah menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin, memberitakan pembebasan kepada orang tawanan, memberikan penglihatan bagi orang buta dan membebaskan orang-orang tertindas dan memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang. Tahun rahmat Tuhan yang dimaksud adalah saat keselamatan melalui KristusMesias yang dipakai Allah untuk memberitakan kabar baik bagi orang yang sengsara, merawat orang yang remuk hati, pembebasan pada orang tawanan, pembebasan pada orang yang terkurung dalam penjara, penglihatan pada orang buta, pembebasan orang-orang yang tertindas. Yesus menyerukan bahwa Dia adalah Mesias yang Diurapi, yang diutus untuk membawa kabar baik. Di sini tersirat pernyataan diri-Nya sebagai Mesias 50 yang dinanti-nantikan sebagaimana diwartakan dalam kitab Yesaya. Yesus melaksanakan semua ini dengan penuh belaskasih, cinta dan mengandalkan kekuatan dari Bapa-Nya. Kedatangan-Nya memberikan karunia istimewa kepada semua orang yang percaya kepada-Nya. Dengan tampilnya Yesus sebagai seorang Pewarta, nyatalah bahwa dalam diri-Nya, Allah telah menggenapi segala janji-Nya. Arah misi Yesus ini, sudah sejak awal mula telah mewarnai usaha dan karya tarekat SFD dalam menjawab dan melayani kebutuhan masyarakat yang dihadapi demi pembangunan Kerajaan Allah serta kemuliaan-Nya. Dengan meneladani Dia, kongregasi SFD berusaha hadir di tengah-tengah masyarakat terutama yang menderita, lemah, kecil, miskin, tersingkir dan difabel LKMTD. Demi mewujudkan misi-Nya itu para SFD dituntut untuk memiliki sikap berani meninggalkan segala sesuatu demi pelayanan seperti yang dituntut Yesus pada para murid-Nya. Dalam Injil Lukas 9: 59-62, dikatakan: Lalu Ia berkata kepada seorang yang lain, ikutlah Aku Tetapi orang itu berkata, Tuhan ijinkanlah aku pergi dahulu menguburkan bapaku. Tetapi Yesus berkata kepadanya, biarlah orang mati menguburkan orang mati; tetapi engkau pergilah dan beritakanlah Injil dimana-mana. Lalu seorang lain lagi berkata, Aku akan mengikuti Engkau, Tuhan, tetapi ijinkanlah aku pamitan dahulu dengan keluargaku. Tetapi Yesus berkata kepadanya, setiap orang yang siap membajak tetapi menoleh kebelakang, tidak layak untuk Kerajaan Allah. Sebagai murid-murid Yesus, para SFD pun harus berani meninggalkan tanah air, kampung halaman, keluarga, kesenangan pribadi dan meninggalkan segala-galanya demi Kristus, Sang penyelamat dunia. Dengan kata lain, visi misi dan kharisma kongregasi SFD menjadi pendorong dan kekuatan untuk melaksanakan tugas perutusannya di tengah Gereja dan masyarakat.

B. Spiritualitas Kongregasi Suster Fransiskus Dina

51 Dalam buku catatannya, Suster Marie Joseph Mary Raaymakers menulis sejarah awal berdirinya kongregasi di Dongen yang dipimpin oleh Mere Constantia van der Linden pada tahun 1801. Dia menyampaikan bahwa semangat hidup religius harus diperbarui, dan pembaruan hidup itu harus didasari dengan tradisi Injili-Fransiskan. Artinya para Suster Fransiskus Dina harus hidup seturut nasihat Injil Suci, yakni dalam ketaatan, hidup tanpa milik, kesederhanaan dan dalam kemurnian Ladjar, 1988: 90. Cara hidup yang demikian ini merupakan bentuk simbolis dari usaha untuk menyerupai cara hidup Kristus. Pada tanggal 1 April 1991, dalam rangka memperingati 190 tahun berdirinya kongregasi, para SFD mengadakan kapitel di Dongen. Dalam kapitel itu, mereka mendiskusikan dan mendalami catatan Suster Marie Joseph di atas. Catatan tersebut dilengkapi dengan teks-teks Perjanjian Baru dan karangan- karangan St. Fransiskus Asisi. Melalui kapitel ini, rumusan spiritualitas kongregasi SFD pun semakin diperjelas dan dibagi dalam lima bagian, sebagai berikut: semangat cinta kasih, kesederhanaan Kristiani yang sejati, semangat rajin dan giat, lepas bebas dan semangat doa Raat, 2000: 60-63. Kelima sikap inilah yang menjadi daya-gerak hidup pendiri kongregasi SFD dan para anggotanya.

1. Semangat Cinta Kasih

Pendiri kongregasi Suster Mere Constantia Van Der Linden menyadari secara baru bahwa kehidupan religius harus mewujudkan pembaharuan yang sungguh-sungguh nyata. Menurutnya, untuk memperbarui hidup religius tersebut, para suster harus kembali ke sumber-sumber asli yaitu Kitab Suci. Dalam Kisah Para Rasul 2: 42-47 dituliskan: