Resistensi Insulin HbA1c

pusat. Peran leptin terhadap terjadinya resistensi insulin yaitu leptin menghambat fosforilasi insulin receptor substrate-1 IRS yang akibatnya dapat menghambat ambilan glukosa, sehingga mengalami peningkatan kadar glukosa darah. Beberapa pengaruh keadaan obesitas terhadap sensitivitas insulin dimana sebagai penanda terjadinya diabetes melitus tipe 2, meliputi : 1. Pada kondisi obesitas terjadi penurunan produksi adiponektin dan adipokin. Adiponektin berfungsi untuk meningkatkan sensitivitas reseptor terhadap insulin dengan meningkatkan efek insulin. Jika produksi adiponektin dan adipokin menurun maka insulin menjadi kurang sensitif untuk berikatan dengan reseptor insulin akibatnya efek insulin menjadi lemah. 2. Pada kondisi obesitas terjadi peningkatan jumlah jaringan lemak. Jaringan lemak sendiri berperan dalam menghasilkan hormon resistin yang dapat memicu terjadinya resistensi insulin dengan mengganggu kerja insulin. 3. Pada kondisi obesitas juga terjadi peningkatan produksi asam-asam lemak bebas akibat meningkatnya jumlah jaringan lemak. Asam-asam lemak tersebut lambat laun dapat menumpuk secara abnormal pada otot sehingga hal tersebut dapat menggangu kerja dari insulin Sherwood, 2011.

C. Resistensi Insulin

Resistensi insulin merupakan keadaan berkurangnya kemampuan jaringan perifer untuk memberikan respon terhadap hormon insulin. Sejumlah penelitian fungsional pada orang-orang dengan resistensi insulin memperlihatkan sejumlah kelainan kuantitatif dan kualitatif pada lintasan penyampaian sinyal insulin yang meliputi penurunan jumlah reseptor insulin, penurunan fosforilasi reseptor insulin serta aktivitas tirosin kinase, dan berkurangnya kadar zat-zat antara yang aktif dalam lintasan penyampaian sinyal insulin. Penurunan jumlah reseptor terjadi karena peningkatan konsentrasi insulin yang tinggi menyebabkan reseptor insulin melakukan pengaturan sendiri self regulation dengan menurunkan jumlah reseptor atau down regulation. Hiperinsulinemia juga dapat mengakibatkan desentisasi reseptor insulin pada tahap postreceptor, yaitu penurunan aktivitas tirosin kinase, translikasi glucose transporter dan aktivasi glycogen synthase. Kejadian ini mengakibatkan retensi insulin. Pada retensi insulin , terjadi peningkatan produksi insulin dan penurunan penggunaan glukosa sehingga mengakibatkan peningkatan kadar glukosa darah hiperglikemik. Pada tahap ini, sel β pankreas mengalami adaptasi diri, sehingga responnya untuk mensekresi insulin menjadi kurang sensitif, dan pada akhirnya membawa akibat pada defisiensi insulin Dipiro, Talbert, Yee, Matzke, Wells, and Posey, 2008; Mitchell, et al., 2009. Akibat reseptor pada sel tidak merespon dengan baik terhadap insulin, sehingga menyebabkan sel tidak dapat dengan mudah menyerap glukosa dari aliran darah. Hal tersebut mengakibatkan kadar glukosa darah semakin meningkat, hal ini dapat memicu terjadinya diabetes melitus tipe 2 National Institutes of Health, 2014.

D. Diabetes Melitus

Diabetes melitus merupakan penyakit kronis yang dapat disebabkan oleh faktor genetik, terjadinya defisiensi produksi insulin oleh sel-sel beta langerhans kelenjar pankreas, atau disebabkan oleh kurangnya respon sel-sel tubuh terhadap insulin. Hal ini ditandai dengan peningkatan kadar glukosa darah yang nantinya akan merusak sistem tubuh khususnya pembuluh darah dan saraf. Gejala yang sering muncul pada penderita diabetes melitus adalah poliuria sering buang air kecil, polidipsia merasakan haus yang berlebihan, dan polifagia merasakan lapar yang berlebihan. Kriteria diagnostik untuk diabetes melitus mencakup 1 glukosa plasma puasa ≥ 126 mgdL, 2 gejala diabetes plus glukosa plasma sewaktu ≥ 200 mgdL, atau 3 kadar glukosa plasma ≥ 200 mgdL setelah pemberian 75 g glukosa per oral uji toleransi glukosa oral American Diabetes Association, 2010 ; Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik, 2005. Hiperglikemia pada semua kasus disebabkan oleh defisiensi fungsional kerja insulin. Defisiensi efek insulin dapat disebabkan oleh penurunan sekresi insulin oleh sel β pankreas dan penurunan respon terhadap insulin oleh jaringan sasaran resistensi insulin. Kontribusi relatif masing-masing faktor ini tidak saja membentuk dasar klasifikasi penyakit ini menjadi beberapa subtipe tetapi juga membantu menjelaskan gambaran klinis khas untuk setiap subtipe. Lebih dari 90 kasus diabetes melitus dianggap sebagai proses primer dan individu yang bersangkutan memiliki predisposisi genetik untuk mengalaminya, dan diabetes melitus diklasifikasikan sebagai tipe 1 dan tipe 2. American Diabetes Association, 2010 ; McPhee and Ganong, 2011.

1. Diabetes Melitus DM tipe 2

Diabetes melitus tipe 2 berbeda dari tipe 1 dalam beberapa hal. Penyakit ini 10 kali lebih sering terjadi, memiliki komponen genetik yang lebih kuat, terjadi terutama pada orang dewasa, meningkat prevalensinya seiring pertambahan usia. Tipe ini sering 80 kasus berkaitan dengan obesitas, suatu faktor tambahan yang meningkatkan resistensi insulin McPhee and Ganong, 2011. Etiologi DM tipe 2 merupakan multi faktor. Faktor genetik dan pengaruh lingkungan merupakan faktor yang sering menyebabkan terjadinya DM tipe 2, antara lain obesitas, diet tinggi lemak dan rendah serat, serta kurangnya aktifitas fisik. Pada penderita DM tipe 2 terutama pada tahap awal, umumnya kadar insulin di dalam darahnya cukup, disamping kadar glukosa darah yang juga tinggi. DM tipe 2 bukan disebabkan karena kurangnya sekresi insulin, tetapi karena sel-sel sasaran insulin gagal untuk merespon insulin secara normal. Penderita DM tipe 2 juga mengalami gangguan sekresi insulin dan produksi glukosa hepatik yang berlebihan. Pada penderita DM tipe 2, glukosa sulit masuk ke dalam sel karena adanya resistensi insulin tersebut. Resistensi insulin juga dapat menyebabkan terganggunya proses penyimpanan lemak maupun sintesis lemak Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik, 2005 ; Sugondo, 2006. DM tipe 2 yang cenderung diderita oleh orang dewasa ini sangat berkorelasi dengan obesitas, aktifitas fisik, maupun riwayat keluarga yang memberikan sumbangan 90 terjadinya DM tipe 2. DM tipe 2 dapat menyebabkan komplikasi jangka panjang seperti penyakit kardiovaskuler, peripheral vascular, ocular, neurologic, abnormalitas renal yang menyebabkan penyakit jantung, stroke, kebutaan, kerusakan saraf ginjal dan kematian Ceriello and Motz, 2004.

E. HbA1c

HbA1c atau disebut juga dengan hemoglobin A1c atau glikohemoglobin merupakan protein yang terbentuk atas reaksi antara glukosa dan hemoglobin dalam sel darah merah dan digunakan sebagai indikator untuk mengetahui kondisi glukosa darah. HbA1c tidak dipengaruhi oleh perubahan sementara glukosa darah yang disebabkan oleh makanan dan lainnya. Proses glikosilasi hemoglobin terjadi melalui proses non-enzimatik dimana terjadi secara spontan tanpa bantuan enzim. Pada proses tersebut, gugus aldehida dari glukosa akan berikatan secara kovalen dengan gugus amino terminal-N protein residu serin, treonin, dan asparagin pada rantai β hemoglobin. Proses glikosilasi tersebut terjadi selama 120 hari ± 3 bulan dimana mengikuti usia dari sel darah merah, sehingga HbA1c dapat menjadi gambaran mengenai kadar glukosa darah selama ±3 bulan terakhir. Semakin tinggi nilai HbA1c berarti semakin tinggi pula kadar glukosa darah. Acton, 2013 ; Marks, Marks, and Smith, 2010 ; Reinhold and Earl, 2014 ; Tandra, 2008. Menurut Ginis, et al., 2012 pengukuran HbA1c dapat diandalkan dalam penggunaan untuk diagnosa Diabetes Melitus. HbA1c ini secara spesifik dapat digunakan untuk diagnosa Diabetes Melitus tipe 2 pada individu yang memiliki risiko tinggi menderita penyakit tersebut. Pengukuran HbA1c sendiri memiliki akurasi dan spesifisitas yang relatif tinggi. Tabel II. Kategori Kadar HbA1c American Diabetes Association, 2014 Kategori Kadar Normal 5,7 Pradiabetes 5,7-6,4 Diabetes ≥ 6,5

F. Landasan Teori