Penarikan kesimpulan Teknik Keabsahan Data

Kawedanan Hageng Punokawan Parwa Budaya yang dipimpin oleh GBPH Yudhaningrat. Kawedanan tersebut terdiri atas gabungan dari 1 Kawedanan Hageng Punokawan Kridha Mardawa, 2 Kawedanan Hageng Pengulon, 3 Kawedanan Hageng Puralaya, dan 4 Kawedanan Hageng Kaputren. Penjelasan gabungan Kawedanan tersebut yaitu: 1. Kawedanan Hageng Punokawan Kridha Mardawa Kawedanan ini mengelola kegiatan kebudayaan di istana. Kridha Mardawa diibaratkan sebagai Dinas Kebudayaan Keraton Yogyakarta yang mengelola beberapa kegiatan yaitu pembelajaran dan latihan tari di Bangsal Kasatriyan, latihan macapat di Rotowijayan, kegiatan pedalangan di Pracimosono, dan latihan karawitan di Bangsal Kasatriyan wawancara dengan KRT Condrowasesa pada tanggal 17 Juni 2015. Salah satu bagian organisasi yang bertanggung jawab di bidang seni tari yaitu Bebadan Among Beksa. Beberapa kegiatan yang dikelola yaitu latihan rutin setiap hari Minggu yang diadakan di Bangsal Kasatriyan, pentas tari di dalam istana maupun mewakili istana di luar benteng keraton, serta membuat pakaian atau kostum tari. 2. Kawedanan Hageng Pengulon Kawedanan ini mengelola kegiatan keagamaan yang dikelola abdi dalem keraton yang berstatus sebagai ulama yang mengelola Masjid Gede di dalam Keraton Yogyakarta dan putra-putri raja yang akan menikah. 3. Kawedanan Hageng Puralaya Kawedanan ini mengelola pemakaman raja dan kerabat-kerabatnya di daerah Imogiri dan Kotagede. 4. Kawedanan Hageng Kaputren Kawedanan ini mengelola tempat tinggal raja dan putra-putrinya. Pada zaman Sri Sultan HB VII abdi dalem Bedhaya tinggal di Kaputren ini. Empat Kawedanan tersebut berfungsi untuk melestarikan budaya karena Keraton Yogyakarta merupakan pusat kebudayaan. Keraton Yogyakarta memiliki beberapa fungsi lain berikut ini: 1. Sebagai tempat tinggal raja dan keluarganya, 2. Sebagai pusat pemerintahan, 3. Sebagai pusat kebudayaan, kegiatan pariwisata, kegiatan ilmu pengetahuan, 4. Sebagai museum yang menyimpan sejarah Yogyakarta.

B. Sejarah Tari Sari Tunggal

Pada awalnya, tari klasik gaya Yogyakarta hanya boleh diajarkan di dalam benteng keraton, dengan materi tari Srimpi dan tari Bedhaya dan para penari tidak belajar menari dari permulaan atau tarian dasar. Penari tersebut adalah abdi dalem yang mengabdi, dan ketika putra dalem sedang latihan, para abdi dalem yang sudah memiliki kemampuan baik bisa ikut belajar menari bersama dan dibimbing oleh pengampu tari, sehingga suatu saat bisa ikut pentas di dalam keraton.